Page 52 of 210

Visa

Ada yang baru kah di dunia transaksi online? Whew, kalau ada, pasti aku belum dengar :). Dalam 30 hari ini aja, aku udah bertransaksi di US, UK, dan baru aja di Perancis, untuk memperpanjang langganan Science & Vie. Biasanya transaksi online di Perancis itu paling ribet, paling nggak nyaman. Bukan soal bahasa sih, tapi kayaknya abis dengan berat hati melepas Minitel beberapa tahun yang lalu, mereka sibuk meyakinkan diri dengan masalah keamanan.

Tulisan terinterupsi oleh telepon dari HSBC. Kita kembali.

Tahun ini dia lebih mudah. Masuk site Science & Vie, pilih Abonnement, pilih nama negara, pilih secured online transaction, dan kita dibawa ke ssl.paiement.cic-banques.fr tempat kita memasukkan nomor kartu kredit dll. Abis memilih-milih, aku pilih Visa dari HSBC. Pemeriksaan keamanan (a.l. dengan kode 3 angka itu). Selesai. Trus, yang baru nih, kita dibawa ke pemeriksaan tingkat kedua di site hsbc.co.id (yup), tempat kita harus memasukkan tanggal lahir dan nomor telepon rumah. Abis terisi valid, baru transaksi dijalankan. Hmm, aku merasa lebih aman lagi.

Dan tentu yang menarik adalah bahwa ternyata HSBC masih merasa perlu meyakinkan keamanan transaksi dengan melakukan panggilan telepon lagi ke HP-ku; yang sayangnya masih nomor HP yang lama (aku udah 3x kirim fax, menginformasikan perubahan nomor).

Kali2 abis ini coba ke La Rechercher.

Soulmate

Tahun 1980. Menjelang akhir hidupnya, Jean Paul Sartre tiba-tiba punya ide. Berujar ia pada Pierre Victor: “Aku tidak ditempatkan di dunia ini di sembarang tempat seperti sembarang debu. Ada suatu tangan yang meletakkanku dalam posisi seperti ini. Dan … aku mengacu tangan itu pada sebuah tokoh Tuhan.”

Simone de Beauvoir menyahut: “Apa yang harus kita katakan tentang bunglon tua ini?”

Barenboim

Daniel Barenboim, musikus kelahiran Argentina yang memiliki dua paspor: Argentina dan Israel. Ia General Music Director dari Deutsche Staatsoper Berlin, dan juga menjadi conductor dari Bayreuth Festpielle sejak 1981. Walau secara umum ia merasa tak terusik hidup di negara yang diemohi kaum Yahudi, tapi kadang ada usikan juga. Tokoh politik Jerman seperti Klaus Landowsky dari CDU masih mencapnya sebagai Jew Barenboim: “On one hand, you have young Karajan, Christian Thielemann. On the other, you have the Jew Barenboim.” Barenboim secara enteng cuman menganggap politikus itu nggak ngerti soal keyahudian. Namanya juga politikus.

Sebagai conductor di Bayreuth, tentu Daniel kita lekat dengan Wagner. Kita boleh curiga bahwa cerita tentang Daniel ini kita tulis di sini karena berkaitan dengan Wagner, haha :). OK, jadi pada pertengahan 2001, Barenboim melakukan konser keliling yang antara lain dilakukan di Yerusalem. Barenboim berencana memainkan komposisi Die Walküre yang sungguh membangkitkan inspirasi itu. Tapi pimpinan Israel Festival memintanya mengurungkan rencananya. Jadi Barenboim mengganti bagian itu dengan komposisi dari Schumann dan kemudian Stravinsky. Namun setelah Stravinsky, Barenboim menyempatkan diri berbincang dengan pengunjung, menanyakan apakah tidak berkeberatan jika ia memainkan cuplikan dari Tristan & Isolde. Sebagian pengunjung setuju, tapi banyak juga yang menolak. Maka Barenboim menyatakan bahwa ia akan memainkannya, dan memberi waktu kepada yang tidak suka untuk meninggalkan hall. Sebagian penonton benar-benar keluar, dan barulah kemudian dari ruang itu mengalun melodi indah dari Tristan & Isolde. Tanpa keributan, malam itu.

Peristiwa itu kemudian menjadi isu besar, sampai didiskusikan serius di Knesset, parlemen Israel, seperti yang pernah aku tulis di site ini tahun 2001 dulu. Komite budaya Knesset meminta agar Barenboim diboikot.

Tahun 2002, filsuf Edward Said bercerita bahwa delapan tahun sebelumnya (so: 1994?) Barenboim pernah memainkan Tristan & Isolde dengan anggunnya, sehingga musiknya masih terus terdengar dan terngiang. “I can’t stop hearing that searingly romantic and audacious sound constantly; it’s almost driving me crazy,” ucapnya kepada Barenboim. Lalu mereka berdiskusi panjang soal Tristan. Dan mereka menerbitkan buku bersama, “Parallels and Paradoxes.”

Tristan, dan sebenarnya jua Die Walküre memang punya kemampuan mengesankan untuk bertahan di memori untuk kemudian bangkit dalam suara yang sungguh nyata dan presisi dari memori kita. Di suatu malam di Ibis Montmartre (1995), aku bisa mendengarkan Tristan dari sound system imajiner; dan sempat membuat hati tergetar. Sampai sekarang, bagian Liebestod dari Tristan suka terdengar di saat hati terasa sepi. Kayak sekarang juga, sebenernya.

Toledo

Sebuah tulisan di Kompas mengingatkanku pada kota Toledo. Toledo, nyaris sepuluh tahun yang lalu. Hey, sebelum kaum proletar sekali lagi memprotes acara jalan2ku, aku mau cerita dulu bahwa aku ke sana bukan dengan sterling dari dompetku. Impossible lah yaw. Waktu itu aku sedang belajar FITL with SDH, yang waktu itu masih merupakan ilmu rada baru. Training di Madrid, dan ada kunjungan ke pusat industri Alcatel di Toledo.

Tentu saja industrinya menarik. Tapi aku lagi jarang cerita tentang pekerjaan di sini :). So, abis itu, kita bikin acara kunjungan ko kota budaya Toledo. Salah satu kota tertua di Eropa.

Sebelum masuk kota, kita sempatkan diri mengamati kota dari kejauhan. Dari jauh, yang tampak adalah museum sebesar kota kecil, di bawah terik matahari. Trus bus kami masuk Toledo. Sepasang mata indah mengamati kami turun dari bus. Hmm, bahkan sepuluh tahun kemudian, aku masih bisa melihatnya. Mata yang tidak khas Eropa.

Guide kami (orang Alcatel Toledo) bercerita bahwa kota ini dilindungi oleh Unesco. Salah satu kota tertua di Eropa. Dulunya ibukota salah satu kesultanan muslim di Eropa. Tapi sudah tidak ada lagi muslim di sini. Lalu dia menunjuk ke bekas masjid yang telah dialihfungsikan. Kami diajak ke katedral. Terdengar Konserto Brandenburg ke 4. Hey, waktu itu aku masih suka Bach. Si guide bercerita bahwa kalau orang Islam seperti kami berdoa langsung kepada Tuhan, maka mereka berdoa melalui para saint. Maaf kalau ada yang berbeda pendapat — tapi itu kata guide kami. Banyak ceruk-ceruk yang mewakili tempat para saint, dan orang-orang berdoa di setiap ceruk.

Kembali ke udara segar, aku memutuskan berjalan tanpa guide. Berkeliling lorong yang berlandaskan batu-batu kecil. Menonton para pengrajin emas. Menikmati hiburan lokal. Ke pasar tradisional. Mendengarkan orang yang mengumpulkan sumbangan untuk membantu orang-orang Bosnia. Berbaur bersama deretan turis dari berbagai negara. Dan nggak sengaja ketemu guide kami lagi, tepat waktu makan siang. Hey :).

Kunjungan berikutnya adalah ke Benteng Alcazar. Sekarang jadi museum kemiliteran. Aku udah lupa apa isinya. Barangkali hal-hal yang menyangkut perang dan semacamnya nggak bertahan lama singgah di kepalaku. Tapi aku menghabiskan waktu agak lama juga di dalam sana. Trus keliling lagi menikmati arsitektur kota. Aku bukan tipe turis tukang belanja sih :). Jadi menikmati kota itu udah kenikmatan tersendiri.

Dan sore datang terlalu cepat. Sopir sudah tak sabar mau membawa kami kembali ke Madrid. Enggan meninggalkan kota menarik ini. Tapi bis bergerak, lambat tapi tanpa ampun. Dan sepasang mata indah itu kembali menatapku dari luar jendela.

Dan membuatku sadar bahwa yang indah bukan harus melekat.

To The US People

We share your loss and grieve over the disaster in New Orleans.
It is still fresh in our memory what happened earlier in Aceh.
We understand what kind of sadness and sorrow you are going through,
therefore if there is anything we can do to help, please do not
hesitate to let us know.

Pagi Yang Cerah

Seorang makhluk mungil berulang tahun. Sebenernya nggak mungil bener. Tapi aku selalu mengingat dia sebagai makhluk mungil yang selalu cerdas dan ceria. Dia menemani aku zaman bikin skripsi dulu, sambil bercerita tentang bebek dan makhluk-makhluk ajaib lainnya. Dan aku harus terpaksa banyak bercerita dan menjelaskan apa pun yang dia mau tahu. Tentang langit biru misalnya. Tentang pelangi. Tentang Pol Pot.

Dan waktu aku dalam tekanan besar, yang tidak mungkin diceritakan ke makhluk lucu semungil itu; dia meninggalkan majalah Aku Anak Saleh di depanku. Dan di bagian dalam cover itu tercetak QS Ad-Dhuha. Ini yang terbaca hatiku waktu itu:


Demi pagi yang cerah. Dan demi malam yang kelam.
Tuhanmu tidak pernah meninggalkanmu, dan tidak pula membencimu.
Akhir akan lebih baik daripada awal.
Dan Tuhanmu mengaruniaimu sehingga kamu ridha.
Bukankah Aku mendapatimu sebagai yang tak memiliki pegangan, kemudian menuntunmu?
Bukankah Aku menemukanmu kebingungan, kemudian menunjukimu?
Bukankah Aku menemuimu kekurangan, kemudian mencukupimu?
Maka kepada yang tidak memiliki pegangan, janganlah sewenang-wenang.
Kepada yang meminta, janganlah mengusir.
Dan karunia Tuhanmu, sebarkanlah.
(QS Ad-Dhuha 1-11)

Tentu saja ayat-ayat Ad-Dhuha sering dibaca dalam shalat-shalat kita. Namun dia terbaca berbeda saat kita sedang kehilangan jiwa kita. Teringatkan pada saat-saat lalu di mana tekanan-tekanan memberati hidup, dan Kasih Yang Agung itu memegang tangan kita, menuntun dengan kehangatan, membimbing dengan ramah, dan memberikan cinta tanpa syarat.

Bukan berarti sukma ini langsung jernih. Antidepressant itu belum boleh dibuang juga. Tapi terasa ada yang hangat di hati. Bahwa di balik cobaan dari-Nya yang sekeras ini, ia masih dan terus menjanjikan: pada akhirnya segalanya akan lebih baik daripada awalnya.

Berserah Diri?

Dan tiba-tiba dengan acuhnya dia berguman, “Kamu, Koen, kamu lebih dari mampu untuk mengatasi yang cuman kayak gitu aja.”

“Nggak segampang itu.”

Dia tertawa mengejek: “Kamu cuma lupa sesuatu.”

Aku mencoba menjelaskan, “Aku bukannya tidak berserah diri kepada Allah. Tapi cobaan ini datang dari-Nya. Ia memberi manusia kecerdasan dan kemudian menguji kemampuan manusia memecahkan masalah. Ia mengujiku. Aku nggak bisa menyerah dan menunggu keputusan akhir-Nya. Ngerti nggak sih? Cobaan ini, masalah-masalah ini, tekanan ini, semua dari-Nya. Nggak lucu kan kalau aku menyelesaikannya hanya sekedar dengan mengingat-Nya, berharap pada-Nya. Ngerti nggak sih?”

Dia malah ketawa. “Baru sadar sekarang? Makanya aku bilang apa tadi?”

Sebenernya aku belum ngerti sih …

Seterika Wireless

Hey, anak zaman sekarang :), percaya nggak: sebelum ada listrik, udah ada seterikaan. Wireless pula. OK, tentu saja aku bukan psychic. Tapi abis beberapa hari
yang lalu aku ngebahas tentang seterikaan arang (dalam konteks mengatasi ketiadaan listrik), tahu-tahu tiba-tiba mendadak sekonyong-konyong, sebuah seterikaan arang menampakkan diri di tempat yang paling tidak masuk akal: Toko QB di Plasa Semanggi. Bukan miniatur atau semacamnya.

Konteks perbincangannya, kalau nggak salah, tentang upaya memasang infrastruktur informatika di tempat terpencil. Bukan urusan transmisinya aja tentu, tapi juga
power. Waktu KKN di Nganjuk sih, sempat pasang pembangkit listrik mikrohidro. Tapi mungkin yang semacam itu juga tak terlalu applicable di semua tempat. Nah, di IEEE Spectrum beberapa tahun lalu, dipaparkan bahwa di Vietnam, upaya menyebarkan teknologi informasi ke pedalaman dilakukan dengan bantuan pembangkit listrik tenaga manusia. Generator listriknya berupa genset tanpa BBM yang dikayuh dengan pedal sepeda. Serius. Pakai komputer hemat listrik, tentu. Layarnya jangan CRT. Dan tentu perlu stabilizer merangkap UPS. Accu misalnya. Nggak pingin kan, gara2 yang mengayuh pegal trus koneksi mati.

Trus perbincangan ngelantur jadi soal nonton berita, atau bahkan sinetron, sambil mengayuh generator. Bisa 4 jam, kalau yang ditonton Bollywood. Trus kalau kulkas? Mau 24 jam? Kalau seterikaan? Eh, kan ada seterikaan arang. Gitu deh.

Trus ke mana seterikaannya sekarang ? Hmmm, udah pindah ke rumah :). Kali-kali kalau PLN masih ngeyel menggilir listrik, suatu hari seterika wireless ini kepakai juga. Mudah2an nggak bikin baju bolong2 kena loncatan bunga api arang.

Belajar Hidup

“Apa sih hidup itu menurut Anda?”

Pertanyaan lucu. Seolah kita bukan orang yang menjalani hidup :). Tapi serius, pertanyaan semacam itu sering masuk ke site ini. Sebenernya nggak salah juga sih, berhubung emang site ini ditajuki “reinventer la vie.” Cuman kebayangnya yang bertanya pasti bukan orang yang jatuh bangun dan mengalami kesakitan dalam menjalani hidup ini.

Waktu ditanya tentang apa yang paling sulit dalam hidup, Nazaruddin menjawab: “Memberi ide kepada orang seperti Anda tentang realita.” Nazaruddin disimbolkan memang sebagai tokoh yang hidup. Arif, tapi tidak muluk2 seperti para sufi karbitan. Menjalani hidup apa adanya, dan demikian merasakan hikmah tanpa harus repot merumuskannya.

 

“Saya mau belajar hikmah,” kata salah satu calon muridnya.
“Perlu 10 tahun,” kata Nazaruddin.
“Saya akan belajar keras, siang malam, membaca semua buku, dan banyak merenung.” tambah si calon murid.
“Kalau demikian, jadi perlu 20 tahun,” balas Nazaruddin.

Hidup dipelajari dengan menjalani kehidupan, bukan dengan mengulasnya. Hidup bisa seperti Tannhauser, di mana sang pahlawan ditolak oleh otoritas kepemimpinan, tapi tetap melanjutkan hidup. Hidup bisa seperti Tristan und Isolde, di mana manusia secara sukarela berhenti memperjuangkan apa yang paling penting dalam hidup pribadinya, demi berjalannya tata masyarakat. Hidup bisa seperti Siegfried, di mana sang pahlawan tak lebih merupakan manusia terpojok yang tak mengerti perannya dalam tata dunia. Dan kenapa aku ngasih contoh dari Wagner, bukan dari Q&H, soalnya orang suka berdebat soal agama, serem. Mendingan ngasih contoh dari Wagner, nggak ada yang mau bikin ribut, selain Parlemen Israel.

Apakah hidup berarti pengorbanan diri? Boleh, asal Anda melakukannya dengan hati yang jernih dan integritas yang matang, bukan oleh keterpaksaan.
Apakah hidup berarti terus belajar? Tentu, asal belajarnya sambil menjalani hidup.
Apakah hidup berarti perjuangan? Pasti, kecuali perjuangan yang tanpa visi.
Tapi kan hidup itu karunia tuhan? Memang, asal tidak sedang menghadap tuhan yang salah.
Kok bingung sih mendefinisikan hidup? Aku kira karena hidup itu bukan untuk dimainkan
dengan kata-kata.

ACCU

Sebenernya sih aku udah nggak sering-sering bikin program. Dan barangkali dalam situasi praktis, bergabung dengan ACCU udah nggak memberikan benefit terlalu besar lagi. Tapi lucunya, dari tahun 2003 kemaren aku masih jadi satu-satunya anggota ACCU yang berposisi di Indonesia. Menghentikan keanggotaan di ACCU bakal menghapus bukan saja namaku, tapi juga nama Indonesia dari ACCU :). Not a big deal, memang. Tapi sayang aja.

Jadi, akhirnya dikorbankanlah beberapa poundsterling buat bergabung kembali dengan himpunan penggemar C dan C++ ini.

Tapi sebenernya, kenapa sih orang Indonesia (lainnya) nggak ada yang berminat jadi anggota ACCU? Kemungkinan besar sih karena harus bayar. Boro-boro ACCU yang sangat spesifik di C++. IEEE yang bidangnya cukup luas aja nggak terlalu banyak diminati para engineer Indonesia. Mungkin kalau digratiskan, baru organisasi itu (atau organisasi dan fasilitas mana pun) akan dipenuhi orang Indonesia.

Alasan lain, barangkali, karena organisasi ini rada serius, dan nggak directly applicable ke kegiatan yang menghasilkan doku. Belajar Visual C++ bisa menghasilkan doku. Tapi memainkan Aspect-Oriented Programming, hmmmm.

Alasan yang lain … pakai kaos berbordir ACCU nggak keren. Dikirain gratisan dari pabrik aki.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑