Kopi hari ini: kopi ala Vietnam. Kopi ini dijerang dengan seperangkat filter yang dibuat khusus untuk memberikan rasa kopi yang konon tiada duanya. (Kopi Malang Sidomulyo juga nggak ada duanya kok — semua kopi itu unik).
Filter Kopi Vietnam seukuran cangkir kecil, mudah disimpan. Dan pemakaiannya mudah. Tapi kita harus menggunakan bubuk kopi yang tak terlalu halus. Kopi Vietnam sendiri sudah digiling dengan kekasaran yang pas untuk alat ini. Tapi kopi ala Vietnam tak harus menggunakan kopi dari Vietnam. Kita bisa giling sendiri kopi yang agak kasar. Untuk grinder miniku, aku set waktu 10 detik untuk menghasilkan kekasaran yang pas (sebagai bandingan, aku grind 15 detik untuk Bialetti-Mokka dan French-press, dan 20 detik untuk kopi tubruk).
Pertama, kita masukkan 3 sendok kecil kopi ke badan filter. Pasang spanner di atas cangkir (atau mug atau gelas), dan badan filter di atas spanner. Pasang lagi filter penutup di atas kopi, dan putar2 untuk meratakan kopi. Tanpa tekanan.
Sementara itu, siapkan air panas. Bisa dari dispenser yang berpemanas, atau dari air mendidih yang dibiarkan dingin sebentar. Sekarang, basahi kopi dengan air panas. Tuang air panas sedikit ke filter, sampai kira2 seluruh kopi terbasahi. Lebihkan sedikit di atas filter atas. Air akan terserap cepat. Biarkan. Diamkan 20 detik.
Kemudian, masukkan air panas memenuhi badan filter. Proses brewing langsung dimulai. Tutup filternya. Tunggu sekitar 5 menit. Boleh sambil menyanyi, menari, atau membaca puisi. Setelahnya, angkat spanner; dan temukan kopi hitam kental di dalam cangkir. Kopi Vietnam, yummie.
Kalau ingin membuat es kopi, kopi susu, atau es kopi susu; es dan/atau/justru susu bisa dimasukkan ke cangkir sebelum semua proses ini dilakukan. Cara ini lebih dianjurkan daripada memasukkan es dan/atau/kecuali susu setelahnya. Setelah kopi jadi … jangan buang waktu. Langsung disesap, atau disajikan. Awas, jangan berikan kopi ke anak kecil dan atau ke pinguin. Mereka bisa hiperaktif.
Hmm, nice Sunday. Ugh … ada PR bikin paper ya? Aaaaaa ….
Melewati malam insomnix lagi :), pagi dimulai dengan membuka mail. Ada satu dari Technorati: surat pembebasan. Blog kun.co.ro yang sempat diskors Technorati selama beberapa bulan, mulai hari ini sudah boleh beredar lagi di sana. Aku jadi bisa lagi melihat2 blog yang melink ke tulisan2 di sini. Syukurlah tak banyak (dalam arti: jadi tak banyak waktu yang aku pakai untuk melihat2). Rank juga agak turun.
Lalu secangkir kopi. Kali ini mencoba mengenal negeri tetangga dengan mencicipi kopi Thailand. Cukup keras, mengingatkan pada kopi2 Sumatra. Mmm, kenapa ya, kopi Sumatra umumnya keras: Gayo, Sidikalang, Siborong2, Baturaja, Lampung — bikin addicted. Trus punya ide jail: bikin pop corn.
Membuat Pop Corn. Alat & Bahan: Segenggam jagung kering siap dipopcornkan, minyak zaitun, wajan & penutupnya + kompor, serta MP3 La Marseillaise (mudah didownload gratis). Cara membuat: (1) Letakkan wajan di atas kompor, dan tuang minyak zaitun 30cc. (2) Isi dengan biji jagung, dan pastikan semua jagung tenggelam, lalu tutup wajan. (3) Pasang MP3 La Marseillaise cukup keras, dan nyalakan kompor pada posisi api sedang. (4) Nikmati musik mars dengan serentetan jagung yang mulai meledak, sambil membayangkan pasukan Napoleon berperang melawan Stalin (ya, sekedar dalam bayangan, nggak papa lah). (5) Saat suara tembakan berakhir, matikan kompor, biarpun barangkali La Marseillaise belum selesai. Pop corn gosong kurang asik, dan LPG lagi langka. (6) Nikmati pop corn tanpa garam beraroma minyak zaitun sambil menyelesaikan La Marseillaise.
Sambil menyelesaikan La Marseillaise, aku jadi ingat bahwa mars kebangsaan Perancis ini pernah diadopsi. Bukan saja diadopsi oleh Czaikovsky dalam 1812 (atau Dari Sabang Sampai Merauke), tetapi betul2 diadopsi sebagai sebuah lagu kebangsaan oleh Kaum Bolshevik Russia di bawah Lenin. Ya, La Marseillaise dan juga L’Internationale. Tapi tak lama, L’Internationale lebih sering digunakan, dan diadopsi jadi lagu kebangsaan Uni Soviet. Untuk catatan, lirik L’Internationale dirancang untuk dinyanyikan dengan irama dari La Marseillaise juga, sebelum ia akhirnya punya irama sendiri.
Urusan lagu kebangsaan, bangsa Russia punya cerita yang rada unik. Di zaman tsar, negeri Russia pernah menggunakan lagu kebangsaan Tsarya Khrani. Ini adalah terjemahan Russia versi tsar, atas God Save The King dari Inggris. Waktu kaum Bolshevik merebut kekuasaan, mereka mengadopsi Internationale menjadi lagu kebangsaan, yang juga terjemahan Russia atas L’Internationale. Nah, waktu Stalin menggantikan Lenin, dan kemudian jadi diktator, ia merasa Internationale tak lagi sevisi dengannya. Selain ia sibuk melakukan Russianisasi, ia juga khawatir rakyat terdorong berontak kepada Stalin gara2 lagu Internationale, haha. Maka ia mempermaklumkan perlunya mengganti lagu kebangsaan. Dengan kisah yang agak panjang, akhirnya tersusunlah Himne Uni Soviet (Gimn Sovyetskogo Soyuza) pada tahun 1944, dengan musik dari Alexandrov dan lirik dari Mikhalkov dan El-Registan. Stalin sempat mengedit kata2 dalam lagu ini juga. Jadi ada nama Stalin segala di dalam lirik lagu. Duh. Namun diakui, tanpa melihat liriknya, musiknya indah :).
Tapi lalu Stalin tumbang, dan pemujaan atas Stalin dalam lagu kebangsaan dirasa kurang pas. Maka, sejak masa Khrushchev, lagu kebangsaan Soviet dibiarkan dalam bentuk musik saja, tanpa kata2. Ini berlangsung sekitar 20 tahun. Di tahun 1971, Mikhalkov — yang ternyata masih hidup — menulis ulang lirik lagu itu, dan mengajukan usulan. Tapi birokrasi negara komunis adalah yang paling menyebalkan di atas muka bumi. Jadi revisi Mikhalkov baru diresmikan tahun 1977. Dan jadilah Soviet punya lagu kebangsaan yang terkenal itu. Terkenal karena … sering dinyanyikan saat penyerahan medali emas di Olimpiade — orang Soviet masa itu gemar memborong medali. Tentu kita di Indonesia tak terlalu mengenalnya. Di zaman kejayaan Soviet itu, di Indonesia cuma ada TVRI, yang hanya secuplik2 menyiarkan warta luar negeri, dan lebih banyak menampilkan muka Ali Murtopo dan kemudian Harmoko.
Dan kita tahu, lalu giliran Soviet yang tumbang, di masa akhir pemerintahan Gorbachev. Russia, di bawah Presiden Yeltsin menggunakan lagu kebangsaan baru sejak 1991, dengan musik dari Glinka. Tanpa kata2. Juga, di masa itu, kontingen CIS di Olimpiade menggunakan simfoni Beethoven, untuk menunjukkan bahwa mereka tak lagi selalu berwarna Russia. Ini berlangsung sampai Yeltsin digantikan Putin. Saat baru menjabat, Putin menyatakan keprihatinannya bahwa atlit Russia di Olimpiade tampak tak bersemangat dengan hanya mendengarkan musik lagu kebangsaan. Lalu ia menyatakan bahwa Russia perlu lagu kebangsaan baru, yang memiliki kata2. Dari banyak usulan, salah satu yang masuk adalah untuk mengadopsi musik Himne Uni Soviet, dengan lirik yang diperbaharui. Mengabaikan banyak kritik, Putin menyetujui usulan ini. Lalu ia membuat maklumat yang mengajak rakyat membuat lirik lagu kebangsaan. Dan percaya atau tidak, Pak tua Mikhalkovlah — yang ternyata masih hidup juga — yang merevisi lagi lirik lagunya, lalu mengajukannya ke Putin. Dan Putin menerimanya. Pun perlu ada revisi beberapa kali. Tadinya negeri digambarkan bernaung di bawah sayap elang (lambang negara), kemudian diganti menjadi negeri yang diberkati Tuhan. Maka jadilah Himne Russia (Gosudarstvenny Gimn Rossiyskoy Federatsii) yang sekarang. Masih indah.
Dan pop corn sudah habis. Masih ada setengah cangkir kopi Thailand.
Sbux lagi tersemangati Latinos. Kalau tahun lalu banyak suasana Afrika, dengan landmark BAE — black apron exclusive — Zambia Terranova dan Ethiopia Gemadro; maka setelah terjembatani BAE Sumatra Siborong-Borong, Sbux menggencar suasana Amerika Latin, dengan BAE Costa Rica Lomas Al Rio dan kini Colombia Narino El Tambo. Di antara dua BAE terakhir itu, sempat terbit juga edisi spesial Guatemala Casi Cielo (arti harfiah: menjangkau angkasa, arti pelesetan: gua teh malah kasih ‘ci elo).
Lomas Al Rio dan Casi Cielo punya kekhasan yang mirip: menyenangkan, menceriakan hari; sebagai kontras dari Sumatra Siborong-Borong yang serius dan berselera tinggi. Kalau Siborong-Borong dipadankan Wagner, Lomas Al Rio bisa disetarakan Vivaldi atau bahkan Puccini. Hmm, lucu memang kalau kopi bisa punya nada. Casi Cielo mengiring pagi beberapa minggu, diseling Sumatra dan Sulawesi, dan kopi2 lain oleh2 dari rekan2 yang beruntung bisa travelling ke mana2 (ssst, Sumatra dan Sulawesi juga), dan tau2: eh kok udah lama nggak nge-Java ya. Cari di Bandung, teu aya. Coba morotin Herr BR yang doyan ke Sbux Jakarta: sami mawon. Iseng beli di Coffee Bean, eh nggak dijual. Coba pesan saja di Sbux lokal sini, eh malah ditawarin El Tambo. Jadilah pesan Java Estate dan El Tambo sekaligus. Ini El Tambo Colombia ya. Bukan Padang. El, tambo!
El Tambo, apakah seceria Casi Cielo? Agak ragu, kalau lihat covernya yang menampilkan wajah petani kopi berekspresi gagal panen gitu. Inget cerita “Surat Buat Tuhan” nggak sih? Aku bayangin sang petani wajahnya, ekspresinya, dan topinya mirip gitu :). Jangan2 bercita rasa serius lagi. Gue banget :). Tapi kalau si gue banget ketemu yang gue banget, nggak bervariasi juga sih. Mudah2an kali ini berwarna Stravinsky misalnya. Sedap yang rada2 amburadul gitu. Kalau amburadulnya nggak sedap, kan mug bisa dibanting. Mirip salah satu performansi Stravinsky juga. OK, kalau gitu jangan amburadul kayak Stravinsky. Gimana kalau Orff aja. Carmina Burana dengan keramaian yang tak nyaman tapi menyemangati. Hoohoo.
Tentu di site Sbux ada deskripsinya. Cuman aku berkeberatan membaca sebelum mencicipi dan membuat interpretasi pribadi yang nggak tergantung saran produsen/produser. Dan karena itu, nggak ada yang bisa diceritain lagi. Kita beralih saja ke Orff … :)
Update: Sebelum El Tambo tampak, aku malah ditelepon dan ditawari kopi Peru dan Costarica Buena Vista. Ah, memang maniak latinos.
Di Tunjungan Plasa, aku menemui satu kopi yang belum tertemui di kafe2 Starbucks Bandung: Kopi Timor. Judulnya Komodo Dragon, dengan logo merah hitam seram. Tapi kita mulai cerita ini dari latar belakangnya.
Waktu aku menulis tentang rencana IEEE di Surabaya, yang sedang kami bahas adalah sebuah seminar yang cukup luas. Jadi waktu Mas Muhammad Ary Murti (chairman of Indonesia IEEE Comsoc Chapter) meneleponku, aku pikir kita akan mulai soal ini. Tapi ternyata judulnya lain. Ini acara mini IEEE Knowledge Sharing saja, dengan tiga speaker: Mas Ary tentang IEEE, Arief Hamdani Gunawan tentang teknologi BWA, dan aku tentang business aspect-nya. So, aku iyakan saja. Dan singkat cerita aku kemarin menjejak Surabaya.
Surabaya itu, ok, keren. Tapi aku cerita seminar aja ah. Knowledge Sharing ini dilakukan di Gd Rektorat ITS hari ini (5 November 2007), di Hall Lt 3. Audience dari beberapa perguruan tinggi di Surabaya. Penyelenggara adalah Mas Daniel dari Fakultas Teknologi Informasi ITS.
Pada sesi pertama, Mas Arief (chairman of IEEE Indonesia section) membahas IEEE secara umum, termasuk kegiatan society, standard yang dihasilkan, dan kesempatan2 yang bisa diperoleh. Lalu Mas Ary memfokuskan tentang Communications Society dan hal2 yang bersifat akademis, termasuk kerjasama dll. Trus break.
Setelah break, ternyata Mas Arief harus kembali ke Jakarta untuk memperjuangkan soal kode akses melawan orang2 aneh dari BRTI (selamat berjuang ya, demi bangsa dan tanah air). Jadi di sesi ini aku akhirnya membahas bukan saja business aspect, tetapi juga beberapa technology breakthrough. Bahan2 diskusi adalah tema2 yang akhir2 ini sering didiskusikan, bukan saja oleh Communications Society, tetapi juga oleh Computer Society. Interworking 3G dan WiMAX, NGMN, Daidalos project (biarpun tidak aku sebut namanya), context awareness, augmented reality. Hmm, apalagi ya. Feedback dan sharing dari audience cukup menarik dan beragam; dan Mas Ary harus membantuku menjelaskan kegiatan2 yang bisa kita lakukan ke depan.
Acara baru selesai waktu halaman rektorat ITS tak berasa panas lagi. Dan aku pikir, cukup pas kalau secangkir kopi dinikmati sebelum matahari benar2 tenggelam. Jadi …
Starbucks Ciwalk. Dua kantung kopi (biji terpanggang) aku bawa ke dalam. Satu dari Jawa, satu dari Sulawesi. “Tolong digiling ya,” pintaku, “Dan jangan terlalu halus.” Senyuman riang menyambut pinta. “Bulan depan yang Sumatra datang,” kata Aa’ Barrista. Ya, akhirnya, si Siborong-borong akan datang :).
Apa yang dilakukan dengan kopi tak terlalu halus di rumah? Kan untuk membuat kopi rumahan ala Jawa, yang diperlukan adalah kopi halus? Memang. Kopi tubruk (caffè collizione *kidding*) perlu kopi halus. Tapi kopi rumahan GCC-51 menggunakan stove Bialetti Mokka. Cara membuatnya tetap sesederhana kopi tubruk, dan perlu kurang dari 5 menit (termasuk mencuci stove). Pemanasan tetap dari kompor yang itu juga. Stove ini sudah memiliki filter di dalamnya. Jadi diharapkan kopi yang masuk tidak terlalu halus. Jika terlalu halus, espresso yang dihasilkan kadang terlalu kental (sedap sih), tetapi kadang serbuk kopi masuk ke tempat yang tak diharapkan dan membuat efek audio yang tak menarik.
So, sore ini … Java espresso … sambil membayangkan Kopi Malang Sidomulyo, Pasar Klojen, Rampal, Bunul. Hey, sudah sempat lihat weblog-ku yang khusus membahas kopi? Alamatnya di nusantara.coffee. Kalau ada cerita dan apa pun tentang kopi, kirim cerita deh.
Buku The Starbucks Experience itu akhirnya bisa aku baca juga, versi Bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Esensi (Erlangga Group). Bukunya sendiri dalam banyak hal menggambarkan yang harus aku namai sebagai my Starbucks experience: prinsip yang merupakan gabungan dari persahabatan, surprise, dan hal2 lain yang memungkinkan sebuah industri tumbuh sambil tetap menjaga kehangatan hati. Yang menarik a.l. adalah bagaimana perusahaan ini harus menghadapi kritik atas kesalahan2 yang memang dilakukan perusahaan, tanpa harus berkelit atau semacamnya. Hm, sungguh menarik :).
Surprise ala Starbucks dikenakan baik pada customer setia maupun pengunjung baru :). Ke aku sendiri, wow, ada terlalu banyak surprise. Misalnya, ada mini mug berlogo Starbucks hijau, tempat kita menuang espresso. Itu tidak dijual. Tetapi sekarang dia terpajang rapi di rumah hijauku :). Sayangnya aku terikat janji untuk tidak menuliskan kisahnya :). Juga ada black apron Zambia Terranova yang belum resmi dijual di Indonesia, sudah tersimpan rapi di bawah meja.
Black Apron Exclusives, aku beberapa kali bercerita di sini, adalah edisi sangat khusus (karena memang ada edisi khusus yang biasa) berisi sampel unik dari satu tempat satu waktu dan satu kisah saja. Edisi pertama baru ada tahun 2004. Black apron pertama yang aku bahas di sini adalah Kopi Kampung dari Sapan dan Minanga, Sulawesi. Sejauh ini, kopi terkemas dalam warna tema hijau ini masih jadi kopi terenak yang pernah aku cicipi. Kemudian ada Ethiopia Gemadro, dan Zambia Terranova. Dan selajutnya akan dari Indonesia lagi: Sumatra Siborong-borong.
Danau Toba adalah danau vulkano-teknonik terbesar di dunia, terletak di Sumatra (pulau terbesar yang seluruhnya merupakan bagian dari Indonesia). Di pesisir selatannya terdapat kebun tempat kopi Sumatra terbaik ditanam. Di sana terdapat kota Siborong-borong, pada ketinggian di atas 1200m dpl. Para penduduk menanam kopi di halaman masing2. Setiap pagi para perempuan memetik biji kopi yang siap dipanen, dan langsung dijual pagi itu juga ke pasar setempat untuk mencegah kerusakan saat penyimpanan. Kopi unik dan langka ini konon memiliki keasaman rendah, namun rasa yang intens.
Konon? Iya — kan belum dicoba. Tapi ada satu cerita lagi tentang Starbucks. Kunjungan terakhir sebelum malam ini adalah sekitar 3 minggu lalu. Aku lagi down berat kena gejala awal asthma (yang dalam 2 minggu berikutnya bikin aku sempat bolos beberapa hari). Teh Chai di rumah habis, dan aku harus belanja sendiri ke Starbucks. Sang barrista, melihat aku yang kurang fit, menawari minum. Aku iyakan, tapi aku minta dia yang memilih. Aku lupa bagaimana rinciannya, tetapi akhirnya mereka membentuk semacam rapat kilat, diikuti 4 atau 5 orang, termasuk managernya. Dan akhirnya diputuskan aku harus minum teh peppermint :). Wow, itu membuatku bertahan hidup malam itu (haha). Sebetulnya hidup memang penuh surprise. Starbucks sekedar memperbanyaknya :).
Sebelum mulai dengan Java, kita mulai lagi dengan sejarah kopi. Terdapat sebuah versi lain sejarah kopi yang tidak melibatkan domba. Masih dari Ethiopia, kisah ini hanya dimulai dari Ali al-Shadili yang gemar meminum sari biji kopi untuk membuatnya tetap terjaga demi menjalankan shalat malam. Tak lama, kopi menjadi komoditas yang diekspor ke Eropa, terutama dari daerah Kaffa di Ethiopia. Orang Eropa menamainya mocha. Bijinya tidak boleh diekspor, kecuali sudah dalam keadaan terpanggang, dan tak dapat ditanam lagi. Tapi penyelundup selalu ada. Tak lama, penjajah di nusantara sudah mulai membudidayakan tanaman kopi di Jawa.
Di Jawa, kopi mula2 ditanam di sekitaran Jayakarta, meluas ke Jawa Barat, dan kemudian lebih diperluas ke Jawa Timur, serta kemudian ke luar Jawa. Varietasnya arabika. Sebuah pameran yang digelar di AS (dengan dana yang cukup besar, ditanggung industri kopi Jawa) membuat publik Amerika mulai mengenal kopi dan menjuluki minuman ini sebagai Java. Nusantara, khususnya Jawa, menjadi pengekspor kopi terbesar dan terbaik di dunia. Malangnya, terjadi wabah di tahun 1880an, yang memusnahkan kopi arabika yang ditanam di bawah ketinggian 1km dpl, dari Shri Lanka hingga Timor. Brasil dan Colombia mengambil alih peran sebagai eksportir kopi arabika terbesar, sampai kini. Sementara itu, varietas kopi di sebagian besar Jawa diganti dengan liberika. Tapi tak lama, wabah yang serupa memusnahkan varietas ini juga, sehingga akhirnya 90% kopi di Jawa diganti dengan varietas robusta, kecuali di tempat yang betul2 tinggi.
Setelah para penjajah didepak, kebun2 kopi dinasionalisasi dan/atau diprivatisasi. Adalah PTPN XII (a state-owned company) yang kini mengelola kopi yang disebut sebagai Java Estate. PTPN XII yang mengelola beberapa perkebunan di pegunungan Ijen (Jawa Timur) hingga kini tetap memelihara varietas arabika dengan kualitas amat tinggi. Kebun2nya terletak di Blawan (2500 Ha), Jampit (1500 Ha), Pancoer (400 Ha), dan Kayumas (400 Ha), dengan ketinggian antara 900 hingga 1600 m dpl. Hasil tahunan mencapai sekitar 4 ribu ton biji kopi hijau. 85% biji diekspor sebelum dipanggang. Kalau kebetulan menjenguk Starbucks di Bandung, dan mengamati ada sekantung kopi berlabel Java Estate, nah itulah kopi Jawa yang berkeliling dunia sebelum kembali ke negerinya.
Di dekat kawasan PTPN XII, terdapat juga perkebunan Kawisari dan Sengon, dengan luas 880 Ha, dan ketinggian lebih rendah dibandingkan kebun2 milik PTPN XII. Kopinya 95% robusta, dan sisanya arabika. Hasilnya banyak digunakan untuk industri kopi di sekitar Jawa Timur. Di Jawa Tengah, di kawasan Losari yang dikelilingi tak kurang dari 8 gunung berapi, terdapat juga perkebunan Losari (d/h Karangredjo). Losari dimiliki Gabriella Teggia, warga Italia yang sudah menetap di Indonesia sejak 1965.
Tahun 2003, Gabriella Teggia inilah yang menulis buku A Cup of Java bersama Mark Hanusz. Buku keren ini bercerita tentang sejarah kopi hingga masuk ke Jawa, tentang sejarah kopi di Jawa (termasuk tentang Multatuli dan Max Havelaar-nya), tentang Java Estate (dan menyinggung juga kopi2 keren lainnya: Mandailing Sumatra, Kalosi Toraja, dll), tentang kopi panggangan Jawa (termasuk Kopi Warung Tinggi Jakarta, Kopi Aroma Bandung, Kopi Kapal Api, dll), serta tentang budaya ngopi di Jawa. Di bagian Appendix, buku ini menampik mitos tentang Kopi Luwak.
Starbucks sempat menelepon minggu lalu, menawarkan dua kopi istimewa untuk edisi khusus bulan ini: satu dari Sulawesi, dan satu dari Papua. Sementara menunggu kopi2 rasa nusantara itu (ingat Kopi Kampung), kita nikmati hari ini dengan Kopi Malang.
Warta dari koran Il Giornale. Italia mencoba berjuang mempertahankan minuman legendarisnya melawan gaya internasional (yang biasanya dilambangkan dengan Starbucks). Negeri ini mengeluarkan sertifikasi atas resep cappuccino klasik. Cappuccino, menurut “Italy’s National Institute for Italian Espresso” haruslah berupa susu yang diuapkan di atas satu shot espresso. Kopi susu ala Italia ini kemudian hanya boleh disajikan dalam cangkir keramik (bukan kertas atau styrofoam). Oh ya, sebelumnya, institut ini juga telah mengeluarkan sertifikasi yang didukung pemerintah, tentang resep espresso. Dukungan dari pemerintah ini wajar, karena Italia telah menganggap minuman kopi sebagai budaya nasional. Kopi2 internasional pun masih selalu menyandang tata istilah perkopian Italia. Kopi tubruk, misalnya, haha. Hush.
Cappuccino versi Italia, berbeda dengan versi kebanyakan cafe di negeri kita, dapat langsung ditenggak dalam beberapa detik saja. Para purist cappuccino mengatakan bahwa cappuccino murni selalu meninggalkan jejak bekas susu di cangkir setelah minuman itu habis. Pun ketika diaduk, hasilnya semestinya bukanlah warna coklat hasil campuran yang halus, melainkan campuran yang masih memiliki batas antara warna kopi dengan warna susu.
Kata orang Italia sih, warna coklat muda kopi itu mirip dengan warna jubah yang dikenakan para rahib Capuchin Italia. Karena itulah dulu namanya jadi cappuccino.
Seorang sekutu, juga blogger fanatik, ternyata penggemar kopi. Entah siapa mulai, hampir setiap bercicip kopi, kami selalu saling berkirim SMS. Tidak pernah panjang. “Macchiato w/ double espresso. Sbux Ciwalk.” Cukup seperti itu. Atau kalau abdomen kurang ceria: “Latte decaf. Ibid.”
Tapi hari2 ini, travelling berjadwal padat: nyaris tak memungkinkan menikmati suasana kopi. Maka teks SMS mulai kacau. Kemarin: “Frapuccino botolan. Bandara Hang Nadim.” Mending bahwa malam2 pun ada Circle K yang mau jual Sbux botolan buat bekal. Pagi ini: “Nescafe hitam beracun. Ruang rapat Hotel Panotama.” Atau beberapa hari yang lalu: “Gemadro tanpa gula. Rumah.”
Sayangnya dua minggu lalu, si beliau lagi kelelahan, jadi berkelit dari kewajiban ngopi bareng di Dakken, Bandung.
Seorang rekan lain (yang nggak bakal doyan blogging) mengaku suka kopi. Kapal Api, katanya, adalah yang terenak di dunia. Itu tentu hak beliau. Tapi kadang doi bergaya sinis kalau diajak ke Sbux misalnya. “Apanya yang enak? Pahit!!!” Wakaka, cari kopi apa cari gula? Memang sih, beliau agak susah melihat sesuatu di luar jendela. Jalan2 ke luar negeri pun harus bawa beras sendiri dari tanah air, plus kompor mini. Bukan saja harus makan nasi, tapi harus nasi yang sama dengan nasi di rumah. Sementara, aku kalau ke luar malah bercita2 nggak makan nasi.
Balik ke Dakken lagi. Si Mas Budi Putra of Tempo ternyata punya hobbi lain yang afaik belum pernah ditulis di sederetan blog beliau: teh hijau. Dan teh hijau di sini tak mencakup satu pun teh celup, biarpun dijuduli high quality. Beliau juga menspesialisasikan kesukaan ke Teh Jepang. Ah, pantas saja.
Dengan teman2 aneh kayak gini, jangan2 aku bisa ketularan. Koleksi kopi di rumah bakal harus ditambahi dengan koleksi teh juga. Duh, gimana milihnya? Sementara itu, koleksi kopi sudah makin menipis. Hunting time. Atau begging time? Wakakaka :).
Gambar di atas: Foto2 Espresso dari Kafe Pisa, Le Petit Paris, Hotel Tugu, dan satu lagi lupa …
Undangan kali ini datang melalui telepon. Jadi Senin malam itu (beberapa minggu yang lalu) aku menculik Jeffrey untuk melupakan kantor dan datang ke Starbucks BIP. Ada dua lagi yang coba aku culik sih, tapi kelihatannya mereka nggak bisa melupakan kantor :). Acaranya perkenalan produk untuk holiday session peiode ini. Tapi kayaknya bukan sekedar perkenalan, kalau kita lihat bahwa malam itu meja kecil kami jadi penuh berisi belasan gelas kecil dan dua gelas besar yang semuanya bisa dikosongkan tepat waktu :). Dan tentu tidak setetespun yang dekaf :). Suasananya serba merah, kecuali Kartu Undangannya yang berbentuk pohon dan berwarna hijau (kartu diambil di tempat).
Minggu berikutnya, bearista (sebelum pada jadi beruang, namanya barrista) kita bertelepon lagi. Kali ini bercerita tentang Black Apron terbaru. Barangkali dia ingat bahwa aku selalu memuji Black Apron edisi sebelumnya: Kopi Kampung dari Sapan dan Minanga di Sulawesi itu. Jadi dia nggak pingin aku ketinggalan rilis yang ini: Ethiopia Gemadro Estate. Aku culik Yani untuk menemani mengambil benda ajaib ini (cuman disuap secangkir latte sahaja). Sekalian Yani bernostalgia tentang Starbucks di Changi tempat dia sering ketiduran waktu belajar malam2, sampai pagi.
Nice try, Starbucks. Tapi Gemadro belum bisa mengalahkan Kopi Kampung. Memang sih, rasanya masih mengesankan. Beda dengan edisi Ethiopian Sidamo. Lebih mirip edisi Rift Valley. Pas untuk mulai mengisi pagi2 di Bandung yang nyaris mulai selalu kelabu ini dengan sedikit nuansa cerah dan optimisme.
Aku nggak pernah bercita2 jadi evangelist kopi sih :). Tapi memang kadang terlalu semangat kalau sedang berkisah tentang kopi. Itu kali sebabnya para bearista betah punya tamu kayak aku. Tapi, seperti yang Mas Budi Putra bilang, kopi aku nikmati bukan cuma dari rasanya, tetapi dari suasananya: pemandangan di sekitarnya, kehangatan persahabatan, dan kisah2 menarik yang terakumulasi sebagai latar belakang semuanya.
Dan tulisan ini disusun sambil ditemani segelas … teh oolong. Tanpa gula, tentu.