Category: Life (Page 9 of 29)

Dimes Logical Counting

Tadinya ada dua standar menghitung bilangan di atas satu miliar. Tadinya? Iya, sekarang konon malah jadi ada tiga.

Metode Amerika-Perancis, yang kayaknya juga dianut Indonesia, menghitung bilangan perseribuan. Satu miliar (atau satu bilyun) adalah seribu juta. Satu trilyun adalah seribu miliar. Satu kuadrilyun adalah seribu trilyun.

Di Inggris dan negara Eropa lainnya (selain Perancis maksudnya), hitungan dilakukan persejutaan. Satu bilyun itu sejuta juta. Satu trilyun itu sejuta bilyun. Satu kuadrilyun itu sejuta trilyun.

Nah, ternyata ada satu metode lagi, yang dinamakan Dimes Logical Counting (DLC). Kayak apa tuh? Lebih heboh, soalnya pakai deret ukur. Pertama, dia niru sistem Inggris: satu bilyun itu satu juta juta. Kemudian kehebohan dimulai: satu trilyun adalah satu bilyun bilyun, dan satu kuadrilyun adalah satu trilyun trilyun. Jadi DLC mengenal angka misalnya tiga bilyun trilyun.

Kosa kata yang dipakai ketiga sistem itu sama: juta, bilyun, trilyun, kuadrilyun, kuintilyul, sekstilyun, septilyun, oktilyun, nonilyun, desilyun. Di Perancis, satu desilyun punya 32 angka 0. Di Inggris dia punya 60 angka 0. Dan menurut DLC, dia punya 3072 angka 0.

Setan dan Cendekiawan

Oleh2 kunjungan dari geocities.com/cholis_penggerutu:

Suatu pagi Abdul Qadir Jailani masih terlelap sewaktu saat salat subuh tiba. Seekor kucing melompat ke sisinya dan mengusiknya hingga ia terbangun. Menyadari keterlambatannya, Abdul Qadir cepat-cepat menunaikan salat.

Selesai salat, ia memandang kucing itu. Berkat ketajaman spiritualnya, ia melihat bahwa kucing itu sesungguhnya adalah setan. Kenyataan ini membuat orang suci itu tak habis mengerti. Ia pun bertanya, “Aku bisa melihat bahwa kau adalah setan, tapi mengapa kau membangunkanku agar salat?”

Kucing itu menjawab, “Karena kau memergoki aku, sekalian kukatakan saja padamu. Aku tahu kalau kalau kau ketinggalan satu salat wajib, kau akan melakukan seratus salat sebagai gantinya, jadi kubangunkan kau agar kau cuma dapat satu pahala dari satu salat saja.

(Abdul Qadir Jailani)

Setan tak henti-hentinya memompakan rayuan halusnya hingga sang cerdik pandai menjadi yakin bahwa dirinya harus mengajar orang. Lalu sang Setan membisiki si cerdik cendekia, “Kau harus menghias pemikiranmu dengan bahasa nan elok dan kewibawaan yang menawan. Mainkan juga kehebatanmu. Kalau tidak begitu, kata-katamu takkan punya efek; takkan mencapai hati khalayak dan mereka tak bakalan berhasil mencapai kebenaran.”

(Al-Ghazzali)

US dan RF

Nazi menginjak2 Paris, dan pemerintah Perancis harus dilarikan ke London. Hanya setelah pasukan sekutu pimpinan US masuk ke Eropa, pasukan Perancis berhasil membebaskan negaranya sendiri. Dan itu yang selalu tercatat dalam sejarah. Bukan pasukan US yang membebaskan Perancis. Pasukan Perancis membebaskan negaranya sendiri, dan turut bersama pasukan sekutu untuk membebaskan Eropa.

Jika kita bekerja sama untuk sesuatu yang saya butuhkan, tidak selalu saya harus mengiyakan semua pikiran Anda. Orang yang membantu kita, bukan berarti kawan kita. Orang yang menjatuhkan kita, bukan berarti lawan kita. Dan kalau terlepas dari masalah, jangan berlarut2 memikirkannya — masa depan masih panjang.

Orang US masih berpegang pada cerita koboi yang diromantiskan (dipalsukan) sebagai kisah kepahlawanan. Dan mereka masih berpegang pada ideologi macam itu. Orang Inggris tahu bahwa orang US cuma pintar membual. Tapi tanpa bantuan Inggris, US tidak pernah memenangkan perang yang serius. Lihat Vietnam misalnya, dimana tentara US harus ngabur terkencing-kencing. Di front lain, Perang Eropa, Perang Asia, Perang Teluk, dsb, Inggris harus ikut meyakinkan kemenangan US.

Orang Perancis tahu bahwa waktu US masuk Eropa, alasannya bukan moral. Ada kepentingan US yang mulai terganggu oleh Hitler, dan Hitler harus dihentikan. Roosevelt sendiri mengkiaskan, “Kalau rumah tetangga kita terbakar, kita meminjami selang air bukan karena baik hati, tapi agar rumah kita tidak turut terbakar. Setelah itu, selangnya kita ambil lagi.”

Tentu orang Perancis tahu — sejarah panjang Eropa penuh dengan rasa sakit berkepanjangan, dan meromantiskan masa lalu adalah kekonyolan. Yang lebih penting adalah memecahkan masalah zaman ini dengan kecerdikan, akal sehat, dan ketulusan hati zaman ini.

Kehancuran, Kewajaran

BTW, kalau di dunia ini bintang tidak bisa meledak … tatasurya hanya memiliki unsur yang miskin. Tidak ada yang lebih berat daripada besi. Tidak bisa hidup juga segala macam tumbuhan, dan hewan, dan kita — kaum-kaum yang hanya bisa hidup setelah adanya kehancuran …

… dan menghayati kehancuran sebagai bagian yang wajar dan nyaman dari kehidupan.

Waktu Kematian

«Orang suka bertanya, bagaimana perasaan kamu bahwa kamu tahu istri kamu akan meninggal tidak lama lagi» — cerita Feynman. Terkejut, resah, pasti. Tapi setelah itu hidup jalan terus. Dengan candaan dan kreativitas hidup yang nggak pernah berkurang, dan dengan pekerjaan yang nggak pernah habis. Hidup jadi berlangsung apa adanya. Seperti orang lain hidup.

Terus Feynman membalik pertanyaan itu. Seandainya ada makhluk hidup di Mars, dan makhluk itu tidak memiliki kemampuan untuk mati (kasihan yach). Kalau makhluk Mars itu datang ke bumi, dia akan sangat takjub mendapati manusia yang akan menghadapi kematian dalam usia rata-rata 60-an tahun. Takjubnya bukan karena kematian. Tapi karena manusia sadar bahwa mereka akan mati. Dan mereka tetap menjalani hidup dengan ceria, dengan dinamika dan kreativitas yang luar biasa.

«Apa yang terjadi pada kami, terjadi juga pada kita semua. Kita punya kepastian yang sama. Hanya saja kami memiliki waktu yang lebih pendek.» gitu lanjut Feynman. Maka waktu Arlene meninggal, dia tidak mau lama-lama melihat badan yang sudah tidak bernyawa lagi. Dia ambil barang-barang Arlene, dan kembali ke proyek, dan menolak orang-orang bersimpati. Hidup jalan terus.

Beberapa bulan setelah Proyek Manhattan selesai, Feynman jalan-jalan ke kota. Di sebuah etalase toko, dia lihat ada baju perempuan yang menarik. Arlene pasti pingin beli baju itu, pikirnya. Pikiran itu menyentaknya, dan membuat dia sadar bahwa dia benar-benar kehilangan Arlene. Lalu untuk pertama kali dia menangis.

Menangis juga manusiawi.

Arlene Feynman

Feynman konon memang beruntung. Selain cerdas, hidupnya juga penuh dengan hal-hal yang lucu dan menarik. Tapi kita suka lupa, bahwa yang menentukan kelucuan dan kemenarikan hidup kita itu kita sendiri.

Aku abis baca kisah Feynman dengan istri pertamanya, Arlene — nggak ada hubungannya dengan pacarnya Garfield. Arlene adalah primadona di sekolah Feynman, dan selalu punya pacar. Feynman baru bisa merebut hati Arlene waktu dia jadi siswa terbaik dalam bidang matematika, fisika, kimia, dan biologi; plus penghargaan khusus dalam bahasa Inggris, gara-gara dia bikin karangan yang berisi kata-kata rumit cuman buat iseng. Tapi terus Feynman harus kuliah di MIT. Mereka janji mau menikah abis Feynman lulus.

Tapi kemudian Arlene terdeteksi menderita Hodgin, semacam TB, tapi yang tak tersembuhkan. Dia divonis akan meninggal hanya dalam beberapa tahun ke depan. Mereka berdua terpaksa menghadapi vonis itu, dan menerima kenyataan terburuk. Feynman lulus, meneruskan ke Princeton, dan bikin tesis di bawah bimbingan Wheeler. Kondisi Arlene makin buruk. Jadi, abis lulus dari Princeton, Feynman menyatakan siap menikah.

Ortu Feynman jelas tidak setuju. Mereka lebih suka Feynman memulai karir yang bagus daripada menikah dan memiliki hidup bermasalah. Feynman menemui dokter lagi, minta diizinkan menikah. Kata dokter: bisa, tapi nggak boleh terlalu sering melakukan kontak fisik. Berciuman pun nggak boleh. Jadilah mereka menikah berdua, tanpa diiringi keluarga, dan pindah ke Princeton. Waktu itu Proyek Manhattan sudah dimulai di Princeton.

Di Princeton, Arlene tinggal di rumah sakit. Situasi berlanjut sampai Feynman harus pindah ke Los Alamos untuk mengerjakan kelanjutan Proyek Manhattan. Arlene ikut pindah ke Los Alamos, tapi selalu hanya di RS. Dari RS dia mengirim surat-surat aneh ke proyek. Di bulan Mei, dia mengirim koran ke banyak orang di proyek, dengan berita utama “RP Feynman Berulang Tahun”. Dia mengirimkan puzzle yang bikin Feynman selalu dimusuhi provost proyek (tentara). Dia juga beli panggangan, dan memaksa Feynman memanggang steak setiap weekend di tepi jalan umum.

Tapi … well … segalanya harus berakhir. Arlene meninggal setelah cukup lama tidak sadar. Waktu Feynman mencium rambutnya, dia merasakan keharuman yang sama seperti biasanya. Itu mengagetkannya. Arlene meninggal — sesuatu yang besar telah terjadi — tapi nyaris tidak ada yang berubah.

Cina dan Islam

Sekian tahun abis insiden Yogya, dan beberapa bulan abis tragedi sosial di Jakarta, sekali lagi aku punya harapan yang terkabul mendadak. Travelling sore-sore dari Bandung ke Jakarta, bulan Ramadhan. Parahyangan kayaknya, soalnya jam segitu Argogede pasti lagi dalam perjalanan berlawanan arah. Aku beli Chicken Katsu untuk buka puasa, duduk di seat, terus mulai bikin skenario lagi: kayaknya enak kalau orang di sebelahku itu orang Cina. Orang Indonesia keturunan Cina maksudnya. Biar bisa saling curhat tentang tragedi Jakarta yang sampai saat itu masih kerasaaa sekali. Biar bisa curhat bebas, enaknya orang itu bener-bener punya kesan mendalam (dalam arti negatif, tentu) tentang tragedi itu. Dendam kalau perlu. Garang juga oke. Harus cowok, soalnya cewek nggak terlalu bisa aku ajak talk bebas.

Trus nggak lama duduk lelaki tua. Keturunan Cina sih, tapi terlalu tua untuk bisa garang. Aku senyum aja: he-he, meleset dikit.

Nunggu … terus aku mulai basa-basi: “Duduk di sini, Pak?”
Dia senyum juga, “Di belakang. Tapi lagi diduduki tentara.”
Waktu itu setiap pintu gerbong dijaga dua tentara, dan mereka lagi istirahat. Aku berdiri, ngobrol sama si tentara, ngasih tau kalau yang punya seat udah ada. Mereka berdiri, dan nerusin ngobrol sebentar, sementara si bapak itu pindah.

Balik ke seat, bareng sama cowok keturunan Cina lagi, seumuran aku lah. Dan dia cuek duduk di sebelahku. Aku senyum lagi: yang ini rada pas kali. Ngobrolnya dari mana ya? Tau nggak dari mana? Aku komentarin HP-nya dia (Ericsson G688). Terus kita ngebahas HP. Terus tempat beli HP. Terus pertokoan yang dibakarin. Cepet kan?

Aku nggak akan nulis namanya di sini :). Dia tipikal temen bicara yang waktu itu aku harapin: cerdas, masih menyimpan luka dan dendam sama tragedi Jakarta, dan menyalahkan warga pribumi khususnya orang Islam dalam peristiwa itu. Aku cerita juga bahwa Islam tidak mentolerir kekerasan, apalagi ke warga sipil dan rumah-rumah ibadah. Dalam Quran, perang diperbolehkan justru untuk melindungi masjid, gereja, dan sinagog. Kalaupun terjadi perang, level kekerasan di dalamnya juga dibatasi: dilarang merusak rumah warga, dilarang merusak fasilitas umum, dilarang mengganggu orang yang tidak melawan, dll.

Diskusinya lama. Dan kayaknya nggak bakal muat masuk ke weblog. Kali aku bakal nulis cerita khusus soal diskusi ini. Nggak janji tapi.

Ujungnya, kita bisa saling ngerti. Trus jeda. Dia minum. Nyuruh aku berhenti puasa. “Nggak ada yang tahu kok” — katanya. Bales-balesan cela-celaan lah. Aku baca koran (punya dia kayaknya). Terus pramugari mengumumkan waktu maghrib dan membagikan makanan buat yang pesen. Makan bareng. Aku yang pakai chopstick tapi — Hoka-Hoka sih.

Ngobrol lagi. Dia cerita lagi belajar Bahasa Mandarin. Tuh kan. Tadinya aku pikir semua orang Cina yang masih berbudaya Cina bisa bahasa Mandarin. Ternyata dia di rumah berbahasa Taiwan. Dia ngasih tahu beberapa contoh. Aku tanya: tapi kan huruf kanjinya sama. Ada perbedaan, katanya. Soalnya ada modernisasi huruf kanji di RRC. Dia ngasih contoh. Tapi dia rada kaget waktu tahu bahwa aku bisa beberapa huruf kanji. Hobby di SMA, haha :).

Ngobrol lagi soal pekerjaan. Dia ngabur ke AS abis tragedi Jakarta. Jadi kasir, tapi gajinya lebih gede daripada waktu jadi manajer di Jakarta. Terus nanya kenapa tarif SLI dari AS ke RRC lebih murah daripada dari AS ke Indonesia. Aku cerita dikit tentang struktur network dan pembundelannya. Trus dia pamerin kartu telepon calling card berhuruf kanji, khusus untuk koneksi dari AS ke RRC. Sebagai kolektor yang baik, aku minta kartunya :). Abis tarik-tarikan, dia kasih salah satu kartunya.

Sampai Jatinegara, aku pusing berat — belum istirahat. Tapi puas bisa saling curhat dengan orang yang tepat. “Sampai ketemu ya”, gitu basa-basi kami. Nggak pernah ketemu lagi sih sampai sekarang. Tapi kartu telepon-nya masih ada.

LKTI Politikus

LKTI dimulai gara-gara Ziggyt pingin bikin prototip kegiatan untuk workshop elektroteknik yang waktu itu baru kita bikin di Unibraw. Kita ikut LKIP (lomba karya inovatif produktif), memanfaatkan hobby main-main interface dan programming pakai bahasa C. Sebenernya di tingkat FT kita udah menang sih, dan dimodalin untuk terus. Tapi kita keasyikan bereksperimen yang nggak-nggak. Jadi prototipenya nggak pernah jadi. Trus sama dekan disarankan diubah jadi LKTI, dan diajukan ke Univ. Jadi deh.

Aku masih inget bener waktu kita harus presentasi. Ziggyt lagi ke Bandung kayaknya waktu itu. Jadi aku sama Hakim aja yang maju. Kuota waktu 15 menit. Sebagai politisi, Hakim memulai dengan kata pengantar. Dan sebagai politisi yang baik, dia menghabiskan 11 menit untuk pembukaan, dan 30 detik untuk mengestafet pembicaraan ke aku. Aku cuman punya 3,5 menit untuk membahas seluruh aspek teknis: platform, hardware, program, dari keseluruhan sistem. Dan aku berhasil menyelesaikan tepat tiga setengah menit. Kalau kita baca blog ini, kita tahu kenapa aku bisa :). Tapi apa audiens ngerti? Kita tahu jawabannya kayaknya :).

Lumayan juga, masih masuk 3 besar. Tapi itu proyek ilmiah terakhir dengan Hakim. Abis itu aku kerja praktek dan bikin skripsi bareng Ziggyt.

Dan aku masih bangga punya temen politikus sekelas Hakim :).

Tanpa Harapan

Apa yang tersisa dari hidup kalau kita kehilangan harapan?
Apa yang tersisa kalau kita tidak lagi mengharapkan apa-apa?
Ya tidak perlu ada yang diharapkan tersisa juga sih :).

Sebenarnya tak ada yang salah kalau kita kehilangan harapan. Ada apa kalau kehilangan harapan? Mau berhenti melakukan segalanya? Diam pun  membosankan — kayak masuk neraka sebelum waktunya. Ada atau tanpa harapan, manusia punya kecenderungan untuk terus aktif. Kita boleh kerja demi nilai-nilai kita, dengan penuh kesungguhan, biarpun tanpa harapan bahwa akan ada sesuatu yang bisa diwujudkan.

Dan kalau kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, bukankah kita bisa jadi lebih jujur dan lugas? Bukankah kita bisa bekerja sepenuhnya demi nilai-nilai kita tanpa khawatir pada apa yang bisa menimpa kita?

Empati Pada Para Tiran

Sebenernya aku nggak adil juga selalu mencaci maki Saddam Hussein dan George Warcrime Bush. Barangkali aku udah larut dengan pikiran Dogbert yang dengan senang hati menganggap semua makhluk memiliki pengalaman yang sama dengan dirinya, dan artinya memiliki diskursus yang sama, dan artinya kalau ada yang berbeda pendapat selalu ada yang bisa disalahkan. Well, cakep kan?

Coba bayangkan kalau kita jadi Saddam, dari kecil dicekoki dengan kisah kepahlawanan padang pasir, dari sejak peradaban manusia, sampai masa masa kenabian, dan masa-masa kekhalifahan, yang semuanya penuh tragedi dan kehendak untuk menegakkan kekuasaan dan nilai-nilai dengan segala kekuatan.

Seperti diktator ngetop lain, Saddam mulai sebagai pemuda pejuang yang mengorbankan masa muda dan mempertaruhkan nyawa untuk perjuangan. Dan apa artinya kediktatoran Saddam dibandingkan banyak kekejian dalam sejarah peradaban manusia di sepanjang jazirah Arab.

Bayangkan juga kalau kita jadi Bush, yang seperti orang AS lainnya dicekoki kisah patriotisme AS membebaskan dunia dan menyebarkan nilai-nilai Americanism ke seluruh penjuru dunia.

Bush adalah manusia yang berhati lembut, kalau dibandingkan dengan Truman yang melelehkan dua kota besar di Jepang plus jutaan penduduknya dengan bom nuklir cuma untuk mendeaktivasi pusat kesenjataan Jepang, atau dibandingkan serial Kennedy hingga Nixon yang menghabisi jutaan keluarga di Vietnam dengan berbagai senjata pedih yang tak masuk akal digunakan di bumi (senjata kimia, senjata biologi, bom napalm, ranjau darat, racun makanan dan air, dan segalanya).

Trus bayangkan kalau kita jadi supporter Persib. Eh kok …

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑