Jenaka, Taqwa, Baik Hati

«Jadilah West yang jenaka, taqwa, dan baik hati.»

Gitu ditulis Papap sekian tahun lalu, waktu aku lagi dalam tahap pembentukan personality (sekarang tahap apa yach?). Papap suka nulis kalimat2 ajaib di dalam surat2nya, dan beberapa di antaranya sampai terbayang literatim verbatim di luar kepala. Mirip titah, yang memang nggak pernah dituntut, tapi menarik untuk dikejar. Dan cukup menarik, bahwa waktu orang tua lain pingin anaknya jadi pintar (biar dapat nilai tinggi, gampang cari kerja, dan cepat kaya), Papap pingin punya anak yang jenaka, taqwa, dan baik hati. Masih penasaran aku dengan urutan yang nggak lazim ini. Nggak kayak orang yang demen kategori dan kaku dalam birokras kan?

Beberapa tahun kemudian, waktu tekanan demi tekanan menempa diri, aku suka berbisik: «Pap, jenakanya udah. Taqwa sama baik hati mudah2n bisa menyusul.»

Papap sebenernya doyan berfilsafat, dan pernah jadi musuh yang menarik dalam diskusi filsafat (mind you, waktu2 itu aku nggak kenal nama Derrida atau semacamnya — Nietzsche udah yang paling modern). Kalau difilsafatin, sifat jenaka sebenernya mengacu ke kesukaan meletakkan pikiran dan perilaku secara out of frame. Dan yang menarik adalah bahwa diskursus kita, baik secara personal maupun kolektif, memang patut dipelesetkan. Dan dari situ kita melakukan penilaian kembali atas nilai-nilai. Barulah kita boleh berani memilih nilai yang jadi nilai kita dan kemudian tegak mengayuh hidup di atasnya. Dan pada sesi ini, baru kita jadi umat yang bertaqwa (bukan sekedar mengikut).

Dan baik hati? Ntar ah. Taqwa juga belum :).