Category: Life (Page 7 of 31)

Feynman dan Feminis

Astronom itu, Arthur Eddington, menikmati sebuah malam dengan pasangannya. Menatap bintang, si wanita menyatakan kekagumannya akan cercah cahaya bintang gemintang itu. Dan Eddington menanggapi, “Sayangnya, saat ini, akulah satu2nya manusia yang tahu bagaimana bintang itu bisa bercahaya.” Apa kesan kita baca kisah semacam ini? Empati akan kesepian seorang ilmuwan yang belum berhasil berbagi ilmu ke masyarakat? Tak semua orang punya kesan yang sama. Sekelompok kaum feminis menuding kisah ini sebagai penghinaan, seolah2 kaum wanita tidak bisa memahami fisika nuklir.

Kisah di atas, dan satu kisah lain dipasang Richard Feynman di sebuah buku kuliahnya. Kisah satunya adalah tentang seorang wanita pengemudi yang dihentikan seorang polisi karena melanggar batas kecepatan. Si pengemudi berkelit dengan menanyakan definisi kecepatan (velocity), yang tentu tidak bisa absolut. Kisah ini sebetulnya menggambarkan bahwa wanita pengemudi ini memahami fisika. Tapi kaum feminis menuding kisah ini sebagai penghinaan bahwa wanita tak dapat mengemudi dengan baik.

Surat kritik atas tema2 itu dibalas Feynman dengan surat pendek: “Don’t bug me, man.”

Bulan berikutnya, Feynman menerima penghargaan dari Persatuan Guru Fisika. Feynman datang ke acara itu diantar adiknya, Joan, serta disambut unjuk rasa kaum feminis yang memasang poster “Feynman sexist pig” disertai surat kritik dan surat balasan Feynman itu. Joan turun dan meminta salah satu poster dan surat untuk dibaca. Ke tempat acara, penyelenggara (seorang fisikawan wanita) melihat Feynman didampingi seorang wanita yang membawa poster protes, dan langsung memberi pertanyaan: “Apa Anda tahu bahwa Pak Feynman punya adik perempuan yang didorongnya menjadi PhD dan ilmuwan di bidang fisika juga?” yang langsung dijawab Joan dengan “Ya donk. Sayalah si adik itu.”

Feynman berpidato dikelilingi para pemrotes (yang ternyata dipimpin seorang pria). Ia menyaluti para pemrotes, dan mengatakan bahwa memang sesungguhnya masih ada diskriminasi gender dalam bidang fisika yang harus diatasi bersama. Lalu ia memulai pidato dengan suatu tema yang diyakininya menarik minat para hadirin wanita, yaitu tentang struktur proton. Para pemrotes langsung terdiam. Pidato (tentang struktur proton) berlangsung tertib.

Selesai pidato, seorang pemrotes masih mendekati Feynman.
“Anda masih harus dipersalahkan. Kenapa pengemudinya harus wanita?”
“Kenapa bukan simpati pada si polisi, yang dipecundangi si pengemudi?”
“Siapa peduli? Di mana-mana polisi memang seenaknya saja.”
“Anda seharusnya peduli. Polisinya juga wanita.”

Bote

“Setia hingga akhir dalam keyakinan,” itu ada tertulis di kitab di tangannya. 24 tahun hanya ia hidup, sebelum ia biarkan kekejaman mencerabut hidupnya. Ia Bote, dan dunia mengenang nama panjangnya: Robert Wolter Monginsidi.

Lahir di Manado, dan mulai bekerja sebagai guru di Luwuk Banggai, serta tumbuh rasa kebangsaannya. Menyaksikan kembalinya pasukan Belanda ke tanah airnya, ia membentuk induk organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi) pada Juli 1946, dan terpilih sebagai sekjen.

Keberanian, kecerdasan, dan pembawaan diri Bote membuatnya makin disegani dan dipercaya memimpin aksi-aksi pertempuran melawan tentara Belanda di dalam dan di luar kota. Taktik dan strateginya mencengangkan dan meresahkan pihak Belanda. Bote sempat tertangkap, tapi mampu melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur. Maka Belanda menjalankan taktik khasnya: penyuapan dan pecah belah. Iming2 uang ditawarkan bagi rakyat yang bersedia mengkhianati Bote. Dengan cara itu, Bote akhirnya tertangkap, dimasukan ke tahanan di Kiskampement Makassar dengan tangan dan kaki dirantai dan dikaitkan di dinding tembok, dan kemudian dijatuhi hukuman mati.

Di dalam sel, Bote membuat catatan-catatan:

  1. Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.
  2. Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada, dan juga jangan tinggalkan kepercayaan teguh pada Tuhan.Kasih Tuhan mengatasi segala-galanya.
  3. Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih tahu berdiri sendiri. Belajarlah melipat kepahitan! Belajar mulai dari 6 tahun, dan jadilah contoh mulai kecil sedia berkorban untuk orang lain.
  4. Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja yaitu roh “setia hingga terakhir pada tanah air” dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.
  5. Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apapun tidak membelenggu jiwa.
  6. Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata, dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai: Indonesia.
  7. Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan dating. Saya penuh percaya bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.
  8. Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh kali. Jika tidak bisa bangun berusahalah untuk duduk dan berserah kepada Tuhan.

Di luar sel, dunia sedang berubah. Secara sepihak, Belanda mengkhianati perjanjian Renville dan menduduki Yogyakarta. Tapi dukungan dari dunia memaksa Belanda kembali ke meja perundingan, yang kemudian dipimpin oleh Dr Roem dan Van Roijen. Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Indonesia, yang dijadwalkan akan dilakukan pada akhir tahun 1949.

Namun di Makassar, perundingan yang sudah mencapai final itu tidak menyurutkan niat pembesar Belanda untuk membunuh Bote. Pada 5 September 1949, Bote dihadapkan pada regu tembak. Ia menolak ditutup matanya. “Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku. ” Lalu ia memekikkan “Merdeka!” dan delapan butir peluru dimuntahkan ke tubuhnya: dada kiri, dada kanan, ketiak, pelipis, pusar.

24 tahun ia waktu itu. Namun semangatnya tak pernah dapat dimatikan.

Agustus

Di Bayreuth, Jerman, festival tahunan Wagner sudah dimulai. Tentunya Wagnerian berbahasa Indonesia itu makhluk langka; jadi aku nggak akan mulai membahas di weblog berbahasa Indonesia ini bagaimana cara memperoleh tiket, yang bisa memakan waktu tujuh tahun itu :). Alih2, aku mau iseng menulis tentang para pecinta musik Wagner.

Alf Wight tentu, a.k.a. James Herriot, yang memperkenalkan Wagner ke aku. Dan George Bernard Shaw, yang memperkenalkan Wagner ke Wight. Dan Stephen Hawking. Dan Nietzsche, tapi yang ini terlalu kuno. Dan tentu Edward Said. Pecinta musik Wagner, btw, tak selalu mencintai pribadi Wagner. Khususnya kelakuan Wagner yang anti yahudi, dan terang2an. Tapi itu cuman salah pengertian. Semasa hidupnya, Wagner cuma mengira bahwa Yahudi itu kaum rentenir dan bergaya exclusive. Dia waktu itu belum tahu bahwa orang-orang Yahudi itu, begitu berkuasa atas sebuah entitas polisi dunia, tega melakukan genocide juga.

Temen2 yang masih muda itu ribut soal serbuan atas Libanon. Tapi aku belajar nonton TV waktu PM Israel masih Menachem Begin dan Ariel Sharon masih Menhan dan nama-nama Shabra, Shatilla, Burj-al-Barajneh terdengar setiap hari. Dan kekejaman rezim Israel itu udah sama niscayanya dengan terbitnya matahari pagi. Tapi orang Islam, seperti biasa, cuman bisa menikmati jadi umat terjepit. Pimpinan Arab memarahi milisi Hizbullah yang lebih dulu memprovokasi Israel. Pusing mereka. Mau netral, tapi Israel jelas kejam. Mau bantuin secara militer, tapi mereka udah kehilangan kepercayaan pada kekuatan kaum Syiah (suka jadi musuh dalam selimut).

Dan ketidakjelasan kemauan orang-orang Islam itu masih sama niscayanya dengan terjadinya gempa di Indonesia. I mean, orang Indonesia tidak punya hak berdoa agar tidak terjadi gempa. Indonesia sendiri dibentuk oleh tekukan di batas lempeng. Kalau mereka tidak saling bersitekuk, kepulauan bernama Indonesia ini tidak pernah terbentuk. Dan begitu kepulauannya jadi, mendukung kehidupan, nenek moyang kita masuk, trus minta: ya udah, berhenti donk. Bumi bergerak mengikuti sebuah hukum yang ditetapkan Allah juga, bukan mengikuti kemauan kita. Dan ancaman buat kita bukan saja di lempeng benua yang masih asyik bergerak, tetapi juga di dalamnya lagi, di mana logam2 panas dan cair itu masih lincah bergerak.

Logam cair itu yang membuat bumi punya kemagnetan, yang turut mendukung kehidupan di atasnya. Tapi cairnya logam itu membuat kemagnetan juga bergeser — bisa lambat tapi juga bisa cepat. Dan kalau dia bergeser rada cepat, kehidupan kita semua juga terancam.

OK, kalau ada waktu luang, aku akan mulai menulis. Dan di Bayrouth, Libanon, rudal2 Israel masih membunuhi anak2 manis itu tanpa ampun.

Demikian, bulan Agustus.

Kunang Kunang

Dan malam sudah larut lagi waktu aku sampai di rumah putih kehijauan ini. Tapi … “Dik Annet mau liat kunang-kunang.” Haha, dasar Anak Jakarta, belum pernah liat kunang-kunang, selain dari lagu, dan dari cerita bahwa makhluk ini bisa bercahaya indah.

Jadi kita keluar lagi, dalam kegelapan. Tiap lapangan rumput di Griya Caraka kita datangi. Tapi kerlip cahaya yang dicari tak kunjung tampak. Annet udah mulai kecewa. Aku rada iseng, kadang2 ngejarin kucing yang melintas. Mata kucing juga bercahaya loh :). Tapi itu kucing-kucing, bukan kunang-kunang.

“Tapi kunang-kunang itu apa?” Annet mulai berceloteh. Dih, Yani bagian kedua — apa-apa ditanyain. “Itu serangga,” aku jawab singkat, sambil mata meradari tiap ujung kegelapan. Mendadak terselinap kerlip kecil. Aku berhenti. Menerawang. Ya, ada kerlip di tempat lain. Aku tunggu. Satu, dua, tiga, empat. “Kunang-kunang!” — dan kami mendekat. Menikmati kerlipan-kerlipan bersahutan. Tidak redup lagi, tapi terang, tapi benderang, tapi menyala.

Annet berjongkok mengamati. “Tapi, Om West, kunang-kunang itu sebenernya apa?” tanyanya lagi. Aku ambil seekor. Nyala itu sekarang di atas jariku. Annet takjub. “Kunang-kunang itu serangga,” aku jawab lagi. Kunang-kunang jatuh ke jari Annet. Annet ikutan berbinar. “Kok serangga bisa menyala?”

Aku nggak sepintar zaman berkeliling sama Yani dulu. Sekarang aku cuman bisa membayangkan bahwa yang dilakukan makhluk seimut itu adalah membagi f=E/h, dengan h tetapan Planck, dan E adalah energi yang diserap dari makanan, kemudian dia memancarkan cahaya dengan frekuensi f. Duh! Lalu berapa efisiensinya, yang bikin serangga imut itu bisa bercahaya sangat terang tanpa terasa panas? Dia menggunakan hukum termodinamika juga, sedemikian hingga efisiensi cahaya lebih dari 90%. Jadi hewan ini jelas jagoan fisika. Tapi energi E-nya dari mana? Dari proses bioluminescence, yaitu saatenzim luciferase yang yang khas dimiliki hewan ini bereaksi dengan ATP dan oksigen menghasilkan foton. Jadi serangga ini jagoan biologi dan kimia juga.

Kesimpulannya …

Tristan & Iseult

Doyan Tristan & Isolde? Eh, emang kemaren pertanyaannya “doyan” yach? Hmm. Yang jelas aku ambil DVD itu dari BEC dengan dua alasan. Satu Celtic. Dua Wagnerian. Sambil berharap, mudah2an memang bagus.

Ceritanya sendiri nggak mirip dengan opera Wagner. Bukan berarti nggak asli. Tristan & Isolde (atau Iseult atau Yseult atau Isotta) sendiri merupakan cerita kuno, semacam cerita rakyat, yang tentu berbeda dengan dokumen sejarah yang tercatat. Orang boleh menulis menurut versi apa pun yang mereka dengar, dan boleh memodifikasinya sedikit banyak untuk memuati dengan pesan moral.

Berbeda dengan versi Wagner, versi DVD ini tidak banyak membahas racun, kecuali racun yang melumpuhkan Tristan, membuatnya dianggap sahid dan dimakamkan ke lautan, untuk justru akhirnya ditolong oleh Isolde. Seperti juga versi Wagner, Tristan dalam DVD juga tega menyerahkan soulmatenya ini ke raja Cornwall, demi tujuan yang lebih besar: mempersatukan negara2 Britania agar kuat menghadapi penindasan tak berperikemanusiaan. Dan seperti versi Wagner, Tristan juga tak dapat lepas hatinya dari Isolde. Akhir ceritanya?

Tentu, Tristan harus mati juga. Dan harus dengan gagah juga. Dan harus ditemani Isolde juga. Tapi ceritanya membuat kita nggak merasa membuang waktu, soalnya bener2 cerita yang menginspirasi dan membuat kita tidak merasa mengulang membaca buku Tristan & Iseult kita, atau mendengar opera Wagner Tristan & Isolde kita. Dan tentu kita jadi ingat bagaimana sebuah negara (Inggris) bisa kuat. Bukan saja dengan konsensus dan komitmen untuk membahagiakan rakyat, tetapi kadang juga dengan memotong leher dan mengangkat kepala terpenggal di muka umum.

Labirin

Satu lagi dari Borges yang selalu suka labirin.

Alkisah, raja Babilonia membangun labirin besar yang serba rumit. Meniru kerumitan semesta, kilahnya. Bukan dua dimensi, karena ada lorong mendaki, tangga2, pintu2, dan tentu banyak jalan buntunya. Berbiaya tinggi, dan sungguh rumit, sehingga manusia normal bisa mati kehausan atau kelaparan sebelum berhasil menemukan jalan keluar.

Ketika raja Arab berkunjung, raja Babilonia memamerkan labirin besar tersebut. Di dalam, ia meninggalkan raja Arab. Raja Arab mencoba keluar, tapi sungguh rumit labirin itu, sehingga ia sungguh2 makin tersesat. Memahami bahwa ini hanya miniatur kerumitan semesta Tuhan, ia pun mulai berdoa memohon perlindungan, kemudian mempercayai intuisinya, yang akhirnya berhasil membawanya keluar labirin. Menghadap raja Babilonia, ia tersenyum, dan mengucapkan terima kasih karena telah ditunjukkan kerumitan luar biasa dari kepandaian Babilonia.

Kembali ke negaranya, ia menyusun pasukan, dan langsung menyerang Babilonia. Pasukan hanya menculik raja Babilonia, dan kemudian meninggalkan kerajaan. Sang raja dibawa ke tengah gurun Arabia. Berkata si raja Arab: “Ini adalah labirin raksasa kami. Sungguh rumit, biarpun tak satu dindingpun membatasinya. Selamat berjuang sahabatku.” Lalu mereka meninggalkan raja Babilonia itu di tengah gurun maha luas itu.

Belajar Bahasa

Aku sampai sekarang nggak pernah fasih berbahasa Jawa dan Sunda, biarpun aku hidup lama di kedua daerah itu. Robby bilang aku berbahasa Indonesia dan Jawa dengan logat Russia – tapi Andrei dan Marsha pasti nggak sependapat :). Berondongan budaya justru jadi barikade yang bikin defensif: nggak berani mencoba untuk mulai berinteraksi. Tapi pada bahasa Inggris terjadi ketidakfasihan juga. Kekurangan komunikasi bikin nggak berani mencoba berinteraksi juga?

Barangkali soalnya adalah pemaksaan. Belajar untuk survive. Alah bisa karena terpaksa. Faktanya, aku nggak harus berbahasa Jawa/Sunda untuk survive di Malang/Bandung. Tapi aku harus bisa bahasa Inggris tertulis untuk survive! Bahasa Inggris tertulis itu aku kuasai atas jasa para dosen di Teknik Elektro Unibraw yang nggak doyan literatur lokal, dan lebih memilih mencari literatur asing, difotokopi, dan dijadikan bahan tugas seminar buat mahasiswanya. Aku masih ingat, aku nggak bisa tidur gara2 sedih: terlalu lama buatku memahami halaman2 fotokopian itu. Tapi pusing nggak memecahkan masalah. Buka kamus sampai lecek, dan akhirnya jadi terbiasa, jadi bisa. Dan malah terus jadi hobi beli buku bajakan di Tamansari. Hah, trik dosen2ku berhasil, congrats buat mereka :(.

Di Telkom Divre III, trik dosenku masih menyisakan hasil. Biarpun paling malas berbahasa Inggris, aku sempat mengalahkan seluruh seniorku waktu tes TOEFL di Telkom. Congrats lagi buat dosen2ku yang tukang maksa itu.

Tapi tentu kemahiran bercakap tak pernah bertambah. Tidak ada yang memaksa bisa bercakap untuk survive. Pun di zaman Ariawest, aku berada juh dari lingkaran kekuasaan, dan bisa mengirimkan laporan cukup secara tertulis.

Trackback, di Malang aku juga coba kursus Bahasa Perancis (ini adalah satu2nya kursus yang pernah aku ikuti sampai tahun 2000). Informal. Lebih banyak conversation, atau tepatnya chatting. Lumayan untuk menimbulkan keberanian berekspresi. Sayangnya aku harus pindah ke Bandung. Aku memperdalam grammar sendiri, tapi nggak ada faktor pemaksa, jadi setengah hati. Abis kenal Amazon, aku beli beberapa buku bahasa Perancis untuk memaksa diri membaca. Juga dua kali berlangganan Science&Vie. Bisa sih. Tapi tak seberhasil membaca bahasa Inggris di kampus. Aku pikir faktornya masih sama: nggak ada faktor pemaksa.

Pertanyaannya: bagaimana caranya memaksa diri? Aku masih pingin belajar belasan bahasa lagi nih. Russia terutama. Lebih dari “Ya tebya lyublyu, solnyshka mayo” – hmmm.

Muhammad

Kemudian setelah riuh itu kembali merendah, seiring dengan sifat dasar manusia yang mudah lupa dan mudah lalai (manusiawi sekali), kita kembali membuka kisah sang manusia yang agung akhlaknya itu.

  1. Setiap kali Muhammad, saw, melalui suatu jalan, seorang perempuan membuang ludah ke arahnya. Keluarganya, dan kemudian beberapa sahabat yang mengetahui, mencoba memprotes, tetapi Muhammad, saw, selalu melarangnya. Namun pernah beberapa kali Muhammad melalui jalan itu tanpa gangguan si perempuan. Bertanyalah ia pada orang di sekitarnya. Dari sana ia tahu, perempuan itu sedang sakit. Maka ia mengambil makanan dari rumah, dan dijenguknya perempuan itu sambil membawa makanan. Tak pernah lagi perempuan itu mengganggunya sejak itu.
  2. Satu rombongan berjalan, membawa jenazah ke pemakaman. Muhammad, saw, yang sedang berbagi hikmah dengan sahabat-sahabatnya, segera berdiri memberi hormat.
    “Tapi Rasulullah, itu jenazah seorang Yahudi,” seorang sahabat mengingatkan.
    Muhammad, saw, bersabda pendek, “Berdirilah kalian semua. Itu adalah jenazah manusia, saudara kita.”

Dicaci maki, diludahi, dilempari batu, adalah hal yang pernah jadi kebiasaannya, sebelum Islam berkembang pesat. Dan setelah ajaran mulia ini berkembang, jejas dalam bentuk lisan maupun tulisan terus diarahkan padanya. Namun manusia tak lebih dari bentuk kehidupan singkat, dan hinaan atas manusia pun fana saja. Tak ada artinya dibandingkan perjuangan panjang mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi seluruh alam semesta. Konsistensi perjuangan dan keagungan pribadi Muhammad, saw, mewujudkan kekaguman, bukan hanya dari para sahabatnya tetapi juga para musuhnya, dari kekaisaran Romawi hingga kekaisaran Persia.

Kebodohan, yang sekali lagi dilakukan oleh segelintir kapitalis Eropa, tak lebih hanya kebodohan segelintir kapitalis. Dan tak perlu dibalas dengan kebodohan. Kemarahan sebagian umat muslim, yang tak terkendali, juga manusiawi, yang sebenarnya lebih ditujukan kepada diri sendiri. Kepada ketidakmampuan menjaga citra sebagai pewaris seorang Muhammad.

Oh ya, satu hal tentang pembakaran bendera. Negara-negara Skandinavia, serta Swiss, juga Skotlandia, memasang simbol Kristian sebagai bendera mereka. Pantang bagi umat Islam untuk menodai simbol-simbol agama lain, biarpun barangkali bangsa mereka juga sudah tak lagi berpegangan pada agama itu.

Isnet

Isnet, benda apa itu? Syukurlah, abis beberapa tahun bergabung dengan Isnet, aku belum melihat ada yang menyepakati apa yang disebut Isnet. Nggak pa-pa sih, dan malah baik, kalau kita bisa berjalan, melaju, dan sinergis, tanpa repot2 sama urusan definisi, koordinasi, dan bla-bla lainnya. Tapi saat sinergi pun jadi tinggal kenangan, kita seharusnya mulai mencari: kenapa potensi sehebat itu tidak kita manfaatkan dengan benar; dan kenapa kebersamaan sehangat itu kita khianati dengan kesendirian masing-masing.

Maka aku datang malam kemarin ke yang dinamakan sebagai Pertemuan Isnet. Dan yang dibahas memang kelembagaan dan perlembagaan Isnet. Tentu khas Isnet, dalam arti bahwa biarpun judulnya berbau2 soal lembaga, tetapi tidak ada yang menyebut urgensi melembagakan Isnet. Justru kembali yang dilakukan adalah berbagi ide dan pencerahan, antar generasi, antar sektor.

Barangkali aku juga hadir sekedar kangen. Bang Laurel Heydir tetap hangat seperti biasa. Dari Bandung cuma ada aku dan Mas Bogie Sujatmiko, yang sama2 pendiam dan ogah bersuara. Tuan rumah, Herr Faisal Motik, tetap jadi joker yang handal untuk membuka dan menutup acara. Dan ustadz Qodri Azizy betul2 menyampaikan alternatif kritis tentang lembaga2 Islam. Misalnya, kenapa nama “Islam” terkesan seram dan dihindari, tetapi nama Hukum Islam, a.k.a. “Syariah” terkesan ramah dan dikejar2 lembaga2 non Islam sekalipun. Juga tentang pendidikan Islam yang sebenarnya menekankan kepada rasio dan kritik. Kenapa Nabi Ibrahim, saat beroleh perintah Allah atas anaknya, perlu menanyakan pendapat anaknya, Ismail, alih2 bersikap “aku dengar dan aku laksanakan sekarang juga.” Juga tentang prioritas2 yang tertinggal oleh rutinitas2. Juga tentang …

Bersambung ah, as usual.

Tapi Isnet itu apa?

Nah, itulah soalnya.

Спутник 

«Sometimes I feel so — I don’t know — lonely. The kind of helpless feeling when everything you’re used to has been ripped away. Like there’s no more gravity, and I’m left to drift in outer space with no idea where I’m going»

«Like the little lost Sputnik?»

«I guess so.»

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑