Alam Coventry mencoba ikut ceria pagi ini, tanpa kabut tanpa mendung tanpa lapisan
es di atas rumput. “Id Mubarak,” kita saling memberi salam ke penghuni Westwood,
sebelum melintasi dua buah bukit ke Warwick University. Seorang dengan profil badan
yang besar tersenyum lebar, menjelaskan tentang shalat ‘Id sebelum memulai sebagai
imam. Kemudian ia mengambil Qur’an yang tampak berat, dan mulai membacakan khutbah,
terus dengan senyumnya yang khas. Yang dibahas soal ringan saja, surat-surat terakhir
di Quran yang pendek-pendek (sekitar 2 halaman terakhir dari Qurannya yang berat itu).
Tapi dia membahasnya dari sudut pandang western muslim. “Kenapa sih Quran masih
menyebut soal sihir?” kata dia. Lalu dia mengkaji soal sihir sebagai motivasi aktivitas
yang tidak didasari baik oleh nurani maupun akal, melainkan hanya oleh aspek-aspek
jangka pendek, emosi, dan bisik-bisik. Sihir-sihir ini, begitu dia kaji, adalah
yang menghancurkan perjuangan, dan membuat kita terus tercerai-berai. Terus temanya
dibawa ke soal persatuan, yang dimulai dari hati.
Page 144 of 210
Waktu matahari mulai meluncur turun, paket juga diluncurkan (dalam arti
harfiah, yaitu diluncurkan bebas menuruni undak-undakan). Sebuah black
taxi dikemudian orang Sikh melesat ke Bishop Street, satu-satunya kantor
pos yang buka hari Sabtu sore ini.
Seperti dalam bayanganku, si Pak Pos menyambut dengan kata “Must be
overweighted”. Tapi kali ini dengan ramah saja. Rekannya yang berkulit hitam
menimbang paket itu. Hanya sejumput di bawah ambang maksimal. Membaca alamat
yang jauh, trus dia menyebut angka poundsterling yang fantastis. Aku cuma
mengangguk ringan, tapi dia diam. Jadi aku jawab lagi “That’s all right,”
sambil senyum lebar. Dia malah kaget. Kaya kali orang Asia ini, gitu kali
pikirnya. Padahal aku udah hitung-hitung dengan Calc beberapa kali, dan udah
kaget berapa kali sebelum ke kantor pos. Kagetnya udah abis.
Abis kagetnya habis, dia tersenyum lagi, dan temannya yang berkulit putih
senyum juga. “Money-money-money,” katanya.
Agak kepayahan para pak pos ini mengangkati paket itu ke dalam. Tapi sambil
senyum lebar. Di tengah musim PHK di Inggris di tahun ekonomi suram ini,
paket-paket semacam itu tentu bisa jadi harapan bahwa PHK akan tertunda lagi.
Tangan perih, dan tampak bercak-bercak darah sedikit. Di luar langit sudah
mulai gelap. “Di mana nih buka puasa terakhir kita?”
Packing ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Satu paket hanya
boleh memuat maksimal 30 kg. Beberapa buku saja sudah cukup untuk membuat
paket jadi overweighted. Pinjam timbangan dari Alan, oops, overweighted
banyakskali. Terpaksa beberapa buku harus ditinggal di sini *hik*.
Nggak sedih dink. Kan mau pulang :).
Hari ini tiket daytripper tak terlalu banyak dipakai. Banyak jalan kaki saja sampai sore.
Berbuka puasa di Leicester Square (langganan amat sih). Mengelilingi semua sudut di putaran Picadilly. Dan baru akhirnya naik bis ke Trafalgar (nonton choir di tengah lapangan), dan naik Tube ke Victoria, jalan setengah berlari ke terminal Leuwipanjang, dan menghempaskan badan yang kelelahan di bis nomor 422.
Si sopir bermuka serius. Dia menerima tiket dengan kaku. Kesannya kayak lagi main teater. Tadi di dalam bis, aku berubah pikiran. Mungkin saja dia mantan DJ. Announcementnya aneh-aneh, dengan gaya setengah rap.
Aku paksa mata untuk terpejam. Tapi kelelahan menghalangi. Jadi diam aja menikmati kegelapan motorway ke arah Midlands. Waktu mata akhirnya mulai terpejam, si sopir teriak lagi “Ladies and gentlemen, we’re now in Coventry. WAKE UP! What’s the matter with you?” Duh, DJ asli.
Segala nuansa warna beige namun agak gelap dan kaku dari gedung-gedung mulai menyambut bis nomor 460.
Barangkali ini perjumpaan terakhir dengan London. “Marble Arch,” teriak si copilot bis, mirip kondektur bis ke alun-alun Bandung. Kita lompat turun, jalan cepat bersama angin dingin ke Grosvenor. Melintasi gedung kedutaan AS yang dikarantina dengan pagar logam tinggi karena menularkan penyakit berbahaya.
Sampai kita di flat berbendera merah putih. Di sini hari ini acaranya mengurusi surat pulang dan surat selesai studi, plus daftar barang bawaan. Daftarnya cuma berisi tiga barang, ditambah dua halaman daftar buku dan CD.
Sambil nunggu surat selesai, kita jalan kaki lagi. Oxford Street jadi lautan manusia. Mirip Kepatihan di Bandung menjelang Idul Fitri gini. Lengkap dengan pedagang kaki lima.
Tapi barangkali masih seperti itu juga kondisi kita sekarang. Umat
dihancurkan. Persatuan dan persaudaraan diceraiberaikan. Saudara-
saudara kita dibunuhi setiap hari tanpa henti. Tapi kita masih bisa
nyenyak tidur. Dan masih sibuk bertikai dan mencaci.
Barangkali (stuff of the river), di Afghanistan, AS akan mengulangi
strategi mereka di Iraq. Di Iraq, Saddam Hussein tidak dijatuhkan,
walapun barangkali bisa. Kalau Saddam dijatuhkan, lalu penggantinya
bisa membuat Iraq yang lebih baik dan berkembang pesat, maka Israel
akan terancam. Kondisi di sana memang harus dibikin labil.
Maka Saddam tidak dijatuhkan. Si perampok itu dibuat tetap dapat
menekan rakyatnya, sehingga nyaris tidak mungkin terbentuk pemberontakan
yang kuat; tetapi Saddam juga ditekan agar tidak bisa kuat. Jadi di
sana hanya ada segerombolan masyarakat lemah.
(Di tahun 1991, Tariq Azis mengatakan bahwa pendudukan Kuwait oleh Iraq
sudah dikonfirmasikan ke AS, dan AS tidak menanggapi negatif, yang
ditafsirkan Iraq sebagai restu. Ini strategi AS untuk bisa membuat
pangkalan permanen di kawasan teluk).
Di Afghanistan, barangkali Taliban tidak akan dikalahkan total, agar
terjadi ketidakstabilan permanen di negara itu. Barangkali juga
Taliban dihabisi, karena toh kekuatan sekutu utara juga sudah
potensial sebagai biang perpecahan, seperti semasa Taliban belum
berusaha menegakkan hukum di sana.
Di mail buat Prof Yoder, aku menulis bahwa bukan berarti semua orang
Amerika jahat. Cuma memang politisinya sungguh-sungguh kriminal. Bukan
juga karena mereka orang Amerika. Pendahulu mereka pun sudah suka
mengabaikan urusan-urusan moral dan etika demi kepentingan hegemoni
negara.
Tapi yang jadi soal sebenarnya: mengapa kita mudah sekali
dipecah belah ? Mengapa perbedaan pandangan saja harus diperuncing
jadi permusuhan ? Kenapa kita lebih suka bersekutu dengan kriminal
daripada dengan sesama ?
Cerita ini terjadi sebelum Masjid An-Nuur dibangun. Di Lt V, udara
selalu panas karena kurangnya ventilasi. Tapi sang khatib tetap
bersemangat. “Kita, umat Islam sekalian, adalah makhluk yang paling
beruntung,” demikian beliau sampaikan. “Di luar sana banyak orang
yang tertekan hidupnya. Kaya raya, makan cukup, tetapi hatinya tidak
tenang. Tinggal di rumah mewah, dengan tempat tidur yang empuk dan
nyaman, tetapi tidak bisa tidur nyenyak.” Kemudian beliau membandingkan,
“Tapi kita di sini, biarpun hidup dengan penghasilan sekedarnya, biarpun
tidak diberi tempat tidur, biarpun belum makan siang, bisa tidur
nyenyak di masjid.”
Langsung banyak mata setengah terpejam jadi terbelalak.
Bagian depan Kandatel Bandung memiliki tiga pintu depan. Satu pintu
utama yang tidak menyolok. Satu lagi pintu Pusyantel. Dan di antara
keduanya, adalah Masjid An-Nuur, yang tertanam di tengah-tengah gedung
Kandatel. Sebelum ada masjid ini, karyawan shalat di ruang masing-masing,
atau pojok-pojok ruang yang dijadikan mushola. Hanya di hari Jumat,
aula di lantai atas Gedung C dijadikan ruang shalat Jumat yang kekurangan
ventilasi — panas sekali. Waktu Ariawest berencana merenovasi Gedung C
untuk menempatkan sebagian kantor di sana, Pak Saleh mengusulkan untuk
membuat masjid permanen, dan tempatnya nggak tanggung-tanggung: di bagian
depan kantor. Dan bukan Pak Saleh kalau usulnya nggak pakai keras kepala.
Dana diambil dari swadaya maupun biaya pembinaan SDM. Lantai dan dinding
dilapis kayu. Dilengkapi AC dan sound system sampai CCTV. Dan kadang kita
bisa lihat Pak Saleh jadi pengawas pembangunan di tempat (memang sebelahan
dengan kantor beliau). Pooling dibuat untuk menentukan nama masjid. Pakai
kertas, bukan pakai web. Waktu akhirnya masjid jadi, diumumkan bahwa semua
mushola dibubarkan, dan karyawan dianjurkan shalat di masjid.
Bulan Ramadhan gini, di tahun-tahun sebelumnya, Masjid An-Nuur selalu punya
acara kuliah untuk mengisi waktu istirahat. Tepat waktu istirahat, kuliah
diawali dengan shalat Dhuhur, dan diikuti ceramah dan tanya jawab sampai
saat masuk kantor.
Cerita Pak Saleh lagi. Tapi, seperti juga cerita Ziggyt, aku tulis
cerita lucu tentang Pak Saleh justru karena sebenernya kelucuan
Pak Saleh itu hal yang langka. Beliau nyaris selalu serius. Kadang
angker, terutama kalau membahas komplain-komplain customer pemakai
layanan Telkom di Bandung.
Kelihatannya, justru akhirnya beliau tersingkir dari pentas Bandung
karena keseriusannya, bukan karena candaannya. Waktu banyak komplain
tentang WLL, Pak Saleh menseriusinya dengan mengajukan protes dari
yang lunak sampai yang akhirnya keras sekali ke Ariawest sebagai
pembangun WLL Jawa Barat. Terus … tersapu deh.
Terakhir aku ketemu beliau di Japati, waktu aku lagi diskusi soal
updating software analisis trafik (proyek bertahun-tahun), dan Pak
Saleh lagi ikut semacam rapat pimpinan di hall di sebelah. Senyum
beliau lebar sekali, dan sempat bikin aku khawatir bahwa lagi-lagi
berat badanku yang belum naik itu jadi sasaran candaan. Tapi ternyata
yang ditanyakan beliau malahan “Gimana jamaah?”
Sebenernya kurang kerjaan kali. Acara tulis menulis pun akhirnya membosankan juga. Notebook lebih banyak berfungsi jadi CD player, menemani acara baca-baca bacaan ringan. Yang terakhir: Effective C++ dari Scott Meyers (recommended). Plus sambil melayani dering telepon dan ketukan pintu yang nyaris 24 jam.
Sore tadi ngenganggu Alan si Mr Postman lagi, dan berhasil pulang dengan kardus Fedex yang bagus bener. Jadi ada kerjaan baru mulai malam ini. Mengemasi buku-buku buat dikirim pulang.
Sabtu kemaren, masih ketemu Harry dan Dani di Birmingham. Besok udah Sabtu lagi, ke Birmingham lagi ketemu Fajar. Dan dua Sabtu berikutnya, udah di Birmingham Airport, terbang pulang !