Tahun-tahun sebelum LEN, kita jadi asisten Pak Bambang di Lab Elektronika. Dan masih hobby saling ngerjain juga. Aku juga lupa, kita lagi test apa sih di lab. Trus Ziggyt minta nilai v diubah. Aku naikin amplitudonya. Trus kata Ziggyt, bukan f tapi v. Aku jadi bingung, v bukannya tegangan ?
Ziggyt bilang lagi: bukan v yang itu, tapi v yang fase. Oh my. Itu mah p, bukan f dan v. Persinyalan real cuman punya tiga besaran: v (voltage), f (frequency), dan p (phase). Dan kalau ngikutin stylenya Ziggyt, tiga-tiganya bisa dinamai v. Mestinya namanya diganti jadi v, v satunya, dan v yang satunya lagi. Memang, kerja tanpa Ziggyt jadi nggak seru …
Tahun 1993, LEN. Aku dan Ziggyt lagi testing jaringan telepon radio kami. Biasanya kita simulasi perangkat masing-masing, tapi hari itu kita coba koneksikan perangkat kami. Mas Didit jadi pengamat. Kayaknya sih semuanya lancar. Agak. Ada trouble dikit di perangkat sentral.
Aku baca lagi kode assembly di mikrokontrolernya. Nggak ada algoritma yang salah. Kayaknya beberapa variabel di timing bisa dicoba diubah. Aku ganti-ganti aja angkanya, dengan catatan. Dicoba lagi, jalan.
Mas Didit nanya, “Apa tadi yang diganti?”. “Angkanya aja, Mas.” “Koen, mikrokontroler itu isinya angka semua. Jadi angka mana yang tadi diganti?” Dih, kena deh :).
Tapi Ziggyt kurang puas dengan kualitas suaranya. Jadi dia ambil obeng, terus unit pelanggan diutak-atik. Dicoba lagi, sekarang semuanya sempurna.
Mas Didit nanya lagi, “Apa tadi yang diputar?”
Dan Ziggyt menjawab dengan valid sekali “VR-nya aja kok, Mas.”
Kali ini Mas Didit kehilangan kesabarannya. “Saya juga tahu, yang diputar itu VR. Mana ada IC diputar ? Jadi VR yang mana yang diputar ?”
Bukan berarti fisikawan jadi bahagia dengan teori Bohm. Teori ini, kata Lee Smolin, tidak bisa dibuktikan (dengan eksperimen). Fakta bahwa von Neumann salah tidak menunjukkan bahwa Bohm benar. Memang, kata Bohm. Tapi teori superstring juga perlu waktu beberapa dekade lagi untuk bisa diuji dengan eksperimen.
Jadi di buku Smolin (yang kita jadikan acuan untuk fisika awal abad 21), teori holografi ini nggak disebut-sebut. Dianggap hanya merupakan varian dari teori sum-over-histories dari Feynman.
Kalau Feynman mengatakan bahwa cahaya merambat dengan segala cara dan jurusan untuk mencapai mata kita, Bohm bisa kita peralat untuk mengatakan bahwa gelombang pilot lah yang merasakan seluruh ruang-waktu dan menyuruh partikel cahaya mengambil arah ke mata kita.
Kayaknya sih, Bohm mencoba merelativitaskan partikel-energi bersama ruang-waktu, sementara Smolin mencoba mengkuantumkan ruang-waktu bersama partikel-energi.
David Bohm lebih jauh menjajaki teori de Broglie. Gelombang pilot itu, katanya, bergabungan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, bukan hanya sepasang foton dan sepasang elektron-positron yang memiliki hubungan, tapi seluruh partikel dan energi di semesta. Tapi Bohm tidak berhenti di sana. Semesta, lanjutnya kemudian, berisi hanya gelombang-gelombang yang bertumpukan. Semuanya membentuk satu kesatuan. Riak-riak itu tampak seperti partikel dan energi lokal, tapi sebenarnya mereka (kita) semua adalah satu kesatuan dalam arti fisik. Setiap partikel mengerti posisi dan kondisi semua partikel lain di dalam semesta.
Jika suatu partikel diamati (dengan partikel lain, misalnya foton), maka ada usikan pada gelombang pilot, dan usikan ini mempengaruhi kondisi partikel-partikel lain bahkan dalam jarak berapa pun. Tidak perlu ada yang kolaps. Hanya satu perubahan mengubah banyak hal lain. Dan (ini dia), biarpun partikel dan lain-lain bersifat lokal (artinya mengikuti kaidah Einstein), si gelombang pilot tidak harus bersifat lokal.
Bohm kemudian membandingkan semesta dengan holografi. Setiap sel sebenarnya memiliki sebagian info dari setiap titik lain di dalam semesta, biarpun tidak lengkap.
BTW, ini soal fisika loh. Nggak ada hubungannya dengan alam ghaib. Juga
nggak ada hubungannya dengan yang “ada di sini tapi juga ada di mana-mana”.
Memang kemudian Bohm juga membahas soal itu juga. Tapi dia bilang, ini
memerlukan sebuah hidden variable lagi di bawah hidden variable itu :).
Alain Aspect mengulang eksperimen Einstein. Eksperimen Einstein itu
sebenernya khayalan, dan rumit. Aspect membawa ke realitas. Dua foton
kembar yang diciptakan dalam sebuah reaksi dilontarkan ke arah yang
berlawanan (mirip amplop berisi foto kucing itu). Kedua foton kemudian
diukur polaritasnya secara bersamaan. Nyarislah. Tapi sedekat apa pun
hasil pengukurannya, kedua detektor menghasilkan kesetujuan. Mengikuti
Bohr, artinya kedua foton itu, waktu diamati, kolaps ke keadaan yang
sama. Mereka berkomunikasi dengan sesuatu yang lebih cepat dari cahaya.
Kemungkinannya (1) ada komunikasi yang lebih cepat dari cahaya atau
(2) kondisi alam semesta tak terpengaruh oleh pengamatan. Alt 1 = Einstein
salah; alt 2 = Bohr salah. Tapi kalau Bohr, salah bukan berarti mekanika
kuantum harus salah. Maka mereka menanyakan, kenapa nggak kembali ke de
Broglie.
Ilmuwan kuantum yang pertama menentang interpretasi Bohr adalah de Broglie.
Padahal, de Broglie juga yang mula-mula mengusulkan formulasi partikel
sebagai gelombang. Tapi waktu Bohr menginterpretasikan bahwa elektron,
misalnya, adalah gelombang yang kolaps menjadi partikel waktu diamati,
de Broglie menolak.
Ide dasar de Broglie adalah bahwa setiap ‘partikel’ adalah partikel :).
Tapi karakteristiknya tergantung dari pilot wave yang menjalankannya.
Ini adalah ide pertama tentang variabel tersembunyi di abad 20.
Ide de Broglie kemudian dijatuhkan oleh persamaan von Neumann. Sayangnya
persamaan von Neumann ini baru terbukti salah sekian puluh tahun
kemudian, oleh John Bell.
Bagaimanapun, soal kucing ini cuman candaan lama. Lama sebelum Feynman bermain dengan foton yang melaju dalam waktu maju mundur, lebih lama sebelum QED, dan jauh lebih lama sebelum teori string dan gravitasi kuantum.
Berlalunya waktu, kata Bob si Dinosaurus, bukan memecahkan masalah, tetapi membuat masalah jadi bukan masalah lagi. Setiap zaman punya masalah tersendiri ;) ;) ;).
Biarpun kesannya Eliot berbasa basi, tapi aku pikir ada bedanya catatan Eliot ini dengan cerita kucing Schrödinger yang asli. Misalnya si setelah sekian detik ada kamera di dalam kotak yang memotret si kucing, dan mencetaknya dua kali, serta memasukkannya ke dalam dua amplop terpisah. Kedua amplop dikeluarkan dari kotak dalam keadaan tertutup. Kotak tidak pernah dibuka lagi. Kedua amplop dikirim ke dua ujung semesta yag berbeda. Kalau perlu ke semesta yang berbeda :). Setelah sekian tahun, kedua amplop dibuka.
Kalau mengikuti Eliot, kedua gambar menunjukkan gambar yang sama, yaitu kucing hidup atau mati. Tapi kisah asli Schrödinger mestinya memungkinkan bahwa satu amplop berisi gambar kucing hidup dan satu lagi bergambar kucing mati, karena kondisi kucing baru kolaps saat amplop dibuka. Tapi apapun hasilnya, kita harus mengasumsikan bahwa kedua gambar menunjukkan gambar yang sama. Kita tidak bisa membuktikan sebaliknya. Kalau ada cara untuk membuktikan, maka waktu satu amplop dibuka, isi amplop kedua (yang entah di mana itu) juga kolaps.
TS Eliot sebenernya agak sirik dengan kisah kucing Schrödinger. “Si kucing itu juga pengamat,” katanya. Tapi lebih lanjut dia meneruskan bahwa maksudnya bukannya si kucing itu dimanusiakan. Pada saat sesuatu punya potensi untuk diamati (di masa depan sekalipun), pada saat itu fungsi gelombangnya kolaps membentuk “realitas”. Jadi bahkan tanpa kucingpun, sebenarnya fungsi gelombang sudah dikolapskan oleh detektor elektron.
Sebenernya bukan lagi membahas mekanika kuantum sih. Duh, udah ketinggalan satu abad. Cuman di masa-masa itu, pembahasannya begitu menarik dan filosofisnya, jadi menarik buat diamati. Bukan mekanikanya, tapi bagaimana manusia-manusia berpikir untuk memecahkan masalah yang tampak muskil itu.
Dan ini selalu applicable di jaman apa pun ;).