Biarpun kesannya Eliot berbasa basi, tapi aku pikir ada bedanya catatan Eliot ini dengan cerita kucing Schrödinger yang asli. Misalnya si setelah sekian detik ada kamera di dalam kotak yang memotret si kucing, dan mencetaknya dua kali, serta memasukkannya ke dalam dua amplop terpisah. Kedua amplop dikeluarkan dari kotak dalam keadaan tertutup. Kotak tidak pernah dibuka lagi. Kedua amplop dikirim ke dua ujung semesta yag berbeda. Kalau perlu ke semesta yang berbeda :). Setelah sekian tahun, kedua amplop dibuka.
Kalau mengikuti Eliot, kedua gambar menunjukkan gambar yang sama, yaitu kucing hidup atau mati. Tapi kisah asli Schrödinger mestinya memungkinkan bahwa satu amplop berisi gambar kucing hidup dan satu lagi bergambar kucing mati, karena kondisi kucing baru kolaps saat amplop dibuka. Tapi apapun hasilnya, kita harus mengasumsikan bahwa kedua gambar menunjukkan gambar yang sama. Kita tidak bisa membuktikan sebaliknya. Kalau ada cara untuk membuktikan, maka waktu satu amplop dibuka, isi amplop kedua (yang entah di mana itu) juga kolaps.
Page 151 of 210
TS Eliot sebenernya agak sirik dengan kisah kucing Schrödinger. “Si kucing itu juga pengamat,” katanya. Tapi lebih lanjut dia meneruskan bahwa maksudnya bukannya si kucing itu dimanusiakan. Pada saat sesuatu punya potensi untuk diamati (di masa depan sekalipun), pada saat itu fungsi gelombangnya kolaps membentuk “realitas”. Jadi bahkan tanpa kucingpun, sebenarnya fungsi gelombang sudah dikolapskan oleh detektor elektron.
Sebenernya bukan lagi membahas mekanika kuantum sih. Duh, udah ketinggalan satu abad. Cuman di masa-masa itu, pembahasannya begitu menarik dan filosofisnya, jadi menarik buat diamati. Bukan mekanikanya, tapi bagaimana manusia-manusia berpikir untuk memecahkan masalah yang tampak muskil itu.
Dan ini selalu applicable di jaman apa pun ;).
Einstein bilang, kalau mekanika kuantum itu benar, berarti dunia ini gila.
Lalu Daniel Greenberger menyimpulkan: Einstein memang benar. Dunia ini gila.
Mekanika kuantum dimulai waktu rentetan eksperimen membingungkan para fisikawan.
Ilmuwan: Apa cahaya itu gelombang ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Jadi cahaya bukan partikel !
Alam: Tidak.
Ilmuwan: Jadi cahaya itu partikel ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Jadi partikel itu gelombang ?
Alam diam.
Ilmuwan: Misalnya elektron. Apa elektron itu partikel ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Apa elektron itu gelombang ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Partikel hanya bisa ada di satu tempat kan ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Gelombang bisa menyebar mengisi ruang kan ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Jadi elektron ada di satu tempat dan di banyak tempat ?
Alam diam.
Ilmuwan: Saya bikin mekanika kuantum aja deh.
Para ilmuwan pun memiliki keterbatasan diskursus. Semesta tidak dapat diamati, selain hanya dengan perbandingan dengan domain-domain
dan relasi-relasi yang ‘dirasa’ telah dipahami ;). Fisikawan John Wheeler mengumpamakan pembentukan logika para ilmuwan, yang didukung
berbagai ujikaji itu, seperti tanya jawab dengan alam semesta, yang hanya dijawab dengan ya dan tidak. Alam tidak pernah memberikan
wacana. Wacana disusun dari filosofi yang dibentuk manusia berdasar pengalamannya, yang berdasar dari pengamatan sebelumnya saja.
Ilmuwan hidup dengan analogi ;).
Trus inget cerita dari William Saroyan tentang masyarakat Armenia.
Tokoh cerita ini, seorang adik, ingin bisa naik kuda. Dan suatu malam si kakak memamerkan kuda putih ke adiknya. “Kamu curi dari mana ?” tanya si adik. “Apa kau tahu aku pernah mencuri?” tanya balik si kakak. Lalu tiap malam mereka berlatih dan bermain dengan kuda putih itu.
Tapi suatu pagi seorang tetangganya melihat mereka bermain kuda putih itu. “Mirip kudaku yang hilang,” katanya. Ia minta izin memeriksa giginya. “Sungguh mirip sekali sampai gigi-giginya.” Tatapannya sedih. Lalu ia mengubah suaranya jadi riang dan melanjutkan, “Tapi aku lebih percaya hatiku daripada mataku. Selamat jalan sahabat muda.” Dan kakak beradik itu melanjutkan permainan dengan kuda putih.
Tapi suatu malam si kakak berkata pada si adik, bahwa tidak ada sesuatupun yang abadi. Termasuk kuda putih itu. Si adik mencoba mengerti. Bagaimanapun banyak yang telah ia dapatkan bersama kuda putih itu. Orang tidak boleh serakah. Maka malam itu si kakak pergi bersama kuda putih dan kembali seorang diri.
Di tengah hingar bingar pagi, si tetangga dengan takjub menceritakan bahwa kudanya yang telah lama hilang, telah kembali ke kandangnya. Finish.
Kita memang bukan kumpulan orang suci, dan nggak bercita-cita jadi orang suci. Tapi kejahatan juga jauuh sekali di luar pikiran kita.
Ada dua hal yang sering disebarluaskan dalam upaya melawan gerakan open source. Yang pertama adalah bahwa software open source tergantung pada sumbangan dan kemurahan hati programmer, yang bekerja demi kepentingan masyarakat, atau demi nama baik, atau demi permusuhan dengan Microsoft :). Barangkali pada awalnya memang demikian: ada faktor murah hati. Tapi yang terjadi adalah accountability yang ketat juga. Dengan GPL (general public license), kita bisa memanfaatkan dan mengubah dan mendistribusikan software open source dengan bebas, tetapi harus dengan tetap menjaga sifat open source
dari software yang kita kembangkan. Perusahaan-perusahaan sudah memperhitungkan dengan cermat, bukan asal-asalan, bahwa mereka lebih untung untuk memakai dan mengembangkan software di bawah lisensi GPL, daripada memakai paket tertutup. Juga biaya maintenance bisa diturunkan karena berbagi kode juga berarti berbagi beban kerja untuk maintenance :).
Jadi software bebas itu dibuat dengan alasan komersial juga! Dan tidak ada alasan untuk bergantung pada kemurahan hati.
Soal berikutnya adalah bahwa instalasi dan troubleshooting pada software open source lebih sulit, sehingga hanya cocok untuk orang IT. Barangkali, memang source code hanya bisa dinikmati oleh orang yang bisa baca source code :). Tapi kita tidak harus selalu lekat dengan source code untuk memakai software. Penggunaan software sebenarnya tidak jauh
berbeda. Yang bikin pusing (sampai sekarang) adalah mencari driver untuk piranti-piranti kita. Monitor yang warnanya indah dengan Windows terpaksa jadi VGA dengan Redhat. Tapi, kalau drivernya berhasil ketemu, biasanya driver ini lebih andal daripada yang dibuat untuk closed-source, soalnya udah di-debug banyak pihak.
Soal keandalan itu bukan soal sepele. Notebook ini (pakai Windows) juga perlu usaha keras untuk cari drivernya. Sekian jam harus di-reboot, kalau nggak data bisa hilang. Driver sama sekali nggak bisa dipercaya, saling crash dengan Windows. Online sekian menit, semuanya macet, tanpa pesan. Reboot juga gagal. Dan nggak bisa minta benerin drivernya atau Windowsnya ke siapa-siapa :).
Beberapa hari y.l., nggak sengaja nemu tulisan dari Lutz Prechelt, tentang perbandingan 7 bahasa. Karena tulisan ini artikel majalah, perbandingan lebih banyak digambarkan secara grafis. Kesimpulan umumnya:
- Merancang dan menulis program di Perl, Python, Rexx, dan Tcl memerlukan waktu hanya setengah dari C, C++, dan Java; serta hasil tulisan pun hanya setengahnya.
- Tidak ada perbedaan yang menyolok di sisi keandalan antara semua bahasa.
- Program script umumnya memakan memori dua kali C dan C++. Java memakan memori tiga sampai empat kali C dan C++.
- Untuk alikasi yang dipakai tes ini (membaca 1 Mb file kamus dan menciptakan 70 k struktur data), C dan C++ bekerja tiga sampai empat kali lebih cepat dari Java, dan lima sampai sepuluh kali lebih cepat daripada bahasa-bahasa script.
- Untuk bagian utama program, yang terutama berisi pencarian dalam struktur data internal, C dan C++ bekerja lebih cepat (hanya) dua kali dibanding Java. Bahasa script cenderung lebih cepat daripada Java.
- Khusus script, Perl dan Python selalu lebih cepat daripada Tcl.
- Variansi performansi antara programmer sama besarnya atau lebih besar daripada variansi performansi antara bahasa pemrograman.
Jika kau hidup, menciptalah
Seperti aku yang naik dengan tanganku
Berapa lama kau akan mengemis cahaya
Menunggu menjadi Musa di bukit Sinai
Biarlah api marak bagaikan belukar terbakar
Dirinya sendirilah sumber api berkobar
Satu lagi dari Iqbal