Page 143 of 210

7976240

“Perpisahan dulu,” pesan Surya sebelumnya. Jadi kita ke Claycroft lagi. Berhubung
masih kekenyangan dari tempat Mas Luthfi, aku cuma ambil nasi sepiring dengan
ayam goreng dengan kue dengan … eh, judulnya “cuma” tadi ya. Kali ini suasananya
Idul Fitri ala Inggris, dengan beberapa bahasa pengantar (Indonesian, British
English, Birmingham English, Fajarian English, dan beberapa slank).

Tapi, seperti biasa, matahari cepat sekali turun. “Hampir maghrib,” kata aku,
“Buka puasa di mana nih kita?”

Pura-pura lupa bahwa hari ini masih kekenyangan makan enak.

Di Westwood, aku menolak makan malam. Di hari Idul Fitri pun ada waktu yang
harus diluangkan untuk mengingat orang-orang yang sedang lapar.

7976220

Mas Luthfi yang berwajah ramah itu menyambut, “Eh Mas Koen, saya baru baca namanya
aja dari email di Kibar.” Akhirnya, ketemu juga dengan si mas yang tulisannya selalu
jernih ini, yang beberapa kali ditanyain Harry Sufehmi ke aku. Sebelumnya, aku pikir
Idul Fitri hari ini bakal jadi hari-hari Coventry yang seperti biasa. Tapi sekitar
perumahan Mas Luthfi, banyak hiasan bergantungan menghias lampu jalan, dengan
tulisan Id Mubarak di mana-mana.

Di dalam rumah Mas Luthfi, aku jadi tahu bahwa aku salah lagi. Idul Fitri hari ini
sama istimewanya dengan Idul Fitri di tanah air. Perbincangan yang hangat, kue-kue
nastar dan kacang, dan berbagai makanan istimewa (yang entah kenapa sama Mbak
Luthfi cuma disebut sebagai “pecel”). Duh, kenapa Idul Fitrinya baru sekarang ya,
waktu udah mau pulang :).

Nggak lama, kita semua terkapar kekenyangan dan keenakan. Teringat bulan Ramadhan
yang lewat dengan berbagai hikmah batinnya, yang selalu ditutup dengan keriangan
jiwa-jiwa yang fitri dan tersucikan. Mudah-mudahan bisa bersua lagi dengan
Ramadhan tahun depan.

Tapi orang-orang Warwick ternyata nggak bisa berhenti. Abis makan belasan macam
makanan sedap itu, jiwa Viking mereka bangkit, dan kue-kuenya dibungkusi. Waaaaaa,
di tanah air nggak ada lebaran pake ngebungkusin kue. Viking! Mas Luthfi yang
ramah sih senyum lebar. Heran, dirampok habis-habisan malah riang. Namanya juga
jiwa yang fitri.

7970640

Alam Coventry mencoba ikut ceria pagi ini, tanpa kabut tanpa mendung tanpa lapisan
es di atas rumput. “Id Mubarak,” kita saling memberi salam ke penghuni Westwood,
sebelum melintasi dua buah bukit ke Warwick University. Seorang dengan profil badan
yang besar tersenyum lebar, menjelaskan tentang shalat ‘Id sebelum memulai sebagai
imam. Kemudian ia mengambil Qur’an yang tampak berat, dan mulai membacakan khutbah,
terus dengan senyumnya yang khas. Yang dibahas soal ringan saja, surat-surat terakhir
di Quran yang pendek-pendek (sekitar 2 halaman terakhir dari Qurannya yang berat itu).
Tapi dia membahasnya dari sudut pandang western muslim. “Kenapa sih Quran masih
menyebut soal sihir?” kata dia. Lalu dia mengkaji soal sihir sebagai motivasi aktivitas
yang tidak didasari baik oleh nurani maupun akal, melainkan hanya oleh aspek-aspek
jangka pendek, emosi, dan bisik-bisik. Sihir-sihir ini, begitu dia kaji, adalah
yang menghancurkan perjuangan, dan membuat kita terus tercerai-berai. Terus temanya
dibawa ke soal persatuan, yang dimulai dari hati.

7955903

Waktu matahari mulai meluncur turun, paket juga diluncurkan (dalam arti
harfiah, yaitu diluncurkan bebas menuruni undak-undakan). Sebuah black
taxi dikemudian orang Sikh melesat ke Bishop Street, satu-satunya kantor
pos yang buka hari Sabtu sore ini.

Seperti dalam bayanganku, si Pak Pos menyambut dengan kata “Must be
overweighted”. Tapi kali ini dengan ramah saja. Rekannya yang berkulit hitam
menimbang paket itu. Hanya sejumput di bawah ambang maksimal. Membaca alamat
yang jauh, trus dia menyebut angka poundsterling yang fantastis. Aku cuma
mengangguk ringan, tapi dia diam. Jadi aku jawab lagi “That’s all right,”
sambil senyum lebar. Dia malah kaget. Kaya kali orang Asia ini, gitu kali
pikirnya. Padahal aku udah hitung-hitung dengan Calc beberapa kali, dan udah
kaget berapa kali sebelum ke kantor pos. Kagetnya udah abis.

Abis kagetnya habis, dia tersenyum lagi, dan temannya yang berkulit putih
senyum juga. “Money-money-money,” katanya.

Agak kepayahan para pak pos ini mengangkati paket itu ke dalam. Tapi sambil
senyum lebar. Di tengah musim PHK di Inggris di tahun ekonomi suram ini,
paket-paket semacam itu tentu bisa jadi harapan bahwa PHK akan tertunda lagi.

Tangan perih, dan tampak bercak-bercak darah sedikit. Di luar langit sudah
mulai gelap. “Di mana nih buka puasa terakhir kita?”

7933074

Packing ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Satu paket hanya
boleh memuat maksimal 30 kg. Beberapa buku saja sudah cukup untuk membuat
paket jadi overweighted. Pinjam timbangan dari Alan, oops, overweighted
banyakskali. Terpaksa beberapa buku harus ditinggal di sini *hik*.

Nggak sedih dink. Kan mau pulang :).

London: Last Visit

Hari ini tiket daytripper tak terlalu banyak dipakai. Banyak jalan kaki saja sampai sore.

Berbuka puasa di Leicester Square (langganan amat sih). Mengelilingi semua sudut di putaran Picadilly. Dan baru akhirnya naik bis ke Trafalgar (nonton choir di tengah lapangan), dan naik Tube ke Victoria, jalan setengah berlari ke terminal Leuwipanjang, dan menghempaskan badan yang kelelahan di bis nomor 422.

Si sopir bermuka serius. Dia menerima tiket dengan kaku. Kesannya kayak lagi main teater. Tadi di dalam bis, aku berubah pikiran. Mungkin saja dia mantan DJ. Announcementnya aneh-aneh, dengan gaya setengah rap.

Aku paksa mata untuk terpejam. Tapi kelelahan menghalangi. Jadi diam aja menikmati kegelapan motorway ke arah Midlands. Waktu mata akhirnya mulai terpejam, si sopir teriak lagi “Ladies and gentlemen, we’re now in Coventry. WAKE UP! What’s the matter with you?” Duh, DJ asli.

Bis 460

Segala nuansa warna beige namun agak gelap dan kaku dari gedung-gedung mulai menyambut bis nomor 460.

Barangkali ini perjumpaan terakhir dengan London. “Marble Arch,” teriak si copilot bis, mirip kondektur bis ke alun-alun Bandung. Kita lompat turun, jalan cepat bersama angin dingin ke Grosvenor. Melintasi gedung kedutaan AS yang dikarantina dengan pagar logam tinggi karena menularkan penyakit berbahaya.

Sampai kita di flat berbendera merah putih. Di sini hari ini acaranya mengurusi surat pulang dan surat selesai studi, plus daftar barang bawaan. Daftarnya cuma berisi tiga barang, ditambah dua halaman daftar buku dan CD.

Sambil nunggu surat selesai, kita jalan kaki lagi. Oxford Street jadi lautan manusia. Mirip Kepatihan di Bandung menjelang Idul Fitri gini. Lengkap dengan pedagang kaki lima.

Stuff of the River

Tapi barangkali masih seperti itu juga kondisi kita sekarang. Umat
dihancurkan. Persatuan dan persaudaraan diceraiberaikan. Saudara-
saudara kita dibunuhi setiap hari tanpa henti. Tapi kita masih bisa
nyenyak tidur. Dan masih sibuk bertikai dan mencaci.

Barangkali (stuff of the river), di Afghanistan, AS akan mengulangi
strategi mereka di Iraq. Di Iraq, Saddam Hussein tidak dijatuhkan,
walapun barangkali bisa. Kalau Saddam dijatuhkan, lalu penggantinya
bisa membuat Iraq yang lebih baik dan berkembang pesat, maka Israel
akan terancam. Kondisi di sana memang harus dibikin labil.

Maka Saddam tidak dijatuhkan. Si perampok itu dibuat tetap dapat
menekan rakyatnya, sehingga nyaris tidak mungkin terbentuk pemberontakan
yang kuat; tetapi Saddam juga ditekan agar tidak bisa kuat. Jadi di
sana hanya ada segerombolan masyarakat lemah.

(Di tahun 1991, Tariq Azis mengatakan bahwa pendudukan Kuwait oleh Iraq
sudah dikonfirmasikan ke AS, dan AS tidak menanggapi negatif, yang
ditafsirkan Iraq sebagai restu. Ini strategi AS untuk bisa membuat
pangkalan permanen di kawasan teluk).

Di Afghanistan, barangkali Taliban tidak akan dikalahkan total, agar
terjadi ketidakstabilan permanen di negara itu. Barangkali juga
Taliban dihabisi, karena toh kekuatan sekutu utara juga sudah
potensial sebagai biang perpecahan, seperti semasa Taliban belum
berusaha menegakkan hukum di sana.

Di mail buat Prof Yoder, aku menulis bahwa bukan berarti semua orang
Amerika jahat. Cuma memang politisinya sungguh-sungguh kriminal. Bukan
juga karena mereka orang Amerika. Pendahulu mereka pun sudah suka
mengabaikan urusan-urusan moral dan etika demi kepentingan hegemoni
negara.

Tapi yang jadi soal sebenarnya: mengapa kita mudah sekali
dipecah belah ? Mengapa perbedaan pandangan saja harus diperuncing
jadi permusuhan ? Kenapa kita lebih suka bersekutu dengan kriminal
daripada dengan sesama ?

7796392

Cerita ini terjadi sebelum Masjid An-Nuur dibangun. Di Lt V, udara
selalu panas karena kurangnya ventilasi. Tapi sang khatib tetap
bersemangat. “Kita, umat Islam sekalian, adalah makhluk yang paling
beruntung,” demikian beliau sampaikan. “Di luar sana banyak orang
yang tertekan hidupnya. Kaya raya, makan cukup, tetapi hatinya tidak
tenang. Tinggal di rumah mewah, dengan tempat tidur yang empuk dan
nyaman, tetapi tidak bisa tidur nyenyak.” Kemudian beliau membandingkan,
“Tapi kita di sini, biarpun hidup dengan penghasilan sekedarnya, biarpun
tidak diberi tempat tidur, biarpun belum makan siang, bisa tidur
nyenyak di masjid.”

Langsung banyak mata setengah terpejam jadi terbelalak.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorĂ©nUp ↑