Tag: indonesiaunite

Nine One One

Itu adalah sebuah Selasa di akhir musim panas. Tapi musim panas itu menghabiskan panasnya di pertengahan tahun saja. Udara September 2001 di kota Coventry nan imut itu membuatku merutuki diri bahwa sekali lagi aku lupa bawa jaket. Yang kubawa di tas biruku juga tak menambah kehangatan. Waktu berlari. Tak bisa lagi banyak membaca buku sains, budaya asing, musik, filsafat yang bertumpuk bagai harta karun di perpustakaan bermenara mirip sarang burung itu. Waktu menipis. Yang kubawa hanya buku tentang broadband network, konfigurasinya untuk trafik tinggi, balancingnya untuk daerah luas berpenduduk tak merata, teknologinya yang konon mau berkonvergensi tapi selalu mismatch. Heh, kita dulu mencandai satu buku ini sebagai buku sastra Yunani. Pernah baca formula trafik paket? Hahah, deretan huruf Yunaninya pasti lebih seram dari Homer :).

Sekarang bayangkan, pasti senyap sekali bis yang membawa aku pulang ke Westwood Heath. Lebih sepi dari seharusnya. Karena suhu yang tak ramah, waktu yang kurang pas, atau karena formula pengendalian trafik itu sudah mulai terinstansiasi ke jalan-jalan Warwickshire yang terlindung pohon-pohon berdaun hijau coklat lebat itu?

Kamarku berpintu merah. Kunci kartu kuselipkan untuk membukanya. Notebook kukeluarkan dari tas. Juga buku-buku. Lalu kuhempaskan badan ke kasur kecil. Maunya. Nggak jadi. Telefon berdering. Suara mendesak di ujung sana. “Pasang TV sekarang juga. Gedung WTC ditabrak pesawat.”

Harus kuakui sekarang. Aku tak terkesan. Tapi bayangkan: itu tahun 2001. BBC setiap hari menyampaikan bagaimana negeri kita dibanjiri kekerasan. Mayat diseret di kota Malang. Pembunuhan sadis di Sampit. Krisis Poso. Jakarta. Ada yang ingat bahwa di tahun 2001 itu BBC menampilkan deretan panjang tank dan panser di Jakarta? Saat presiden menurunkan dekrit membubarkan DPR, dan memerintahkan militer membubarkan paksa DPR? Syukurlah waktu itu militer punya akal sehat dan memilih diam. Tapi juga ada Ambon. Dan Aceh yang tak kunjung selesai. Di masjid, para pemuda Palestina membacaan doa buat Indonesia selesai shalat Jumat. Ah, kalian yang kini berdoa untuk Palestina setelah shalat Jumat … kalian tak menyangka kan?

OK, kita kembali ke TV. Maka BBC menampilkan sekali dan sekali lagi dan sekali lagi adegan yang kini menjadi memori kita semua. Satu pesawat menghujam tubuh satu dari dua gedung kembar WTC. Lalu satu lagi menghujam gedung lainnya. Lalu runtuhan implosif mengakhiri kerja jahat itu dengan menghancurkan semuanya. Diperkirakan antara 20.000 hingga 40.000 orang meninggal. (Sekitar 6000, beberapa hari kemudian disampaikan). Menatap semuanya tanpa henti, baru aku sadar: ini adalah pernyataan perang. Tanggal 11 September, angka 9/11, menjadi sejarah.

Hebohkah? Sore itu, kami memperbincangkan apa yang terjadi di New York. Dengan suasana ketidakpastian. Tidak dengan kemarahan, ketakutan, atau ketakjuban. Seorang Cina yang biasanya mencerca US (sedang terjadi krisis diplomatik saat itu antara PRC dan US) terdiam. Tapi hidup tak langsung berubah. Beberapa hari itu, kami masih ke kota. Di pusat kota orang berkumpul. Membawa bunga, menandatangani tanda duka, mengenakan pita, dan bendera. Di BBC ditampilkan sekelompok ibu-ibu Palestina yang berteriak gembira menyambut hancurnya gedung WTC. Mereka mungkin bodoh, tapi tidak jahat. Mereka dari kampung yang temboknya tidak ada yang utuh. Keluarga mereka, bahkan hingga anak kecil, setiap saat terkena bom dan peluru Israel. Yang mereka tahu adalah bahwa Israel kuat karena dukungan AS. Jadi ledakan di AS adalah kegembiraan. Aku tak berminat membenarkan mereka. Tapi mohon jangan juga menyalahkan mereka. Mereka cuma korban perang.

Di akhir minggu, di tengah publikasi hasil penyelidikan kasus 911 di AS (plus segala macam wacana simpang siur tentang konspirasi dan hal2 menyebalkan semacamnya), aku ke Nottingham. Di sana, aku ikut antri menandatangani tanda duka. Tak mengenakan pita tapi. Juga tak memasang bendera. Lalu menghadiri pengajian Kibar. Mas Zulkiflimansyah dari Scotland masih jadi ketua pengajian (atau baru jadi mantan ketua pengajian, aku lupa). Tapi kami tak membahas tentang terorisme. Kami membahas ekonomi Islam: sesuatu yang berbasiskan rasionalitas dan akuntabilitas. Lalu prihatin bahwa Islam yang mulai dikenal rasional dan ramah itu kini kembali diidentikkan dengan kejahatan.

Beberapa pihak mulai menampakkan tanda permusuhan. Termasuk Baroness Thatcher. Masjid di kampus Coventry dikawal polisi untuk mencegah ada yang melakukan kekerasan terhadap umat muslim. Tetapi di kota lain, kekerasan tak dapat dicegah. Di Scotland, sebuah masjid mengalami ledakan ringan (tak lama setelah provokasi Thatcher). Dan tesisku mulai tertunda.

Tesisku akhirnya selesai di bulan Ramadhan. US, UK, dan pasukan sekutu sudah mengirim pasukan ke Afganistan, mengejar teroris Al-Qaidah. Ujian berakhir. Pulang. Perang terhadap teroris mulai overdosis. Bendahara pengajian di UK, Perancis, dll, dibawa ke kantor polisi, diinterogasi tentang aliran dana zakat dan infaq kami. Kegiatan kami mengirimkan dana kemanusiaan ke tanah air terpaksa dihentikan saat itu. Di tahun 2002, ISNET bahkan sempat terhenti. Majelis Syuro-nya non aktif.

Pembersihan Al-Qaidah menjadi kerjasama internasional. Tapi jadi problematik di Indonesia, yang saat itu baru mulai menata kembali masyarakatnya yang mulai mau merekatkan diri, biarpun hati mereka masih berat. Banyak hal yang jadi tabu dibicarakan, diselesaikan. Semuanya melalui gerakan lambat dan toleransi. Salah satu efeknya adalah bahwa Al-Qaidah yang tadinya berkembang di Malaysia, dan kemudian menyempir gerakknya karena terjadi pembersihan, akhirnya bermigrasi ke Indonesia, termasuk duet bomber Azhari – Noordin Top. Satu sudah jadi bangkai, tapi satu masih buron. Dan sampai sekarang kita masih menuai bom di pusat Jakarta.

Palestina masih tertindas. Sebagian oleh kekejian abadi kaum zionist. Sebagain oleh perpecahan terus menerus antara para pejuang Palestina sendiri — perpecahan tanpa toleransi tanpa kasih persaudaraan.

11 September 2001 belum lama berlalu. Apa yang terpikirkan oleh kita saat mengenang peristiwa itu, dan peristiwa-peristiwa sesudahnya?

Malaysia

Malaysia

Kita bukan cuma serumpun. Kita bersaudara. Ada masanya persaudaraan itu manis, saat kita berbincang hangat, saat kita saling mendukung, saat kita tertawa renyah menertawai nuansa budaya kita. Namun ada pula saat dimana kita saling menyakiti. Dan — kita paham — yang ternyeri dari segala sakit adalah tusukan dari kata dan perilaku saudara kita sendiri. Tapi kita sudah sama dewasa. Kita paham bahwa persaudaraan memang harus berhias kehangatan dan kebekuan, kesejukan dan bara panas, kata manis dan pekik makian menusuk. Kita paham bahwa itu tidak akan merusak persaudaraan kita.

Tak ada gunanya mengenang kesalahan generasi sebelum kita, generasi yang pernah dan mungkin kini tengah memimpin kita. Itu bukan kita. Kita adalah generasi baru yang siap membawa bangsa dan tanah air kita maju menjadi pusat kemajuan dunia. Yang penting bagi kita adalah kerja sama, berbagi sumberdaya, bertukar dukungan, memperkuat jabat erat, melupakan segala remeh-remeh yang hanya akan melalaikan kita. Ambalat bisa kita bincangkan sambil becanda. TKI bisa kita seriusi sambil bertukar aroma kopi pagi. Batik, dan segalanya, bisa kita pecahkan sambil bergurau. Makianku di Twitter dan Facebook — lupakan sajalah. Dan pelesetan Indonesia Raya-mu yang berselera rendah itu, kita lupakan juga. Seperti kata kami: Bhinneka Tunggal Ika — kita memang berbeda, tetapi kita sama. Atau kata kalian: Bersekutu Bertambah Mutu — kita akan bawa sinergi kita memajukan negeri-negeri kita.

Jadi, untuk Saudara-Saudariku di Malaysia: SELAMAT MENYAMBUT HARI MERDEKA. Ha, merdeka — kata yang menyemangati dan membanggakan, kata yang hanya dimiliki Bangsa Indonesia dan Bangsa Malaysia. Bangga memiliki Malaysia sebagai saudara dan tetangga kami. Majulah Malaysia, Jayalah Indonesia, Malaysia Bisa, Indonesia Boleh!

Merdeka

MerdekaDengan nama Allâh, yang telah mengamanahkan tanah air Indonesia ini untuk kami jaga, kami pelihara, dan kami majukan:

Kami akan terus menjaga negeri ini untuk tetap merdeka dan berdaulat.

Kami akan terus membersihkan negeri kami dari segala kejahatan, kebodohan, dan pembodohan, yang telah merusak negeri ini, dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, terorisme, kemiskinan, dan penindasan.

Kami akan terus bekerja sama mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan berbagai kreasi kemanusiaan untuk memajukan dan memakmurkan rakyat negeri ini.

Indigo in Action

Aku harus menamainya passion atau mission? Ah, mission di otak kiri dan passion di otak kanan aja deh :). Apa pun itu, bulan ini tahun lalu aku pindah ke Jakarta dengan alasan itu. Lalu berkenalan dengan Indigo — platform pengembangan konten digital melalui sinergi komunitas kreatif yang didukung Telkom Group.

Objectivenya adalah yang selalu kita perbincangkan di forum-forum semacam MIKTI, Fresh, dan — aku yakin — ratusan forum dan ruang kerja lain. Tetapi merumuskan objective tidak lalu membuat orang jadi bisa bergerak. Masih banyak yang memetaforakan pesimismenya dengan ayam dan telur. Hahah :) — bahkan ayam dan telur pun sudah terjelaskan oleh teori evolusi :). Jadi begitu juga kita memecahkan pesimisme mereka: dengan pola spiral. Tumbuhkan satu sisi, sambil siapkan sisi lain menangkap dan memanfaatkan untuk tumbuh, lalu pada gilirannya meluaskan sisi lain, dan kembali ke sisi pertama, dan seterusnya. Itu bisa berlalu untuk content, aplikasi, infrastruktur, dan aktivitas komunitas; atau untuk hal lain. Revenue terkonvolusi dan membesarnya spiral kita.

Dan yang menarik, mereka semua menyenangkan untuk didalami. Sebagai engineer, aku merasa di surga kalau menyelami urusan infrastruktur; atau bergelut dalam IEEE dan forum serupa. Lalu kita melinkkan infrastruktur ini dengan aplikasi dan content melalui SDP. Maka SDP pun harus mulai dikomunikasikan ke komunitas developer dan content provider. Tapi komunitas kreatif pun harus diajak bersinergi untuk menciptakan produk yang saling mendukung. Ini bukan AS yang sudah siap segalanya. Banyaknya lubang dalam pengembangan produk memerlukan sifat saling membantu dan saling mendukung di dalam komunitas. Antar sektor, antar layer :). Antar kota :). Dan jadilah aku dan rekan-rekan lain tukang jalan-jalan :). Yang menarik, tentu, adalah bahwa komunitas2 ini bekerja tidak dengan skema tunggal. Kita sedang sadar untuk tumbuh dan saling menumbuhkan.

Dengan program Indigo Telkom sendiri, kita harus sering ke kampus2 di berbagai kota. Mengenali aplikasi potensial yang sedang ditumbuhkan. Lalu mendukung, baik dengan konsultasi, atau inkubasi, atau promosi melalui kekuatan marketing Telkom Group & afiliasinya, atau dengan mengenalkan dengan komunitas lain yang bisa saling mendukung. Tapi, dari sekian banyak yang sudah mulai kita gerakkan, berapa yang bahkan belum terdengar?

Untuk melompati halangan terakhir itu, kemudian kita menyusun program Indigo Fellowship. Jadi bukan lagi kita yang harus berkeliling ke kota2 dan kampus2; tetapi kita menyilakan para pengembang (ide, kreasi, bisnis) dari seluruh Indonesia untuk memperkenalkan diri, ide, dan kreasinya. Ide2 itu kemudian kita diskusikan dengan para expert industri kreatif (yang difungsikan sebagai dewan juri) untuk menyusun rencana pengembangan yang realistik.

Bukan berarti Indigo Fellowship membuat aku berhenti dari kewajiban jalan-jalan. Justru aku dan rekan2 masih harus berkeliling mempublikasikan program Indigo ini :). Huh, berisik :). Dan jalan2 ini bukan seperti tenaga marketing. Kita masih bertemu komunitas2, para mahasiswa, dan media; tempat kita bukan saja harus bercerita mengenai program kita, tetapi juga menerima masukan2 yang berharga, yang membuat kita juga bisa terus belajar.

Swaragama

BTW, jalan2 terakhir adalah pertengahan minggu lalu, ke UGM di Yogya. Acaranya berupa talk show di Swaragama, dilanjutkan mini seminar di University Club. Minggu depan ke …

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑