Page 79 of 210

Mengintip Mars

Akhirnya … tanpa iringan simfoni dari Holst … jadi juga kita ngintip Mars dari Bosscha. Kasihan juga sih, para bujangan2 itu Malam Minggu bukannya cari prospek, malah ikutan ngintipin planet di tempat gelap di pelosok Lembang. Tapi biar aja deh, biar hidup mereka jadi variatif, haha :).

Mars yang sekilas tampak merah kekuningan, dari teropong itu jadi lebih jelas warna merah kekuningannya. Lengkap dengan kutub yang putih cemerlang. Phobos dan Deimos nggak keliatan sama sekali. Terlalu kecil, kata mas yang jaganya.

Setelah tahun ini, baru 284 tahun lagi Mars dalam posisi cukup dekat dengan bumi.

Waktu kita turun, mendung menutupi langit lagi, kayak waktu berangkat tadi. Di Setiabudi, mobil disetop segerombolan polisi. Dari mana Mas? tanya salah satu polisi. Dari Bosscha, jawab aku, Lihat bintang. Dia belum puas, trus nanya, Bintang apa?. Kenapa tadi aku bilang bintang ya ?

JW Mariott

Lucu juga. Dengan 15000 poin, kita boleh nginep semalam di Santika. Dengan 57000 poin, kita boleh nginep semalam di Hotel JW Mariott. Emang secanggih apa sih Mariott?

Pingin iseng2 ngintip ke sana, pikir aku bulan kemaren.

Ternyata ada yang punya ide lebih jauh dari itu hari ini. Dan ternyata ide yang dia bawa sama sekali bukan ide yang lucu.

Kalau bukan lucu, apa? Ide konyol, goblog, dungu, bebal, suram, dan kufur sepenuhnya.

Coffee Howto

reality: n. something to be tampered with only after several cups of coffee.

  1. Always store roasted coffee beans in a sealed container. Do not store in refrigerator or freezer.—–Shelf life is about two weeks for roasted beans.
  2. Use the correct coffee/water ratio.—–The standard coffee ratio is 2 level teaspoons per 6 ounces of water.
  3. Start with freshly roasted coffee.—–Without reservation, freshly roasted coffee provides for a smooth, rich flavor.
  4. Grind the beans just prior to brewing.—–The flavor and aroma are released at this point.
  5. Make sure the pot is very clean.—–Residues of soap, hard water or old oils may adversely affect the taste of your brew.
  6. Use good tasting water.—–Bottled water works great!
  7. For the best coffee flavor, filter with nonreactive metal or glass.—–Use a stainless steel or gold mesh filter, a vacuum-style pot or an expresso maker.
  8. Drink your freshly brewed coffee right away.—–Don’t let the rich flavor of freshly brewed coffee go to waste!

Merdeka

Independence Day, katanya, hari ini.

Akhirnya … Ariawest bukannya didepak … tapi diakuisisi penuh oleh Telkom (masih NYSE:TLK sampai hari ini), dan dewan komisaris dan direksinya diisi sepenuhnya oleh Telkom … dengan pesan untuk mengganti keculasan bisnis masa lalu dengan elegansi bisnis gaya abad ke-21.

Bisa ?

Wah, orang2 Telkom Jawa Barat baru bangun tidur. Belum juga mandi, belum sarapan. Udah deh, nggak pakai mandi juga nggak pa-pa. Kerja masih panjaaaaaaaaaaaaang.

Overcaffeinated

Hmmmm … jadi overcaffeinated gini …

Ya nih … abis kelelahan tanpa henti dan tekanan darah yang nggak stabil … trus diundang rapat …. jadi ambil secangkir kopi lagi ….

Trus … malah jadi berlompatan … dan ide-ide jadi amat sangat sporadik. Dahsyat dan kreatif sebenernya, tapi sporadik ..l.

Must control …

Kaum Lugu

Wagner, kalau masih ingat nama ini, akhirnya tega membakar Siegfried. Dan kemudian juga Brunnhilde. Si manusia lugu yang dikorbankan untuk menjadi pahlawan yang selalu kesepian dan selalu penuh tanya, akhirnya jatuh di tangan kaum kerdil. Di tangan kaum kerdil yang sama lugunya dan sama-sama terkorbankannya oleh skenario para dewa sok tahu dari Valhalla itu; bukan di tangan kaum raksasa yang selalu mudah dihancurkan oleh tangan perkasa dari hati yang bersih itu.

Wagner, memang sebenarnya jarang menggunakan peperangan sebagai penanda kegagahan dan kegigihan kemanusiaan. Alih-alih, perang nyaris selalu jadi tragedi ketidakmampuan mengatasi realita dengan cara yang cerdas.

Namun perang sendiri merupakan realita. Apakah kita cukup cerdas untuk mengatasi apa yang tersisa dari sampah kebodohan manusia itu, atau kita justru ikut terkusutkan di dalamnya. Cincin Nibelung akhirnya hanya kembali ke pemiliknya … para peri sungai. Berlaksa perang, lengkap dengan kebodohan kisah kepahlawanan serta tragedi di dalamnya, tidak pernah ada maknanya, dan seolah tak pernah terjadi bagi mereka.

Menatap Mars

Melototin Mars, nyaris tiap malam (sambil pulang kemalaman) bikin aku terpaksa berpikir: kenapa manusia purba menganggap Mars adalah simbol perang? Apa warnanya yang merah itu yang jadi soal?

Aku melaju di bawah bintang2, dan membayangkan manusia jaman dulu yang setiap kali pergi jauh selalu menemui makhluk baru, manusia baru, cara hidup baru. Lalu mereka menengadah ke atas, membayangkan: ada apa di tempat bercahaya di atas sana? Ada makhluk lain? Manusia lain? Bagaimana cara mereka bisa ke sana? Terbang? Saktikah mereka? Bagaimana cara mereka hidup? Apa yang bisa mereka lakukan pada kita? Lalu terciptalah mitos2.

Simfoni “The Planets” dari Holst diawali dengan Mars, masih dipaksa melambangkan perang. Tapi bahkan simfoni itu pun tidak bisa aku bayangkan sebagai penggambaran perang. Sama mustahilnya dengan membayangkan Mars sebagai simbol perang. Alam adalah harmoni … alam menentang peperangan dan kebodohan lainnya.

Mars Mendekat

Berapa minggu ini, kita bisa melihat Mars dengan jelas, terutama di malam-malam yang dingin tanpa awan atau kabut penahan panas. Waktu terbit setelah matahari tenggelam, kita tidak akan merasa melihat Mars. Kalau kita di jalan, kita barangkali merasa sedang melihat lampu tower. Tapi lama-lama tinggi bener. Kalau langit lagi sangat bersih, terangnya bisa dibilang menakutkan. Nggak alami. Kayak bintang yang terlalu besar, lengkap dengan garis-garis menyala.

Kapan sih manusia terakhir kali bisa beruntung melihat Mars sedekat ini ?

Web Mr Dhani (klik di sini) menyebutkan bahwa Mars akan mencapai titik terdekat dengan bumi sekitar bulan depan. Dan pada waktu itu, Mars dalam posisi terdekat dengan bumi sepanjang sejarah peradaban manusia. How lucky you are, guys …

Again …

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑