Category: Travel (Page 3 of 8)

Carrier Ethernet World di Hongkong

“Siap-siap ke Hongkong ya!”
“Mendadak amat?”

Tapi mana ada sih akhir2 ini tugas yang nggak mendadak? Maka, di tengah kesibukan urusan akhir tahun (IPTV content, SDP service prototype, Indigo Fellows & Indigo Awards, main web reconfiguration, etc), aku menyempatkan mengumpulkan bahan, arrange tiket dan akomodasi. Sayangnya, karena waktu yang sempit (<72 jam), Garuda Indonesia menolak menjual tiket online. Akhirnya cari alternatif: Cathay Pacific. Tak seperti traveling lainnya, aku tak menyempatkan diri baca Google atau Wikitravel. Sempat sih, dikonversi Wikitravel itu ke PDF, disimpan di PDF, dibaca di Kindle di pesawat di antara awan di atas sana (biar di-nya banyak, dan tampak beda antara di sebagai pembentuk kata kerja dengan di sebagai kata sambung).  Mungkin detailnya aku ceritakan di TRAVGEEK.NET saja, biar blog yang itu punya content juga.

Acara di Hongkong ini berjudul Carrier Ethernet World 2010. Secara ringkas, carrier ethernet adalah jaringan core dan akses berkecepatan tinggi, digunakan umumnya oleh provider besar dan operator telekomunikasi untuk menghantar data, dan menggunakan standar-standar penghantaran paket data. Secara fisik, jaringan yang digunakan tetap berupa kabel optik, tetapi bukan seperti transmisi masa lalu yang menggunakan frame berbasis waktu (seperti SDH dll). Banyak hal yang masih layak didiskusikan. Pertama, alasan memigrasikan transmisi TDM menjadi carrier ethernet, yang ujungnya akan ke optimasi jaringan yang mengarah ke arsitektur horisontal dari next-generation network. Dan tentu untuk mendukung alasannya, aspek-aspek lain akan masuk, terutama service, aplikasi, content, hingga objective bagi semua stakeholder, dan ujungnya ke regulasi. Kebetulan, sepulang kuliah dulu, aku justru tak banyak lagi bermain di layer infrastruktur network. Jadi aku ditugaskan mempresentasikan hal-hal yang ada di layer atas: service dan environment yang akan mendukung pada negosiasi regulasi.

Di sisi ini, banyak yang bisa diceritakan. Telkom Indonesia bisa jadi contoh menarik. Divisi Multimedia, tempat aku didamparkan saat ini, dulu memiliki lingkup tugas dari infrastruktur hingga layanan multimedia — hal-hal yang bersifat IP-based commercial services. Sejak Telkom berbisnis TIME (dengan harapan TIME is MONEY), infrastruktur dipusatkan di Divisi Infrastruktur; sementara Divisi Multimedia memperoleh tugas menciptakan dan mengelola rentetan service, aplikasi, dan content yang akan jadi enabler untuk memungkinkan bisnis-bisnis TIME tumbuh di masa depan. Tapi tentu aku tak mempresentasikan organisasi Telkom dan posisi divisi2 di dalamnya. Aku lebih suka bercerita tentang potensi aplikasi Internet yang bisa tumbuh di negara yang sedang panas-panasnya berkonversasi multimedia seperti Indonesia, lalu bagaimana ini harus dan bisa didukung dari sisi pengembangan dan bisnis (mis. Indigo) dan dari sisi teknis (mis SDP dan IMS). Aku menikmati bagian ini: menggambar kotak2 dan struktur. Kemudian presentasi dilarikan ke bagaimana ini akan disampaikan untuk menjadi bagian dari regulasi (dan keseimbangan di sisi deregulasi). Cukup lucu bahwa salah satu kesimpulannya adalah perlunya ko-opetisi (kerjasama tanpa melupakan kompetisi).

Sebagian bahan presentasi aku ambil dari Mas Arief Hamdani juga (no link — syukurin — suruh siapa nggak bikin2 blog?). Penataan narasi (urutan cerita), pengayaan, dan ilustrasi, aku buat di perjalanan dan di hotel. Aku juga baru sadar bahwa sebagian besar dari presenter, peserta, mengenakan suite resmi. Terpaksa jaket dilemarikan, dan aku belanja jas sebentar (sempat salah nomor pula, dan harus dibalikin besoknya dengan cara yang lucu).

Presentasiku mengambil waktu sore hari. Para peserta yang siang harinya sempat menghilang sudah kembali, sehingga forum cukup penuh, padat, dan antusias. Aku menyampaikan presentasi, dan aku pikir seharusnya dapat nilai 8. Tapi 8 dalam skala Richter, kalau dihitung getaran pada meja dan lantai akibat efek demam panggung temporer. Hanya ada 1 pertanyaan; karena peserta diinformasikan bahwa kemudian ada sesi panel. Setelah satu presenter lagi dari New Zealand (yang bercerita dengan asik tentang inovasi content untuk mendukung aplikasi multimedia di NZ), panel dimulai. Sesi ini lebih menarik daripada tanya jawab dengan 1 penjawab. Jadi setiap pertanyaan didiskusikan kembali oleh forum di atas panggung.

Selesai. Lega. Tapi belum berakhir. Di sesi networking sesudahnya, beberapa peserta masih mengejar, menyampaikan apresiasi, dan terutama memenuhi kepenasaranan yang ternyata belum habis. Di meja cuma ada Coca Cola dan minuman beralkohol. Jadi aku nggak sengaja terus menjawab pertanyaan dan obrolan (yang terlalu serius untuk level networking) itu sambil terus-terusan meng-Coca Cola. Satu peserta dari US iseng menyuruhku belanja ke tempat2 menarik di sekitar Victoria Harbour (tempat konferensi diselenggarakan).

Keluar. Terjadi efek tak menyenangkan, tapi standar sekali. Penyebab: overload pekerjaan (sisa urusan kantor), kurang tidur (persiapan presentasi), kurang makan (gara2 persiapan presentasi, serta belum tahu tempat makanan halal), dan post-demam panggung-syndrome (ada ya, yang namanya kayak gitu). Berkeliling sebentar,  aku kelelahan. Balik ke hotel, lewat pasar tradisional segala. Pesan dinner dari kamar. Dan — seperti yang terjadi di bulan puasa — langsung tidur setelah kopi dan beberapa sendok makanan bisa masuk. Uh, rugi, perjalanan perdana ke Hongkong, dan isinya cuman bikin presentasi serta tidur. Haha :).

4G Forum di Taiwan

Di kalender, kunjungan jarak jauh berikutnya masih bulan September: sebuah konferensi di Beijing. Tapi mendadak masuk permintaan untuk mengisi satu sesi dalam 4G International Forum yang diselenggarakan di Sheraton Taipei. Hahah, Obama aja cuman di G20, G7. Ini G4 coba :p.

Paper sudah dimasukkan di bulan Juni. Visa diurus dalam waktu 3 hari (tulisan tentang ini ada di blog satunya). Sayangnya Garuda Indonesia tak terbang langsung ke Taiwan. China Airlines menyelenggarakan shared-code flight bersama Garuda, tapi jadwalnya tak menarik (dan tidak aku paksakan juga — ini bukan Garuda beneran). Akhirnya Singapore Airlines. Berangkat Minggu pagi lalu, dengan penerbangan pukul 6:00 WIB, transit di Singapore (08:00 – 11:00 waktu Singapore), dan tiba di Taipei Taoyuan Airport pukul 17:00 waktu Taiwan. Sore itu, aku kontak Erly Bahsan, seorang blogger yang aku kenal di angkatan kedua (2001 ke atas, waktu blogger sudah mulai membentuk komunitas, blogger.com sudah membuat blogspot.com, dll). Erly meneruskan kuliah di Taiwan sejak tahun lalu, dan lebih aktif tweeting daripada blogging :).

Senin 12 Juli, 4G Forum dimulai. Speaker berasal dari kampus dan lembaga riset (termasuk dari RRC, di mana merupakan keluarbiasaan bahwa mereka bisa datang ke Taiwan), dari developer dan manufacturer (Nokia Siemens Network, Ericsson, Alcatel Lucent, Huawei), lembaga konsultansi, regulator, operator, dll. Hari ini aku banyak mempelajari berbagai aspek 4G Mobile yang ditinjau dari berbagai sisi. Cukup berimbang antara penyajian madzhab LTE dengan madzhab WiMAX, serta berbagai urusan interoperabilitas serta aplikasi bersama. Sangat memperkaya, haha :). Tidak ada waktu buat break. Coffee time, lunch time, dipakai untuk networking dan perbincangan2 lain. Kalau aku sempat duduk sekedar tweeting, Mr Enoch Tan akan memperkenalkanku ke salah satu tokoh penting (diempasis seperti itu) yang harus diajak berbincang. Seru, asik, menegangkan (nggak boleh ngantuk). Aku sempat tweeting justru sambil mendengarkan presentasi :).

Ada sebuah peragaan WiMAX yang menarik. WiMAX, dikoneksi via WiFi ke iPad, digunakan untuk menampilkan sebuah video dari iPad. Kecepatannya bisa melebihi video yang sama yang ditampilkan secara lokal dari sebuah notebook di sebelahnya. Menarik. Juga penggunakan telefon via WiMAX.

Anehnya, tidak ada acara yang disiapkan untuk malamnya. Tidak ada semacam gala dinner atau hal2 semacam itu. Dan karena malam tak sehat buat aku jalan2 keliling, aku mengunjungi tiga titik di Taipei: Sun Yat Sen memorial hall, Taipei 101 tower, dan terakhir Chiang Kai Shek memorial hall. Aku cuman mau lihat arsitektur dari hal2 yang dikerjakan dengan keseriusan tingkat tinggi (untuk menghormati orang2 yang dianggap penting). Di Taipei 101, aku menyesatkan diri ke toko buku (wajib ini mah). Dapat Le Petit Prince edisi huruf kanji, dalam versi halaman kanan (kayak Al-Quran) dan versi halaman kanan (kayak buku Sang Kancil). Tak sia2 memilih CKS Memorial paling malam. Tampilan malamnya pun masih menarik, dengan langit malam musim panas yang masih merona merah. Tapi aku memang dilarang jalan malam. Kondisi badan turun lagi. Balik lagi ke Sheraton. Oh ya, aku jalan2 sendiri, jadi nggak ada yang ambilin foto, haha :).

Selasa 13 Juli, forum dilanjutkan. Di hari kedua ini, bentuknya gabungan antara presentasi dan panel. Aku memperoleh giliran berpresentasi di sesi pertama, giliran kedua. Judul presentasinya klasik nian: “4G Mobile: opportunities & challenges in Indonesia” :). Dipresentasikan dalam 20 menit, aku memulai dengan bercerita tentang kondisi Indonesia: bagaimana publik cukup mengantusiasi gaya hidup mobile Internet, dilihat dari rank Twitter, Facebook, dan Opera Mini kita. Lalu persiapan2 Telkom Group masuk ke network 4G (LTE dan WiMAX). Lalu ke bagaimana ini dimatchkan dengan potensi dan demand dari komunitas developers, enthusiasts, dan lifestylists (nggak, aku nggak pakai istilah kayak gini) se-Indonesia. Sedikit juga tentang Indigo, IPTV, dan SDF/SDP. Lalu beberapa model implementasi LTE untuk daerah dan segmen yang beragam, dengan model migrasi yang berbeda. Lalu ke regulasi WiMAX. Selesai tepat 20 menit.

Setelah presentasi itu, aku harus menunggu 20 menit untuk mendengarkan presentasi implementasi 4G, khususnya WiMAX, di Filipina. Dan aku harus naik panggung lagi untuk mengikuti diskusi panel yang memakan waktu setengah jam. Tugasku selesai.

Selesai? Tentu tidak. Di bawah, networking masih berlanjut. Sekarang aku diperintahkan Mr Tan untuk menemui Profesor dari RRC itu (nggak ditulis namanya ah, takut digoogle beliau). Beliau memiliki posisi cukup penting, dan harus dikawal beberapa orang :). Seharusnya aku datang dari Indonesia nggak sendirian :). Diskusi serius tentang regulasi, tentang IEEE, tentang konferensi lainnya, dll. Lalu diskusi lagi dengan pihak dari kementrian Taiwan. Lalu aku pamit ke Mr Tan untuk pulang duluan.

Pesawatku berangkat tengah hari; jadi aku tak mengikuti konferensi sampai selesai. Rincian perjalanan aku tulis saja nanti di blog satunya :). Taipei ditempuh dalam 5 jam melalui turbulensi yang khas Asia Timur. Haha. Kalimat peringatan bahwa kondisi udara sedang buruk itu tidak pernah diseriusi lagi oleh siapa pun, karena jadi peringatan rutin di kawasan ini (termasuk Indonesia). Transit sebentar di Singapore, melaju lagi ke Jakarta, dan melandas menjelang tengah malam.

Aku bangun setiap sekian menit tadi malam. Efek turbulensi tak menggangguku di angkasa. Tapi sampai darat, ia masih berlanjut. Rasanya kasur terus berputar.

Jalan-Jalan ke Malang

Dalam break antara sesi diskusi Dave Bowler Februari lalu, sebuah telefon masuk. Nomor Malang. Dan di ujung sana — sebuah surprise — suara Pak Sholeh. Beliau mengajak sesekali menjenguk kampus Brawijaya, kalau sedang kebetulan ke Jawa Timur. Antara Februari sampai Mei itu, aku sudah melintasi garis khatulistiwa dan garis bujur 0 derajat. Aku juga sudah menghampiri — biarpun belum menembus — batas barat dan timurku (Cardiff kira2 sejajar Lannion dan masih kurang barat dibandingkan Glasgow; juga Mactan masih 1 derajat kurang timur dibanding Minahasa). Tapi ternyata belum sampai juga aku ke Jawa Timur.

Akhirnya, aku menyengaja datang ke Malang tanggal 19 Juni 2010 – berultah di kota yang sempat membesarkanku :). M Ary Mukti langsung bersedia bergabung – kebetulan ada kompetisi robotika antar kampus yang diselenggarakan di Malang. Dan yang menarik, Arief Hamdani juga berminat bergabung. Waktu diarrange bersama Pak Sholeh. Trus memilih transportasi. Tak banyak waktu luang di pertengahan tahun ini. Jadi aku harus berangkat pada Hari-H itu juga. Arief Hamdani sempat naik kereta pada H-1, sementara Ary Murti sudah dari H-2 ada di Malang buat bermain2 dengan robot2nya.

Dini hari, aku sudah meluncur ke Soekarno-Hatta Airport (CGK). Masih dengan nada kelelahan dari hari2 sebelumnya. Sarapan sebentar di Sunda Kelapa Lounge (dan ketemu Rakhmat Januardi, juga alumnus Unibraw), aku langsung boarding. Dan bukan pertama kali aku tertidur justru waktu pesawat selesai proses taxi dan sedang tinggal landas. OK, jadi aku tak merasai lompatan sang Garuda. Aku terbangun di atas Jakarta Timur. Notebook dibuka, dan presentasi dibereskan. Ini adalah gabungan dari presentasi2 IEEE sebelumnya, ditambah dengan ikhwal New Convergence. Aku review sebentar, saat pemandangan yang akrab di mataku tampil di luar jendela. Hey, itu Mt Semeru! Cuaca cerah, hingga Mt Semeru tampak di jendela. Nampaknya pesawat memasuki landasan ini dari arah Selatan :). Landasan Abdurrachman Saleh (MLG) ini pendek, tetapi Garuda mendarat dengan percaya diri, tanpa hentakan.

Ini perjalanan pendek. Tapi aku bawa 1 luggage. Dan beratnya mendekati batas berat luggage untuk kartu GFF Platinum, yaitu 30kg. Aku memang iseng membawai jurnal2 IEEE Communications dan IEEE Internet Computing beberapa tahun terakhir ini ke Malang buat oleh2. Plus 2 DVD berisi berbagai proceeding. Tentu berat :). Menyeret luggage antik ini, pandangan tertumbuk ke senyum Pak Sholeh. Dan di sebelahnya: Pak Chairuzzaini :). Wow, kejutan!

OK, orang2 ini special buat aku. Pak Sholeh adalah satu dari penguji skripsiku. Dan bukan penguji yang murah hati. Tapi beliau mengasah skripsiku jadi lebih tajam dan membuat aku suka membacanya lagi :). Beliau juga pernah memberi nilai B buatku di mata kuliah Komunikasi Optik (minoritas B, tidak ada A di kelas itu), dan membuat aku jadi harus menghabiskan liburan buat belajar komunikasi optik lebih serius — malu sama nilai.

Pak Zaini mewarnai masa kuliahku bahkan dari hari pertama – beliau adalah dosen waliku. Juga pengarah waktu aku jadi redaksi majalah Quad. Beliau suka becanda, tapi jarang tertawa. Jadi aku suka berbagi canda di ruang kerja beliau, sambil sama2 berkeras untuk tak tertawa. Pun sikap beliau di kelas tak jadi lunak. Ujian, jaket harus dilepas (itu agak jadi masalah buat aku). OK, aku cerita 2 episode dulu tentang Mr Zaini sekian tahun sebelumnya. Yang lain … lain hari.

Episode 1. Aku baru datang dari LPK Kopma — tempat aku cari uang jadi instruktur komputer. Tensi turun (kayak sekarang), pusing, dan kehujanan. Di pintu kelas, aku malah tanya ke Pak Zaini: “Hari ini kuis nggak Pak?” Beliau bertanya serius: “Kalau kuis kenapa?” Dan aku jawab: “Kalau kuis, saya mau masuk.” Beliau menyuruh masuk. Kelas penuh, jadi aku duduk paling depan. Pak Zaini mulai mengajar. Tapi … “Tapi nggak ada kuis. Kamu boleh istirahat saja,” kata beliau. Aku minta izin, “Boleh tidur di sini, Pak?” Dan tetap dengan muka sama2 serius, beliau membolehkan. Aku benar2 tidur di kelas, di kursi paling depan. Bangun, papan tulis sudah penuh skema dan berbagai huruf latin dan Yunani. Analisis transien dengan … aku langsung protes: “Yang di tengah kan short, Pak? Buat apa dihitung. Nantinya akan ke 0.” “Itu dia. Nantinya dia akan stabil di 0. Sebetulnya nggak usah dihitung. Yang bangun tidur saja tahu,” kata beliau. OK, aku belum ketinggalan. Jadi kuliah diteruskan.

Episode 2. Aku udah nggak punya kuliah yang dipegang Pak Zaini. Jadi aku mulai iseng main2 ke rumah beliau. (Aku nggak suka berakrab2 dengan dosen, kalau aku masih tergantung pada dosen itu. Ini efek dari zaman SMP, dimana guru2 doyan ngasih nilai bagus buat murid2 yang suka berakrab2 — I hate that). Kebetulan dosen pembimbing skripsiku rumahnya dekat beliau. Masuk rumah, aku lihat Pak Zaini sedang menggali2 taman. Memakamkan kertas2 ujian. “Mahasiswa kayak kamu, ingat Bismillah hanya waktu ujian. Ditulis lagi. Jadi nggak bisa dibakar, dan tentu nggak bisa dijual. Dikubur saja.” “Saya nggak bantu ya Pak. Pusing nih.” Beliau senyum. Trus aku berbaring di kursi malas, dan beliau mengambilkan air jeruk, dan meneruskan menggali2 tanah. Bener2 mahasiswa kurang ajar. Tapi aku lelah :). Selesai, kami nonton Jurassic Park :). Duh, masih ingat. Kacau.

Pak Zaini sudah sempat operasi jantung 9x. Jadi amat ajaib bahwa beliau sempat ikut menjemput aku ke airport. Benar2 kejutan luar biasa. Kami langsung ke kampus. Di tengah jalan, beliau sempat menyampaikan keheranannya bahwa beliau masih bisa hidup setelah melalui 9x operasi jantung itu. Aku riang saja menyampaikan bahwa tampaknya ada hal yang harus beliau lakukan sebelum suatu hari kita semua pergi. Itu diskusi sambil ketawa-ketawa. Sambil bahas urusan jabulani si bola ajaib. Dan Smith Chart, haha. Kampus cukup dekat dari airport, jadi tak lama kami sudah sampai Departemen Teknik Elektro Unibraw. Satu sesi kopi dulu buat menyegarkan pagi. Tak lama bergabunglah Ary Murti yang baru menjemput Arief Hamdani ke stasiun. Kami langsung masuk ke salah satu ruang kelas.

Kelas terisi sekitar 80 orang, termasuk beberapa dosen, dan dosen senior. Ada Mr Dhofir yang dulu menghadiahiku nilai A untuk Teori Medan (dan membuatku doyan menulisi Maxwell Equation di mana2). Ada Mr Wahyu, yang tugas2 seminarnya dulu bikin panik, tapi bikin aku mendadak pintar bahasa Inggris (reading, skimming, etc). Serius, Mr Wahyu ini salah satu yang paling berjasa bikin aku bisa bahasa Inggris :) — tak termasuk speaking :). Ada Mr Daru, teman seangkatanku, yang dulu doyan naik gunung dan tempat 2 liar seantero Nusantara. Lucu juga temen seangkatanku ni — wajahnya nggak berubah. Ada … eh, kuliah dimulai.

Kuliah ini bertema 4G Mobile Network. Materinya tak jauh dari yang sering disampaikan di forum2 IEEE. Tapi ada yang menarik. Teman2 di Unibraw ternyata sudah cukup mendalami technology behind 4G. Aku banyak melakukan skip2, sambil cukup memberikan simpulan2 di titik2 tertentu. Lalu Arief Hamdani menjelaskan soal LTE, including oleh2 info terbaru dari LTE Summit di Amsterdam bulan sebelumnya. Lebih menarik lagi, tanya jawab langsung terjadi, dan langsung menembak bagian2 kritis; baik pada teknologi, implementasi, hingga arah bisnis. Surprise juga :). Di kampus lain mahasiswa tak seaktif ini, terutama di depan dosen2 mereka. Aku serasa kembali sekian tahun lalu, waktu berdebat panjang dengan Widiyanto dan Sigit Shalako tentang perlunya membuat Workshop Mahasiswa yang melengkapi materi kuliah dosen. Kekurangajaran kami tak unik — itu tradisi yang berlanjut sampai sekarang. Ary Murti memancing dengan bercerita tentang IEEE Student Branches yang mulai didirikan di kampus2 tetangga. Mudah2an pancingannya berhasil :).

Sayang, waktu terlalu singkat. Arief Hamdani langsung meluncur ke Juanda Airport mengejar pesawat untuk kembali ke Jakarta. Aku meneruskan diskusi tentang Mobile Content (context-aware applications). Lalu mengakhiri kuliah. Trus lunch rawon dengkul di Jl Ijen. OK, mungkin kolesterolnya tinggi, masih dengan Mr Zaini dan Mr Sholeh. But it was my birthday. Boleh donk pesta :).

Sisa hari dihabiskan dengan menemani Ary Murti ke Kompetisi Robotika Antar Universitas yang diselenggarakan di Univ Muhammadiyah Malang. Kebetulan Ketua Dewan Juri-nya Dr Wahidin Wahab — juga salah satu past chair dari IEEE Indonesia Section. Kompetisi yang sungguh menarik. Aku baru sadar bahwa mahasiswa Indonesia sudah sedemikian advanced-nya merancang prototype robot2 dengan berbagai tugas (pemadam kebakaran, penari, dll). Dan tak terasa Malang memasuki tengah malam. Dinner di dekat Pulosari. Lalu … z z z z z.

Dan paginya Garuda menerbangkan aku lagi ke Jakarta. Siang dink. Delay 2 jam. Tak apa. Aku berterima kasih bahwa Garuda memberiku delay waktu pulang, bukan waktu berangkat ke Malang. Plus, delay sambil melihat lereng Gunung Semeru dan Gunung Arjuno, itu seperti bonus tambahan untuk trip hari ini. Luggage yang sempat kosong, kali ini diisi kripik tempe, kripik apel, kripik salak, dll.

Greenwich

Dulu, kata buku-buku kuno, tidak ada standar waktu seperti sekarang. Setiap tempat, setiap kota, menentukan waktunya sendiri dengan sinkronisasi terhadap matahari. Pukul 12.00, matahari harus berada di titik tertinggi. Atau mungkin direratakan. Misalnya, saat di Malang sudah pukul 12.00, di Jayakarta barangkali masih pukul 11.35. Namun di tahun 1879, Sir Sandford Fleming (seorang ilmuwan Kanada) mengusulkan perlunya penstandaran. Ini terjadi gara-gara ia ketinggalan kereta di Irlandia akibat selisih waktu yang tercatat pada form keberangkatan kereta denga. Ia mengusulkan bumi agar dibagi menjadi 24 zone waktu, dengan setiap zone berselisih satu jam. Daerah dalam setiap zone harus memiliki waktu yang sama. Usulnya diperhatikan dan diakomodasi dalam bentuk berbeda dalam International Meridian Conference tahun 1884. Untuk menentukan zone waktu, orang harus mengukur posisi bujur di kotanya. Nah, waktu itu, sekitar 2/3 lokasi di dunia diukur jarak bujurnya dari Greenwich, yang merupakan pangkalan maritim Kekaisaran Inggris. Maka konferensi merekomendasikan penggunaan waktu dengan standard GMT — Greenwich Mean Time. Titik ukur standardnya adalah pada Observatorium Kerajaan Inggris di Greenwich. Perancis, yang memiliki standarnya sendiri (baca Da Vinci Code deh), baru menggunakan standar ini tahun 1911. Di tahun 1929, seluruh negara menggunakan standar GMT. GMT dihitung dari rerata waktu di titik ukur di Greenwich (tak menghitung pergeseran waktu musim panas yang ditetapkan tersendiri). Tetapi tentu pengukuran fisik seperti ini menimbulkan selisih-selisih. Banyak iregularitas pada putaran bumi, dan lain-lain. Maka di tahun 1972, ditetapkan standar baru, yaitu UCT (coordinated universal time), yang menggunakan arloji atomik untuk menghitung waktu standar. Namun jika kita tidak menghitung presisi waktu hingga satuan detik, umumnya UCT dianggap selaras dengan GMT.

Setelah Cardiff, Coventry, York, dan Thirsk, kami masih agak gamang harus menjelajahi kota besar seperti London. Apa menariknya kota besar? Haha :). Maka kami memutuskan pergi ke Greenwich. Greenwich sendiri merupakan kawasan di tenggara kota London, di selatan Sungai Thames. Tempat ini dijadikan cagar budaya oleh UNESCO karena banyak peninggalan masa lalu yang memiliki nilai budaya tinggi, dan masih difungsikan dengan baik. Dari kota London, kita bisa menumpang Underground hingga stasiun Bank atau Canary Wharf, lalu berpindah ke kereta ringan DLR ke Cutty Sark atau Greenwich. Dilanjutkan cukup dengan jalan kaki melewati kawasan perkotaan nan tetap asri ini. Di kawasan ini terdapat Greenwich Palace, Maritime Museum, dan lain-lain. Lalu Greenwich Park yang sangat luas, dengan rumput yang asri dan nyaman, dan pohon-pohon yang indah tertata. Di tengah park terdapat bukit. Di taman di sekitar bukit, banyak (banyak!) tupai-tupai jinak yang mau menghampiri kalau kita memanggil mereka dengan cara yang benar (haha). Dan di atas bukit ada Observatorium Kerajaan (Royal Observatory).

[nggallery id=4]

Observatorium ini didirikan tahun 1675 oleh Raja Charles II, mengambil tempat di Greenwich Castle. Arsiteknya adalah arsitek tenar Sir Christopher Wren. Raja juga mengangkat Astronom Kerajaan, yaitu saat itu John Flamsteed. Tugasnya adalah menjadi direktur observatorium dan mengerjakan secara rajin dan cermat segala pergerakan benda angkasa, serta pemosisian benda-benda yang mampu menjadi alat bantu bagi navigasi seluruh dunia. Maka bagian dari observatorium ini disebut juga Flamsteed House. Observatorium ini, sebagai tempat, fungsi, dan organisasi, kemudian mengalami banyak perubahan. Organisasinya sendiri sempat berpindah-pindah ke beberapa tempat, karena soal polusi, keamanan (bom dll), dan keakuratan pengukuran. Sempat di Sussex, dan terakhir di Cambridge, sebelum akhirnya ditutup. Observatorium Greenwich kemudian dijadikan museum dan tempat studi.

Pengunjung di observatorium ini cukup banyak. Kita tak diharuskan membeli tiket, tetapi dianjurkan mengisi kencleng donasi dengan misalnya £5. Di dalamnya ada museum yang berisi peralatan pengamatan perbintangan dan sistem navigasi, juga pusat sains tempat kita bisa mensimulasikan berbagai gejala astronomis. Di layar lebar ditampilkan sejarah bintang, dan bagaimana kita sebenarnya tersusun dari debu-debu bintang — bintang adalah bagian dari diri kita! Dan terdapat juga sebuah planetarium. Sayangnya, di dalam ruangan-ruangan itu, kita tak diperkenankan memotret. Yang juga tentu menarik buat dikunjungi adalah sebuah garis metal panjang di lantai, yang merupakan standard bujur 0º dunia. Kita bisa melompat ringan dari barat ke timur, atau membagi badan kita di barat dan di timur ;).

Selesai menjelajahi bagian barat dan timur bumi, kami menuruni bukit, becanda lagi dengan beberapa tupai, lalu meneruskan perjalanan menjelajahi kawasan unik ini. Tapi tak bisa lama. Kami jadi berminat ke Musium Sains di South Kensington juga :). Dan tentu saja The British Museum.

The Inextinguishable

London Symphony Orchestra, menurut Wikipedia, adalah salah satu orkestra terbaik di dunia. Patron orkestra ini adalah Ratu Inggris sendiri; presidennya Sir Colin Davis; dan konduktor utama adalah Valery Gergiev. Sir Colin Davis pernah menjadi konduktor utama juga pada tahun 1995-2006. Orkestra ini merupakan resident di Barbican Centre. Malam ini di Barbican Centre LSO memperformansikan The Inextinguishable.

The Inextinguishable adalah simfoni keempat dari Carl Nielsen. Walau aku bisa menikmati simfoni Nielsen kelima berulang dan berulang kali, tetapi aku belum cukup akrab dengan simfoni keempatnya. Saat akan menuliskan simfoni ini, Nielsen menulis kepada istrinya: “I have an idea for a new composition, which has no programme but will express what we understand by the spirit of life or manifestations of life, that is: everything that moves, that wants to live … just life and motion, though varied – very varied – yet connected, and as if constantly on the move, in one big movement or stream. I must have a word or a short title to express this; that will be enough. I cannot quite explain what I want, but what I want is good.” Maka The Inextinguishable menceritakan anasir daya kehidupan itu sendiri, yang bergerak lincah membentuk jiwa-jiwa dinamis dan beraneka rupa dan warna.

Performance Simfoni Keempat ini dikonduktori oleh Sir Colin Davis sendiri. Bukan performance biasa, aku pikir. Jadi, hanya beberapa menit setelah menjejakkan kaki di London dari perjalanan dari York, aku memutuskan mereservasi tempat di Barbican Centre. Barbican Centre sendiri terletak di City of London, bagian dari kota London yang kaya dengan pusat-pusat budaya.

Performance LSO dimulai pukul 19.30. Pada sesi pertama, LSO memainkan Simfoni 97 dari Haydn. Seperti simfony Haydn lainnya, musik ini menenangkan dan membersihkan pikiran. Lalu panggung ditata ulang. Piano besar di sudut ditengahkan. Tampillah Mitsuko Uchida; dan Sir Colin Davis kembali memimpin orkestra memainkan konserto piano yang lembut dari Mozart. Sempurna :).

Setelah sesi break, piano telah ditepikan kembali. Namun jumlah pemain ditambah lebih dari dua kali. Kelompok alat tiup mengisi setiap sisi panggung. Dan sepasang timpani mengisi ujung ruang.

Simfoni Keempat ini terdiri atas 4 movement, dan dimainkan tanpa break. Seperti simfoni Nielsen lainnya, movement pertama langsung diisi hentakan yang bergaya atonal. Tapi tak sedrastis Simfoni Kelima. Klarinet terasa mendominasi. Movement kedua, yang biasanya bersifat lebih tenang, masih dipenuhi paduan menarik dari alat-alat tiup. Violin dan dawai-dawai mendominasi movement ketiga, seperti menyiapkan diri ke klimaks movement terakhir. Di movement keempat, kedua timpani disandingkan mengiringi orkestra yang ditutup masih dengan rasa kepenasaranan yang tinggi.

Memang banyak alternatif untuk menggambarkan sang hidup. Bisa dalam bentuk perulangan yang menarik dan dinamik, atau dalam bentuk tanda tanya yang menggelitik, atau pengelanaan misteri panjang dengan keengganan untuk memasuki kedalaman. Atau ribuan variasi lain. Simfoni Keempat menggambarkan sang hidup dari sisi-sisi dinamika dan variasinya yang menarik. Menghentak, mengejar, dan berpadu dengan lincahnya menyeberangi batas dimensi realita dan kemayaan. Mengajukan kesetaraan antara yang mayor dan minor, antara yang mainstream dan yang terpinggirkan. Sungguh simfoni yang menarik untuk jadi bahan perenungan awal untuk memulai penjelajahan di kota London.

Darrowby

Entah mengapa bis itu mendadak terguncang di jalan rata itu. Aku mendapati diriku terjaga di antara bukit-bukit Yorkshire Dales yang nyaris seluruhnya berwarna variasi hijau dari padang rumput yang luas dan pohon-pohon musim semi. Jalan berkelok-kelok di antara ladang dan peternakan dengan kuda, lembu, dan domba. Sinar matahari masih berusaha menembus awan kelabu saat bis memasuki sebuah kota kecil. Tak sampai semenit, bis sudah berhenti di samping menara lonceng kecil (townclock). Lahan luas marketplace berfungsi jadi lahan parkir. Di sampingnya toko-toko berjajar berwarna-warni. Toko koperasi menarik perhatianku dan membuatku tersenyum tak sengaja. Kami menapak turun, dan menjejakkan kaki di Darrowby.

Blog ini amat sering menyebut kota ini: Thirsk, di Yorkshire. Seorang dokter hewan yang juga penulis handal, bernama samaran James Herriot, memperkenalkan kota dalam buku-bukunya ini ke seluruh dunia sebagai Darrowby. Adalah buku perdananya, Seandainya Mereka Bisa Bicara, yang membawaku ke kota ini. Seorang fotografer dari The Northern Echo, Richard, menungguku di bawah lonceng, dan mengambil fotoku bersama buku kenangan itu. Lalu kami menapaktilasi langkah Herriot mendatangi rumah Skeldale House. Richard meninggalkan kami di sana.

Tak seperti Herriot, aku tak perlu menekan bel dan mendengarkan lima ekor anjing menyalak keras. Margaret sudah di depan rumah dan menyambut ramah. Kami becanda dengan renyah dan asyiknya, sebelum akhirnya ia menyuruh kami membeli tiket di rumah sebelah. “Follow me, Luv,” ajaknya. Lalu dengan aksen Yorkshirenya ia menceritakan apa yang terjadi setelah buku2 itu. Anak-anak James masih di Thirsk: Jim jadi dokter hewan dan Rosie jadi dokter. Rumah itu dijadikan museum sejak 1995. Juga Margaret menanyai bagaimana orang dari ujung dunia yang lain ini bisa menemukan Skeldale House. Haha, keajaiban Internet.

Akhirnya aku diperkenankan menekan bel. Rrrrrring. Tetap tak ada anjing menyalak. Kami harus membuka pintu sendiri. Di dalam rumah, ruang-ruang dipelihara seperti aslinya: ruang makan resmi, ruang keluarga, ruang obat2an, ruang operasi, ruang sarapan, dan gang ke ruang-ruang di belakang. Terbayang Tristan mengendarai sepeda di gang kecil itu.

Semuanya tampak seperti mimpi yang mewujud keluar dari buku yang kubaca dan kubaca lagi bertahun-tahun. Tak ada montir tua menunggu di belakang. Tapi aku boleh mengendarai Austin tua milik James, asal tak melebihi kecepatan 0 mph.

Di bagian belakang, sebuah ruangan disiapkan untuk mengenal James lebih pribadi. Ini sering aku blog juga. Nama asli James Herriot adalah James Alfred Wight, dipanggil Alf, lahir di Sunderland tapi tumbuh di Glasgow. Ortunya memilih Glasgow untuk membangun keluarga dan mendidik anak dengan budaya yang baik. Alf menyukai musik klasik dan gemar menulis buku harian. Kagum dan terpukau aku membaca buku harian Alf muda yang diisi setiap hari. Namun seorang profesor datang ke sekolahnya dan membuatnya mendadak ingin mendalami sains dan menjadi dokter hewan. Ia berkuliah di Glasgow, tempat para mahasiswa tak serius berkuliah. Tapi akhirnya ia lulus, sempat bekerja di Inggris Utara, lalu pindah ke Yorkshire, pada seorang dokter hewan bernama Donald Sinclair di kota Thirsk. Yorkshire, lingkungannya, penduduknya, tantangannya, membuat Alf betah di kota ini, hingga menikah dan membesarkan anak2nya. Serial buku Herriot dijamin membuat kita memahami mengapa ia tak ingin pergi dari sini.

Ia menikmati hidupnya. Masih menikmati musik klasik, menulis buku harian, mendidik anak-anaknya. Tapi kerja keras tak selalu menghasilkan uang. Tabungannya hanya £20 saja. Ia jadi punya ide mengemas buku hariannya jadi buku. Joan, istrinya, berkomentar: tak ada orang yang mulai menulis pada umur segini. Tapi ia menulis, dan setelah beberapa tahun ditolak, akhirnya bukunya terbit dan sukses di kedua sisi Atlantik, lalu diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.

Menembus ke ruang sebelah, yang sebenarnya sudah bagian dari rumah tetangga, sebuah pesawat telefon hitam berdering. Serasa mendengar hardikan Donald a.k.a. Siegfried, “Pick up the phone!” aku mengangkat telefon itu. Langsung terdengar suara petani di ujung sana, menyerocos dengan dialek entah apa, mengeluhkan kondisi ternaknya, dan langsung membanting telefonnya. Kuletakkan telefon perlahan. Membeli topi biru, kami berjalan ke sekitar Thirsk. Marketplace dikelilingi toko yang ramai: toko-toko buku, kafe, toko manisan (hey, mungkin ini tempat si kucing Alfred yang harus dioperasi mengeluarkan bulu lebatnya dari dalam lambung itu), bank-bank.

Terus ke luar, sebuah jembatan membentang di atas sungai. Sungai Darrow, kata James di bukunya. Di baliknya: rumah-rumah dari batu bata merah; dan diseberangnya: kembali lembah-lembah dan bukit-bukit dengan hewan-hewan ternak yang dilepas di atas padang rumput luas.

Hidup tak tampak rumit di sini. Sekilas aku jadi membayangkan spiral besar yang sedang kita bangun di Indonesia, menumbuhkan kreasi digital, meningkatkan kebutuhan akan akses digital, menjadikan itu alasan untuk berinvestasi membesarkan dan menganekaragamkan pipa-pipa digital, lalu mengisinya dengan menumbuhkan kreasi digital lagi. Sungguh hidup yang jauh berbeda. Tapi seperti juga James, aku memilih untuk menjalani setiap bentuk dan variasi kehidupan, menikmatinya setiap keunikannya dengan rasa sayang, menjelajahi setiap rasa penasaran kita, dan terus rajin menulis ;). “Jump in,” teriak sopir bus ke arah Liverpool itu. Kami lompat masuk. Kembali ke York.

Le Royaume Uni

Alkisah, Presiden Blogger Indonesia 2009, Iman Brotoseno mendadak menanyai apakah aku berminat terbang ke London. Mungkin keseringan mendengar mars Rule Britannica, aku langsung menjawab dengan SMS satu kata: Deal. Lalu Mas Iman merinci syarat dan ketentuan. Air Asia akan menyediakan tiket penerbangan, dari Jakarta-Kualalumpur, dan Kualalumpur-London, dan arah balik. Tapi hanya itu yang akan disediakan. Pajak, akomodasi, visa, dll, harus ditanggung sendiri. Dan seterusnya. Bagian ini sudah aku ceritakan di blog satunya.

Aku meluangkan hanya beberapa jam untuk membuat rencana perjalanan. Pekerjaan berikutnya adalah mengajukan visa ke UK. Syarat-syarat terdengar berat, tetapi ternyata tak sulit dilalui. Lalu aku mulai memesan tiket kereta api, bis, hingga akomodasi hotel. Konon, terutama untuk kereta api, tiket kereta api jauh lebih mahal jika kita memesan mendadak atau membeli di tempat. Tiket pesawat diperoleh setelah pajak-pajaknya dibayar. Pihak-pihak Air Asia sangat ramah dan cekatan membantu kami mengurus tiket-tiket ini.

Kami berangkat di pertengahan April. Tapi di tanggal yang salah. Tak satu hari lebih cepat atau satu hari lebih lambat dari ditutupnya Stansted dan kemudian seluruh airport di UK dan kemudian seluruh airport di mayoritas negeri di Eropa, akibat abu dari letusan gunung Eyjafjallajökull di Iceland. Kami sempat terdampar di Kualalumpur tanpa informasi yang memadai. Setelah beberapa hari di KL, akhirnya kami kembali ke Indonesia. Setelah abu mereda, perjalanan direncanakan kembali. Tak semudah rencana semula. Semua tiket kereta api dinyatakan hangus, tiket bis akhirnya dinyatakan hangus juga, tetapi akomodasi hotel bisa dijadwalkan kembali. Rescheduling tiket di Air Asia amat sulit. Tapi kami tertolong oleh PIC yang menangani sponsorship perjalanan ini. Namun, karena tiket Jakarta-Kualalumpur telah kami pakai, kami harus membeli kembali tiket baru Jakarta-Kualalumpur.

Rencana final perjalanan ini (Revisi D) adalah seperti ini: Stansted -> Cardiff -> Coventry -> York & Thirsk -> London -> Stansted

Rincian rencana per tanggal:

  1. Stansted – London – Cardiff dengan coach. Menjelajahi kota Cardiff dan menginap di Ibis Cardiff.
  2. Pagi masih di Cardiff. Lalu coach Cardiff – Birmingham. Berjalan-jalan sebentar di Birmingham, lalu naik bis atau kereta lokal ke Coventry. Menginap di Ibis Coventry Centre.
  3. Menikmati hari di Coventry.
  4. Berjalan2 ke luar kota Coventry (Warwick, Leamington, Stratford, atau lainnya). Malam dengan coach pergi ke Leeds lalu ke York. Menginap di Ibis York Centre.
  5. Pagi di York, lalu dengan transport lokal ke Thirsk. Hello Darrowby. Sore balik ke York.
  6. Pagi di York, lalu dengan coach ke London. Menginap di Wisma Siswa Merdeka :).
  7. Ke Greenwich dan berkeliling London.
  8. Pagi meneruskan menjelajah London. Sore ke Stansted, lalu terbang meninggalkan UK.
  9. Sampai di Jakarta.

Ini waktu yang menarik untuk berada di UK. Rakyat di sini tengah menyiapkan diri menghadapi pemilu besok. Diperkirakan akan terjadi peralihan kekuasaan dari Partai Buruh ke Partai Konservatif lagi. Mudah-mudahan ini tak menjadikan Inggris sekaku zaman aku pertama kali menjejakkan kaki di sini. Udara musim semi menarik. Suhu masih dingin menggigilkan. Sinar matahari langsung akan menghangatkan. Tapi selapis awan tipis atau atap penghalang cukup untuk menghilangkan hangatnya radiasi, dan mengembalikan kita ke dinginnya suhu udara. Bunga-bunga sudah bermekaran beraneka warna di setiap kota. Tupai-tupai sudah mulai berlompatan di taman mencari makan (makanan simpanan musim dingin sudah habis atau rusak, sementara biji baru belum banyak tumbuh di pohon). Penduduk dan turis sudah meramaikan kota dengan keceriaan. Waktu sudah disetel ke summertime (UCT +1 atau WIB -6). Pun matahari baru tenggelam di atas pukul 20:00.

Beberapa tweet account yang memberikan info tentang kota atau negeri tujuan jalan-jalan ini:

So, here we are!

Coventry

Coventry menyambut dengan aroma bekunya yang khas dan akrab. Cukup menyentakku, menghadirkan ilusi seolah aku baru meninggalkan kota ini beberapa bulan lalu. Banyak yang nampaknya terbekukan waktu: gedung dengan label yang sama, teks yang sama, aroma yang sama, dan nada yang sama. Mesin jaguar di Q Block, penjaga KFC, hingga matahari yang belum terbenam pukul 20:00.

Tapi sebenarnya banyak yang berubah. Lower precinct yang dulu direnovasi itu, kini sudah jadi mall yang ramah, menyatu dengan upper precinct yang tak berubah itu. Konon inilah pedestrian precinct pertama di Inggris, yang kemudian banyak ditiru kota lainnya. Millenium arc juga sudah selesai, menambah menarik kawasan sekitar Pool Meadow dan Museum Transportasi.

Coventry pernah jadi kota keempat terbesar di Inggris, setelah London, Norwich, dan Bristol. Sempat tumbuh dari industri wool dan tekstil, ia beralih jadi raja industri mekanik: jam tangan, sepeda, hingga mobil. Namun industri persenjataannyalah yang membuat kota ini habis diluluhlantakkan Luftwaffe tahun 1940.

Kota-kota di sekitar Coventry menampilkan kecantikan masa lalu. Warwick dengan tembok megah dan kastil raksasanya; Leamington dengan taman luas dan gedung anggun bernuansa krem; Stratford-upon-Avon dengan beraneka gaya kecentilan abad2 lalu. Tetapi bom-bom dari Jerman membuat Coventry kehilangan banyak dari masa lalu itu. Namun, seperti seekor phoenix, ia bangkit dari abu kehancurannya, membangun diri sebagai kota modern.

Beberapa situs menandai masa-masa dibangunnya Coventry saat itu. Belgrade Theatre dibangun atas sumbangan rakyat Yugoslavia, karena saat itu Coventry masih harus membangun instalasi vital. Patung-patung rekonsiliasi menunjukkan tiadanya minat mengungkit luka dan lebih memilih bekerja akrab meningkatkan harkat. Dan warna multikultural Coventry adalah warna asali yang membentuk kota ini.

Tentu aku mengawali jelajah Coventry dari Coventry University. Kampus berlogo phoenix ini menjadi simbol kota Coventry yang menjadi kuat oleh kemampuan dan kepeloporan teknologi. Lanchester library, technopark, gedung Jaguar (ruang kuliahku dulu), hingga kantor pusat dengan penjaga yang extra ramah. Logo baru (yaitu logo lama yang dicerminkan) kini menghiasi hampir semua gedung di kampus ini.

Herbert Museum, yaitu pusat budaya dan sejarah Coventry, jadi tujuan berikutnya. Kebetulan ada pameran tentang asal usul Coventry di sini; dari masa prasejarah Coventry, pembentukan kota dan kisah Lady Godiva, perang saudara dan revolusi industri, hingga hancur dan lahir kembalinya Coventry.

Barulah kemudian city centre dan kawasan precinct. Dan kemudian kawasan lain di sekitar kota. Dan berakhir dengan kunjungan ke kota-kota di sekitar. Stratford-upon-Avon dengan puluhan angsa putih yang besar namun lincah di sungai Avon, Warwick dengan kastilnya nan megah dan fantastik, dan Leamington dengan tupai-tupai imutnya. Lalu, Coventry kembali harus ditinggalkan.

Coventry menginspirasi untuk bergerak, berinovasi kreatif, berkomitmen pada kejujuran ilmiah, dan terus maju ke depan; bukan untuk terus berada di masa lalu atau melamuni masa kini. Maka kunjungan ke Coventry belum selesai. Kita terus berada di Coventry justru saat kaki kita melompat jauh darinya, dan kekuatan kreatif kita mewarnai dunia-dunia yang terus kita jelajahi.

From South Wales to West Midlands

Tak heran kalau seorang penulis terkenal (?) pun menyangka James Herriot tinggal di Edensor, atau tempat lain di Britania Raya ini. Melintasi jalan2 utama di luar kota, kita dipameri pemandangan yang bergaya Herriot: perbukitan yang hijau dan luas, jalan desa berliku, pagar2 membatasi wilayah peternakan yang luas, rumput hijau melebar, dan belasan hingga puluhan ternah yang dilepas bebas di atasnya untuk menikmati makanan segar di musim semi. Kuda coklat dan hitam, lembu coklat dan hitam dan belang, domba berbulu putih tebal. Pemandangan seperti ini tampak bahkan hingga ke Wales. Enggan rasanya memejamkan mata dalam bis yang kencang dan bergoncang, dalam perjalanan dari London ke South Wales dan kemudian ke West Midlands.

Di perjalanan ini, kami agak menghindari kota besar. Tak terlalu nyaman rasanya menjelajahi mall2 yang sebenarnya kalah megah dibandingkan Jakarta dan Singapore. Pun di kota besar, jarak antara tempat2 menarik biasanya cukup jauh. Untuk kunjungan singkat dan banyak dilakukan dengan berjalan kaki, ini sungguh tak nyaman.

Kota semacam Cardiff memberikan semangat dan inspirasi tersendiri. Ruang hidup yang sederhana membuat warga lebih bahagia, ramah, dan kreatif. Kota jadi lahan kreasi orang ramah. Sambutan atas tamu terasa amat berbeda dengan di London atau Birmingham. Kami menutup kunjungan ke Cardiff dengan berkeliling hingga Cardiff bay. Dan auditorium berwarna jazz ringan menampilkan warga yang tengah mempersiapkan sebuah performance. Sayang kami harus pergi.

Kami masih menyegaja melintas kota besar untuk melihat hal yang juga menarik minat: toko buku. Maka Birmingham dihampiri untuk menengok Waterstone’s di New Street. Bertingkat 5, ruangan di dalamnya mirip kastil modern, dengan karpet tebal, sofa nyaman, rak buku berwarna klasik, buku yang amat bervariasi, dan rekomendasi buku yang ditulis tangan oleh pengelola toko. Toko buku di kota besar selalu lebih besar dan memiliki variasi buku lebih banyak. Dalam hal ini Jakarta sungguh terbelakang dibandingkan kota2 lain: tak ada toko buku yang memberikan buku2 dengan informasi terbaru dengan spektrum yang luas. Aksara dan Gramedia,asih jauh. Kinokuniya juga belum. Mungkin salah sistem pendidikan kita juga yang mewajarkan spektrum yang sempit, buku2 bajakan di lingkungan akademik, dan penghamburan uang yang berharga untuk hal2 yang lebih superficial.

Hampir pukul 20, dengan langit masih putih berlapis mendung, aku menatap tiga menara runcing di kejauhan, yang menjadi ciri kota Coventry. Lalu rumah2 yang mirip di … di … mungkin tak mirip di mana2 selain di kenanganku. Lalu jalan melingkar itu. Dan aku tiba di Pool Meadow. Welcome back to Coventry, Koen.

Croeso i Gymru, Croeso i Gaerdydd

April berganti Mei, dan aku melewatkan tengah malam berpurnama itu di fasilitas UK Border. Biasanya kita menamainya loket imigrasi. Tapi petugas di dalamnya terlalu ramah untuk sebuah loket jawatan pemerintah. Setelah bincang singkat itu, kami masuk ke baggage claim di Stansted Airport. Melaporkan diri sejenak ke Twitter, kami membeli £££, melontar ke bus station di bawah, lalu meluncur ke Victoria.

National Express dengan kejam menurunkan kami di halte di jalan gelap di Victoria. Bukan di dalam coach station. Malam beku, dan aku belum siap dengan lapisan2 baju hangat. Berjalan 3 blok, kami masuk ke coach station. Si coach mengikuti kami, haha. Prosedur atau pelit? Victoria coach station sendiri terlalu beku untuk diceritakan. Sepasang pengunjung yang seperti kami menyelamatkanku dari pencuri yang sudah mengambil tasku yang berisi seluruh tiket dan sebagian cadangan cash.

Dua coach membawa para penumpang ke Cardiff. Satu melalui Newport (Casnewydd), dan satu langsung. Langit mendadak cerah. Berlapis awan menampilkan langit bersuasana holografik berlatar biru lembut. Padang rumput dan canola; peternakan sapi, kuda, dan domba; rumah2 petani dan kota2 kecil, membuatku ingat bahwa aku akan ke Darrowby beberapa hari lagi. Lamunan terputus saat coach melintasi sebuah jembatan yang membelah Bristol Channel. Di ujung jembatan sebuah tanda menyambut ramah: Croeso i Gymru. Selamat datang di Cymru.

Cymru adalah negeri di bagian barat Britania. Ia satu dari 4 negara yang bergabung dalam United Kingdom, menemani England, Scotland, dan North Ireland. Nama Cymru kira2 berarti negeri kami, dihuni oleh Cymraeg, bangsa kami. Orang England menyebutnya Wales, yang berarti negeri asing. Aku pernah menulis tentang ini di salah satu blog tahun 2001 dulu. Tentu saja penduduk di sini berbahasa Inggris. Mereka hanya sedang mengobarkan kembali budaya Wales.

Perlu hampir 1 jam untuk akhirnya menjangkau pusat dari ibukota Cymru: Caerdydd (Cardiff). Kota ini berawal dari fort Romawi tahun 55, lalu memperoleh pengaruh Viking dan Norman juga. Tahun 1091, puri Cardiff dibangun. Akhir abad ke-19, kanal Glamorganshire dibangun untuk memudahkan ekspor batubara. Cardiff jadi pusat ekspor batubara dunia. Lalu akhirnya dijadikan ibukota wilayah Wales. Sempat menurun tahun 1970an, Cardiff bangkit dengan gaya barunya sebagai kota Eropa abad 21. Hampir setengah pekerjaan di Cardiff bersifat sarat ilmu (knowledge intensive employment).

Selesai menyesap suasana dan budaya Cardiff di kawasan pejalan kaki, kami meneruskan langkah ke Cardiff Castle (Castell Caerdydd). Eh, kenapa ingat Faber Castell ya? Dengan £10, tiba2 kita melihat keajaiban. Sekilas, puri ini tak tampak berbeda dengan puri Britania lainnya. Tapi masuk ke dalam, kita akan melihat ornamen luar biasa, dari ruang keemasan dan kemerahan, motif2 geometris bernuansa Arab, narasi biblical. Sungguh tak terbayangkan. Unik. Di dalam kompleks puri ini, ada juga benteng perlindungan. Yang ini standard bentuknya.

Dari puncaknya kita bisa melihat keindahan seluruh Cardiff: daun musim semi yang menampilkan seluruh spektrum hijau coklat kuning kelabu, bangunan dari berabad sejarah Cardiff (termasuk millenium stadium yang masih baru), dan deretan pengunungan di kawasan South Wales ini. Rasanya enggan turun.

Kembali ke kota, aku baru ingat membeli nomor telefon lokal. Aku ambil satu dari O2 dan satu dari Orange. Keduanya menawarkan unlimited access untuk pembelian topup £10. Simcard gratis. Ah, aku bisa kembali jadi netizen. So, selama perjalanan ini, ini nomorku: +44-7716-373-334.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑