Page 79 of 210

Menatap Mars

Melototin Mars, nyaris tiap malam (sambil pulang kemalaman) bikin aku terpaksa berpikir: kenapa manusia purba menganggap Mars adalah simbol perang? Apa warnanya yang merah itu yang jadi soal?

Aku melaju di bawah bintang2, dan membayangkan manusia jaman dulu yang setiap kali pergi jauh selalu menemui makhluk baru, manusia baru, cara hidup baru. Lalu mereka menengadah ke atas, membayangkan: ada apa di tempat bercahaya di atas sana? Ada makhluk lain? Manusia lain? Bagaimana cara mereka bisa ke sana? Terbang? Saktikah mereka? Bagaimana cara mereka hidup? Apa yang bisa mereka lakukan pada kita? Lalu terciptalah mitos2.

Simfoni “The Planets” dari Holst diawali dengan Mars, masih dipaksa melambangkan perang. Tapi bahkan simfoni itu pun tidak bisa aku bayangkan sebagai penggambaran perang. Sama mustahilnya dengan membayangkan Mars sebagai simbol perang. Alam adalah harmoni … alam menentang peperangan dan kebodohan lainnya.

Mars Mendekat

Berapa minggu ini, kita bisa melihat Mars dengan jelas, terutama di malam-malam yang dingin tanpa awan atau kabut penahan panas. Waktu terbit setelah matahari tenggelam, kita tidak akan merasa melihat Mars. Kalau kita di jalan, kita barangkali merasa sedang melihat lampu tower. Tapi lama-lama tinggi bener. Kalau langit lagi sangat bersih, terangnya bisa dibilang menakutkan. Nggak alami. Kayak bintang yang terlalu besar, lengkap dengan garis-garis menyala.

Kapan sih manusia terakhir kali bisa beruntung melihat Mars sedekat ini ?

Web Mr Dhani (klik di sini) menyebutkan bahwa Mars akan mencapai titik terdekat dengan bumi sekitar bulan depan. Dan pada waktu itu, Mars dalam posisi terdekat dengan bumi sepanjang sejarah peradaban manusia. How lucky you are, guys …

Again …

Les Ecrivains

Tapi barangkali menulis pun bisa dibilang semacam pengkhianatan. Kita menyimpan paksa fragmen-fragmen dalam pikiran yang sesungguhnya dinamik ini, ke dalam interpretasi yang jadi statik.

Menulis juga bisa dibilang semacam candu. Kita tahu sedang berkhianat. Kita juga tahu kita tidak punya waktu banyak. Kesempatan sungguh sempit terjepit kegiatan yang membanjir tanpa ampun. Tapi kita terus menulis dan menulis.

Relasi Etika

Lho … kenapa kita harus menyusun sebuah relasi etika? Karena kita anggap, kalau sesuatu itu bersesuaian dengan alam, maka kita anggap bahwa dia bersesuaian dengan kehendak sang penyusun alam tanpa tapis hawa nafsu dan pengingkaran, dan dengan demikian kita lebih layak menyesuaikan diri dengannya.

Tapi seandainyapun kamu nggak setuju dengan hal itu, prinsip “menganut hal-hal yang bertentangan” itu juga secara otomatis akan membenarkan ketidaksetujuan itu. Rasain!

Eksperimen Celah Ganda 1990

Interpretasi Bohr atas teori kuantum (atau lebih sering dinamakan sebagai Interpretasi Kopenhagen, dengan huruf besar) adalah dengan menganggap bahwa foton, atau elektron, atau apa pun dalam skala kuantum, akan menampilkan sifat gelombangnya (dan menafikkan sifat materinya) pada saat diamati sebagai gelombang, dan akan menampilkan sifat materinya (sambil menyembunyikan sifat gelombangnya) pada saat diamati sebagai materi.

Tapi pada tahun 1990-an, disusun sebuah eksperimen sekedar buat menggoda interpretasi ini. Para experimenter menyusun semacam celah ganda juga. Bukan dalam bentuk celah fisik, tapi dalam bentuk fiber optik. Dan dipasang berurutan bercabang-cabang.

Hasilnya: dalam satu kali pengamatan, si foton dapat menampilkan diri sebagai gelombang dan materi sekaligus.

Relasi etika interpretasi Bohr selalu dianut dalam website ini, yaitu: jika dua pernyataan bertentangan, bukan berarti salah satu harus salah. Tapi si experimenter iseng memaksa kita mengubah soal ini juga: bukan saja dua pernyataan bertentangan bisa benar keduanya, tapi juga boleh kita anut keduanya :).

Raison d’Etre

Nama Catatan Lepas enaknya didefinisikan secara fisika juga, jadi “catatan yang nggak menarik dan juga nggak mendorong.”

Tapi kenapa sih catatan ini harus ada? Apa emang manusia punya fitrah untuk menulis? Kenapa kita justru menginvestasikan waktu untuk membuat tulisan carut marut di sini, bukannya menghabiskan waktu untuk ke luar ruang dan belajar dari semesta? Pilihan yang menarik :), kalau kita lagi punya kesempatan buat ke luar, haha :). OK, sementara kita cuma bisa berada di sini, ya udah … ini lah yang kita lakukan.

Tulisan yang berikut ini bukan berasal dari komunikasi.org, biarpun sekarang bisa dilihat di sana. Pertama kali online waktu aku tulis di email buat Isnet, dan beberapa tahun sebelumnya udah jadi kata pengantar buat buku aku yang terbit di Malang:


Dari “simbol” penciptaan manusia (QS Al-Baqarah 30-33), kita dapat mengkaji definisi manusia sebagai makhluk yang mengenal simbol. Tes perbandingan manusia vs malaikat di sana menunjukkan bahwa keunggulan manusia dibandingkan dengan malaikat (makhluk berakal lainnya) adalah kemampuannya merepresentasikan benda kepada suatu simbol. Ia bisa menamai dan mengenali melalui nama.

Dengan pembentukan dan pengolahan simbol (informasi), manusia memiliki kemampuan menamai dan mengkonsepkan benda abstrak, tindakan, dan segala yang terletak di luar jangkauannya: ruang yang jauh, keluasan semesta, kedalaman dunia zarrah, masa lalu, dan masa depan. Ia merangkaikan simbol, mengeksplorasi pengetahuan, dan menyusun kearifan. Informasi menjadi titik kekuatan manusia, yang menjadikannya makhluk paling mulia. Dan kekuatan utama informasi adalah kemampuannya untuk diperkuat melalui pertukaran, atau komunikasi.

Dengan komunikasi, manusia memahami ajaran Tuhannya dan melaksanakan sebagian besar perannya di dunia. Atas fitrah yang dianugerahkan Tuhannya, manusia kemudian menciptakan piranti-piranti penyimpan informasi. Tulisan. Dengan tulisan, pengetahuan manusia dikomunikasikan menyeberangi ruang yang jauh, dan diakumulasikan mengarungi rentang waktu yang panjang. Terbayangkah pengetahuan kita yang seluas ini tanpa tulisan?

Maka, Muhammad (saw), Rasul yang terakhir, dideklarasikan sebagai Rasul dengan perintah pertama: “Bacalah!”. Jadilah masyarakat informasi yang menerima akumulasi pengetahuan dan kearifan dari masyarakat-masyarakat dari berbagai penjuru ruang dan waktu. Itulah cara kita hidup kita.

Bukan soal menarik atau mendorong. Sekedar menjalankan hidup apa adanya sesuai fitrah.

Simplicity

Tiga tahun usia “Catatan Lepas” ini, dengan Blogger yang menggantikan tailor-made weblog script kuno itu.

Hari ini aku mau menulis ulang sesuatu yang udah aku tulis nyaris 3 tahun yang lalu:

Sebenernya simplicity bukanlah persepsi dari realitas atau situasi yang kita hadapi sehari-hari, atau secara tajam: bukan penerapan dari kenaifan. Simplicity haruslah merupakan keputusan yang diambil setelah memahami complexity yang ada di belakangnya, di sekelilingnya, dan yang mendasarinya.

Trus bentuklah kesederhanaan dengan kearifan Anda, nikmatilah, dan hiduplah “apa adanya” …

Nggak Ajaib

Aku serius waktu bilang bahwa gejala2 kuantum itu bukan keajaiban. Kalaupun dianggap keajaiban, itu sama ajaibnya dengan gejala2 alam lainnya, kayak warna langit yang biru itu. Tapi Wheeler memang suka iseng bikin statement yang ajaib2 untuk memicu kita meluruskan pola pikir terhadap mekanika kuantum.

Wheeler mengingatkan lagi atas ketidakajaiban “delayed choice” ini. Misalkan, katanya, ada galaksi sekian juta tahun cahaya dari bumi, yang massanya besar sehingga gravitasinya mengakibatkan timbulnya efek lensa atas partikel (termasuk foton) yang dikirimkan dari benda2 kosmik (misalnya kuasar) di belakangnya ke bumi.

Di bumi, kita bisa mengukur radiasi yang dikirimkan si kuasar, dan mengamati polanya. Jangan lupa, efek lensa membuat kuasar seolah2 berjumlah lebih dari 1, dilihat dari bumi. Jadi kita bisa mengukur radiasi yang diterima dari “tiap2 kuasar”. Selanjutnya … coba pikir … radiasi itu memiliki probabilitas arah, sehingga memiliki probabilitas lintasan, sebelum kita amati dari bumi. Setelah kita amati … probabilitas mewujud jadi fakta. Faktanya apa?

Faktanya … apakah kuantum radiasi itu memilih menjadi gelombang atau partikel pada saat menentukan lintasannya dan lintasan mana yang dipilih oleh kuantum radiasi itu … semuanya tergantung apakah kita di bumi (sekian juta tahun setelah terjadinya pemancaran) melakukan pengamatan terhadap radiasi itu.

Soalnya … kembali menurut Wheeler dan Feynman sekian tahun sebelumnya, yang mengambil dasar dari teori Einstein, daya pengatur semesta (yang bukan malaikat tapi cuman foton dan sebangsanya) itu tidak hidup dalam dimensi waktu. Trus di sini kita bisa meneruskan dengan David Böhm atau dengan superstring, kalau punya waktu (apapun itu waktu).

Detektor Setengah Celah

Yuk ah … kita ngobrolin makhluk-makhluk dalam skala kuantum lagi :), nerusin cerita tahun 2001. Kalimatnya sengaja dibikin seolah2 si obyek benar2 punya perasaan dan punya karakteristik ganda — hal yang tidak akan diakui fisikawan kuantum masa kini.

Waktu itu eksperimen fisika kuantum, termasuk eksperimen dalam celah ganda, masih dalam bentuk eksperimen pikiran. Kalau foton (atau juga elektron) dipancarkan satu butir demi satu butir, ke celah ganda, maka ia akan berinterferensi, dan pola interferensinya teramati pada layar di belakang celah. Namun kalau pada setiap celah kita memasang detektor, maka pada setiap pancaran sebutir foton (atau elektron), hanya satu detektor yang mendeteksi adanya foton (atau elektron) yang melaluinya, dan secara ajaib pola pada layar berubah, tidak lagi menampilkan pola interferensi, melainkan pola seperti kalau ada bola yang dilemparkan melalui celah ganda. Foton (dan elektron) tahu bahwa ada kita yang melakukan pengamatan, dan mengubah karakteristiknya sesuai apa yang dimaui pengamat. OK, ini cerita lama. Eksperimen macam ini baru dibuktikan dalam bentuk fisik sekitar tahun 1980-an dan 1990-an.

Wheeler menambahkan suatu keajaiban lain dalam eksperimen itu. Kalau kita memasang detektor setelah celah, katanya, dan memutuskan untuk mematikan atau menghidupkan detektor itu setelah foton (atau elektron) melalui celah, apa yang akan terjadi?

Pola pada layar akan selalu menyesuaikan dengan apakah detektor dipasang atau tidak. Jadi apakah foton (atau elektron) tunggal dapat berinteraksi tergantung pada apakah detektor hidup atau mati. Tapi di mana foton (atau elektron) berpisah (kalau ia jadi gelombang) atau tidak berpisah (kalau ia jadi materi) ? Di celah, yang dilewati foton (atau elektron) waktu detektor belum diputuskan untuk hidup atau mati.

Wheeler menamakan gejala ini “delayed choice”.

Tentu tidak aneh, kalau kita bayangkan bahwa menurut Wheeler dan Feynman kemudian, bahwa foton dan segala interaksi selalu merambat dalam waktu + dan waktu – sekaligus. Tapi yang lebih umum dijadikan penjelasan adalah bahwa entitas yang kita namakan “ada foton” dan “ada elektron” itu sepenuhnya gejala matematis, yang jadi ada (mewujud) karena formulanya benar (konsisten dengan pengamat). Dan perwujudan akhirnya tentu menyesuaikan diri dengan konfigurasi lingkungan totalnya. Dan begitulah hasilnya.

Eksperimen dalam bayangan Wheeler ini benar2 dilaksanakan secara fisik pada pertengahan tahun 1980-an, secara terpisah di München dan Maryland, dengan hasil tepat seperti yang dibayangkan Wheeler.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑