Page 27 of 209

Anonim

Sejauh kita tak suka pelabelan, dan tentu pengkategorian, sejauh itu juga kita tak suka segala yang selalu senada dan seragam, kan? Sip deh :). Kalimat macam ini aku tulis waktu kata blog belum ada di kepalaku, dan semua catatan masih diketik dengan ballpen di buku kecil (tentu semuanya private, jadi isinya lebih … hwahaha … shinting — kira-kira 32% dari Anda pasti punya kebiasaan yang sama). Trus aku memberikan contoh: pagi tadi aku lebih suka fisika daripada biologi (oh ya, aku masih di sekolah waktu nulis ini), dan ini tidak harus berlaku siang ini, waktu biologi terasa mendadak jauh lebih menarik daripada fisika. Jadi tidak mungkin aku dikategorikan sebagai penggemar fisika, misalnya. Atau kopi. Atau saat ini: blog.

Eh, tapi aku bukan mau nulis soal itu. Itu soal masa lalu :). Aku mau cerita soal Starbucks. Dan Starbucks berasosiasi dengan kehangatan persahabatan. Beribu maaf buat rekan2 di Starbucks: kalau soal kopi sih, banyak yang lebih enak :); tapi soal persahabatan memang Starbucks top. Masalahnya, tentu, kita kadang tidak memerlukan sahabat. Kita kadang hanya ingin menikmati kesendirian. Starbucks memang akan membiarkan kita menyendiri tanpa mengganggu, kalau kita tampak tak ingin diganggu. Tapi kadang itu belum cukup. Kadang kita betul2 tidak ingin dikenali. Ingin dianggap bukan sebuah personal. Hanya orang, atau bahkan hanya sesuatu yang lewat: tidak untuk dilihat, dipikirkan, diingat. Dan untuk kemewahan semacam ini, aku perlu sesuatu yang lain di luar Starbucks (kecuali kabur ke Starbucks di luar Bandung, haha).

Sebuah resto ikan sedap di Sukajadi: Pak Chi Met, dulu beberapa kali aku datangi, bareng Jeffrey (sekutuku yang ini, kayaknya jarang aku tulis di blog — kalau memang pernah). Recommended: santapan nyaman dan suasana sedap. Dan pada one fine night, Aa’ Pramusaji menyapaku: “Ini Bapak Kuncoro?” lalu mengulang dengan nama lengkapku. Bangga, ia menyebut bahwa mereka memang ditugasi mengenal para customer. Itu hampir dua tahun yang lalu. Sejak itu, aku nggak pernah balik lagi ke sana. Sebuah ruang besar, ruang publik, bukan ruang kecil bernada kamar seorang sohib. Di tempat semacam itu, dikenali sungguh jadi tak nyaman. Nggak gue banget.

Tukang menghafal lain aku temui di Landmark, Bandung. Tahun 1990an, aku pernah disuruh Mama beli water heater. Ini buat dipasang di rumah Mama. Aku cuman perlu milih, ninggalin alamat, bayar uang muka, selesai. Beberapa menit. Nah di pameran berikutnya (beberapa bulan kemudian), ada yang nawarin aku water heater lagi. Aku bilang sudah punya. Tapi dia menyanggah: “Dulu kan buat rumah Mamanya, Mas. Sekarang beli lagi, buat rumah Mas.” Aku terpaksa memelototi wajah si Mas itu untuk meyakinkan bahwa ini bener orang yang dulu menjualiku water heater. Tapi memoriku tak sebagus punya dia: aku nggak ingat sama sekali.

Barangkali memang aku terlalu aneh. Maksudku, barangkali memang wajar kalau orang ingin saling mengenal. Tak peduli bahwa satu bagian dari jiwaku terlalu menderita kalau terbuka ke orang lain (haha, pengakuan — itulah sebabnya blogging jadi sarana belajar berkomunikasi). Wajar, barangkali. Dan aku yang tak wajar, kalau sampai harus cari café lain untuk bersantai membaca buku tanpa ingin dikenali. Dan pindah lagi, waktu ada sebuah comment di blog ini, berisi statement seorang anonim lain, bahwa dia sering melihat aku di café pelarian itu :(.

Penutup: satu yang lucu dan nggak menyebalkan, biarpun mengkhawatirkan. Sempat balik ke Malang, aku pinjam motor teman buat bernostalgia keliling Malang. Termasuk nostalgia mengalami ban kempes di sekitar Klojen. Nuntun sebentar, di dekat Setiabudi aku ketemu tukang tambal ban, agak tua. Melihat ban kempes, dia langsung mengambil alih, dan bekerja. Sambil memegangi ban, ramah dia menyapa: “Sampèyan nang ‘ndi saiki, Mas?” Aku senyum aja. Tapi dia meneruskan, “Ndisik lak SMP Telu sé, Mas?” Hah, trus aku tanya dengan Bahasa Malang-ku yang sudah luntur: kok bisa ingat. I mean, itu belasan abad yang lalu. Trus dia jawab: “Lha mbiyèn lak ‘ben dina lèwat rél kaé.” Tapi itu lak mbiyèn, aku protes. Dan dia ketawa: “Lha sampèyan pancet koyo ngono.” Haha, kali ini aku nggak keberatan nggak anonim. Cuman khawatir. Sekacau itukah aku, jadi gampang diingat orang?

Undangan Undangan

Pesta Blogger 2007Ada beberapa undangan non-profesional (tak berkaitan dengan profesi, mmm, kecuali …) yang menarik (tapi menurut Newton, menarik juga berarti mendorong) beberapa hari ini. Yang pertama, tentulah Undangan Pesta Blogger 2007. Pesta yang sudah banyak diulas blog Indonesia ini dikirim oleh chairman Enda Nasution, dan sudah kubalas dengan tajuk CONFIRMED tanda keinsyaallahan hadir. Aku belum tahu apa yang enak disiapkan untuk pesta ini. Kalau melihat persiapan pesta yang cukup serius, aku yakin ini bukan sekedar kopdar skala besar. Kebetulan moodku juga lagi bukan mood ceria (secara keceriaan palsu itu lagi aku tanggalkan sementara ini). Hmm, atau aku bisa siapkan paper tentang roadshow interaksi sosial bergaya Web 2.7 (jembatan dari 2.0 ke 3.0) untuk memotivasi pendidikan masyarakat, transparansi sosial, pertumbuhan bisnis, dan … umh, mending ceria aja ah.

Undangan lain yang lebih yahud datang melalui SMS dari Mas Haryoko. Isinya tentang silaturrahim ISNET. Lokasi (kejutan) di Bandung, tepatnya di Wisma Mandiri; seminggu setelah Pesta Blogger. Mas Haryoko memancing dengan menyebut mantera “Revolusi Isnet” yang sejauh ini aku lihat sebagai cerminan rasa humor beliau yang luar biasa. Secara aku masih termasuk yang membaca nama ISNET sebagai SINERGI, dan bukan misalnya yayasan atau institusi, maka kalau kata Revolusi Isnet ini diseriusi, maka isinya harusnya revolusi dalam interaksi sosial yang senada dalam musik madani Isnetian. Tapi aku nggak akan mengeksplorasi lebih jauh. Enakan ditunggu tanggal mainnya. Dan sejauh ini, Mas Haryoko lebih sering membisu pada Hari H, memposisikan diri sebagai host atau panitia yang baik, mengabaikan posisinya di luar ISNET sebagai direktur sebuah bank keren.

Trus ada pra-undangan ke Surabaya, masih tentatif waktunya. Tapi yang ini rada profesional. Dan ada undangan untuk assessment tahap 2, kira2 seminggu sebelum Pesta Blogger. Temanya pembahasan Business Plan 2008. Mudah2an nggak mengganggu liburan :). Dan mudah2an aku nggak kekeuh memasukkan Internet 2.5 ke dalam pembahasan Business Plan 2008. Secara …

West

Menjalani sebuah tengah malam di Baros, setengah gagap terhuyung direntas lelah, menyanding memori masa kecil dengan gelap pasar malam ini. Mosaik samar berkejaran, tak runut waktu dan asa, menukik dan menyambar seperti burung malam yang gesit dalam hening.

Hening, tanpa Wagner, Stravinsky, Nietzsche, Goethe, Derrida, Said, Rumi. Pun tanpa kata. Kata hanya khianati makna, hujam salah satu West di mosaik itu (ia berambut tebal dan mengantongi Quibron). Huruf direntakkan dari kata. Terlontar ia menjadi persamaan Maxwell dan entropi Bekenstein-Hawking di kertas West yang lain, jadi include ‘stdlib.h’, jadi penghias ujung kurva pada Smith Chart.

visual-smith-chart.gif

Dan gagasan dilarikan melalui sederetan kurva panjang, dan balok2 tersambung garis2 kelabu tersambung ke sana kemari, dalam tumpukan ayer2. Dan si West si tukang insinyur yang baru lulus itu tanpa rambut menahan sesaknya, berlari dengan sepatu bot dan celana hijau bercampur lumpur, tanpa penutup dada melintasi gerimis ujung jalan ini. Melirik ia pada West berkemeja bertutup rapat (menahan angin), yang ditemani mbah kakungnya melihat2 rel dan menatap Gunung Bohong. Berputar mereka berjalan melintasi tepi makam, tempat sekian tahun kemudian West yang berbaju kelabu tangan panjang menyaksikan pemakaman Papapnya dengan iringan salvo dan terompet yang sederhana namun membakar hati. Aku lihat lagi Pusdikart, hanya beberapa langkah dariku. Di dalam sana ia masih menunggu kami. Satu titik air menetes dari langit malam. Mendung. Tapi tak seseram waktu kami mengungsi dari Pasopati ke sini, waktu Galunggung meletus lagi, dan kota ini menyatu kelabu dengan langitnya dalam aroma yang menyesakkan.

Aku masih West yang dulu juga. Menahan sesak nafas di jalan yang ini juga. Selalu gagal untuk menyerah.

Menengok lagi ke ujung jalan, ada West kecil yang kabur sendirian naik becak dari rumah ortunya ke rumah embahnya. Sendirian. Dan bikin panik ortunya. Huh. Dasar dari dulu nggak bisa diatur.

Mac Macan

Ketidaktahuan memang anugerah :). Ada sense yang menarik waktu kita mempelajari sesuatu yang baru, misal waktu belajar komputer. Aku bahkan masih bisa membayangkan detik2 menarik waktu aku pertama kali mengetik dengan Chiwriter, dan menyaksikan huruf2 bergulir ke baris baru tanpa aku harus menekan Enter (seperti di mesin ketik), sementara kata2 di baris lama mensejajarkan diri dalam baris yang rapi. Juga waktu pertama kali mengetik puts(“Hello world”); dan melakukan kompilasi dengan Turbo C. Dan ternyata yang macam gitu belum sepenuhnya hilang. Dia kembali waktu tahun 2006 aku mengupgrade komputer rumah bukan dengan PC lagi, tetapi dengan Mac.

Menikmati jadi novice, aku coba belajar dari buku (dan juga dari tanya2 — thanks to Eko and Jay). Belajar dari buku juga punya sense lain dibandingkan dari howto, dari ebook, dari i-documents — tak kalah yahudnya dibanding belajar sistem baru itu sendiri. macosxtigerbook.jpgDan buku yang dipilih adalah Running Mac OS X Tiger. Nah lo, kok baru beli sekarang — 1 tahun kemudian? Tadinya sih sekalian menunggu peluncuran Mac OS X Leopard yang dijadwalkan pertengahan tahun ini. Tapi ianya tak kunjung melandas jua. Akhirnya aku beli juga buku ini. (Hm, khabarnya akhirnya Leopard akan diluncurkan bulan Oktober ini juga — tapi biar deh, updatenya dipelajari via e-documents sahaja).

Buku ini bukan untuk novice sebenernya (hey, aku udah jadi user 1 tahun, masa novice melulu); tapi juga bukan untuk geek. Dia untuk power user. Mulai mendalami hal di balik GUI. Syukurlah aku nggak terlalu asing sama Unix. Tapi tentu Mac OS X bukan hanya Unix + GUI Aqua. Banyak serentetan hal menarik yang dihasilkan dari evolusi + revolusi + optimasi panjang dunia Mac; termasuk keputusan untuk menggeser dari Mac Classic ke Mac bergaya NeXT, lalu ke Unix BSD-based Darwin sebagai core. Banyak alternatif dimana kita bisa memainkan optimasi dan development. Toolsnya pun menarik untuk dicobai. Dan itu sebabnya buku ini jadi mengasyikkan.

Dan entah kenapa mimpiku jadi berisi tiger, panther, cheetah, puma, leopard, sekalian juga ocelot. Kecanduan Mac Macan kayaknya. Jadi lebih pintar? Not necessarily. Tapi hidup jadi lebih menarik.

The IET

Pulang dari Jakarta, sebuah amplop tebal menyambut. Dari IET. Berisi Kartu Anggota dan beberapa jurnal. Berbeda dengan IEEE yang mencetak kartu anggotanya sekenanya, IET lumayan menghargai anggotanya dengan memberikan kartu yang lumayan keren (huh, penggemar kartu).

myietcard.jpg

Tahun 2001 aku pernah menyebut keanggotaan ganda IEE dan IEEE, lengkap dengan lagunya (iee, ieee, oh she doesn’t know what she’s missing). Nah si IEE sudah bermerger dengan IIE, asosiasi engineer sebangsanya, membentuk IET. Proses ini berlangsung sejak 2003 dan mencapai final pada Maret 2006; dan dalam masa itu aku memutuskan tak terlibat dulu dengan organisasi2 ajaib itu. Tahun 2007 ini aku memutuskan bergabung lagi. Ternyata tak mudah. Sejarah keanggotaan lama di IEE tidak lagi diakui, dan harus dimulai dari awal. Korespondensi panjang terjadi, memecah potensi dispute. Tapi akhirnya segalanya terselesaikan.

Walau IET merupakan gabungan dari IEE (berfokus pada rekayasa elektroteknika) dan IIE (menyebar pada rekayasa lainnya), namun warna IET masih cukup kental pada berbagai cabang elektroteknika yang khas IEE, termasuk telekomunikasi. Warna IIE tampak pada transportasi dan manufacturing. Organisasi dioperasikan di Gedung Faraday, Stevenage, yang dulu dipakai mengoperasikan IIE. Kegiatan populer yang diwarisi dari IEE adalah Kuliah Faraday, yang memberikan pengajaran engineering secara populer ke khalayak di seluruh negeri, setiap tahunnya.

Jumlah anggota IET lebih dari 150 ribu (termasuk …, heh heh heh) dari 147 negara (angka yang digemari Telkom). IET juga menyumbangkan £433 ribu setiap tahun untuk beasiswa. Informasi lain ada di web IET di www.theiet.org.

Sebuah Taman Virtual

Tepat pada Hari (Bakti Pos dan) Telekomunikasi, kita meluncurkan Telkom.TV. Hah, Telkom negara renik Tuvalu? Bukan, TV yang ini kita culik untuk kerangka yang lebih imut lagi: Taman Virtual. Tapi kenapa taman? Kerangka yang ini dimaksudkan untuk berada di luar kantor, untuk menjauh dari sekat-sekat korporasi, untuk menikmati kehangatan dan keakraban di sebuah taman. Ini adalah tempat bermain bagi komunitas maya. Memang sih, sementara baru terbatas di Jawa Barat & Banten dulu.

Kegiatan awal di Telkom.TV ini adalah — kejutan — Kompetisi Blogging! Ya, kita memang blogger bangedts, merasa harus mengawali dengan blogging, dan mengerangkai lainnya dari blogging :). “Tiada realita di luar blogging.” Kompetisi ini difokuskan untuk kalangan muda, yaitu pelajar, mahasiswa, santri, dengan usia di bawah 25 tahun. Tentu blognya tidak harus dipasang di Telkom.TV. Hey, ini taman, bukan bakery :). Blog boleh di WordPress, di Blogger, di domain sendiri, di mana lah. Waktu kompetisi 3 bulan, dihitung dari hari ini. Penilaian lebih pada content, bukan pada visual (biarpun, tentu saja, harmoni antara visualisasi dengan content harus diperhatikan). Hadiah yang diarisankan adalah sebuah notebook, dan beberapa handphone Flexi dari yang middle-up sampai middle-low. Lebih lanjut, boleh lihat langsung ke Telkom.TV.

Kegiatan yang lain adalah Lomba Desain Webcard. Yang ini untuk memperingati sederetan hari raya di penghujung 2007, dari Idul Fitri sampai Tahun Baru. Syarat dan ketentuan juga ada di Telkom.TV. Hadiahnya juga beberapa handphone Flexi, tapi tanpa notebook. Tenang aja. Namanya juga masih baru.

Tapi, tanpa skrinsyut adalah basbang. Jadi beberapa hari terakhir ini kami mempersiapkan acara launching sederhana. Tempatnya nggak perlu formal: di food court BEC yang diatmosferi Telkom Hotspot, biar aroma Internetnya kental. Peserta dari beberapa SMA di Bandung yang dicurigai banyak bloggernya; dan diwarnai oleh beberapa selebriti blog Bandung (hehe): Budi Rahardjo, Ikhlasul Amal, Rendy Maulana. Sambil bersiap berbuka, Afianto menekan tombol (virtual) merah menyala itu untuk membuka web Telkom.TV. Lalu empat siswa dan mahasiswa jadi pendaftar perdana. Kok cuman empat? Keburu adzan Maghrib sih :). Dan setelah berbuka agak bergegas, aku bertugas memanggungkan Kaisar Blog/Pakar IT Beneran/Rocker Kawakan/Akademisi Badung Budi Rahardjo untuk bertalkshow di atas panggung. Eh, ternyata ini jadi moment paling ramai. Banyak pertanyaan dan tanggapan. Pun sampai Mas Budi turun panggung. Jangan2 sampai rumah pun masih diuber2. Acara puncak, seperti yang ditulis di awal paragraf, adalah: bikin skrinsyut. Jadi seluruh peserta mejeng di depan panggung, kamerawan Denny beraksi menembaki kami, dan jadilah skrinsyut.

Selanjutnya … acara di taman pun dimulai. Sila. Sambil … hehe … masih dipugar.

Kisah lain kegiatan ini bisa dilirik di blog Rendy dan blog BR. Untuk internal Telkom, Nining berjanji menuliskan laporannya. Foto-foto lain a.l. ada di flickr Ikhlas dan flickrku. Sayang sekali Priyadi, Jay, Andika, dan MacNoto nggak sempat hadir. Sekarang, aku mau menikmati Kopi Siborong-Borong hitam pekat dulu.

Geek 95%

geek-95.jpgApa artinya Geek 95%? Artinya bukan bahwa kita misalnya lebih memilih ultimate number ala Douglas Adam daripada ? (pi) atau ? (phi), tetapi bahwa kita memanfaatkan waktu break kita masih juga untuk main-main kuis di Internet, sementara di luar jendela banyak hal2 yang lebih menarik *canda*.

Memang banyak yang masih mengartikan bahwa kaum geek, nerd, hacker, adalah orang yang harus lekat pada komputer dan buku2, serta menghindari manusia dan lingkungan. Padahal, obviously, istilah2 itu hanyalah kata sifat untuk kelakuan yang menyukai pola pikir engineering (termasuk reverse-engineering), serta level keasyikan yang mendalam terhadapnya. Aku nggak mau masuk ke kancah pendetailan nuansa kata2 sifat itu, karena sebagai orang yang dulu sempat tercemar poststrukturalism, istilah2 itu jadi tampak tak lebih sebagai alat bantu yang sifatnya transien saja.

Tapi jadi geek atau tidak jadi geek, yang barangkali lebih menarik adalah menikmati banyaknya alternatif frame dalam berintuisi, berlogika, dan dalam menjalani hidup.


Jadi … berapa skor Anda ?

Hmmm, sementara itu …

coffee-add.jpg

Indonesia IEEE Comsoc Chapter

Walaupun tampak masih jauh dari selesai, website Indonesia IEEE Comsoc Chapter sudah mulai menampakkan bentuknya. Beralamat di ewh.ieee.org/r10/indonesia/com (alamat official pemberian IEEE pusat), site ini memanfaatkan mesin Joomla: CMS open-source yang dikenal handal, meski kadang suka joompaleetan.

id-comsoc.png

Sekedar review, IEEE merupakan institusi internasional yang menghimpun para insinyur elektroteknika dari berbagai bidang studi, termasuk kecatudayaan, telekomunikasi, informatika, komputer, persinyalan, hingga elektronika konsumsi. Terdapat 40 society yang bernaung di dalam IEEE, ditambah lembaga standar dan beberapa lembaga lainnya. Posix, WiFi, WiMAX, Ethernet, dll merupakan ulah lembaga standar IEEE. Communications Society (Comsoc) adalah salah satu society IEEE, yang berfokus pada telekomunikasi dan network, dengan misi menciptakan communications bebas cemrosoc. Indonesia IEEE Comsoc Chapter bernaung baik di bawah IEEE Communications Society maupun di bawah IEEE Indonesia Section yang berada di bawah Region 10 dari IEEE. En passant, angka 10 dalam Region 10 itu desimal, bukan biner.

Biarpun IEEE dan seluruh lembaga di bawahnya terbuka terhadap keanggotaan baru (dengan persyaratan akademis dan teknis yang memadai), tetapi website baru ini tidak siap untuk didaftari anggota baru :). Untuk menjadi anggota IEEE, kita dapat melakukan permintaan secara online melalui website IEEE di www.ieee.org.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑