Tag: quantum

Buku Favorit 2014

Menjelang tutup tahun, kita coba review beberapa buku yang kita baca tahun ini. Mungkin tahun ini memang terlalu banyak diisi kegiatan ekstra padat yang bahkan membuat tahun-tahun sibuk sebelumnya tampak penuh keleluasaan; dan buku-buku yang dibaca pun jadi berkait dengan kegiatan-kegiatan yang menarik ini.

Book-The-InnovatorsThe Innovators, adalah kisah tentang para genius yang menciptakan dunia informasi seperti yang kita kenal saat ini. Walter Isaacson (yang sebelumnya menulis tentang Steve Jobs dan Albert Einstein) bercerita tentang inovasi bukan hanya sebagai proses yang terkontrol; melainkan sesuatu yang dibentuk dengan latar belakang kepribadian, tekad, gagasan yang luar biasa, kerjasama yang menarik dari pribadi yang sungguh beraneka atau bertolak belakang, dan lompatan-lompatan kreatif. Ada Lovelace misalnya, digambarkan bukan sebagai putri yang dibesar-besarkan sebagai programmer, melainkan dirinci sejak ibunya menjauhkan dia dari urusan seni dan membuatnya menyukai pikiran kreatif yang logis, pergaulannya dengan para hacker masa itu, dan seterusnya. Lalu kita dibawa ke nama-nama revolusioner seperti Vannevar Bush, Alan Turing, John von Neumann, Doug Engelbart, Robert Noyce, Bill Gates, Steve Wozniak, Steve Jobs, Tim Berners-Lee, hingga Larry Page. Intinya bukan nama-nama besar ini, melainkan penggalian yang seksama untuk memungkinkan kita menjadi inovator-inovator kelas dunia berikutnya.

Book-Smart-CitiesSmart Cities. Buku ini memang dibeli setelah mendalami banyak paper IEEE tentang pengembangan smart cities. Pertama, kenapa kita malah berfokus ke kota? Secara pragmatis, menata kota adalah menata peradaban. Bumi justru mungkin bisa lebih hijau saat manusia dikumpulkan dalam ruang dengan efisiensi sumberdaya yang tinggi, dengan kolaborasi yang sangat mudah dan massive, dan optimisasi pada gagasan-gagasan hijau. Tapi ini hanya mungkin terjadi saat kota ditata dengan daya informatika yang menyeluruh. Persoalannya bukan hanya soal akses internet di layer infrastruktur, platform, aplikasi, konten; tetapi bagaimana budaya dan gaya hidup mulai diarahkan. Apa yang mungkin bisa terjadi? Bagaimana ekses negatifnya? Bagaimana menjawab tantangan itu? Dan apakah pembentukan smart cities akhirnya benar-benar akan mengubah peradaban dunia demi masa depan bumi yang lebih baik? Konon, orang yang bernama Smith cenderung suka jadi ahli metal; orang bernama Dentist suka mengurusi gigi. Itu diakui Wiseman yang ternyata memang suka mencari kebijakan dalam hidup manusia secara ilmiah. Tapi apa itu sebabnya buku Smart Cities ini harus ditulis Anthony Townsend?

Book-Quantum-NetworkingQuantum Networking. Dari minggu-minggu awal kelahirannya, blog ini cukup sering membahas efek kuantum di sisi sains. Namun satu dekade kemudian, efek kuantum benar-benar mulai dapat diaplikasikan dalam dunia engineering, termasuk di sistem informasi. Quantum computing, quantum information, quantum networking. Di kuliah IEEE, aku sering menyebut tiga layer masa depan skala menengah: quantum networking, Internet of Things (termasuk big data), dan smart cities. Quantum networking memungkinkan terobosan informasi kapasitas tinggi dan kecepatan tinggi untuk masa depan. Segala pardigma informasi, sejak kalkulasi Shannon, persoalan enkripsi, sensitivitas, berubah sepenuhnya; dilengkapi hal-hal semacam teleportasi dan sistem distribusi yang saat ini belum terpikirkan aplikasinya. Buku mengenai quantum networking yang baik sangat sulit diperoleh. Aku beruntung sempat berkenalan dengan Prof Rod van Meter, seorang periset mutakhir di bidang ini di COMNETSAT, salah satu konferensi yang disponsori IEEE Indonesia Section. Beliau jenis ilmuwan yang rendah hati namun sangat inspirasional, serta mampu memaparkan quantum networking kepada para engineer secara jernih tanpa berbelit.

Book-QuietQuiet. Ada sih manusia yang memang cerewet, suka mendengarkan opera bising yang membunyikan hampir semua alat musik sekaligus, suka menggabungkan kegiatan berbagai komunitas, suka mempresentasikan gagasan yang belum mainstream ke kelompok orang serius tak dikenal. Dll. Tapi di tempatnya bekerja, ia dinyatakan cacat, tidak lulus ke dalam kelompok orang-orang penting akibat mendapatkan sertifikat “introvert akut” oleh para assessor (dua point di bawah standar yang diperkenankan perusahaan). Wkwkw, ada. Buku Susan Cain ini menyelamatkan orang-orang semacam itu dalam memilih: apa sih hal baik yang masih dapat dilakukan kaum introvert ini. Konon para introvertlah yang membentuk dunia: mengenalkan kita pada teori relativitas; bunga matahari Van Gogh — hmmm, ya, Van Gogh; komputer Apple, apalah. Tapi dunia yang nyata digerakkan oleh para ekstrovert yang secara alami menyusun kerjasama yang dinamis di dunia yang makin kompleks ini. Kaum introvert harus menyesuaikan diri. Bisa berhasil, namun dengan kelelahan psikologis yang lebih. Lalu bagaimana kaum introvert bisa memaksimalkan potensi dirinya? Aku yakin para introvert lebih suka membaca buku ini dalam heningnya, daripada membaca point-point di blog dalam keriuhan kota.

Book-La-FeteMilan Kundera bikin buku lagi. La Fête de l’Insignifiance. Belum terbit bahasa Inggris atau bahasa Indonesianya. Dan aku belum berhasil menamatkan buku ini juga. Tapi, coba kita seriusi hal ini: seriuskah dunia ini? Terpikirkah bahwa justru masalah paling serius harus dikaji secara tidak serius? Nikmati rayapan gelombang interaksinya, dan dengan demikian pahami hakikat pembentuknya. Rayakan hal-hal yang tidak penting! Mungkin ini bukan hal baru buat para pecinta Kundera. Buku sebelumnya, Kitab Lupa dan Gelak Tawa (Le Livre du Rire et de l’Oubli) memaparkan diskusi para penulis dunia bukan dengan cara yang elegan, namun justru dengan kekacauan yang menjemukan, dan dengan demikian menjelaskan dunia apa adanya. Buku Unbearable Lightness of Being (L’Insoutenable Légèreté de l’Être) memaksa kita merasakan bahwa hidup jadi beban justru karena ia ringan melayang; plus rangkaian pendefinisian kontekstual atas makna-makna dan simbol-simbol yang membuat kita mempertanyakan hal-hal yang kita anggap besar dan penting. Tapi ringan bukan berarti lucu. Lucukah saat kita menyadari bahwa rasa humor kita bersama sebenarnya tak menarik lagi? Apa coba?

Masih ada beberapa buku lagi. Bersambung ah. Jalan-jalan dulu membersihkan diri. Kamu sendiri, suka baca apa akhir-akhir ini?

Kisah Gravitasi Kuantum Loop

Julian Barbour, ahli fisika dan filsafat yang meninggalkan dunia akademis setelah memperoleh PhD. Tinggal di desa dekat Oxford, ia hidup dari menerjemahkan jurnal ilmiah berbahasa Rusia ke bahasa Inggris. Bebas dari ketergesaan kampus, ia punya keluangan yang memungkinkannya menginterpretasikan persamaan Einstein untuk mendefinisikan ruang dan waktu tak lebih hanya sebagai jaringan relasi.

Dari tulisan Barbour itu, Lee Smolin — yang sebelumnya selalu gagal merumuskan gravitasi kuantum — melihat kesalahan terbesar dalam kalkulasi yang telah dilakukannya selama ini. Banyak ilmuwan di masanya yang menghindari absurditas matematika di tingkat fisika teori dengan memanfaatkan lattice, yaitu semacam sampling frame dalam perhitungan. Ada memang yang tidak mau menggunakan, misalnya Alexander Polyakov dari Rusia. Tapi banyak ilmuwan menyebut bahwa melakukan kalkulasi tanpa lattice itu seperti main akrobat tali tanpa jala pengaman di bawahnya. Nah, Smolin menemukan bahwa kegagalannya diakibatkan oleh pemakaian lattice yang bersifat kontinyu, regular. Seharusnya, dia sadari, latticenya seperti ruang waktu yang dia amati: bersifat relasional terhadap obyek di dalamnya, alih2 menjadi latar belakang yang rigid. Caranya gimana?

Ada bantuan dari penjuru bumi yang lain. Amitaba Sen sedang mencoba menurunkan teori kuantum untuk supergravitasi. Untuk itu ia telah menurunkan persamaan Einstein menjadi sekumpulan persamaan yang lebih sederhana. Banyak yang berminat, tapi belum ada yang serius menggunakannya, sampai akhirnya Abhay Ashtekar mengunakannya untuk mereformulasi persamaan relativitas, sehingga selain secara matematika lebih sederhana, juga cocok dengan formulasi QCD yang saat itu tengah diminati para fisikawan.

Smolin bekerjasama dengan Loius Crane (satu makhluk jenius yang sempat dilarang sekolah 10 tahun akibat ikut demo menentang serangan AS ke Kamboja) untuk merumuskan teori ruang-waktu yang berdasar pada jaringan relasi, atau evolving network of loops. Workshop selama satu semester dilakukan, melibatkan beberapa rekan lain. Persamaan Ashtekar digunakan untuk menunjukkan kesederhanaan pola interaksi loop di lattice yang dibentuk. Tapi kemudian macet lagi.

Salah satu rekan, Ted Jacobson, menyarankan untuk tak menggunakan lattice, dan mengikuti gaya Polyakov. Dan dengan cara itu, dirumuskanlah dasar teori kuantum gravitasi loop. Terpecahkanlah persamaan di skala Planck di mana ruang-waktu tidak terdiri dari apa-apa, selain relasi dari beberapa objek elementer. Bentuknya masih loop, tapi bukan loop di lattice atau bahkan loop di ruang, melainkan loop yang mendefinisikan ruang. Ilmuwan Italia, Carlo Rovelli, datang membawa pendekatan kuantum rekaan mentornya, Chris Isham dari Imperial College, memformulasikan kaitan antar loop, yang tidak terpengaruh apa pun selain loop.

Tapi tentu, masih perlu tahunan lagi, dan banyak ilmuwan lagi, untuk menyelesaikan implikasi teori itu.

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑