Page 143 of 210

Waterstone’s

Barangkali aku kurang banyak cerita tentang Waterstone’s. Waktu pertama masuk Waterstone’s di Coventry, aku kagum bener dengan penataan interior toko buku satu ini. Mirip taman bacaan untuk pecinta buku, lengkap dengan sofa dan rak-rak dan penunjuk posisi buku. Tapi Waterstone’s di Leamington lebih bagus lagi. Trus jadi ketagihan membandingkan Waterstone’s di setiap kota. Yang terbagus sampai sekarang masih yang di Nottingham, dengan koleksi buku yang bikin Waterstone’s lain terkesan miskin :). Plus sofa yang tertata dengan konsisten, jadi gampang dicari, plus cafĂ© dan kamar kecil yang bersih sekali. Yang juga unik adalah resensi buku dari pemilik toko, dengan tulisan tangan cakar ayam khas Inggris, di depan beberapa buku. Waterstone’s Picadilly London yang sering dibanggakan pun nggak sebagus ini.

Tapi hari ini aku ketemu Waterstone’s lain lagi di Birmingham. Ada dua sebenernya. Satu terkesan kecil, tapi di dalamnya luasss sekali. Agak berantakan, tapi koleksinya barangkali selengkap Nottingham. Satu lagi tepat di depan pintu New Street Station, tinggi menjulang. Cara penataan bukunya sama sekali tidak mempermudah pencarian buku. Tapi banyak hal khas di dalamnya. Ada beberapa ruang tematis, kayak satu ruang khusus untuk The Ring dari Tolkien, lengkap dengan pensuasanaan ruang. Di sebelahnya, ada gallery khusus musik klasik. Hey, kenapa aku baru ke tempat ini di minggu terakhir di negara ini? Banyak koleksi prima ditawarkan dengan harga relatif murah. Lengkap sekali. Wagner aja menempati beberapa deret rak. Untung aja aku nggak kemaruk, jadi cuman ambil 3 CD, dan bukan Wagner.

Memang nggak semua Waterstone’s jadi istimewa sih. Yang di Edinburgh misalnya, ditatanya sama jeleknya dengan toko buku Gramedia di Matraman. Yang punya bukan pecinta buku kali. Atau kotanya terlalu bagus, jadi orang lupa menata toko buku.

Mhula

Luis Filippe de Lucas bergegas naik bis di depan Skydome. Agak kaget ngeliat aku duduk di kursi agak ke belakang.

Aku menyambut, “Surprising, huh?”

“I thought you went to Birmingham,” katanya, masih dengan nada heran.

“Indeed. But it’s frozen outside. It’s better to spend 1 hour on the bus than 20 minutes walking.”

“Exactly, my friend. And you can accompany me too. Listen, I just saw the examination board. You have passed with merit.”

“Really? It’s surprising too, isn’t it?”

Birmingham New Street

Ke Birmingham lagi, menemani ratusan ribu manusia di New Street yang bergerak cepat menyambut musim dingin dan akhir tahun.

7976240

“Perpisahan dulu,” pesan Surya sebelumnya. Jadi kita ke Claycroft lagi. Berhubung
masih kekenyangan dari tempat Mas Luthfi, aku cuma ambil nasi sepiring dengan
ayam goreng dengan kue dengan … eh, judulnya “cuma” tadi ya. Kali ini suasananya
Idul Fitri ala Inggris, dengan beberapa bahasa pengantar (Indonesian, British
English, Birmingham English, Fajarian English, dan beberapa slank).

Tapi, seperti biasa, matahari cepat sekali turun. “Hampir maghrib,” kata aku,
“Buka puasa di mana nih kita?”

Pura-pura lupa bahwa hari ini masih kekenyangan makan enak.

Di Westwood, aku menolak makan malam. Di hari Idul Fitri pun ada waktu yang
harus diluangkan untuk mengingat orang-orang yang sedang lapar.

7976220

Mas Luthfi yang berwajah ramah itu menyambut, “Eh Mas Koen, saya baru baca namanya
aja dari email di Kibar.” Akhirnya, ketemu juga dengan si mas yang tulisannya selalu
jernih ini, yang beberapa kali ditanyain Harry Sufehmi ke aku. Sebelumnya, aku pikir
Idul Fitri hari ini bakal jadi hari-hari Coventry yang seperti biasa. Tapi sekitar
perumahan Mas Luthfi, banyak hiasan bergantungan menghias lampu jalan, dengan
tulisan Id Mubarak di mana-mana.

Di dalam rumah Mas Luthfi, aku jadi tahu bahwa aku salah lagi. Idul Fitri hari ini
sama istimewanya dengan Idul Fitri di tanah air. Perbincangan yang hangat, kue-kue
nastar dan kacang, dan berbagai makanan istimewa (yang entah kenapa sama Mbak
Luthfi cuma disebut sebagai “pecel”). Duh, kenapa Idul Fitrinya baru sekarang ya,
waktu udah mau pulang :).

Nggak lama, kita semua terkapar kekenyangan dan keenakan. Teringat bulan Ramadhan
yang lewat dengan berbagai hikmah batinnya, yang selalu ditutup dengan keriangan
jiwa-jiwa yang fitri dan tersucikan. Mudah-mudahan bisa bersua lagi dengan
Ramadhan tahun depan.

Tapi orang-orang Warwick ternyata nggak bisa berhenti. Abis makan belasan macam
makanan sedap itu, jiwa Viking mereka bangkit, dan kue-kuenya dibungkusi. Waaaaaa,
di tanah air nggak ada lebaran pake ngebungkusin kue. Viking! Mas Luthfi yang
ramah sih senyum lebar. Heran, dirampok habis-habisan malah riang. Namanya juga
jiwa yang fitri.

7970640

Alam Coventry mencoba ikut ceria pagi ini, tanpa kabut tanpa mendung tanpa lapisan
es di atas rumput. “Id Mubarak,” kita saling memberi salam ke penghuni Westwood,
sebelum melintasi dua buah bukit ke Warwick University. Seorang dengan profil badan
yang besar tersenyum lebar, menjelaskan tentang shalat ‘Id sebelum memulai sebagai
imam. Kemudian ia mengambil Qur’an yang tampak berat, dan mulai membacakan khutbah,
terus dengan senyumnya yang khas. Yang dibahas soal ringan saja, surat-surat terakhir
di Quran yang pendek-pendek (sekitar 2 halaman terakhir dari Qurannya yang berat itu).
Tapi dia membahasnya dari sudut pandang western muslim. “Kenapa sih Quran masih
menyebut soal sihir?” kata dia. Lalu dia mengkaji soal sihir sebagai motivasi aktivitas
yang tidak didasari baik oleh nurani maupun akal, melainkan hanya oleh aspek-aspek
jangka pendek, emosi, dan bisik-bisik. Sihir-sihir ini, begitu dia kaji, adalah
yang menghancurkan perjuangan, dan membuat kita terus tercerai-berai. Terus temanya
dibawa ke soal persatuan, yang dimulai dari hati.

7955903

Waktu matahari mulai meluncur turun, paket juga diluncurkan (dalam arti
harfiah, yaitu diluncurkan bebas menuruni undak-undakan). Sebuah black
taxi dikemudian orang Sikh melesat ke Bishop Street, satu-satunya kantor
pos yang buka hari Sabtu sore ini.

Seperti dalam bayanganku, si Pak Pos menyambut dengan kata “Must be
overweighted”. Tapi kali ini dengan ramah saja. Rekannya yang berkulit hitam
menimbang paket itu. Hanya sejumput di bawah ambang maksimal. Membaca alamat
yang jauh, trus dia menyebut angka poundsterling yang fantastis. Aku cuma
mengangguk ringan, tapi dia diam. Jadi aku jawab lagi “That’s all right,”
sambil senyum lebar. Dia malah kaget. Kaya kali orang Asia ini, gitu kali
pikirnya. Padahal aku udah hitung-hitung dengan Calc beberapa kali, dan udah
kaget berapa kali sebelum ke kantor pos. Kagetnya udah abis.

Abis kagetnya habis, dia tersenyum lagi, dan temannya yang berkulit putih
senyum juga. “Money-money-money,” katanya.

Agak kepayahan para pak pos ini mengangkati paket itu ke dalam. Tapi sambil
senyum lebar. Di tengah musim PHK di Inggris di tahun ekonomi suram ini,
paket-paket semacam itu tentu bisa jadi harapan bahwa PHK akan tertunda lagi.

Tangan perih, dan tampak bercak-bercak darah sedikit. Di luar langit sudah
mulai gelap. “Di mana nih buka puasa terakhir kita?”

7933074

Packing ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Satu paket hanya
boleh memuat maksimal 30 kg. Beberapa buku saja sudah cukup untuk membuat
paket jadi overweighted. Pinjam timbangan dari Alan, oops, overweighted
banyakskali. Terpaksa beberapa buku harus ditinggal di sini *hik*.

Nggak sedih dink. Kan mau pulang :).

London: Last Visit

Hari ini tiket daytripper tak terlalu banyak dipakai. Banyak jalan kaki saja sampai sore.

Berbuka puasa di Leicester Square (langganan amat sih). Mengelilingi semua sudut di putaran Picadilly. Dan baru akhirnya naik bis ke Trafalgar (nonton choir di tengah lapangan), dan naik Tube ke Victoria, jalan setengah berlari ke terminal Leuwipanjang, dan menghempaskan badan yang kelelahan di bis nomor 422.

Si sopir bermuka serius. Dia menerima tiket dengan kaku. Kesannya kayak lagi main teater. Tadi di dalam bis, aku berubah pikiran. Mungkin saja dia mantan DJ. Announcementnya aneh-aneh, dengan gaya setengah rap.

Aku paksa mata untuk terpejam. Tapi kelelahan menghalangi. Jadi diam aja menikmati kegelapan motorway ke arah Midlands. Waktu mata akhirnya mulai terpejam, si sopir teriak lagi “Ladies and gentlemen, we’re now in Coventry. WAKE UP! What’s the matter with you?” Duh, DJ asli.

Bis 460

Segala nuansa warna beige namun agak gelap dan kaku dari gedung-gedung mulai menyambut bis nomor 460.

Barangkali ini perjumpaan terakhir dengan London. “Marble Arch,” teriak si copilot bis, mirip kondektur bis ke alun-alun Bandung. Kita lompat turun, jalan cepat bersama angin dingin ke Grosvenor. Melintasi gedung kedutaan AS yang dikarantina dengan pagar logam tinggi karena menularkan penyakit berbahaya.

Sampai kita di flat berbendera merah putih. Di sini hari ini acaranya mengurusi surat pulang dan surat selesai studi, plus daftar barang bawaan. Daftarnya cuma berisi tiga barang, ditambah dua halaman daftar buku dan CD.

Sambil nunggu surat selesai, kita jalan kaki lagi. Oxford Street jadi lautan manusia. Mirip Kepatihan di Bandung menjelang Idul Fitri gini. Lengkap dengan pedagang kaki lima.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑