Tag: Coffee (Page 2 of 4)

Kopi Indonesia

sbux2006.jpgSalah satu yang bikin negeri Indonesia kesohor adalah … kopi :). Duh, kirain kejutan. Setelah edisi khusus Kopi Kampung yang 100% asli Sulawesi, Starbucks kembali meluncurkan edisi khusus. Edisi Ulang Tahun. Di covernya tertulis bahwa edisi ini merupakan paduan antara kopi2 Asia Pasifik dan kopi2 Indonesia yang langka. Rada menarik, biarpun pasti nggak semenarik Kopi Kampung.

Tapi, di rumah, kopi2 udah aku tata rapi: Kopi Aceh, Kopi Toraja, Kopi Malang Sidomulyo, Kopi Flores, Kopi Bali. Kayaknya belum perlu cari Edisi Ulang Tahun ini :).

Yang aku perlu dari Starbucks paling Kopi Decaf. Buat nemenin kerja malam, biar tetap segar, tapi abdominal pain tak perlu terjadi. Starbucks biasanya menawarkan dua macam: Sumatra Decaf yang extra bold atau House-Blend Decaf yang medium. Sumatra Decaf lebih menarik dan berkarakter. Pun seandainya aku bukan chauvinist (dan memang aku bukan chauvinist).

Dan, menjelang Ramadhan, kira2 kopi apa yang paling pas buat sahur dan buat buka puasa?

Kopi Kampung

kopikampung.jpgWhen I was about 6 years old, I have tried to draw simple map of Indonesia. Yeah, this is Indonesia, and we learnt to love our country since childhood :-). Back to drawing, my favourite island is Sulawesi. Its shape is the easiest to remember: like the letter k with horisontal head. I used to love to draw that island. And also its little sibling: Halmahera island, another k, but headless. And I found Kalimantan as the most difficult island to draw.

Sulawesi. Sulawesi’s Toraja coffee is internationally famous for its special, unique, earthy taste. I also love the taste of coffee from Manado a nice friend gave me last year. But there are two small towns in Sulawesi, Sapan and Minanga, of which names do not ring a bell for even most of Indonesians. Starbucks sent their guys there. Starbucks had previously their own standards of Sulawesi Coffee. But they wanted to find the classic taste of Sulawesi Coffee. At last they found it in small markets around those two small towns. Starbucks repackaged the coffee, and named it Kopi Kampung (Coffee from Village). Packaged in exclusive pack, Kopi Kampung is sold US$13 per pack in the US, and US$15 in its origin country: Indonesia.

The taste? They call it a bit spicy. I prefer to call it unregrettable. Indeed, you will regret if you don’t taste it.

Red Eyes

After-lunch visit to Starbucks.

Lama nggak ke sini — si Neng Barrista menegur. Maaf, nggak ditulis namanya di sini. Belum minta izin yang punya nama. Aku lagi jarang sih memang ke mana2. Habis waktu buat beresin kerjaan yang lucu2 di kantor. Bikinin sesuatu yang menarik donk — aku minta. Sebuah nama ditawarkan: Red Eyes, ditambah 1 shot. Udah lama bobo kupingku memang, tapi nggak salah dengar mudah2an aku. Drosophila melanogaster — bukan! Ini customised coffee of the day :). OK, aku coba 1 mug. Sans sucre, tentu. Une tasse de cafe amer kan, judulnya.

Dan kalau belum biasa kita2 kesetrum cafeine, jangan iseng kita menerima tawaran berbisa ini. Apalagi “ditambah satu shot” itu. Tapi sebelumnya, Si Neng dan rekannya menawarkan kopi menarik. Kopi Kampung, judulnya. Kopi Sulawesi ini sebenernya. Toraja. Tapi beda dengan Kopi Sulawesi lain yang pilihan taste-nya sudah diatur sesuai cita customer terkini, Kopi Kampung ini diset dengan taste kuno seperti kali pertama Starbucks buka cafe dulu — dengan aroma spice. Entah kayak apa :) — dia masih terbungkus rapi sih, dalam kemasan edisi khusus yang exclusive. I mean it. Aku tanya bedanya sama edisi khusus yang lain: Rift Valley, Brasil Ipanema, Bleno, dll. Ceria, Si Neng cerita bahwa edisi ini barangkali hanya akan diterbitkan sekali seumur hidup. Cuman … lucunya … belum boleh dijual edisi ini. Datang baru saja. Price pun belum punya :). Tapi nanti aku dikabarin kalau benda unik ini udah dijual.

Unik. Menarik namanya. Dan pengalaman terakhir ketemu kopi Sulawesi (yaitu Kopi Manado) rasanya cukup mengesankan. I love it. Mudah2an kebagian, Kopi Kampung. Mumpung lagi menipis persediaan kopi.

Balik ke kantor, baru setrum si Red Eyes menyala. Zrrrrrt. Duh, si coffee addict kena overcaffeinated lagi. Badan nggak kompatibel ama minat :). Menyentuh keyboard, tiba2 rasa permusuhan sama tabel2 (Oracle dan Excel) hilang. Mereka jadi obyek yang menarik, dan bisa dicari relasinya dengan beberapa pendekatan. Menarik. Tapi script yang panjang itu dieksekusi terlalu lama sama PC ini. Mestinya dibikin overcaffeinated juga dia. Buka GTalk, icon di samping nama Mas BR menyala dengan warna hijau. Heh-heh-heh. Victim untuk si overcaffeinated.

Buka sesi dengan BR. Talk tentang kopi. Dan tentang Pak Sehat Sutardja yang bikin kita semua bangga. Dan dengan kecepatan tinggi pindah topik ke Telkom ke Speedy ke ZTE ke kemampuan industriawan dan akademisi Indonesia dan ke ITB dan ke. Aku nggak tau ke mana lagi. Jariku udah bisa bergerak sendiri dengan aura dari si Red Eyes. Nggak perlu pengendalian terpusat dari otak :). Maaf ya, Boss :).
Erdos memang bilang, matematikawan itu piranti yang mengubah kopi menjadi formula. Tapi kalau pirantinya bukan matematikawan, kayaknya hasilnya beda deh :).

Kopi dan Inovasi

Pencurian content mah, sekali dilakukan, gampang jadi kebiasaan. So, kita teruskan acara pembahasan kopi. Nggak dink, ini sebenernya pembahasan inovasi.

hasil-inovasi.jpg

Sekaligus menjawab ke seorang rekan di kantor yang suka nanya: kenapa kopi di Starbucks mahal, tapi tetap laku. Pun kopi di Starbucks sebenernya bukanlah yang terenak. (Yang jelas, Starbucks masih terenak dibandingkan kopi instan yang mana pun. Dan coba deh, kuli2 macam aku gini kapan sempat cari kopi enak beneran, haha.)

Baca buku The Blue Ocean Strategy yang lagi ngetrend itu. Dan sebenernya ringkasannya cukup satu kata aja: inovasi. Inovasilah yang menggeser soal jual beli kopi ini dari sekedar urusan komoditi menjadi urusan pengalaman. Dan pengalaman tentulah sifatnya priceless. Dihargai berapa pun, customer akan tetap merasa beruntung. Soalnya, tentu, adalah pengelolaan inovasi secara serius. Ini yang sebenarnya tidak mudah. Buku Blue Ocean Strategy pun hanya main2 di tepian. Lihat contoh kasus seperti Google barangkali lebih berguna. Atau industri-industri perbankan.

Decaf Tak Ramah Jantung

Doyan kopi, tapi mau menghemat jantung? Decaf saja! Masa? Weblog ini pernah menyangkal soal itu. Nah, majalah Science&Vie bulan Januari lalu mengulang hal yang sama. Kopi decaf tidak membantu menghemat jantung buat para pecandu narkopi.

decaf-jantung.jpg

Jadi, buat yang sayang jantung, sementara ini kopi memang harus dihindari. Pelihara aja umur, sampai suatu hari kita bisa meramu kopi yang ramah jantung, perut, dan kantong. Eh.

Tapi memang sih, buat sebagian orang … buat apa umur panjang, kalau nggak boleh ngopi? Sebagai pecinta (tapi bukan pecandu) kopi, komentar aku sih ini aja: DUH!

Decaf

Pagi hari, gitu kata Morrie, adalah satu2nya saat untuk bersedih. Untuk merenungi apa yang lewat dan apa yang ada di depan kita. Berikutnya adalah memaksa diri bangun, dan menghadapi hidup, dengan keceriaan dan harapan. Dengan paksaan, kalau memang tidak bisa. Jadi, aku mengikuti petuah Morrie hari ini.
Sederetan obat sudah tidak perlu mengotori jadwal hidup. Kopi masih diharamkan. Tapi kita orang bandel, mana mau menerima fatwa haram tanpa melakukan investigasi hukum. Siang ini aku beli sekantung kopi decaf lagi.

Kopi decaf, kita tahu, membuang setidaknya 97% kafein dari dalam badan kopi. Kopi2 decaf (misalnya Nescafé) biasanya berbentuk bubuk yang dipadatkan. Ini dibuat dengan menggiling kopi yang sudah dipanggang, menyedunya dengan air panas sesuai resep, memisahkan kafeinnya (dengan elektrolisis?), lalu menyuling airnya, dan meninggalkan bubuk kopi yang bebas air dan bebas kafein untuk diolah lebih lanjut. Kafeinnya tentu tidak dibuang, tapi dijual ke perusahaan penjual minuman semacam Krating Daeng atau Coca Cola. Atau Paramex :). Hush.

Decaf gaya Starbucks rada lain. Bentuknya biji. Nah lo, kapan kafeinnya dipisah. Sang barrista cerita: biji kopi direndam dalam larutan kimia tertentu sehingga kafein kabur keluar. Kemudian biji kopi diolah, dipanggang, dan dikemas. Rasanya? Lebih baik daripada versi bubuk dipadatkan, biarpun gulanya Tropicana Slim. Kadar kafeinnya? Ntah, gimana aku harus ngukur :).

Sore ini, di tengah semesta yang sedang tak ramah, kembali satu mug kopi menemaniku. Yummie. Tapi nggak lama. Sa’iki kari letheké thok. Dah ah, siapin presentasi dulu buat besok.

Starbucks @ BIP

sbux-bip-invitation.jpg
Undangan itu udah tergeletak di atas meja waktu aku sempat2nya mampir di kantor abis workshop panjang di Gegerkalong. So, akhirnya jadi juga Starbucks BIP dilaunching, tiga hari lagi. Hmm, sayangnya akunya malah nggak bakal bisa datang. Ada acara yang cukup penting dan menarik di Bogor.

Maafkan aku, rekan2 di Starbucks. Mudah2an nggak kapok mengundangku lagi. Dan buat kompensasi, aku pasang undangannya di sini biar seluruh dunia tahu bahwa kalau kita ke tengah kota Bandung, kita sudah bisa menikmati segarnya kopi di satu lagi gerai Starbucks.

Smoky & Intense

Semalam belanja kopi di Starbucks Ciwalk. Yaa … maaf buat Teh Ranti dan sohib2 lain yang nggak suka nama ini, tapi aku bener2 perlu kopi beneran, yang bebas rasa asam — dan itu agak susah dicari di Bandung sini. Juga aku udah terlanjur bersahabat dengan para barista di kedua SB di Bandung — nggak pingin berhenti bersahabat sama mereka. OK, abis sibuk mencium2, pilihan jatuh ke French Coffee. Seleranya lagi Bold. «Smoky & Intense» — gitu ditulis di stamp-nya.

Tempat apa yang enak buat menikmati si French Coffee. Pintu dapur. Duduk di lantai. Sambil baca Science&Vie yang baru 2 hari sampai (judulnya: Climat, l’equilibre est rompu). Citarasa Perancis? Anggap aja gitu. Kali2 kafe di Paris pagi2 gini belum buka, sehingga orang harus ndoprok di pintu dapurnya. Perbandingan Indonesianya kopi Aceh kali, yang pernah dioleh2kan seorang sahabat yang baik hati. Tajam, nggak terlalu wangi, tapi rasanya ruarrr biasa.

Bandung lagi ramah. Sejuk, tapi tanpa ancaman mendung. Dan Science&Vie betul2 pas. Bener2 pagi yang Smoky & Intense. Nggak tercemar sama urusan kantor dan hal2 duniawi lainnya. Betul2 penyegaran mental yang menarik.

Trus … hal2 duniawi harus dimulai.

Kopi ala Italia

Di Italia, konon ‘dilarang’ pesan capuccino selain pagi hari. Aneh, buat mereka, bahwa setelah perut terisi makan siang atau makan malam, kita masih memesan kopi tercemar susu, padahal kopi hitam pun sudah sempurna. Negeri itu betul2 serius dalam perkopian!

Kopi, di Italia, sering berarti espresso. Kalau airnya dikurangi jadi setengahnya, jadi cuman beberapa tetes di dasar cangkir, namanya ristretto. Kalau airnya jadi dua kalinya, namanya lungo. Kalau airnya dibanyakin lagi, jadilah americano. Orang Italia menganggap ini bukan punya mereka lagi :). Tapi, serius nih, sebenernya aku pikir americano itu dari kata ‘amer’ atau ‘amaro,’ yaitu bahasa Perancis dan Italia untuk ‘pahit’. Kalau airnya dibanyakin, kan jadi pahitnya kerasa, dibandingkan dengan espresso yang habis dalam hitungan detik itu.

Kembali ke yang serius. Kopi di Italia dianggap cairan ajaib. Kopi yang membangunkan kita di pagi hari adalah juga yang membuat kita nyenyak tidur di malam hari. Biji kopi juga bisa dijadikan jimat ;). Starbucks belum berani buka cabang di sana, sampai sekarang. Tidak ada satu bar kopi pun yang berani menawarkan frappuccino, atau caramel decaf macchiato. Dan juga, menggunakan gelas kertas untuk kopi betul2 dianggap tak sopan.

Kalau pesan kopi, jangan duduk. Minum kopi dianggap lebih sopan dilakukan di bar, dan dalam waktu cepat (kan espresso). Seharusnya waktu minum itu jauh lebih cepat daripada waktu berjalan ke kursi. Juga nggak bikin repot yang harus bebersih meja, kan?

Teh dan Ovarium

Kopi lagi? Sesekali teh aja deh :). Nggak adil kan kalau teh cuman disebut sekilas menemani kopi? Google news lagi, ke Reuter lagi, dan katanya: minum dua cangkir teh sehari secara dramatis (bener, Reuter bilang gitu) menurunkan resiko terkena kanker ovarium (indung telur). Kajian dilakukan di Swedia atas 61000 wanita, berusia 40an hingga 70an tahun. Kalau Anda bukan muridnya seorang KRMT (yang tidak bisa membedakan Sinar-X dengan infrared), Anda tentu tidak akan menanyakan: kenapa hanya wanita?

OK deh. Kajian dilakukan sejak 1987; dimana dua per tiga responden mengaku doyan teh. Resiko bagi wanita pedoyan teh itu, yang minum setidaknya 2 cangkir teh sehari, untuk terkena kanker ovarium, lebih rendah 46% dibandingkan yang emoh teh. Setiap tambahan secangkir, mengurangi lagi 18%. Ini berlaku untuk teh hitam dan teh hijau, yang sama2 mengandung antioksidan polifenol yang memperkuat daya tahan terhadap mutasi sel yang merupakan pencetus kanker. Kopi, yang merupakan saudara sepermainan teh, dikaji juga. Tapi tidak ada relevansinya dengan kanker ovarium.

Namun, orang2 Swedia itu mengakui, kajian ini harus diperdalam lagi.

TN&SS

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑