Page 79 of 210

Overcaffeinated

Hmmmm … jadi overcaffeinated gini …

Ya nih … abis kelelahan tanpa henti dan tekanan darah yang nggak stabil … trus diundang rapat …. jadi ambil secangkir kopi lagi ….

Trus … malah jadi berlompatan … dan ide-ide jadi amat sangat sporadik. Dahsyat dan kreatif sebenernya, tapi sporadik ..l.

Must control …

Kaum Lugu

Wagner, kalau masih ingat nama ini, akhirnya tega membakar Siegfried. Dan kemudian juga Brunnhilde. Si manusia lugu yang dikorbankan untuk menjadi pahlawan yang selalu kesepian dan selalu penuh tanya, akhirnya jatuh di tangan kaum kerdil. Di tangan kaum kerdil yang sama lugunya dan sama-sama terkorbankannya oleh skenario para dewa sok tahu dari Valhalla itu; bukan di tangan kaum raksasa yang selalu mudah dihancurkan oleh tangan perkasa dari hati yang bersih itu.

Wagner, memang sebenarnya jarang menggunakan peperangan sebagai penanda kegagahan dan kegigihan kemanusiaan. Alih-alih, perang nyaris selalu jadi tragedi ketidakmampuan mengatasi realita dengan cara yang cerdas.

Namun perang sendiri merupakan realita. Apakah kita cukup cerdas untuk mengatasi apa yang tersisa dari sampah kebodohan manusia itu, atau kita justru ikut terkusutkan di dalamnya. Cincin Nibelung akhirnya hanya kembali ke pemiliknya … para peri sungai. Berlaksa perang, lengkap dengan kebodohan kisah kepahlawanan serta tragedi di dalamnya, tidak pernah ada maknanya, dan seolah tak pernah terjadi bagi mereka.

Menatap Mars

Melototin Mars, nyaris tiap malam (sambil pulang kemalaman) bikin aku terpaksa berpikir: kenapa manusia purba menganggap Mars adalah simbol perang? Apa warnanya yang merah itu yang jadi soal?

Aku melaju di bawah bintang2, dan membayangkan manusia jaman dulu yang setiap kali pergi jauh selalu menemui makhluk baru, manusia baru, cara hidup baru. Lalu mereka menengadah ke atas, membayangkan: ada apa di tempat bercahaya di atas sana? Ada makhluk lain? Manusia lain? Bagaimana cara mereka bisa ke sana? Terbang? Saktikah mereka? Bagaimana cara mereka hidup? Apa yang bisa mereka lakukan pada kita? Lalu terciptalah mitos2.

Simfoni “The Planets” dari Holst diawali dengan Mars, masih dipaksa melambangkan perang. Tapi bahkan simfoni itu pun tidak bisa aku bayangkan sebagai penggambaran perang. Sama mustahilnya dengan membayangkan Mars sebagai simbol perang. Alam adalah harmoni … alam menentang peperangan dan kebodohan lainnya.

Mars Mendekat

Berapa minggu ini, kita bisa melihat Mars dengan jelas, terutama di malam-malam yang dingin tanpa awan atau kabut penahan panas. Waktu terbit setelah matahari tenggelam, kita tidak akan merasa melihat Mars. Kalau kita di jalan, kita barangkali merasa sedang melihat lampu tower. Tapi lama-lama tinggi bener. Kalau langit lagi sangat bersih, terangnya bisa dibilang menakutkan. Nggak alami. Kayak bintang yang terlalu besar, lengkap dengan garis-garis menyala.

Kapan sih manusia terakhir kali bisa beruntung melihat Mars sedekat ini ?

Web Mr Dhani (klik di sini) menyebutkan bahwa Mars akan mencapai titik terdekat dengan bumi sekitar bulan depan. Dan pada waktu itu, Mars dalam posisi terdekat dengan bumi sepanjang sejarah peradaban manusia. How lucky you are, guys …

Again …

Les Ecrivains

Tapi barangkali menulis pun bisa dibilang semacam pengkhianatan. Kita menyimpan paksa fragmen-fragmen dalam pikiran yang sesungguhnya dinamik ini, ke dalam interpretasi yang jadi statik.

Menulis juga bisa dibilang semacam candu. Kita tahu sedang berkhianat. Kita juga tahu kita tidak punya waktu banyak. Kesempatan sungguh sempit terjepit kegiatan yang membanjir tanpa ampun. Tapi kita terus menulis dan menulis.

Relasi Etika

Lho … kenapa kita harus menyusun sebuah relasi etika? Karena kita anggap, kalau sesuatu itu bersesuaian dengan alam, maka kita anggap bahwa dia bersesuaian dengan kehendak sang penyusun alam tanpa tapis hawa nafsu dan pengingkaran, dan dengan demikian kita lebih layak menyesuaikan diri dengannya.

Tapi seandainyapun kamu nggak setuju dengan hal itu, prinsip “menganut hal-hal yang bertentangan” itu juga secara otomatis akan membenarkan ketidaksetujuan itu. Rasain!

Eksperimen Celah Ganda 1990

Interpretasi Bohr atas teori kuantum (atau lebih sering dinamakan sebagai Interpretasi Kopenhagen, dengan huruf besar) adalah dengan menganggap bahwa foton, atau elektron, atau apa pun dalam skala kuantum, akan menampilkan sifat gelombangnya (dan menafikkan sifat materinya) pada saat diamati sebagai gelombang, dan akan menampilkan sifat materinya (sambil menyembunyikan sifat gelombangnya) pada saat diamati sebagai materi.

Tapi pada tahun 1990-an, disusun sebuah eksperimen sekedar buat menggoda interpretasi ini. Para experimenter menyusun semacam celah ganda juga. Bukan dalam bentuk celah fisik, tapi dalam bentuk fiber optik. Dan dipasang berurutan bercabang-cabang.

Hasilnya: dalam satu kali pengamatan, si foton dapat menampilkan diri sebagai gelombang dan materi sekaligus.

Relasi etika interpretasi Bohr selalu dianut dalam website ini, yaitu: jika dua pernyataan bertentangan, bukan berarti salah satu harus salah. Tapi si experimenter iseng memaksa kita mengubah soal ini juga: bukan saja dua pernyataan bertentangan bisa benar keduanya, tapi juga boleh kita anut keduanya :).

Raison d’Etre

Nama Catatan Lepas enaknya didefinisikan secara fisika juga, jadi “catatan yang nggak menarik dan juga nggak mendorong.”

Tapi kenapa sih catatan ini harus ada? Apa emang manusia punya fitrah untuk menulis? Kenapa kita justru menginvestasikan waktu untuk membuat tulisan carut marut di sini, bukannya menghabiskan waktu untuk ke luar ruang dan belajar dari semesta? Pilihan yang menarik :), kalau kita lagi punya kesempatan buat ke luar, haha :). OK, sementara kita cuma bisa berada di sini, ya udah … ini lah yang kita lakukan.

Tulisan yang berikut ini bukan berasal dari komunikasi.org, biarpun sekarang bisa dilihat di sana. Pertama kali online waktu aku tulis di email buat Isnet, dan beberapa tahun sebelumnya udah jadi kata pengantar buat buku aku yang terbit di Malang:


Dari “simbol” penciptaan manusia (QS Al-Baqarah 30-33), kita dapat mengkaji definisi manusia sebagai makhluk yang mengenal simbol. Tes perbandingan manusia vs malaikat di sana menunjukkan bahwa keunggulan manusia dibandingkan dengan malaikat (makhluk berakal lainnya) adalah kemampuannya merepresentasikan benda kepada suatu simbol. Ia bisa menamai dan mengenali melalui nama.

Dengan pembentukan dan pengolahan simbol (informasi), manusia memiliki kemampuan menamai dan mengkonsepkan benda abstrak, tindakan, dan segala yang terletak di luar jangkauannya: ruang yang jauh, keluasan semesta, kedalaman dunia zarrah, masa lalu, dan masa depan. Ia merangkaikan simbol, mengeksplorasi pengetahuan, dan menyusun kearifan. Informasi menjadi titik kekuatan manusia, yang menjadikannya makhluk paling mulia. Dan kekuatan utama informasi adalah kemampuannya untuk diperkuat melalui pertukaran, atau komunikasi.

Dengan komunikasi, manusia memahami ajaran Tuhannya dan melaksanakan sebagian besar perannya di dunia. Atas fitrah yang dianugerahkan Tuhannya, manusia kemudian menciptakan piranti-piranti penyimpan informasi. Tulisan. Dengan tulisan, pengetahuan manusia dikomunikasikan menyeberangi ruang yang jauh, dan diakumulasikan mengarungi rentang waktu yang panjang. Terbayangkah pengetahuan kita yang seluas ini tanpa tulisan?

Maka, Muhammad (saw), Rasul yang terakhir, dideklarasikan sebagai Rasul dengan perintah pertama: “Bacalah!”. Jadilah masyarakat informasi yang menerima akumulasi pengetahuan dan kearifan dari masyarakat-masyarakat dari berbagai penjuru ruang dan waktu. Itulah cara kita hidup kita.

Bukan soal menarik atau mendorong. Sekedar menjalankan hidup apa adanya sesuai fitrah.

Simplicity

Tiga tahun usia “Catatan Lepas” ini, dengan Blogger yang menggantikan tailor-made weblog script kuno itu.

Hari ini aku mau menulis ulang sesuatu yang udah aku tulis nyaris 3 tahun yang lalu:

Sebenernya simplicity bukanlah persepsi dari realitas atau situasi yang kita hadapi sehari-hari, atau secara tajam: bukan penerapan dari kenaifan. Simplicity haruslah merupakan keputusan yang diambil setelah memahami complexity yang ada di belakangnya, di sekelilingnya, dan yang mendasarinya.

Trus bentuklah kesederhanaan dengan kearifan Anda, nikmatilah, dan hiduplah “apa adanya” …

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑