Dan kalau masih penasaran secara cerdas sama cerita2 Ridley, sila baca artikel dari H Allen Orr, bertajuk What’s Not in Your Genes, yang membahas buku Matt Ridley yang terakhir, Nature via Nurture: Genes, Experience, and What Makes Us Human. Baca sendiri, OK? Lagi banyak kerjaan nih, udah lewat tengah malam gini …
Page 76 of 210
OK, yang ini untuk yang protes abis baca catatan lepas tentang Red Queen. Sekali lagi, ini bukan jurnal atau diary. Ini Catatan Lepas, tempat aku menuangkan gagasan2 sporadik (yang tentu saja, sesuai mood aku, nggak harus selalu sporadik). Aku dapat buku baru yang bagus, baca sekilas di Kereta, nulis apa yang terbayang abis baca 3 jam di Kereta (belum setengah buku). Dan yang terbayang tentu bukan apa yang terbaca, tapi juga apa yang pernah terbaca, terpikirkan, atau apa pun, termasuk deretan pohon singkong berbaris di perbukitan. Jadi kapan aku menyelesaikan ulasan buku itu … itu udah selesai. Kapan2 aku tulis soal lain yang barangkali ada hubungannya sama buku itu, kalau punya gagasan yang kebetulan nyerempet ke situ.
Dan soal Tuhan … aku masih berpikir, bahwa kalau Tuhan kita memiliki sistem logika dan operasional yang masuk dengan lembut dan manisnya ke sistem logika kita … kayaknya kita perlu ganti Tuhan. Kita sedang menatap Tuhan yang salah — yang telah tertundukkan oleh sistem operasi yang kita buat (Linux misalnya, hehe).
Jadi sambil terus menikmati bagaimana Allah memperkenalkan kebesaran-Nya, keanggunan-Nya, dan senyuman abadi-Nya dalam alur hidup kita dan semesta di dalamnya :), kita terus berusaha merendah bahwa kita tetap hanyalah makhluk kecil mungil di hadapan-Nya.
Baru baca statistik kunjungan di amazon.com (yup, yang itu). Ternyata … 6% dari trafik ke second-level domain co.ro, jatuh ke kun.co.ro.
Memang sih, trafik di Rumania nggak serame di Indonesia. Kayaknya nic.ro harus nambah customer nih. Kalo ntar bangkrut, kan domain kun.co.ro ikutan ilang. Aku harus ngungsi ke mana?
Jadi … sekalian iklan … yang berminat punya domain kayak mai.sa.ro atau pan.co.ro atau franco.ne.ro atau bahkan z.or.ro, silakan pesan ke nic.ro … cukup €14 per tahun. Buruan gih, sebelum keduluan orang jail :).
Cuplikan para filsuf:
- Nietzsche sudah mati.
- Marxisme adalah candu masyarakat.
- Einstein tidak pernah bermain dadu.
- Gusdur tidak perlu dibela (he-he).
Matahari, dipotret dari posisi yang sama, pada jam yang sama, di suatu titik di kutub utara, 34 kali dalam satu tahun …
“Biar mahal kayak setan, akhirnya terpaksa beli juga,” gitu kata seorang rekan senior, jaman aku di LEN dulu. Sebagai mahasiswa praktek yang lagi giat belajar dan banyak menimba ilmu, aku langsung menyerap fakta bahwa memang setan itu mahal.
Tapi ternyata si boss punya koleksi sifat-sifat setan yang lain.
“Gila tu sopirnya. Ngebut kayak setan.”
“Di Kiaracondong, macetnya kayak setan. Lampunya aja nggak keliatan.”
“Mana udaranya panasnya kayak setan.”
Jadi, akhirnya aku belajar bahwa setan memiliki sifat: panas, mahal, macet, dan ngebut. Nah lo, gimana caranya dia bisa macet dan ngebut sekaligus? Bisa lah. Namanya juga setan.
Udah ah, nggak usah dipikirin. Ntar malah pabaliut kayak …
Mailku dimata-matai.
Setidaknya, dua dari sekian mailbox-ku ketahuan suka dibaca-baca orang secara massal. Satu di Tiscali dan satu di Komunikasi. Kalau mail-mail itu aku download dengan Eudora, nggak ada sama sekali tanda-tanda yang mencurigakan. Tapi kalau dibaca sebagai webmail (dengan Horde misalnya), keliatan bahwa sebagian besar mail-mail itu pernah dibaca sebelumnya. Semua mail sebelum waktu tertentu.
Ini bukan penyusupan via web. Mail-mail itu kelihatannya diload dengan POP client.
Siapa sih yang iseng membacai mail-mailku? Manusia atau robot?
Akhirnya, daripada bertaruh dengan beli buku Richard Dawkins yang hurufnya mungil dan nggak nyaman dibaca di sembarang tempat (kesannya kayak nerd bener), aku beli aja buku Matt Ridley lagi: The Red Queen. Buku Ridley yang lain, Genome, memang terlalu menarik, sampai akhirnya bikin kita menyesal bahwa manusia cuma punya 23 pasang kromosom, sehingga buku ini cepet abis. Alasan lain, dengan judul The Red Queen dan desain merah nyala kayak gini, buku ini bikin pembacanya kayak pembaca normal yang lagi baca novel di jalan. Atau — kalau dibaca subjudulnya — pembacanya jadi mirip pembaca tipikal yang suka penasaran sama soal seks.
OK. Jadi Ridley memulai kira-kira dari Dawkins lagi. Kapan sih gen kita dibentuk? Bukan waktu ortu kita tumbuh. Waktu dilahirkan, gen sudah tersimpan rapi untuk dikembangkan dan siap ditumbuhkan waktu ortu kita udah dewasa. Jadi genetika kita bukan keturunan ortu kita, tapi keturunan gen yang dibawa ortu kita, dan seterusnya. Dan meneruskan catatan Ridley di buku Genome: mana yang lebih dulu, protein atau DNA, dan ternyata jawabannya lebih mungkin adalah RNA, maka turunlah tesis Dawkins yang menarik itu: gen adalah tokoh dalam evolusi, dalam motivasi kehidupan, sedangkan organisme hanyalah pembawa gen — utilitas yang digunakan gen untuk memeliharanya, menumbuhkannya, dan menjalankan fungsi-fungsinya membentuk kehidupan yang lebih baik.
Kalau Anda mengira bahwa aku bakal memaki2 Dawkins gara2 nggak sesuai dengan kata-kata Harun Yahya, Anda salah. Aku akan lebih suka seandainya Harun Yahya lebih memiliki kejujuran ilmiah, dan mulai menginformasikan tentang teori evolusi dengan lebih baik, dan dengan demikian tidak merusak nama baik umat beragama sebagai umat yang ngawur dalam berilmu.
Dawkins sendiri konon suka mematahkan segala bentuk ketuhanan dalam arti bentuk desainer superfisial yang menyusun rancangan semesta dan makhluk hidup. Tapi kalau kita memang punya keimanan yang tidak berdasar dogmatisme konyol, kita akan lebih menerima tokoh Allah dengan lebih rendah hati dan tidak sok tahu, sehingga justru lebih meningkatkan ketakwaan kita.
BTW, aku mendingan nerusin baca dulu deh …
Aku masih beberes di depan QB-World Thamrin, dan si cleaning service itu mulai menembakkan kata-kata.
“Mahal ya buku-buku di situ?”
“Yaaa … Mahal juga sih.” (Bokek juga lah kalo sering ke sini. Kalo nggak gara2 dendam sama masa lalu juga sekarang ogah beli buku2 mahal gini.)
“Waktu saya ke sana, ada yang sampai setengah jutaan.”
“Ada, tapi yang lain nggak semahal itu. Biasanya yang sampulnya tipis lebih murah.” (Abis ngebandingin harga buku Richard Dawkins yang hardcover sama yang paperback –red)
“Kalau yang itu berapa?”
“Yang ini seratusan.” (Kalo iklan McD bilang empat ribuan, berarti tanpa PPN harganya mendekati lima ribuan)
“Seratusan dapet dua.”
“Dapet satu sih.” (Pas di sini jadi inget trik menjual kacamata)
“Masih mahal ya. Sebenernya sih kalau bahasanya Indonesia saya mau sering-sering baca-abca di sana. Tapi bahasanya Inggris semua. Nggak ngerti.”
“Coba aja dikit-dikit.”
“Mana nggak ada gambarnya lagi. Jadi susah dibayangin.”
Sebenernya minat baca di masyarakat kita nggak kurang kok. Coba aja, waktu aku dikeroyokin sama karyawan backroom PT Pos, yang diminta bukan yang aneh-aneh, tapi buku komputer seri 36 Jam. Waktu itu aku sanggupi bukan gara-gara merasa dipalak, tapi soalnya takjub sama keinginan baca buku komputer itu :). Kapan-kapan aku beneran ke sana lagi bawa bukunya deh. Waktu ada yang minta tambahan uang sih, aku cuekin aja — yang itu tipikal orang nggak kreatif yang musti cepat-cepat dibasmi.
Oh ya, jadi ternyata yang masih kurang itu minat menjual buku dengan harga terjangkau. Kalau memang yang bikin mahal itu bahan baku kertas, kenapa nggak dibuat buku yang ringkas tapi padat isi? Jangan bikin terjemahan, tapi kita bisa bikin saduran ringkas. Jangan bikin tulisan panjang melantur, tapi coba menulis dengan singkat dan menggugah. Bukan berarti buku panjang dan mahal nggak boleh dibuat sih. Tapi harus berimbang donk. Masa orang disuruh baca koran lagi koran lagi.