Category: Wagner (Page 3 of 4)

The Tristan Chord

When Wagner started to be a composer, there were three different models of contemporary opera. Wagner had tried to adopt those types with Die Feen (German, rich-orchestrated style), Das Liebesverbot (Italian, lyrical style), and Rienzi (French style, with its luxuries). He then decided that Italian and French models had been decadent: they had passed their peaks in developments; therefore Wagner went back to explore more in German style, manifested in Die Fliegende Holländer, Tannhäuser, and Lohengrin.

Being ideologically attached with Bakunin the anarchist, Wagner got involved with Dresden putsch. Bakunin got caught and jailed, and Wagner fled to Switzerland. He faced the prospect of seemingly endless exile, with debt, hopeless marriage, and bad health. On this condition, he started composing Der Ring. Also he started reading Schopenhauer.

His reading gave him the idea for a wholly new way of opera composing. In a letter to Liszt, he referred the philosopher as a man who has come like a gift from heaven. He then composed Tristan und Isolde, called it the simplest but most full-blooded music conception. He stopped Siegfried on Act 3, and devoted himself to Tristan. But after several months, it was only music as yet.

Schopenhauer maintained that we are, in the most literal sense, embodiment of the metaphysical will, so that willing, wanting, longing, craving, yearning, are not just things we do: they are what we are. Music is also a manifestation of the metaphysical will. It directly corresponds to what we are in our innermost thing.

For years, Tristan remained ‘only music.’ But even now, its chord remains the most famous single chord in the history of music. It contains not one but two dissonances, thus creating a double desire, agonizing in its intensity, for resolution. The chord then moves, resolving one but not the other, thus providing resolution-yet-not resolution. In every chord-shift, something is resolved but not everything. When a satisfaction is created, so is a new frustration. Until the end. The silence. In Wagner’s words: “Here I sank myself into the depths of the soul’s inner workings. Here life and deaths and the very existence and significance of the external world appear only as manifestations of the inner workings of the soul.”

On another fine day, Wagner performed a nice symphony for his wife’s birthday. Siegfried Idyll. It was performed at home, with a very small number of guests attending. One of them was young Nietzsche, starting his long and historical friendship with Wagner. Indeed, Wagner was the greatest influence on the young man, who would in turn became one of the greatest figures in the entire history of western philosophy. But it is another story.

Lagi: Lohengrin Act 1

Robert Horwitz, maintainer site http://www.open-spectrum- international.org, berkirim mail. Mail pertama membahas liberalisasi frekuensi 2.4GHz di Indonesia. Mail kedua menyebut hal yang lebih menarik: Lohengrin. Pembukaan Lohengrin, kata dia, adalah 8 menit terindah dalam musik yang pernah diciptakan. Yang barangkali dia nggak tahu adalah: aku baca mail itu (di Xphone) masih sambil ngedengerin Pembukaan Lohengrin (Act 1). Dan itu bukan kebetulan. Beberapa hari itu, aku memang selalu masang Lohengrin, kadang berderet dengan Tannhauser. Kadang dengan salah satu opera dari Der Ring. Tapi selalu ada Lohengrin tiap hari.

Lohengrin ada di kaset Wagner-ku yang pertama. Sisi B kaset itu berisi Lohengrin, Parsifal, dan Siegfried Idyll. Tapi nggak tau kenapa aku sempat lupa sama nama Lohengrin. Kaset itu aku bawa ke Coventry, tanpa cover. Dan di bulan Februari 2001 aku nulis salah satu kejeniusan Wagner yang bisa memahami sekaligus mewarnai semesta. Aku salah waktu itu, nulis judulnya Parsifal. Padahal justru Pembukaan Act 1 Lohengrin yang waktu itu terasa seperti magic, musik ajaib yang entah diturunkan dari mana ke semesta ini. Aku baru sadar beberapa bulan kemudian, waktu beli CD Lohengrin. Dan waktu sempat nonton Birmingham City Orchestra memainkan Act 1 Lohengrin (Pembukaan dan Elsa’s Dream) di Warwick. Betul-betul musik yang ajaib, biarpun waktu itu yang aku nunggu adalah Tristan und Isolde.

Aku bukan Robert Horvitz yang sudah mendengarkan semua musik yang ads di muka bumi dan bisa menentukan mana yang paling indah. Tapi aku bisa memahami orang yang bisa memiliki pendapat kayak Horvitz. Ini barangkali memang 8 menit terindah dalam sejarah musik.

Flying Dutchman

Kalau seorang pelaut tidak memiliki tujuan, maka angin yang bertiup ke mana pun hanyalah ancaman dalam pandangannya, bukan kesempatan, dukungan, atau kemudahan.

Pingin dengerin The Flying Dutchman, sebentarrr aja. Lama nih nggak bersentuhan dengan Wagner.

Lt 3

Udah balik di Supratman. Masih di Lt-3, dengan iringan Der Ring Des Nibelungen yang itu2 juga.

Kadang aku pikir Wagner sama kuatnya menggigit otak, kayak secangkir expresso.

Kaum Lugu

Wagner, kalau masih ingat nama ini, akhirnya tega membakar Siegfried. Dan kemudian juga Brunnhilde. Si manusia lugu yang dikorbankan untuk menjadi pahlawan yang selalu kesepian dan selalu penuh tanya, akhirnya jatuh di tangan kaum kerdil. Di tangan kaum kerdil yang sama lugunya dan sama-sama terkorbankannya oleh skenario para dewa sok tahu dari Valhalla itu; bukan di tangan kaum raksasa yang selalu mudah dihancurkan oleh tangan perkasa dari hati yang bersih itu.

Wagner, memang sebenarnya jarang menggunakan peperangan sebagai penanda kegagahan dan kegigihan kemanusiaan. Alih-alih, perang nyaris selalu jadi tragedi ketidakmampuan mengatasi realita dengan cara yang cerdas.

Namun perang sendiri merupakan realita. Apakah kita cukup cerdas untuk mengatasi apa yang tersisa dari sampah kebodohan manusia itu, atau kita justru ikut terkusutkan di dalamnya. Cincin Nibelung akhirnya hanya kembali ke pemiliknya … para peri sungai. Berlaksa perang, lengkap dengan kebodohan kisah kepahlawanan serta tragedi di dalamnya, tidak pernah ada maknanya, dan seolah tak pernah terjadi bagi mereka.

Das Rheingold

«Returning in the afternoon, I stretched myself, dead tired, on a hard couch, awaiting the long-desired hour of sleep. It did not come; but I fell into a kind of somnolent state, in which I suddenly felt as though I were sinking in swiftly flowing water. The rushing sound formed itself in my brain into a musical sound, the chord of E flat major, which continually re-echoed in broken forms; these broken chords seemed to be melodic passages of increasing motion, yet the pure triad of E flat major never changed, but seemed by its continuance to impart infinite significance to the element in which I was sinking. I awoke in sudden terror from my doze, feeling as though the waves were rushing high above my head. I at once recognised that the orchestral overture to the Rheingold, which must long have lain latent within me, though it had been unable to find definite form, had at last been revealed to me. I then quickly realised my own nature; the stream of life was not to flow to me from without, but from within.»
Richard Wagner: My Life, published in London, 1911.

Bonang

Di basement 2 di Gedung Japati, aku baru sadar bahwa opera Wagner semacam Der Ring (termasuk Die Walküre) yang serba tepat itu pasti menuntut kerja ekstra keras dari para pemainnya, khususnya para pengiring musiknya (Hey, what did I think!). Wagner si Mr Promethean yang suka hal-hal besar itu, pasti menyiksa para pemain untuk memainkan instrumen yang lengkap dengan keteraturan ekstra tinggi.

Kesadaran yang datang rada terlambat, datang di basement ini waktu aku kesusahan mukulin bonang penerus buat pengiring opera (a.k.a. ketoprak) Ande-Ande Lumut. Adegan kijang yang riang, adegan harimau yang mendebarkan, pertarungan antara pemburu dengan harimau, adegan kehilangan, dan diikuti warta berita. Pemain berlompatan dari slendro ke pelog, dengan kecepatan dan kekuatan yang terus bervariasi.

Kenapa aku nggak memilih jadi penonton aja?

Lucretia

Aku pikir orang Inggris pasca Herriot agak anti Wagner — khususnya setelah negaranya dibom Hitler tanpa ampun. Tapi opera Lucretia sangat sangat bergaya Wagner, biarpun musiknya beda. Kadang terbayang bahwa kita sedang mendengarkan cuplikan Rheingold, Tristan, dan Walküre. Pemainnya juga suaranya mirip Wotan, Isolde, Brunnhilde, dan Siegfried. Cuman kostumnya jas putih. Dan kayak Wagner, ceritanya juga bikin kesal. Yang bikin beda dengan Wagner hanya musiknya yang tampak minimalis. Dan bukan klasik.

Ini sebenernya cuma semacam keheranan. Aku pikir tadinya semua opera non-Wagner itu bergaya Italia. Ternyata kadang ada yang senada Wagner juga. Ceritanya sendiri, karena ngeselin, nggak perlu diceritain :).

Mild und Leise

Tristan & Isolde mengilhami hampir semua musisi setelah Wagner. Ceritanya sendiri aku aku pikir mengesalkan, kisah romantik yang salah asalnya dan kacau ujungnya. Nggak aplikatif buat aku kayaknya. Wagner yang konon anti asing itu mengambil cerita bukan dari bangsa Nordic, tapi dari Celtic. Kisah diawali dari kapal yang datang dari Irlandia ke Cornwall, dengan prelude yang bisa dipertimbangkan sebagai simponi terindah sepanjang sejarah. Cerita ini melibatkan ramuan ajaib, dan perkelahian, tapi justru tidak terlalu berfokus pada perebutan Isolde sendiri (khas Celtic ala Asterix). Cerita diakhiri waktu Tristan yang sudah terluka parah dan dibuang di Brittany (negerinya Asterix beneran) menunggu kedatangan Isolde dari kapal. Tapi keburu mati Tristannya. Dan Isolde cuma bisa menemui mayat Tristan. Mild Und Leise Wie Er Lachelt katanya dalam bahasa Jerman (abisan yang nulis Wagner sih) yang terjemahan Inggrisnya jadi how gently and quietly he smiles. Aku udah pernah ngebahas bagian yang dijuduli Liebestod ini. Prelude T&I nggak akan lengkap kalau nggak digabung dengan bagian ini.

Asterix bisa dendam nih kalau tahu bahwa kisah bangsa dia dibikin ngetop sama orang Goth yang suka jadi musuh bebuyutannya.

Liebestod

Tokoh Isolde (Celtic: Iseult, Italia: Isotta) menyanyikan Liebestod di atas kematian Tristan. Bagian ini selalu memaksa kita berhenti dari kegiatan keseharian, dan diam beberapa menit menikmati cara Wagner menggambarkan jenis kedekatan manusiawi yang penuh kegamangan. Pagi ini bentuknya agak beda. Orkestrasi nyaris dihapuskan, dan digantikan dengan permainan piano yang sederhana. Jadi fokusnya lebih pada vokal solo tokoh Isolde. Tapi, really, bagian ini sama indahnya dengan waktu orang memainkan Isolde dengan orkestrasi penuh, tanpa vokal (i.e. versi Liebestod yang aku dengar pertama kali, sekian tahun y.l.).


Oh ya, aku nggak pingin cerita tentang kisah Tristan & Isolde, selain bahwa ini adalah kisah cinta dua manusia, yang tak pernah terselesaikan. Kegamangan dari ujung ke ujung. Nuff.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑