Category: Telkom (Page 2 of 9)

Talkshow Seribu Jurnal

Pengembangan Q-Journal memasuki tahap akhir. Maka kami berencana mulai memperkenalkan produk ini ke publik. Aku mulai merancang mini seminar untuk memperkenalkan pengelolaan paper, jurnal, dan platform Q-Journal ke universitas dan institusi akademis lainnya. Tapi EGM DSC, Achmad Sugiarto (a.k.a. Pak Anto) punya ide lebih keren: acara dikemas dalam bentuk talk show yang ringan dan hangat, diakhiri makan siang dengan musik. Maka, dengan perencanaan yang cepat, ketat, dan rapi jali, Kamis pagi ini talk show akhirnya berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta. Tema: Seribu jurnal anak bangsa memenangkan dunia. Eh, gak boleh protes ;)

Event ini dihadiri sekitar 60 kampus. CIO Telkom Indonesia, Indra Utoyo, membuka event ini dengan gayanya yang selalu riang namun serius. Teknologi pada bidang pendidikan dinilai sebagai disruptive innovation, yaitu inovasi yang akan melakukan perombakan pada skala besar di tahun-tahun mendatang ini. Telkom, selain menyiapkan diri di sisi infrastruktur, juga menjadi pioneer dalam pengembangan inovasi pendidikan. Kita tengah menyiapkan dukungan atas pembelajaran jarak jauh, penyiapan pustaka digital, konten video digital bermuatan pendidikan, hingga produk pamungkas ini, Q-Journal, yang ditujukan untuk mengangkat para peneliti dan akademisi Indonesia, melalui karya2nya memenangkan dunia. Diharapkan para akademisi Indonesia dapat memanfaatkan peluang baik ini, untuk bisa lebih dinamis mengembangkan riset dan mempublikasikan paper dan karya ilmiah lainnya ke kancah dunia.

Indra Utoyo

Berikutnya, talkshow menghadirkan Prof. Dr. Riri Fitri Sari, dan Dr. Priyantono Rudito. Bu Riri adalah CIO Universitas Indonesia. Mengambil PhD di University of Leeds, beliau pernah melakukan riset bersama CERN di Geneve dan UNESCO di Australia. Tentu ini Bu Riri yang juga tahun lalu memperoleh gelar IEEE Region 10 Most Inspiring Women in Engineering Award. Pak Priyantono adalah Direktur HCGA Telkom Indonesia. PhD beliau diperoleh dari RMIT Australia. Di Telkom, beliau juga pernah menjabat VP Corporate Strategic Planning Direktorat IT Solution & Strategic Portfolio, dan juga pernah memperoleh penugasan akademis di ITT Bandung. Moderatornya, aku.

Bu Riri menyampaikan bahwa sebenarnya Indonesia tak jauh tertinggal dibandingkan negara2 tetangga. Namun memang belum banyak institusi akademis yang mulai secara optimal menggunakan tools untuk mengkolaborasikan riset dan mempublikasikan karya ilmiahnya ke dunia. Peningkatan kualitas dan kuantitas karya ilmiah dapat dikembangkan dengan mengimplementasikan metode berpikir dan berkarya ilmiah justru sedini mungkin. Gairah masyarakat Indonesia akan media sosial misalnya, dapat diarahkan menjadi semangat untuk berkolaborasi menggagas dan mengeksplorasi wacana ilmiah yang didukung kerjasama riset. Kebiasaan saling memberikan citation misalnya, harus dikembangkan. (Mungkin dengan semangat yang sama dengan saling mention di Twitter, hahaha). Tak lupa Bu Riri memberikan banyak best practice dalam pengelolaan paper dan jurnal, termasuk publikasinya ke indeks internasional.

Pak Priyantono, justru mengawali dengan menyampaikan tesis Karl Popper atas falsifabilitas, yang kemudian dieksplorasi beliau ke pengembangan yang dilakukan Telkom Group untuk meningkatkan value dan potensinya justru dengan pendidikan formal. Pun bisnis Telkom diarahkan antara lain untuk mendukung pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Ini unik, karena tidak banyak perusahaan komersial yang mau terjun ke dunia serius dan kurang populer ini. Namun, Telkom meyakini bahwa bidang ini akan tumbuh cepat melalui pembentukan ekosistem bersama untuk pengembangan platform-platform pendidikan.

20130326-193741.jpg

Minat para peserta cukup tinggi. Lebih dari 20 MOU segera ditandatangani pada event ini. Hingga hari berikutnya, masih cukup banyak permintaan review maupun MOU dari kampus-kampus.

Q-Journal sendiri merupakan suite layanan untuk mentransaksikan wacana-wacana ilmiah di Indonesia. Di tahap awal ini, Q-Journal memiliki beberapa feature. Feature “Global Publishing” memungkinkan paper dari jurnal-jurnal dari kampus dan institusi akademis lainnya terpublikasi ke indeks paper internasional dengan harga sangat terjangkau. Feature “Global Discovery” memberikan akses ke paper-paper internasional dengan harga terjangkau. Feature yang juga akan dikembangkan dalam waktu dekat adalah personal cloud, dan integrasi dengan aplikasi Kuliah Jarak Jauh dari Aptikom.

Screen Shot 2013-03-18 at 11.10.24 AM

Web Q-Journal ada di QJournal.co.id, Komunikasi juga bisa dilakukan via facebook page QJournal atau Twitter account @Q_Journal.

 

The Phoenix Project

Payment system buat Qbaca mendadak tak berfungsi. Dan ini bukan kali pertama di tahun 2013 ini. Ada yang tampak tak bisa dimatchkan antara application developer dan platform manager. Aku coba melakukan mediasi, via mail, voice call, sampai akhirnya melakukan pertemuan fisik. Tapi, sambil terus melacak apa yang salah di Qbaca, weekend lalu aku jadi berkunjung ke Kindle. Mungkin kerna aku lekat pada nama Phoenix, atau aku sedang dalam tergalau urusan IT, Kindle merekomendasikan buku The Phoenix Project. Dan intuisiku mengharuskanku seketika beli buku itu. Cuma US$ 9.99, dia seketika terunduh ke Aifon.

Phoenix CoverSebuah novel umumnya tak dilabeli kata novel dalam judul atau subjudulnya. Tapi buku ini memang digayakan berbentuk novel, dengan kelincahan ketegangan dan keceriaan yang menarik. Bill Palmer, mendadak harus menghadap CEO, Steve Masters. Pagi itu CIO dan VP IT Operation dipecat. Steve merangkap posisi CIO, dan Bill harus jadi VP of IT Operation. Ini bukan tugas menarik. Perusahaan sedang berkinerja amat buruk. Auditor berseliweran. Media menyoroti dan menyebarkan kabar buruk nyaris tanpa klimaks. Tugas pertama Bill adalah memberesi sistem pembayaran gaji yang mendadak kehilangan seluruh data karyawan sebelum sore. Jika gagal, serikat karyawan memberontak, dan media menyerbu. Dalam investigasi, Bill menemui para direktur bawahannya dan para engineer. Bawahan Bill, yaitu bekas rekan sepantarannya, adalah Director of IT Service Support, Patty McKee; dan Director of Distributed Technology Operation, Wes Davis. Brent Geller, seorang engineer serba bisa, melihat catatan bahwa sistem gaji kacau saat upgrade SAN. Maka upgrade dikembalikan. SAN justru mati total, membawa kerusakan lebih parah. Bill mencari tahu perubahan apa yang dilakukan beberapa saat terakhir. Dari Information Security diperoleh info bahwa mereka melakukan perubahan pada data karyawan, yaitu melakukan tokenisasi pada SSN lalu menghapus field SSN yang dianggap tidak aman dan rawan audit. Sumber kesalahan dilakukan, tapi perbaikannya baru selesai malam hari. Sementara itu gaji sudah diproses manual, dengan tingkat kesalahan tinggi. Dan SAN masih mati. Hari pertama berisi kegagalan. Tapi ini bukan kegagalan terakhir.

Tugas utama Bill, dan seluruh SDM di Parts Unlimited adalah mensukseskan peluncuran Phoenix; yaitu platform lengkap untuk bisnis Parts Unlimited. Platform ini telah dirancang 3 tahun sebelumnya, dan memakan waktu development yang panjang. Brent ditugaskan untuk menjaga proyek penting ini. Namun, sebagai engineer serba bisa, Brent selalu direpoti ratusan gangguan dari direktur hingga staf yang memerlukan berbagai hal dari IT: server yang mati, aplikasi yang berjalan tak semestinya, database yang sering lambat. Brent bekerja keras sepanjang waktu, mengikuti siapa pun yang berteriak paling keras, atau yang punya backing paling tinggi. Sarah Moulton, SVP Retail Operation, yang paling berkepentingan atas Phoenix, terus mengecam Bill yang dianggap mengorbankan Phoenix dengan tak mengerahkan Brent hanya untuk Phoenix. Sementara itu, auditor datang dengan segudang temuan. Ini audit SOX 404. Jika mengikuti persyaratan mereka, Bill harus mengerahkan semua engineer selama setahun penuh.

Pada saat ini Bill harus menjumpai Erik Reid, seorang kandidat komisaris. Ini adalah tokoh yang kemudian jadi mentor Bill. Sepanjang buku ini, Erik terus memberikan clue kepada Bill, dengan berbagai contoh. Namun contohnya selalu mengambang dan mengesalkan Bill. Bill harus berpikir keras untuk dapat memahami apa yang Erik harus sampaikan. Erik memang nyentrik. Tapi hanya itu satu-satunya cara mengajar Bill. Bukan dengan nasehat atau advice saja; melainkan memaksa Bill memecahkan masalah, mengalami kegagalan besar, menumbuhkan semangat kelompok, dan membuat revolusi. Hal-hal yang, menurut Erik, bahkan tak dapat dilakukan Erik sendiri.

Atas teka teki Erik, Bill mulai merumuskan beberapa macam pekerjaan: proyek bisnis, proyek infrastruktur IT, lalu proyek penanganan perubahan, dan satu lagi. Proyek penanganan perubahan cukup jadi lingkaran setan. Semua orang melakukan pekerjaan IT dengan gaya “Just Do It” sambil mengabaikan rantai IT yang panjang. Perubahan pada satu sistem hampir selalu mengakibatkan kerusakan pada sistem lain. Manajemen perubahan memang diabaikan, karena dianggap mengganggu jadwal kerja, jadwal peluncuran produk dan feature, jadwal audit dll. Wow, aku rasa itulah yang salah dengan Qbaca.

Maka peluncuran Phoenix, yang dipaksakan pada tenggat waktu dari Sarah, gagal total. Sistem yang dikembangkan tim Developer di bawah Chris Allers, berjalan baik pada server development, tapi hancur pada server produksi. Sistem baru tidak bisa hidup, dan sistem POS lama tidak berfungsi. Transaksi di seluruh negeri dilakukan manual. Transaksi kartu kredit difaxkan ke kantor pusat. Wow, ini pelanggaran, dan rawan audit. Tanpa dibobol, Phoenix memamerkan nomor kartu kredit customer. Waktu-waktu berikutnya, semuanya memburuk. Semua orang harus menambal dan mengatasi akibat kegagalan Phoenix. Audit, proyek IT, semua berhenti. Mendadak Bill sadar, inilah jenis pekerjaan keempat: pekerjaan yang tak direncanakan. Unplanned work. Pemadam kebakaran. Disebut juga anti-pekerjaan, karena ini jenis pekerjaan yang membuat pekerjaan lain, yang terencana, gagal dilaksanakan.

Secara bertahap, Bill, Patty, Wes melakukan pengelolaan pada penanganan perubahan. Satu hal lain adalah pengelolaan contraint, atau bottleneck. Salah satunya adalah Brent. Brent tidak lagi boleh diperintah semua orang. Ada prosedur bertingkat yang harus dilakukan untuk mengkaryakan Brent. “Semua perbaikan yang dilakukan di luar titik bottleneck pastilah semata ilusi.” Mulai muncul saling percaya pada tim IT. Kerja tim mulai jalan, dengan koordinasi, dan tanpa saling menyalahkan. Bill mulai punya waktu lagi buat keluarga. Tapi saat sistem Bill mulai jalan untuk secara wajar mengatasi situasi gawat, Steve sang Big Boss turut campur, memaksa semua orang punya “sense of crisis” dan melakukan akses komando langsung ke engineer, dan berakibat kekacauan. Bill minta mundur.

Erik turun tangan lagi. Steve, Bill, dan tim IT (Chris, Wes, Patty) membuat pakta saling percaya. Bill mulai mengikuti teladan Erik, memperbaiki struktur kerja IT seolah itu pabrik barang biasa, dengan inventory, work-in-progress. Tim development (Chris), IT operation (Wes, Patty), dan bahkan kemudian IT security (John) mencari titik lemah proses kerja yang terbesar. Lalu membuat terobosan untuk mengubah secara revolusioner. Salah satunya seperti ini. Dilakukan sinkronisasi pada lingkungan development (testing), Q&A, dan deployment (production), sehingga settingnya selalu akan sama. Kemudian program tidak lagi diberikan sebagai source code dari Development, tetapi sebagai sebuah pack yang mencakup semua setting dan data. Masalah deployment dapat ditekan: nyaris semua yang berjalan pada server development akan berjalan sama baiknya pada server produksi. Test dilakukan pada project Unicorn, yang kemudian berhasil gemilang.

Project Unicorn sendiri diambil setelah tim menyadari bahwa “IT bukanlah sebuah departemen, melainkan kecakapan yang harus dimiliki sebuah perusahaan.” Maka tim IT (Development dan Operation) bergerak bagai detektif, menyelidik bidang-bidang lain, hingga ke CEO dan CFO sendiri. Semua requirement dan KPI diterjemahkan menjadi IT requirement. Komunikasi dan feedback dilakukan setiap saat. IT Security menguji sistem terus menerus. Saat Unicorn berhasil meluncur, program promosi bisa diluncurkan, transaksi dapat dilakukan. Server jatuh karena beban yang tinggi. Namun prosedur kerja yang telah diperbaiki memungkinkan hal semacam itu jadi mudah diatasi. Ini jadi titik balik. Setelah itu keberhasilan demi keberhasilan datang pada departemen dan pada perusahaan.

Sekali lagi, sebuah novel umumnya tak dilabeli kata novel dalam judul atau subjudulnya. Jadi ini memang bukan novel. Di dalamnya terdapat banyak prinsip-prinsip, guidance, dan best practice bagi pengelolaan dan pengembangan IT di perusahaan besar; termasuk jebakan-jebakan yang sering terjadi. Tokoh Erik yang digambarkan sangat eksentrik itu pun terlalu sering memberikan petuah yang  mirip kuliah — hal-hal yang tidak mudah disampaikan dalam bentuk cerita. Tapi, seperti novel, buku ini dipadati dengan ketegangan, intrik, kehangatan persahabatan, plus candaan. Dan penuh istilah IT, wkwkwk. Mencerahkan deh.

Dan jauh sebelum buku ini aku tamati, krisis transaksi di Qbaca sudah terselesaikan. Hukum Murphy memang ada. Semua sistem selalu akan bisa salah. Tapi jika kita dapat mengatasi dengan elegan, itu justru jadi hal yang positif buat semuanya. Terima kasih, rekan-rekan di ISC, DSC, dan Access. Kalian keren.

Qbaca: Buku Digital Indonesia

Catatan “Humor Klasik Buat Bisnis” tentu saja memang dibuat dalam masa pengembangan Qbaca. Di awal pengembangan, negosiasi yang menarik — yang menyangkut bentuk produk dan platform — telah dilakukan dengan beberapa kandidat developer, para publisher, hingga para senior di corporate. Sedikit mirip dengan si “calon besan Bill Gates” :). Bahkan di masa awal pembentukan prototype produk (dan platform), kami telah menerima berbagai masukan yang sesungguhnya semuanya bagus dan ideal, namun saling bertolak belakang. Mirip petani dan  anaknya yang membawa keledai. Tapi kami harus memastikan bahwa produk ini bisa menjejakkan kaki di kondisi Indonesia saat ini, sekaligus punya peluang untuk tumbuh ke depan dan menumbuhkan pengembangan konten dan aplikasi digital lain di Indonesia. Yang justru tidak mudah adalah memastikan misi dan strategi produk ini tersampaikan dengan baik, hingga ke ujung senior leader di atas, ke developer yang memiliki standard tersendiri, ke komunitas, ke publisher, dan ke dalam tim sendiri. Agar tak terulang kisah Goh Chok Tong, kita harus benar-benar memastikan misi dan strategi ini tersampaikan ke semua stakeholder. Tapi memang tidak mudah.

Qbaca sendiri dinyatakan resmi diluncurkan pada 9 November 2012, di Teluk Jakarta, bersamaan dengan penyerahan penghargaan Indigo Fellowship 2012. Acaranya sederhana, sesuai bentuk produk yang tidak gemebyar, tapi diharapkan tumbuh dari kecil untuk berkembang membesar melalui aktivitas komunitas.

Event perdana bagi Qbaca adalah di Indonesia Book Fair di Senayan Jakarta, 17-25 November 2012. Dua talk show digelar di panggung utama.

Talk show tanggal 19 November menampilkan Dewi “Dee” Lestari yang didampingi EGM DMM Achmad Sugiarto, mengulas e-Book dari berbagai sudut pandang. Dee sebagai pembaca mengharapkan e-Book bukan hanya sebagai buku yang didigitalkan, tetapi harus diperkaya dengan enhancement yang meningkatkan pengalaman membaca dan berinteraksi. Dee sebagai penulis mengharapkan platform e-Book yang dilengkapi dengan digital security untuk menjamin terjaganya hak penulis dan penerbit buku.

Talk show tanggal 21 November menampilkan CIO Telkom, Indra Utoyo, dalam bedah buku “Manajemen Alhamdulillah” karya beliau yang juga tersedia di Qbaca. Sebetulnya tak ada permintaan khusus untuk memasang buku pejabat Telkom di Qbaca. Kami hanya meminta penerbit (a.l. Mizan Group) untuk memasang beberapa buku best seller mereka ke dalam Qbaca. Ternyata salah satu yang dikirimkan adalah buku “IU” ini. Waktu kami sampaikan terima kasih bahwa buku “IU” ikut dimasukkan, pihak penerbit Mizan juga surprised, karena mereka tidak merasa sengaja memilih buku yang berkaitan dengan Telkom. Bedah buku ini menghadirkan perwakilan dari Mizan Group, IKAPI Pusat, dan MUI. Surprised. IU sendiri menyampaikan paparannya tidak dengan gaya Telkom (hahaha), tetapi sebagai penulis professional yang memiliki passion pada karyanya. “Telkom punya direksi sekelas ulama,” komentar ustadz Irfan Helmi dari MUI Pusat.

Selama pameran, beberapa masukan, dan komentar diterima oleh Tim Qbaca. Mungkin aku akan memberikan komentar satu-per-satu di sini, sekaligus buat bahan diskusi buat menerima lebih banyak masukan lagi buat perbaikan produk milik bersama ini.

EPUB3

Qbaca bukan saja akan memigrasikan buku ke bentuk digital, namun juga akan menjadi platform bagi konten dan aplikasi digital interaktif skala mini untuk dapat dikemas dalam bentuk e-Book, dan didistribusikan dalam Qbaca bookstore. Format yang mutakhir, terbuka, terstandardisasi, dan paling memungkinkan untuk ini adalah EPUB3. EPUB3 memungkinkan konten berupa teks, gambar, animasi, video, suara, dan aplikasi interaktif untuk dimasukkan ke dalam e-Book secara relatif mudah. Dalam konteks buku-buku sekolah, kita dapat menciptakan LKS digital, laporan, eksperimen, tes kemampuan, dll, dalam e-Book berformat EPUB3 ini.

EPUB3 juga, sebagai format standard, dipilih untuk memudahkan para publisher mempersiapkan e-Book sendiri sebelum disubmit ke dalam sistem Qbaca. Berbagai program (mis Pages di Mac) dapat melakukan ekspor ke EPUB. Program gratis seperti Calibre dapat melakukan konversi ke EPUB. Program Sigil dapat digunakan untuk membuat dan mengedit file EPUB.

Namun, file akan dikirimkan ke user dalam bentuk file EPUB3 terenkripsi. Jadi hak-hak penerbit tetap dijaga.

Digital Right

Qbaca harus memastikan bahwa para penerbit dan penulis di Indonesia bersedia bekerja sama, dan menyumbangkan buku untuk didistribusikan di Qbaca. Salah satu hal yang diminta semua penerbit besar saat ini adalah dijaganya digital right. Memang ini jadi melanggar prinsip pribadi yang menyukai konten terbuka. Secara pribadi, semua whitepaper, materi lecture & seminar, dan presentasi, selalu aku bagikan free via web atau jalur lain. Tetapi kita tidak hidup di lingkungan tempat para penulis berpikir seperti penulis O’Reilly (yang sering aku jadikan contoh dalam distribusi buku tanpa DRM), dan pembaca publik di Indonesia pun belum seluruhnya berperilaku seperti sebagian besar segmen pembaca buku-buku O’Reilly. Survei-survei menunjukkan bahwa publik di Indonesia lebih suka mencari konten gratis (termasuk Internet gratis dan listrik gratis, jika memungkinkan), plus suka berbagi konten gratis yang bukan milik mereka sendiri. Belum ada kesadaran menjaga copyright atau copyleft.

Jadi, sampai budaya kita bisa agak berubah, atau sampai para penerbit/penulis bersedia bekerja sama dengan model bisnis tanpa DRM, kita terpaksa masih akan memberlakukan DRM.

Platform

Qbaca akan tetap diarahkan sebagai platform. Bukan hanya berarti Qbaca dapat menampung berbagai konten dan aplikasi yang berbeda sebagai konten yang dijual dan didistribusikan di atasnya, tetapi juga Qbaca akan dikembangkan untuk memungkinkan transaksi dilakukan tidak hanya di sistem Qbaca. Setelah sistem teruji oleh pasar, kita akan mengajak para developer untuk menciptakan aplikasi reader yang terhubung dengan sistem Qbaca, membuat toko digital yang dapat digunakan untuk membeli konten di Qbaca, membuat lini produksi yang dapat langsung melakukan submit konten (e-Book dan konten lain) ke Qbaca, menghubungkan aplikasi dan web dengan Qbaca, dan masih banyak kemungkinan lain.

Kompatibilitas

Pada versi terkini (2.0.0), Qbaca tidak dapat dijalankan pada Jelly Bean (Android 4.1 dan 4.2). Ini memang mengecewakan, terutama bagi kami. Aku sendiri menggunakan Flexi di Samsung Galaxy S3 dengan Android 4.1.1, jadi masih ikut mengalami crash ini. Tim developer menjanjikan  bahwa versi yang berjalan baik di Jelly Bean akan diterbitkan sesegera mungkin.

Versi iOS tetap dijadwalkan terbit pada bulan Desember. Waktunya memang mendesak, sementara Apple approval memerlukan waktu tak sedikit. Mohon kesabaran sedikit dari para penganut “Think Different” :).

Versi Blackberry masih di luar rencana. Tapi kami berharap RIM benar-benar mewujudkan harapan kita semua untuk memungkinkan aplikasi Android dijalankan di atas OS Blackberry 10.

User Interface

User Interface Qbaca masih jauh dari memuaskan. Kami masih terus memperbaikinya. Kami telah meminta masukan dari para blogger dan anggota komunitas pembaca buku serta komunitas penggemar gadget. Ada banyak masukan, dan beberapa di antaranya bertolak belakang. Misalnya, ada yang memilih halaman depan hanya diisi cover tanpa deskripsi, namun banyak yang juga mengharapkan deskripsi tetap ditampilkan. Tim kami terus memilah, melakukan eksperimen, dan memperbaiki user interface ini.

Buku Yang Terbatas

Sebagian besar penerbit yang telah memiliki perjanjian kerja sama dengan Qbaca masih memerlukan waktu lebih panjang untuk mempersiapkan konten EPUB. Umumnya mereka melakukan layout dengan In-Design atau program lain yang belum dapat menyimpan hasil seperti yang diharapkan, dalam format EPUB3. Tapi konten-konten baru saat ini terus-menerus ditambahkan.

Penulis Indie

Sebagai corporate yang memang masih mengemban sisa-sisa masa lalu, Telkom belum cukup luwes untuk bekerja sama dengan individual. Revenue sharing baru dapat dilakukan dengan badan hukum :). Namun Qbaca akan membuka kerjasama dengan pihak ketiga untuk menerima naskah dari penulis indie; sehingga naskah dapat diformatkan menjadi EPUB3, dan disubmit ke sistem Qbaca, plus dilakukan revenue share dengan cara yang tetap memenuhi persyaratan bagi semua pihak.

Tambahan

Beberapa situs / news / blog yang mengulas Qbaca:

News / Journal: Daily Social | Tempo | TribunTelkom Speedy | Mizan
Blog: Nike Rasyid | Fera Marentika | Bambang TrimHindraswari EnggarDaily Andro
Qbaca: Site | Twitter | Facebook | Google Playstore | Mail

Workshop Buku Digital

Kota Bandung akan mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat Ibukota Buku Dunia (World Book Capital) di tahun 2016. Ini salah satu point terpenting yang disampaikan Bapak Mahpudi, Wakil Ketua IKAPI Jawa Barat, pada kegiatan Workshop Pengembangan Buku Digital tanggal 27 September kemarin.  Workshop ini diselenggarakan di Mabes IKAPI Jabar di kawasan Ciateul, Bandung. Di workshop ini, aku mempresentasikan “Eksplorasi Buku Digital” buat para penerbit buku se-Jawa Barat. Tapi sebelumnya, GM Unit Business Service Telkom Regional III Gunawan Rismayadi berbincang dulu dengan peserta workshop tentang strategi Telkom menumbuhkan bisnis digital, termasuk dengan partnership dan inkubasi UKM (Usaha Kecil Miliaran).

Presentasiku sendiri berfokus ke salah satu project bottom-up di Telkom, yaitu pengembangan ekosistem buku digital (e-Book). Project ini belum diberi nama resmi :). Tapi kami sudah menyelesaikan business plan. Dari sisi teknis, bakuan sudah ditetapkan. Untuk pengembangan, kami telah memilih partner yang terpercaya. Para penerbit sudah dilibatkan sejak awal, bukan saja untuk memberikan content buku digital, tetapi juga untuk merumuskan bentuk produk e-Book itu. Dan, tentu saja, komunitas-komunitas pecinta buku, penulis, penggemar gadget, kami ajak berbincang asik untuk membahas pengelolaan produk.

e-Book sendiri bukan sekedar buku yang dipindahkan ke komputer dan gadget. Seperti surat berpindah ke email dan TV berpindah ke IPTV, e-Book akan mendapatkan banyak nilai tambah saat bermigrasi ke dunia digital. e-Book bukan saja berisi teks dan gambar, tetapi dapat memuat berbagai konten multimedia, seperti animasi, video, hingga interaktivitas. Untuk mendukung ini, kami memilih standard EPUB3, bukan PDF atau semacamnya. Developer kami terpaksa mengubah desain asli mereka untuk mengikuti standard yang kami tetapkan ini. Tentu konten ini harus dikunci dengan mekanisme DRM yang kuat, untuk memastikan buku hanya dibaca oleh user yang memiliki hak untuk membaca.

Sementara ini, aplikasi client disiapkan hanya untuk Android dan iOS. Versi Mac, PC, web, Blackberry, Windows Phone, dll, bisa menyusul, tapi belum ditetapkan prioritasnya. Tapi kami sadar bahwa pemakai smart phone dan tablet di Indonesia umumnya menggunakan Android; dan pemakai Android umumnya gemar barang gratisan. Jadi, konten-konten buku ini, selain juga dijual, juga dapat dimungkinkan untuk diberikan secara gratis, asalkan ada dukungan iklan. Iklan ini berasal dari advertiser, yang seolah-olah mentraktir pembaca buku, sehingga mereka bisa mengunduh buku secara gratis. Iklan dipasang sebagai in-content advice, bukan sebagai banner advertising atau semacamnya. In-content artinya iklan berada di dalam buku, mirip iklan di majalah saat ini; dan advice artinya iklan bersifat kontekstual, sesuai dengan tema buku dan kebutuhan pembaca. Infomedia, satu perusahaan dari Telkom Group, sudah memiliki barisan advertiser yang siap memasang iklan. Tentu, keputusan memasang iklan dan jenis iklan tetap menjadi keputusan penulis buku dan penerbit.

Feature-feature lain masih terus ditambahkan. Workshop IKAPI ini juga sekaligus jadi ajang menerima masukan dari para publisher untuk menyiapkan produk yang betul-betul memenuhi kebutuhan pembaca, penulis, penerbit, dan pemakai gadget. Salah satu yang sering diminta oleh para publisher adalah interaktivitas, khususnya buat buku sekolah. Ini juga tengah kami siapkan, namun mungkin belum dapat selesai di versi awal dari produk ini. Akan diperlukan integrasi terbatas dengan database sekolah dan siswa juga nantinya; tetapi ini akan dipermudah karena ada SIAP Online.

Project e-Book ini sendiri dimulai dari keinginan rekan-rekan buat menyediakan produk e-Book yang membuat buku digital bisa membudaya di Indonesia. Amazon Kindle, Apple iBook, B&N Nook, dll belum banyak berisi Buku Indonesia, dan masih mempersulit transaksi dari Indonesia (kecuali user menggunakan jalan samping, seperti jailbreak, memalsu alamat, dan semacamnya). e-Book yang ada di Indonesia umumnya masih menggunakan PDF atau semacamnya; jauh tertinggal dari aplikasi serupa yang justru tampil menarik menayangkan konten majalah, misalnya. Kami berkomitmen agar hobbi dan gaya hidup membaca buku plus gaya hidup digital, bisa dipenuhi secara legal dan nyaman. Publisher bisa memperoleh jalur distribusi buku yang baru, sekaligus mendapatkan alternative business model yang berbeda.

Yang juga sangat penting buat aku adalah bahwa kesukaan kami membaca tidak perlu mengorbankan pohon-pohon, hutan-hutan, dan lingkungan hidup. Wangi kertas yang dulu harum, kini sudah tercampur rasa bersalah bahwa kami terlau banyak mengorbankan lingkungan buat kecintaan kami membaca. Dengan buku digital, aku berharap bisa beli buku lebih banyak; bisa bawa ratusan buku ke mana-mana setiap saat; dan tidak lagi banyak mengorbankan hutan hijau. Sekarang sih Kindleku memang terisi ratusan buku, tapi hampir tidak ada Buku Indonesia di dalamnya.

Komitmen semacam ini memang memerlukan kerja keras. Jadwal hidup beberapa minggu ini jadi agak tergeser dan terganggu akibat banyaknya bagian-bagian dari produk yang harus direncakanan dengan baik dan dipastikan dapat diimplementasikan sesuai rencana. Kontrak-kontrak, cara-cara pembayaran, user experience, dan masih banyak lagi.

Syukurlah, seperti para penerbit yang tergabung di IKAPI Jawa Barat ini, banyak pihak-pihak lain yang sudah menyatakan dukungannya atas project ini. Misalnya beberapa penerbit besar di Jakarta dan Bandung. Juga komunitas pecinta buku, penggemar gadget, penyuka komik. Komunitas pengembang konten digital sudah mulai tertarik membayangkan media baru untuk aplikasi interaktif mereka, termasuk saluran buat pemasarannya. Komunitas penyayang lingkungan, ada yang mau bergabung?

Satu lagi. Satu lagi. Ada usulan buat nama produk ini? Bikin usulan yang kreatif ya :)

Groovia Lite

Ruang Avatar di STO Jakarta Gambir masih menunjukkan aktivitas luar biasa. Ada kegiatan operasional, pengembangan, dan persiapan penambahan feature untuk produk IPTV Groovia. Tapi juga ada persiapan layanan baru: Groovia Lite.

Idenya, Groovia menjadi konteks untuk menumbuhkan industri multimedia baru, berbasis video berkecepatan dan berkualitas tinggi. Dari konteks ini, dimungkinkan penanaman investasi untuk perbaikan dan peningkatan kualitas network hingga ke lokasi customer. Dimungkinkan juga diciptakan layanan di atas layanan video serta di atas jaringan berkecepatan tinggi.

Namun, mungkin belum semua dari kita memerlukan TV. Aku termasuk salah satunya sih: sudah beberapa tahun gak punya TV lagi. Hidup lincah tak terpaku membuat kita lebih akrab dengan piranti mobile (dari notebook s.d. smartphone) yang kian informatif dan interaktif. Konten TV, andaipun diperlukan, bisa diakses dari gadget kita. Ini yang mendasari Groovia Lite: konten dan aplikasi video dan multimedia lainnya di atas jaringan Internet yang tidak harus istimewa.

Groovia Lite dimaksudkan menjadi versi lite dari Groovia, untuk diakses dari notebook, tablet, smartphone, dan gadget lain. Di dalamnya, dapat diperoleh Live TV, TVOD, VOD, hingga konten-konten tambahan seperti radio, e-book, dan aplikasi untuk gadget kita. Sebuah digital store atau bahkan digital mall berwarna multimedia. Konten gratis, berbayar, berbundling, dll, akan dapat diperoleh di sini. Groovia Lite adalah sebuah model bisnis OTT.

Masih versi beta, Groovia Lite sudah dapat mulai ditengok di situs GrooviaLite.com. On air TV dari beberapa saluran TV nasional, recorded TV, dan beberapa sampel video telah dapat digunakan untuk uji coba.

Aplikasi Android dari Groovia Lite, baik untuk tablet maupun untuk smart phone, tersedia untuk diunduh. Aplikasi iOS sebenarnya telah dapat digunakan. Tapi masih menunggu approval dari Apple.

Aku sudah coba ketiga apps ini: versi iOS di iPhone (Telkomsel Flash), Android smart phone di HTC Evo 3D (Flexi EVDO), dan Android tablet di Kindle Fire (Speedy WiFi). Semuanya versi original (tanpa jailbreak untuk iOS, dan unrooted untuk Android). Ketiganya menunjukkan kualitas yang memadai. Pertama kali memasang konten video, memang gambar akan kabur. Saat itu terjadi proses penentuan kualitas optimal melalui adaptive streaming. Buat pemakai komputer, versi web juga tak kalah baik kualitasnya. Waktu Najwa Shihab dengan cerdik menampilkan kebohongan (atau mungkin inkompetensi) Mendikbud di acara Mata Najwa (soal Ujian Nasional yang menurut beliau sangat bersih tak bernoda), aku menyimak sepanjang acara dengan Groovia Lite ini.

Tapi memang khawatir juga sih. Misalnya, jangan2 jadi sering tergoda nonton pakai Kindle Fire. Bukannya dipakai baca buku.

Flexi Android

Aku malah sudah lupa di mana si Nokia 6275i (CDMA 2000 1x) itu menghilang. Tapi waktu itu mulai terdengar produk Flexi Android dari Divisi Telkom Flexi yang baru established. Sayangnya request aku untuk bisa dapat Flexi Android selalu menemui jawaban yang sama: indent. Balik ke Nokia? Errh, Nokia sudah tidak lagi menciptakan CDMA 2000 1x mobile device yang tidak jelek. Akhirnya sempat dua masa ambil Nokia sih. Tapi syukur di tengah tahun 2011, seorang rekan mendadak menawari untuk membelikan HTC Android yang menurutnya keren sekali. Kebetulan doi seleranya bisa dipercaya; jadi aku langsung pesan. Dalam beberapa hari, aku menerima HTC EVO 3D ini. Dengan semangat tinggi, aku bawa si Evo ke Plasa Telkom. Ooops, baik officer maupun hacker di sana ternyata tak mampu menjinakkan benda keren ini. Sempat cari pihak lain. Idem. Kayaknya aku nggak punya banyak teman lagi di Flexi. Dan aku sedang sangat sibuk untuk harus terus-menerus mengurusi satu hal kecil. Jadi selama beberapa bulan (!), si Evo berfungsi sebagai WiFi Android mini gadget. Tak banyak artinya sih: untuk mini gadget, aku sudah punya iPhone; dan untuk Android, aku sudah pegang Acer Iconia.

Baru bulan lalu, Mas Setyo Budianto pindah ke Jakarta. Sua di rapat, aku menyinggung soal si Evo waktu berpisah. Tak lama Setyo mengirim nomor telefon seorang hacker di Flexi Mobile Broadband Centre. Namanya Lukman. Kantornya di ex-kantorku di Gambir :D. Lunch time, aku buat kunjungan singkat ke Gambir. Lukman sudah terbiasa menangani berbagai gadget Flexi, termasuk Evo. Tapi Evo yang ini memang ajaib. Sekian kali usaha penjinakan gagal. Masih super sibuk, aku tinggalkan Evo di Lukman. Dan, dua minggu kemudian, baru Lukman menelefon dengan teriakan kemenangan :D. Ke tempat Lukman lagi, rasanya tampak seperti keajaiban melihat si Evo kini memiliki nyawa Flexi EVDO.

HTC EVO 3D ini, selain mengenali CDMA 2000 suite (1x, EVDO) dan WiFi, juga dapat berinteraksi melalui WiMAX Mobile (IEEE 802.16e). Ia mengistilahkan dengan 4G. Tapi aku tak mau ikut profesional marketing yang gemar menipu publik. WiMAX berwarna 802.16d dan 802.16e, serta HSPA dan LTE bukanlah 4G: mereka masih keluarga 3G. IMT-Advanced, atau 4G Mobile, saat ini hanya terdiri atas LTE-Advanced dan WiMAX 802.16m. Dengan Flexi EVDO di dalamnya, gadget ini terasa memiliki spirit hidup. Keraguanku akan sinyal EVDO, GPS, dll di dalamnya hilang. Lincah mentransfer data, dia langsung jadi guide keliling Jakarta dengan Google Maps. Sebelumnya, dengan WiFi, dia cuma dibuka di rumah saja :D. Sempat ada kecanggungan waktu mencobai virtual keyboard, setelah terbiasa dengan iPhone. Tapi ternyata ada fasilitas untuk melakukan kalibrasi. Setelah melakukan setting, mematikan getaran ini itu, aku bisa mengetik lancar. “Pada hari Minggu ku turut ayah ke kota …” seperti biasanya. Uji (dan pengakraban) atas responsiveness layar sentuh dilakukan dengan Angry Birds :D. Aplikasi standard diinstal dari Android Market (yang hari ini berubah nama jadi Google Play): Twitter, Path, Evernote, Kindle, iQuran Pro, Photoshop, 9Gag Reader. Aplikasi dari Google: Gmail, Gtalk, Goggles, Sky Map. Juga aplikasi khas Andoid: Double Twist, Apparatus, Melon, dll. Beberapa aplikasi ini sudah dibeli waktu aku masih pakai Acer Iconia. Ada Flexi Market juga sih; tapi aku belum banyak coba.

Foto HTC Evo dibandingkan Motorola punya Farah. Keduanya menggunakan Flexi EVDO:

Tanda 3D di belakang nama Evo menunjukkan kemampuan gadget ini mengambil foto tiga dimensi. Ia memiliki dua lensa kamera untuk mengambil gambar secara stereo, serta menampilkan cita 3D hasilnya di layar 4.3″ miliknya tanpa bantuan kacamata atau perangkat lain. File hasilnya berekstensi MPO. Saat ditransfer ke Mac OS X, dia jadi file yang mengandung dua gambar JPG saja, dengan pergeseran kiri-kanan. Hasilnya, OK sekali. Benar-benar harus kagum. Sayangnya tidak bisa dishare di web, gambar-gambar 3D ini :D.

Yang juga mengagumkan adalah kemampuan si Evo melakukan tethering. Di jalan-jalan antara Pondok Bambu ke Kebon Sirih, aku sekarang lebih memilih tethering ke Evo ini daripada iPhone (yang keduanya menggunakan akses Internet dari Telkom Group: Flexi dan Flash). Performance-nya luar biasa. Tapi mungkin memang trafik pemakai Flexi juga masih lebih rendah. Juga aku sempat rapat di Citiwalk sekitar tiga minggu lalu. Tidak ada akses WiFi di ruang rapat, sementara rapatnya bersifat teknis. Jadi aku lakukan tethering dari Evo ke notebook. Seorang rekan minta sharing. Satu lagi. Dan satu lagi. Jadi total 4 notebook, termasuk untuk demo video. Terakhir, dalam perjalanan Jakarta-Bandung, walaupun sinyal EVDO hilang di beberapa titik, aku bisa melakukan akses kencang di Bandung hingga Purwakarta, plus Karawang hingga Jakarta. Tentu masih harus set Flexi Combo ke Bandung. Dan memang aku lagi beruntung: Flexi sedang memberikan promo paket mobile broadband, EVDO unlimited. Dishare ke berapa komputerpun, OK :D. Paling baterai jadi cepat habis. Tapi kan bisa dicatu via USB dari notebook — sampai mereka kehabisan power :D.

OK. Ini bukan advertorial. Aku cuman cerita, sambil belum bisa memberikan informasi di mana lagi kita bisa cari HTC Evo ini :D. Juga bukan buat pamer, kerna tentu kita tahu tidak ada yang bisa dipamerkan dari gadget yang cuman tinggal beli ini. Kecuali kalau kita ikutan bikin :D. Weekend lalu aku dapat kesempatan sharing cerita di Sudirman Citiwalk, ke komunitas Jeruk Nipis dan Gadtorage. Sebenarnya aku harus cerita tentang WiFi.id. Tapi banyak yang malah bertanya soal Flexi Andoid. Termasuk pengalaman ber-Flexi EVDO menggunakan HTC Evo yang sedang aku pegang. Aku cuman bisa janji bikin tulisan kecil soal ini. Jadi tulisan ini sekedar memenuhi janji. Lunas :D

Tambahan:

  • Mendadak aku bisa melakukan call dari Flexi ke nomor dengan tanda plus. Mis: +62-812-8888-1820. Wow, mulai kapan ini berlaku? Apapun, ini mempermudah dalam sinkronisasi buku alamat dari Android ke Google ke Mac OS ke iOS. Thank you!
  • Coverage dan tarif Flexi EVDO dapat diacu dari situs TelkomFlexi.com, bagian Mobile Broadband. Kebetulan beberapa bulan ini ada promo EVDO Unlimited dengan kurang dari 50rb / bulan.

Carrier Ethernet World, Sentosa Island

Tori Bennett dan Ingerid Sorgaard kembali melakukan kontak di tengah tahun ini, memintaku hadir di awal Desember untuk meneruskan Cerita di Hong Kong tahun lalu. Masih bertajuk Carrier Ethernet World, kali ini konferensi mengambil tempat di Resort World Sentosa, Singapore. Aku fikir, di akhir tahun aku sudah agak leluasa; jadi aku sanggupi. Tapi November ini aku disibukkan banyak request di kantor, plus persiapan Indigo Fellowship 2011 dan Tencon 2011, plus lain-lain. Jadi mirip déjà vu suasana Hongkong tahun lalu :).

Aku melandas di pulau kecil ini di sore pertama di bulan Desember. Cuaca masih segar berhias rintik dan mendung terserak. Tak mempedulikan usulan penyelenggara konferensi, aku memilih menginap di Porcelain Hotel, di sekitar Chinatown. Aku memang usil: mencoba selalu mencari suasana berbeda setiap memilih hotel di Singapore. Kali ini aku tak salah pilih: hotelnya kecil tapi segar dan nyaman. Dan dengan MRT, aku hanya terpisah 10-15 menit dari Resort World Sentosa.

Konferensi ini membahas carrier ethernet, yaitu jaringan transport backbone, regional, dan akses yang menghantar informasi dalam bentuk paket berkecepatan tinggi. Di jaringan backbone, kita menggelar DWDM dengan tera routers; di regional kita mengembangkan metro ethernet sebagai aggregator yang terhubung via DWDM atau SDH; dan di akses kita mengoptimalkan GPON dengan berbagai skema FTTX evolusioner bersama dengan MSAN dan XDSL. Berbagai skema, arsitektur jaringan, dan optimasi perancangannya akan memerlukan kesalingterhubungan dan kesalingdukungan antar layer, yaitu network, service, dan aplikasi. Tema inilah yang aku paparkan dalam konferensi ini, yaitu Service-Optimised Broadband Internet Technologies.

Aku berpresentasi di hari kedua, tanggal 2 Desember jam 12:55, tepat sebelum lunch & networking time. Presentasi diawali dengan lingkungan umum Indonesia dan bagaimana publik Indonesia mengkonsumsi informasi. Lalu melompat ke pembangunan tera router dan metro ethernet oleh Telkom Indonesia, serta perencanaan jaringan akses broadband-nya. Dipaparkan juga network IPTV yang tengah digelar Telkom. Ke layer atas, dipaparkan bagaimana pengembangan network akan dikaitkan dengan service-service baru yang diharapkan ditumbuhkan melalui partnership, inkubasi, dan community-generated applications (Internet 2.0). Skemanya dapat melalui IMS, tetapi juga SDP yang lebih pragmatis untuk IT domain. Diharapkan dapat dibentuk model bisnis dan produk masa depan yang bersifat personalised, tetapi juga mudah ditumbuhkan, diintegrasikan dengan network, dan dipasarkan (alih-alih cuma digratiskan dengan mengharap advertising atau akuisisi). Di tengah para expert yang pasti jauh-jauh lebih paham mengenai pernak pernik perancangan network berskala besar, presentasi tidak dipaparkan seperti lecture, tetapi lebih seperti sharing yang mengharapkan masukan, dan sekaligus memicu ide bagi para manufacturer untuk mempertimbangkan produk yang akan lebih teroptimasi bagi konsumen yang gila memproduksi dan mengkonsumsi aplikasi dan informasi seperti di Indonesia.

Tahun ini, aku bukan satu-satunya speaker dari Indonesia. Pada hari yang sama, tampil juga Mr Ahmad Rosadi Djarkasih memaparkan Enabling of Cloud Services to the Enterprise. Dan sehari sebelumnya Ms Agnesia Candra Sulyani (a.k.a. Mrs Djarkasih) memaparkan Driving Profitability in Carrier Ethernet Services for Business.

Tak seperti tahun lalu, tahun ini aku menolak permintaan Ingerid untuk mengisi panel session. Tapi selama break session (a.k.a. networking session) aku berbincang cukup banyak dengan beberapa peserta konferensi, membahas hal2 yang buat mereka menarik dari presentasiku, dan sekaligus membahas peluang-peluang mereka buat masuk ke industri informatika Indonesia. Aku rasa networking ini lebih pas daripada panel yang sering jadi terlalu serius :).

Selesai konferensi, aku mengelana ke Somerset, mengunjungi toko buku favoritku: Harris Bookshop. Aku gak sengaja kenal toko buku unik ini. Dulu aku selalu mampir di HMV Orchard buat berburu CD musik yang gak ada di Jakarta. Tapi HMV pindah ke Somerset di tahun 2010. Dan di sebelah HMV, terletak Harris: toko buku yang segment-nya niche. Bahkan penggemar eBook macam aku, yang bisa masuk Borders dan Kinokuniya tanpa membeli satu buku pun (selain malah beli eBook lagi via Kindle), terpelanting juga dengan buku2 di Harris yang tampaknya belum akan bisa di-eBook-kan.

Hari berikutnya, sambil menunggu flight kembali ke Jakarta, aku rehat di Café Cartel Orchard, talk panjang dengan Jim Geovedi. Tapi yang ini gak di-share di blog ah.

Groovia

Juni memang selalu istimewa, wkwkwk. Juni lalu, Telkom Group melakukan grand launching atas produk IPTV-nya: Groovia. Seperti yang dicuplik deskripsi produk itu dari blog aku (nah lo), IPTV bukan sekedar televisi yang didistribusikan melalui Internet. IPTV adalah sinergi antara kekuatan interaksi Internet dan Web, dengan kekuatan broadcast media televisi. IPTV merupakan platform layanan yang merupakan tahap lebih lanjut dari bentuk interaksi multimedia yang ada saat ini.

Walaupun nama Groovia tampak ajaib, namun pemilihan nama ini mengambil pertimbangan cukup lama. Kalau domain Groovia.TV kita whois, kita dapat melihat bahwa domain ini bahkan telah direservasi 1 tahun sebelum grand launching. Pada tahun pertamanya, Groovia direncanakan akan meliputi layanan:

  • TV on demand, yaitu content televisi yang bersifat interaktif, dengan fasilitas rekaman di jaringan, yang memungkinkan pengendalian seperti pada video: pause, rewind, replay, scheduled report, dan lain-lain.
  • Video on demand, yaitu content multimedia non-televisi yang disertakan dalam layanan ini, termasuk film video, musik, karaoke, dan lain-lain, dengan berbagai bentuk interaksinya.
  • Web service, yaitu interaktivitas dunia maya yang dipadukan ke dalam sistem televisi. Di dalamnya akan dimasukkan misalnya jejaring dan media sosial, berita, informasi cuaca, saham, dan lain-lain.

Di tahun berikutnya, e-advertising, e-transaction, dan e-shopping diharapkan dapat diintegrasikan ke dalam Groovia. Dari sisi infrastruktur, diharapkan integrasi antara IPTV, SDP, dan platform lain, seperti content & applications store, dapat dilakukan dengan lancar, membentuk ekosistem interaksi multimedia yang efisien dan nyaman.

Mahalkah Groovia? Jika kita telah memiliki akses Speedy dengan data rate 1 Mb/s, 2 Mb/s, atau 3 Mb/s, maka dengan menambahkan Rp 50.000,- per bulan, kita telah dapat memiliki layanan Groovia. Gak mahal untuk jadi taste-maker :). Content yang lebih kaya dapat dipilih sesuai kebutuhan individual setiap user. Hanya, sayangnya, memang saat ini Groovia memang baru dalam tahap deployment awal, dan masih tersedia hanya di kawasan tertentu di Jakarta. Deployment ke kota-kota lain akan dimulai tahun ini juga.

Informasi yang lebih update atas Groovia dapat disimak di webnya, di Groovia.TV :).

Indigo Fellows

Tak seperti tahun lalu, sebenarnya tahun ini aku tak terlalu terlibat dalam deretan kegiatan Indigo Awards: Indigo Fellows, Indigo Fellowship, Tesca, Indigo Music Awards, dll. Tapi seorang rekan mengambil cuti untuk ibadah haji, dan aku diminta menggantikan dalam tim pengelolaan Indigo Fellows.

Indigo Fellows adalah program untuk mengangkat para teladan (inspiring person) dalam bidang pengembangan industri kreatif digital nasional. Tujuannya adalah untuk lebih menginspirasi dan memotivasi perkembangan kreativitas digital. Program ini dikerjakan bersama oleh Telkom Group dan berkala Warta Ekonomi. Waktu aku bergabung dengan tim, pekerjaan2 besar telah diselesaikan. Tim juri telah terbentuk (mula-mula diketuai Bp Mario Alisjahbana, tetapi beliau mengundurkan diri dan digantikan Bp Richard Mengko). Para peserta juga telah memasukkan proposal-proposal.

Di dalam tim, aku bertugas memeriksai proposal para kandidat Indigo Fellows. Ini tugas menarik. Klaim-klaim yang dituliskan di dalam proposal2 harus diperiksai: benarkah sang tokoh memiliki peran dalam proyek yang disebutkan, benarkah produk yang pernah dikembangkannya seberhasil yang dituliskannya, seberapa jauh keterlibatannya dalam komunitas mampu menginspirasi komunitas di sekelilingnya untuk lebih luas menciptakan dan mengembankan karya kreatif yang inovatif. Memang kata kuncinya adalah inspirasi :), karena tujuannya adalah mempercepat pengembangan industry kreatif melampaui bisnis atu bidang tugas yang digeluti saat ini. Proposal-proposal ditandai, lalu kami menemani Dewan Juri yang bertugas menilai setiap individu.

Sebagai panitia, kami tentu tidak ikut memberikan nilai, apalagi memutuskan ranking peserta :). Kami hanya memberikan saran atau masukan, jika dibutuhkan. Dewan Juri sudah amat memahami peta industri kreatif dan komunitas digital di Indonesia. Justru dari mereka, kami banyak belajar mengenai strategi penumbuhan komunitas2 kreatif.

Sidang untuk memilih finalis dilakukan di Purwakarta. Setelah itu, para finalis (yang jumlahnya hanya sekitar 3 orang per kategori) diundang ke Hotel Sahid di Jakarta untuk melakukan presentasi dan wawancara di depan Dewan Juri. Dan sekali lagi aku banyak belajar hal menarik dari interaksi antara para kandidat (i.e. para tokoh yang inspirational) dengan dewan juri. Plus perbincangan di kala rehat. Aku bayangkan, di tahap ini tugas Dewan Juri akan sangat berat. Yang dinilai benar2 tokoh berkaliber internasional :). Sidang internal Dewan Juri di tahap ini jadi cukup seru. Tak ada tokoh yang terangkat atau terturunkan dengan mudah.

Setelah sidang marathon 2 hari penuh, Dewan Juri memutuskan nama-nama Indigo Fellows 2010 sbb:

  • Tokoh Digital Creator: Oskar Riandi
  • Tokoh Digitalpreneur: Adi Sasongko
  • Tokoh Digital Academic: Dimitri Mahayana
  • Tokoh Digital Creative Promoter: Itoc Tochija
  • Tokoh Digital Community Fellow: Hari Sungkari
  • Special mention for Young Inspiring Creator: Adi Panuntun

Penganugerahan gelar Indigo Fellows dilakukan bersamaan dengan maklumat pemenang Indigo Fellowship dan Indigo Music Awards di Jakarta Convention Centre tanggal 8 Desember 2010.

Tugas menarik berikutnya barangkali justru di Indigo Fellowship. Berbeda dengan Indigo Fellows, Indigo Fellowship justru mengangkat insan kreatif Indonesia yang masih dalam tahap pengembangan kreasi maupun bisnis digital mereka. Para pemenang akan memperoleh pembinaan dan dukungan untuk mengembangkan kreasi mereka, agar dapat menjadi entrepreneur yang dapat lebih meningkatkan skala bisnis kreatif digital di Indonesia.

Carrier Ethernet World di Hongkong

“Siap-siap ke Hongkong ya!”
“Mendadak amat?”

Tapi mana ada sih akhir2 ini tugas yang nggak mendadak? Maka, di tengah kesibukan urusan akhir tahun (IPTV content, SDP service prototype, Indigo Fellows & Indigo Awards, main web reconfiguration, etc), aku menyempatkan mengumpulkan bahan, arrange tiket dan akomodasi. Sayangnya, karena waktu yang sempit (<72 jam), Garuda Indonesia menolak menjual tiket online. Akhirnya cari alternatif: Cathay Pacific. Tak seperti traveling lainnya, aku tak menyempatkan diri baca Google atau Wikitravel. Sempat sih, dikonversi Wikitravel itu ke PDF, disimpan di PDF, dibaca di Kindle di pesawat di antara awan di atas sana (biar di-nya banyak, dan tampak beda antara di sebagai pembentuk kata kerja dengan di sebagai kata sambung).  Mungkin detailnya aku ceritakan di TRAVGEEK.NET saja, biar blog yang itu punya content juga.

Acara di Hongkong ini berjudul Carrier Ethernet World 2010. Secara ringkas, carrier ethernet adalah jaringan core dan akses berkecepatan tinggi, digunakan umumnya oleh provider besar dan operator telekomunikasi untuk menghantar data, dan menggunakan standar-standar penghantaran paket data. Secara fisik, jaringan yang digunakan tetap berupa kabel optik, tetapi bukan seperti transmisi masa lalu yang menggunakan frame berbasis waktu (seperti SDH dll). Banyak hal yang masih layak didiskusikan. Pertama, alasan memigrasikan transmisi TDM menjadi carrier ethernet, yang ujungnya akan ke optimasi jaringan yang mengarah ke arsitektur horisontal dari next-generation network. Dan tentu untuk mendukung alasannya, aspek-aspek lain akan masuk, terutama service, aplikasi, content, hingga objective bagi semua stakeholder, dan ujungnya ke regulasi. Kebetulan, sepulang kuliah dulu, aku justru tak banyak lagi bermain di layer infrastruktur network. Jadi aku ditugaskan mempresentasikan hal-hal yang ada di layer atas: service dan environment yang akan mendukung pada negosiasi regulasi.

Di sisi ini, banyak yang bisa diceritakan. Telkom Indonesia bisa jadi contoh menarik. Divisi Multimedia, tempat aku didamparkan saat ini, dulu memiliki lingkup tugas dari infrastruktur hingga layanan multimedia — hal-hal yang bersifat IP-based commercial services. Sejak Telkom berbisnis TIME (dengan harapan TIME is MONEY), infrastruktur dipusatkan di Divisi Infrastruktur; sementara Divisi Multimedia memperoleh tugas menciptakan dan mengelola rentetan service, aplikasi, dan content yang akan jadi enabler untuk memungkinkan bisnis-bisnis TIME tumbuh di masa depan. Tapi tentu aku tak mempresentasikan organisasi Telkom dan posisi divisi2 di dalamnya. Aku lebih suka bercerita tentang potensi aplikasi Internet yang bisa tumbuh di negara yang sedang panas-panasnya berkonversasi multimedia seperti Indonesia, lalu bagaimana ini harus dan bisa didukung dari sisi pengembangan dan bisnis (mis. Indigo) dan dari sisi teknis (mis SDP dan IMS). Aku menikmati bagian ini: menggambar kotak2 dan struktur. Kemudian presentasi dilarikan ke bagaimana ini akan disampaikan untuk menjadi bagian dari regulasi (dan keseimbangan di sisi deregulasi). Cukup lucu bahwa salah satu kesimpulannya adalah perlunya ko-opetisi (kerjasama tanpa melupakan kompetisi).

Sebagian bahan presentasi aku ambil dari Mas Arief Hamdani juga (no link — syukurin — suruh siapa nggak bikin2 blog?). Penataan narasi (urutan cerita), pengayaan, dan ilustrasi, aku buat di perjalanan dan di hotel. Aku juga baru sadar bahwa sebagian besar dari presenter, peserta, mengenakan suite resmi. Terpaksa jaket dilemarikan, dan aku belanja jas sebentar (sempat salah nomor pula, dan harus dibalikin besoknya dengan cara yang lucu).

Presentasiku mengambil waktu sore hari. Para peserta yang siang harinya sempat menghilang sudah kembali, sehingga forum cukup penuh, padat, dan antusias. Aku menyampaikan presentasi, dan aku pikir seharusnya dapat nilai 8. Tapi 8 dalam skala Richter, kalau dihitung getaran pada meja dan lantai akibat efek demam panggung temporer. Hanya ada 1 pertanyaan; karena peserta diinformasikan bahwa kemudian ada sesi panel. Setelah satu presenter lagi dari New Zealand (yang bercerita dengan asik tentang inovasi content untuk mendukung aplikasi multimedia di NZ), panel dimulai. Sesi ini lebih menarik daripada tanya jawab dengan 1 penjawab. Jadi setiap pertanyaan didiskusikan kembali oleh forum di atas panggung.

Selesai. Lega. Tapi belum berakhir. Di sesi networking sesudahnya, beberapa peserta masih mengejar, menyampaikan apresiasi, dan terutama memenuhi kepenasaranan yang ternyata belum habis. Di meja cuma ada Coca Cola dan minuman beralkohol. Jadi aku nggak sengaja terus menjawab pertanyaan dan obrolan (yang terlalu serius untuk level networking) itu sambil terus-terusan meng-Coca Cola. Satu peserta dari US iseng menyuruhku belanja ke tempat2 menarik di sekitar Victoria Harbour (tempat konferensi diselenggarakan).

Keluar. Terjadi efek tak menyenangkan, tapi standar sekali. Penyebab: overload pekerjaan (sisa urusan kantor), kurang tidur (persiapan presentasi), kurang makan (gara2 persiapan presentasi, serta belum tahu tempat makanan halal), dan post-demam panggung-syndrome (ada ya, yang namanya kayak gitu). Berkeliling sebentar,  aku kelelahan. Balik ke hotel, lewat pasar tradisional segala. Pesan dinner dari kamar. Dan — seperti yang terjadi di bulan puasa — langsung tidur setelah kopi dan beberapa sendok makanan bisa masuk. Uh, rugi, perjalanan perdana ke Hongkong, dan isinya cuman bikin presentasi serta tidur. Haha :).

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑