Viktor Frankl sering aku jadikan senjata zaman latihan militer. Mulai hari pertama,
waktu semua rambut harus dipotong, baju dilepas, badan digulingkan di lapangan
di terik matahari, aku hanya mau memikirkan bahwa semua itu nggak akan menghancurkan
apa pun. Semesta boleh jadi saksi bahwa nilai kemanusiaan justru bisa tumbuh dan
berkembang pesat di tempat yang paling absurd sekalipun.
Di tengah kekeringan dan kelelahan, dan badan penuh rumput kering dan kerikil yang
menempel pada keringat lengket, kita dipaksa mulai lari. Lari. Tapi bukan lari
meninggalkan realita. Justru lari menceburkan diri ke absurditas hidup. Sungai
tampak hitam, penuh sampah. Semua harus masuk dan menggulingkan diri. Aku paksa
melawan kejijikan pada hidup, dan masuk menggulingkan diri. Air sampah hitam tertelan.
Tapi aku cuman berpikir, “Ini permulaan. Aku nggak peduli.” Nggak peduli lagi dengan
dingin malam yang menggigit di Cikole, dan kaki yang mulai kesakitan. Aku terus lari.
Dan hidup tidak pernah membuatku jijik lagi. Aku nggak peduli. Aku di sini
untuk hidup, untuk jadi aku. Dan aku jadi aku.