Nerusin topik kemaren.

Kadang hasil survey bohongan bisa dipercaya, bukan karena sumber surveynya cukup andal buat dipercaya, tapi lebih karena ada orang yang perlu percaya pada sesuatu.

Waktu zaman bikin skripsi, aku ikutan nemenin temen-temen yang lagi sidang akhir (ngeduluin aku). Rada kesiangan (khas aku), dan begitu dateng aku langsung nyalamin mereka satu-satu. Tapi telat, dua orang udah masuk tanpa sempat disalamin. Kacaunya, dua orang itu nggak lulus. Trus aku nyeletuk, kok bisa ya, kebeneran yang nggak aku salamin yang nggak lulus. Minggu depannya aku yang disidang, dan melewati ketegangan yang ceria luar biasa, aku bisa lulus (cerita soal ini laen kali deh). Minggu depannya, lagi asik-asik menikmati udara kebebasan, temen aku dateng pagi-pagi. Dia mau sidang juga, dan dateng khusus buat disalamin. Aduh mak!

Memang dalam suatu hari sampel bilang bahwa dari 8 orang yang aku salamin, hanya 8 orang itu yang lulus. Tapi sepanjang umur kampus, berapa ribu orang yang lulus tanpa sempat aku salamin. Dan dari yang aku salamin sebelum ujian, berapa yang akhirnya nggak lulus juga? However, memang soalnya bukan statistik, tapi bahwa orang memerlukan keyakinan (yang kadang dicari dari luar) untuk mengerahkan kemampuan yang sebenarnya sudah ada di dalam diri mereka sendiri.