Bisakah?
Ah, waktu menderas tanpa ampun, dan bisik nurani mesti diabaikan. Kembali ke fitri? Cecita yang indah. Seperti saat di bening malam kita menatap jernih cecahaya bintang, sambil sadar bahwa kita tak mungkin menjangkaunya.
Tapi … tak mungkin? Kenapa mesti tak mungkin? Kenapa terus mengingkari bahwa kita juga satu dari makhluk2 bercahaya. Satu dari jiwa yang diciptakan cemerlang, mengisi ruang semesta ini, menciptakan satu dari semua cerita para bintik cahaya dengan keragaman yang arif. Dan dari segala kisah itu, kesenadaan tak lebih dari pengulangan yang membosankan. Gemerlap kita justru saat kita mengisi semesta dengan keajaiban2 dari keunikan. Dan untuk itu, nurani bukan lagi hal yang harus didengarkan dalam hening, tetapi sesuatu yang berpijar saat semangat hidup membakar jiwa kita.
Maka … selamat kembali mengenali kefitrian kita. Maaf, tanpa SMS :), karena aku dapat menangkap pijar hati kita semua dari mana aku berada. Dan mudah2an pijarku pun dapat tertangkap di hati Anda semua. Maaf juga, tanpa ucap “Maaf Lahir Batin,” karena bahasa kita adalah bahasa cahaya, bukan lagi bahasa kata-kata. Jiwa2 yang fitri, Insya Allah, Sang Maha Cahaya akan terus menggetari hati kita agar terus cemerlang bercahaya.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. :)
Minal Aidin wal Faidzin. mohon maaf lahir dan batin juga pak Koentjoro. salam kenal… hohoho…