Wellington’s Victory — rentetan panjang dentum-dentum canon nyaris tanpa henti mengiringi orkestra Beethoven. Setelah mengganti judul simfoni ketiga dengan Eroica, menolak Napoleon yang memahkotai diri sendiri, Beethoven melangkah dengan gagah menjatuhkan pasukan Napoleon. Pasukan yang separuh ragu dan separuh penuh semangat kekanakan, dijatuhkan di depan pasukan yang sekedar menjalankan tugas dari kanjeng sultan di seberang lautan. Trus God Save The King yang lembut dialunkan beriringan dengan fugue yang dinamik.
Category: Music (Page 4 of 5)
Gara-gara ngobrol dengan temen baru, aku jadi dengerin lagi Simfoni Kelima dari Gustav Mahler, dari CD yang udah agak jamuran, dari jaman CD klasik orisinal masih berharga 15000 rupiah di Bandung.
Konon Wagner punya dua “pengikut” di zaman post-romantik, yaitu (Richard) Strauss dan Mahler. Tapi keduanya mengambil dunia Wagner yang komplementer. Mahler banyak memainkan disonansi, dan kurang jelas dalam pergeseran “mood”. Mahler menulis 9 simfoni, plus satu yang belum selesai. Hampir separuhnya memakai vokal, mengambil gaya Simfoni Kesembilan dari Beethoven.
Kayaknya kalau Simfoni Kelima ini berakhir, aku mau pindah ke roman panjang Die Walküre aja lah. Mahler nggak terlalu match dengan mood aku hari ini.
Orang Sankt Peterburg (Leningrad) punya cara yang unik buat memainkan Petrushka dari Igor Stravinsky. Temponya agak diperlambat, terus mereka main di amplitudo ;). The Moor’s Room dibikin nyaris sunyi, jadi paduan nada C dan F# yang unik itu dibikin kuat dengan latar yang sepi, biarpun nadanya sendiri juga dibikin lemah. Tapi di bagian Dance of Nurses yang bersemangat (eh, di banyak bagian dari Petrushka juga), nadanya jadi kuat dan keras sekali.
Inget malam-malam di Bandung (terutama sebelum Griya Caraka). Kalo susah bobo gara-gara pikiran kusut, Petrushka suka jadi obat tidur yang manjur, gara-gara nada-nadanya yang merusak harmoni dan memaksa otak mencerna ketidakmasukakalan “musik”. Mudah-mudahan nggak ada tetangga yang ikutan denger. Bisa malah nggak bisa tidur.
Aku pikir orang Inggris pasca Herriot agak anti Wagner — khususnya setelah negaranya dibom Hitler tanpa ampun. Tapi opera Lucretia sangat sangat bergaya Wagner, biarpun musiknya beda. Kadang terbayang bahwa kita sedang mendengarkan cuplikan Rheingold, Tristan, dan Walküre. Pemainnya juga suaranya mirip Wotan, Isolde, Brunnhilde, dan Siegfried. Cuman kostumnya jas putih. Dan kayak Wagner, ceritanya juga bikin kesal. Yang bikin beda dengan Wagner hanya musiknya yang tampak minimalis. Dan bukan klasik.
Ini sebenernya cuma semacam keheranan. Aku pikir tadinya semua opera non-Wagner itu bergaya Italia. Ternyata kadang ada yang senada Wagner juga. Ceritanya sendiri, karena ngeselin, nggak perlu diceritain :).
Apa yang menarik di Birmingham? Simphony-hall yang megah, jelas. Tapi yang paling menarik adalah sepasang angsa hitam yang berenang di kanal berarir hijau, dengan tiga anaknya yang masih berwarna kuning. Di atas jembatan, kita dipaksa diam menyaksikan si angsa. Dan sadar, hidup itu indah sekali.
Tapi kapan aku boleh jadi angsa hitamnya lagi …
Hampir tengah malam, di perpustakaan dengan segelas coklat hangat buat melawan dinginnya udara Westwood (coklat gratis hanya ada di perpustakaan ini –red).
Aku baru dari Warwick Art Centre, nonton pagelaran dari Berlin Simphony Orchestra yang memainkan Eroica dari Beethoven. Kayaknya ini hal terbaik yang pernah aku alami di Inggris, biarpun nggak terlalu berbau Inggris.
Memang Beethoven udah lama aku akrabi. Eroica, atau Simfoni Ketiga dari Beethoven, juga pasti pernah terpasang tiap minggu dari CD aku. Tapi menyaksikan simfoni dari Berlin, aku kayak baru pertama kali menyaksikan orkestra, dan kayak baru pertama kali ngedengerin Beethoven. Setiap detiknya jadi terlalu berharga.
Yang terbayang bukan Beethoven, atau Napoleon yang tadinya akan dipersonifikasikan di simfoni ini, atau Wagner yang nggak sempat didengar (soalnya telat). Yang terbayang hanya rasa syukur buat Allah yang Maha Kasih, yang berkenan menganugerahi makhluk kecil ini hidup yang indah.
Foto di atas itu hasil curi-curi di dalam hall, padahal dilarang, ssstttttt.
Tristan & Isolde mengilhami hampir semua musisi setelah Wagner. Ceritanya sendiri aku aku pikir mengesalkan, kisah romantik yang salah asalnya dan kacau ujungnya. Nggak aplikatif buat aku kayaknya. Wagner yang konon anti asing itu mengambil cerita bukan dari bangsa Nordic, tapi dari Celtic. Kisah diawali dari kapal yang datang dari Irlandia ke Cornwall, dengan prelude yang bisa dipertimbangkan sebagai simponi terindah sepanjang sejarah. Cerita ini melibatkan ramuan ajaib, dan perkelahian, tapi justru tidak terlalu berfokus pada perebutan Isolde sendiri (khas Celtic ala Asterix). Cerita diakhiri waktu Tristan yang sudah terluka parah dan dibuang di Brittany (negerinya Asterix beneran) menunggu kedatangan Isolde dari kapal. Tapi keburu mati Tristannya. Dan Isolde cuma bisa menemui mayat Tristan. Mild Und Leise Wie Er Lachelt katanya dalam bahasa Jerman (abisan yang nulis Wagner sih) yang terjemahan Inggrisnya jadi how gently and quietly he smiles. Aku udah pernah ngebahas bagian yang dijuduli Liebestod ini. Prelude T&I nggak akan lengkap kalau nggak digabung dengan bagian ini.
Asterix bisa dendam nih kalau tahu bahwa kisah bangsa dia dibikin ngetop sama orang Goth yang suka jadi musuh bebuyutannya.
Seharusnya panik sih, tapi ngedengerin rentetan Romanze fur Violine dan Konzert fur Violine lumayan bisa meredam tekanan. Selera memang kurang standard. Karya Beethoven yang satu ini jarang sekali peminatnya. Biasanya orang mengkoleksi simfoni Beethoven yang selalu penuh semangat, semisal Eroica (simfoni ketiga) yang tadinya dibikin buat Napoleon, tapi urung berhubung Beethoven sebal atas keserakahan Napoleon, atau Ode of Joy (simfoni kesembilan). Tapi buat aku semangat Beethoven cuma setengah-setengah. Mending Wagner sekalian kalau mau yang bergaya Promethean. Yang paling bikin aku betah dari Beethoven kayaknya justru yang nggak terlalu penuh warna.
Tokoh Isolde (Celtic: Iseult, Italia: Isotta) menyanyikan Liebestod di atas kematian Tristan. Bagian ini selalu memaksa kita berhenti dari kegiatan keseharian, dan diam beberapa menit menikmati cara Wagner menggambarkan jenis kedekatan manusiawi yang penuh kegamangan. Pagi ini bentuknya agak beda. Orkestrasi nyaris dihapuskan, dan digantikan dengan permainan piano yang sederhana. Jadi fokusnya lebih pada vokal solo tokoh Isolde. Tapi, really, bagian ini sama indahnya dengan waktu orang memainkan Isolde dengan orkestrasi penuh, tanpa vokal (i.e. versi Liebestod yang aku dengar pertama kali, sekian tahun y.l.).
Oh ya, aku nggak pingin cerita tentang kisah Tristan & Isolde, selain bahwa ini adalah kisah cinta dua manusia, yang tak pernah terselesaikan. Kegamangan dari ujung ke ujung. Nuff.
Nyetel Wagner di tempat ini memang sebenernya pas. Kita ingat, Der Ring dibuat Wagner di pengasingan, dalam kondisi seadanya, waktu tidak ada harapan sama sekali untuk bisa menyusun performa yang sesungguhnya. Tapi Der Ring justru diciptakan untuk menunjukkan bahwa nilai (romanticism, balik lagi ke nilai) kemanusiaan bukan terletak pada sumber dari luar dan penghargaan dari luar, tetapi dari pemenuhan potensi. Maka terciptalah masterpiece yang dikagumi selama satu abad lebih dikit.
Aku nggak pernah merasa Der Ring itu bagus, tapi aku selalu bisa menikmatinya sepenuhnya, setiap saat. Dan aku nggak tau rahasianya. Dari segi artistik, pasti aku lebih milih Debussy. Jadi di mana sih Wagner menyimpan puncak keunggulannya ?
Refer: Richard Wagner