Category: Life (Page 5 of 29)

Mr Charlatan

Baiklah, media dan penguasa negeri mempercayainya sebagai pakar. Dia memang sempat berada di dunia akademis. Tapi gaya pseudosciencenyalah yang memikat media dan kemudian penguasa untuk merekrutnya. Dan jadilah Trofim Lysenko penasihat Partai Komunis bidang sains di Russia zaman Stalin, dengan jabatan ketua Lenin All-Union Institute of Agricultural Sciences, bahkan akhirnya juga Akademi Sains Russia.

Suasana Russia zaman itu memang tak secerah negeri kita masa kini. Kaum buruh tani yang baru memberontak mengisi partai dan parlemen; dengan semangat tinggi tapi ilmu belum mulai terisi. Rakyat berkuasa, tak apa. Sayangnya beberapa charlatan memanfaatkan situasi ini, termasuk Lysenko. Kegiatan Lysenko dimulai dengan memamerkan hasil-hasil riset pertaniannya yang ajaib, yang memukau media. Riset Lysenko tak pernah dapat diaplikasikan, dan bahkan tak dapat diulangi. Tapi ia menutupinya dengan riset baru yang tak kalah memukau. Para pemuka partai mulai mendengar dan tertarik. Maka ia ditarik menjadi salah satu elit partai. Langkah berikut dari charlatan kita adalah mengagitasi partai dan parlemen, memanfaatkan kedekatannya dengan Stalin, untuk melakukan pembersihan. Tentu ia bukan manusia dungu yang langsung menembak nama orang. Saat negara dalam semangat kolektivisme, ia menyabdakan bahwa ilmu yang seharusnya ada di masyarakat adalah ilmu terapan. Petani otodidak, menemukan cara memanen yang lebih banyak, itulah pahlawan. Lalu ia menerbitkan formula menarik. Menurut formula Lysenko, akademisi = borjuis = fasis. Dan yang difavoriti untuk ditembak adalah biologi, khususnya genetika, dan agriculture. Genetika, bidang yang baru mulai tumbuh di Eropa itu dianggap sebagai bidang ilmu yang tak sesuai dengan filsafat materialisme dialektika yang dianut rakyat marxis Russia. Sensor keras diberlakukan terhadap hal yang berbau genetika, evolusi (Darwinian), dll. Para ilmuwan, bahkan yang mengharumkan nama negeri, dijatuhkan, dibiarkan mati kelaparan di kamp kerja paksa. Contohnya adalah Nikolai Vavikov. Sementara itu, pertanian kacau, rakyat lapar. Tapi media bungkam. Stalinisme memuncak. Jutaan pembangkang mati. Sisanya menghadapi Perang Dunia II.

Bertahun setelah PD II, Lysenko makin galak. Orang yang skeptik terhadap pendapat Lysenko bisa ditangkap. Kemudian Stalin jatuh, Khrushchev naik. Terjadi destalinisasi, tapi tidak delysenkoisasi. Charlatan ini terlalu licin dan pandai menjilat orang yang tepat pada waktu yang tepat. Pada masa seolah pencerahan ini, rekayasa genetika masih kelam diharamkan. Seorang akademisi sains Russia, yang mencoba memaparkan penggunaan rekayasa genetika untuk memproduksi jagung yang lebih baik; ditodong Khruchshev dengan setongkol jagung, dan semprotan “Apa yang salah dengan jagung milik Rakyat ini?” Tentu tidak ada yang salah dengan rakyat. Tapi retorika macam itu justru membunuh rakyat. Saat Eropa bangkit, masih bisa terjadi kelaparan massal di Russia dan satelitnya. Baru setelah Khrushchev pun tumbang, Lysenko ikut dimakzulkan. Tak dihukum, tetapi menghabiskan masa tua dalam keterasingan akademis: tak ada yang mau berhubungan dengannya. Dan sementara itu, Russia jadi negara terbelakang dalam ilmu biologi dan rekayasa genetika; jauh di belakang tetangganya di Eropa; walau ia maju cukup pesat di bidang seperti matematika, fisika, dll. Fisikawan nuklir Russia, Andrei Sakharov, mendakwa Lysenko di Akademi Sains: “He is responsible for the shameful backwardness of Soviet biology and of genetics in particular, for the dissemination of pseudo-scientific views, for adventurism, for the degradation of learning, and for the defamation, firing, arrest, even death, of many genuine scientists.”

Beruntung kita; tak pernah mengalami masa kelam yang menghancurkan negeri seperti itu. Beruntung; progress rekan-rekan muda kita dalam mengembangkan teknologi informatika (yang menjadi booming dunia hari-hari ini) mendapat dukungan penuh dari penguasa negeri ini. Beruntung; para charlatan tak pernah mendapat porsi apa pun di negeri cerdas kita ini.

Bohr dan Einstein

Buku Richard Feynman (Surely You’re Joking) menyinggung perjumpaan Feynman dengan Bohr (Niels dan Aage). Niels Bohr senior disebut sebagai sulit dipahami kata2nya yang terlalu menggumam, sehingga kadang2 Aage jadi juru bicara. Tapi bukan cuma Feynman yang memiliki impresi serupa. Abraham Pais juga mencatat bahwa gaya bicara Bohr teramat sulit dimengerti, penuh gumaman. Ditambah lagi dengan obyek pembicaraan Bohr yang tidak pernah mudah :). Saat itu, ketidaksetujuan Albert Einstein (yang dengan teori fotoelektriknya sebenarnya menjadi pemicu teori kuantum) atas teori kuantum membuat diskursus fisika sedang memanas.

Di suatu siang, Bohr yang sedang bersama Pais, sedang sibuk menjelaskan kenapa pendapat Einstein, biarpun masuk akal, tetapi memiliki kelemahan telak. Dengan gaya menggumamnya, yang terdengar oleh Pais adalah nada naik dan turun dari bahasa Inggris dialek Denmark, dan nama Einstein yang disebut berulang. Menatap jendela, makin asyik Bohr menguliahi Pais, dan semakin lama yang terdengar hanya nama Einstein, gumaman, Einstein, gumamam, dst.

Saat itu, Einstein masuk ke ruangan.

Einstein berjalan berjingkat-jingkat, tersenyum pada Pais, lalu melihat Bohr. Bohr tak mendengarnya, masih asyik menatap jendela sambil meneruskan gumamannya, dan menyebut nama Einstein. Saat Einstein makin dekat, Bohr menoleh, dan dengan kaget melihat kepala Einstein sudah dekat kepalanya sendiri. Gaya kaget Bohr dilukiskan seperti orang yang sedang sibuk memuja roh leluhur, dan si leluhur betul2 menampakkan diri. Mereka diam sebentar. Lalu dengan ramah Einstein berkata bahwa ia dilarang dokter membeli tembakau lagi. Tapi dokter tak melarangnya mencuri tembakau. Jadi itu yang tadinya akan dilakukannya.

Kesunyian berubah menjadi tawa yang renyah.

OK, jokes semacam ini mendingan dipisah jadi blog tersendiri: http.koen.cc. Tak harus jokes pribadi, kerana hidup lagi tak terlalu lucu. Senyum yuk, untuk hidup yang singkat ini.

Update: Bohr termasuk fisikawan yang disukai pada zamannya. Ia terobsesi pada hal yang diyakininya benar, siapapun penemunya (tak seperti Newton misalnya). Obsesinya kadang mengganggu. Pernah ia memojokkan Schrödinger sampai ke kamar tidurnya untuk berdiskusi, saat Schrödinger sedang flu dan benar2 ingin tidur. Tentu diskusinya jadi satu arah. Perseteruan ide Bohr vs Einstein (yang justru mempererat persahabatan keduanya) sendiri baru padam setelah keduanya meninggal.

Dialektika

Ada satu kebiasaan buruk yang selalu kulakukan setiap melihat seorang anak kecil merintih kesakitan: aku tak sengaja mempertanyakan kenapa sakitnya nggak dipindah ke aku saja. Dan biasanya itulah yang terjadi. Bukan secara kausal. Kausalitas, kita tatap secara transenden, justru patut ditertawai. Tapi begitulah. Maka benda tak berbahaya tapi ampuh menghentikan aktivasku ini menyerangku: sinusitis.

Kita ulas sedikit, kenapa namanya sinusitis. Jadi formulanya cuman y=sin(x), dengan x berjangkauan [-π,π], dan y menunjuk ke magnitude of pain on your face. Pasang sumbu y tepat di tengah wajah. Nah ini yang terjadi hari2 ini. Tak separah serangan sebelumnya, dimana formulanya malah y=sin2(x), dengan x tetap berjangkauan [-π,π]. Jadi nyerinya ada di kedua sisi wajah kecuali di sumbu y hidung. Kalau polanya berbeda, mungkin namanya bisa diganti jadi cosinusitis, parabolitis, hiperbolitis; entah apa lagi.

Gejalanya, selain nyeri yang menarik di wajah, dan temperatur yang tinggi (tapi untuk waktu singkat bisa jatuh, membuat menggigil, untuk kemudian meninggi lagi); adalah desakan pada tangan untuk mencengkeram wajah, iritasi atas suara dering telepon, dan sesuatu yang selalu terjadi dari aku kecil, tapi nggak pernah bisa aku bahas sampai tuntas: sebuah dialektika.

setmefree.pngMungkin asalnya dari demam. Atau supplai oksigen yang berkurang. Atau kesempatan untuk berbaring tanpa memikirkan pekerjaan dan hal2 rutin lain. Tapi aku jadi memikirkan sesuatu yang tak relevan, dengan cara yang khas: membuat pertentangan. Waktu aku di SMP, aku pikir itu efek Decolgen. Waktu itu aku berpikir untuk menarik sebuah bola sampai membentuk sebuah kubus sempurna. Bagaimana sebaran gaya yang diberlakukan pada si bola. Ingat, waktu bola ditarik di satu sisi, sisi lain bisa mengempis. Intinya bukan bagaimananya, tapi ada sebuah pertentangan panjang. Satu melibatkan ketakterhinggaan, dan satu lagi tidak. Aku masih SMP dan belum belajar kalkulus. Dan dua suara itu mengganggu. Kadang tidak selucu itu. Aku pernah harus mendengar diskusi panjang — yang tidak aku kehendaki — tentang bolehnya pemimpin republik (Soekarno) meninggalkan titik kedaulatannya saat kekuatan ilegal (Belanda) melakukan penyerangan. Ya, suara pendukung Soekarno dan pendukung Soedirman bergantian, berdiskusi panjang, tanpa ampun. Padahal yang aku butuhkan adalah istirahat yang tenang dan damai. Dan hari Minggu malam itu, diskusinya membahas … haha, yang ini benar2 lucu … dua orang dokter yang mendiskusikan nyeri kepalaku. Satu dokter yang tak berdinas, dan sebetulnya sedang mengambil pendidikan lanjut, tapi dia yang menemukanku (entah di mana) dan mengantarkanku ke RS; satu lagi dokter jaga di UGS yang punya otoritas, yang sebenarnya pendidikannya tak selanjut si dokter pengantar. Lucu, suara mereka riuh senada nafasku. Satu nafas, doktor di kiri, satu nafas, dokter di kanan. Aku ingin malam cepat jadi pagi, biar aku bisa lepas dari dokter fiktif itu, dan ketemu dokter beneran. Aku bangun jam 4 pagi, nggak mau tidur lagi. Ke Borromeus pagi itu juga. Dan ketemu dokter yang ramah, bukan tukang debat kayak di tidurku :).

Dalam keadaan segar, biasanya pola pikirku tidak dialektis. Aku mencari terobosan ide, mengevaluasi, mencari kekuatan dan kelemahan, peluang implementasi, dan seterusnya. Bukan menyusun thesis, mencari pertentangan di dalamnya, merumuskan antitesis, mempertandingkan, menyimpulkan sintesis, semacam itu. Aku engineer, bukan filsuf. Jadi gangguan tidur yang ajaib kayak di atas itu menggangguku, bukan membangkitkan ide :).

So, dari Borromeus, aku pergi ke RDC (Telkom Research & Development Centre). Hari Senin itu ada pertemuan membahas pengembangan komunitas di sana. Timnya sendiri dari beberapa divisi, termasuk Divisi Multimedia, Content&Application, Training Centre, dll. Orang2 yang menarik, bergagasan segar. Aku serasa disegarkan lagi. Bukan saja dari gangguan tidur malamnya, tapi juga dari diskusi panjang di Divisiku sendiri, yang nggak lari ke mana2. Orang2 di Divisiku, aku pikir, bukan orang yang paling pas untuk membahas soal komunitas, soal IT, soal Internet. Aku berharap dari sinergi antar divisi macam ini, pengembangan komunitas bisa lebih efektif dilakukan. Sayangnya, tentu saja, hasil diskusinya masih jadi rahasia perusahaan, jadi belum mungkin disebar via blog :). Haha. Weits, bukan berarti rapat menarik ini membuat mataku terbuka lebar. Aku tetap tertidur dua kali. Dimulai dari nyeri yang meningkat lagi di wajah sebelah kanan, naik ke mata. Mata harus ditutup sebelah, menahan nyeri. Yah, malah tidur. Bangun, diskusi lagi, dan proses itu terulang lagi. Malu2in :).

So, selesai rapat, aku langsung pulang. Bobo panjang. Semua HP diset silent. Internet dibatasi beberapa menit saja. Email, BBC, blogwalking singkat, selesai.

Ini hari Rabu. Nyerinya masih. Tapi tak seseram hari Minggu s.d. Selasa kemarin. Mudah2an Kamis besok bisa lihat kantor. Dan aku malah nulis blog. Mudah2an tidak ada salah2 kata, salah ide, pelanggaran etika, dll di entry ini. Kalau ada, mohon maaf. Agak sulit jernih kalau masih menahan nyeri.

Tambahan buat mereka yang kirim email menanyakan ke mana aku sampai nggak nulis blog: Wow, makasih. Tapi blogosfer Indonesia sungguh luas. Satu penulis istirahat, ada ribuan lainnya. Coba luangkan waktu melihat blog2 baru. Keren2 loh :). Aku sendiri mengamati hal buruk terjadi padaku di minggu yang buruk ini: meningkatnya sarkatisme. Jadi terlalu mudah menyerang kebodohan. Aku jadi mirip Dogbert, atau RMS46 — mana yang lebih sarkastik. Bukan berarti toleransi menurun. Toleransiku terhadap hal itu selalu rendah. Tapi biasanya tak harus sarkastik.

Kosovo

Dua hari yang lalu, Mas Budi Putra — yang mendadak jadi maniak domain hacks — mengusulkan federalisasi Indonesia, sehingga setiap negara ex provinsi atau bahkan kabupaten di Indonesia bisa meminta CCTLD sendiri, dan membuka peluang bisnis baru. Bisa beli wastuwibo.wo of Wonosobo misalnya, buat menyaingi ma.tt punya Matt of WordPress. Khawatirnya, usulan seperti itu terdengar di semenanjung Balkan sana, sehingga berita pertama pagi ini adalah Deklarasi Kemerdekaan Republik Kosovo, yang dikumandangkan dari ibukota Kosovo, Priština.

kosovo.png

Reaksi pertama, tentu, adalah rasa ikut bahagia; bahwa paria Eropa itu membuat satu langkah membebaskan diri dari negeri penindasnya. Congratulation! Mau pakai CCTLD apa? Mengharuskan local presence nggak? Boleh dihack nggak?

Tapi reaksi kedua adalah: Serbia keras kepala itu tidak akan diam. Dan ini artinya potensi Perang Baru. Russia sudah mencadangkan untuk memveto Kosovo masuk ke PBB, sementara Uni Eropa dan AS malah mendukung kemandirian negara baru ini. Russia bukan saja pusing dengan makin lemahnya Eropa Timur oleh separatisme, tetapi juga sadar bahwa negeri raksasanya adalah mangsa empuk berikutnya bagi separatisme.

Dan reaksi ketiga: pelajaran buat Indonesia yang multietnik ini — kalau pemerintahan loyo lagi, dan membiarkan penindasan antar suku /agama/kekuatan ekonomi/mafia terulang lagi, separatisme bisa menyebar seperti kuman, menjadikan Indonesia jadi mirip polinesia dan mikronesia yang renik nyaris tanpa arti (biarpun indah dan punya CCTLD keren-keren: TV, TK, VU, TO, dll).

Bagaimanapun, rakyat Kosovo sudah maju satu langkah hari ini. Kita?

Update: Tentu saja, sikap pemerintah Indonesia adalah: “Kalau bisa tidak mengambil keputusan, kenapa harus mengambil?” Atas perilaku menarik ini, saya pikir: “Kalau bisa tidak berpikir, kenapa harus berpikir?” 

Cit Cit Cit

Tapi pertama, seandainya seekor tupai memiliki uang, di mana dia menabung?

Cit cit cit Citibank.

Pondok kun.co.ro makin rapuh diterpa cuaca, dan aku mulai berpikir tentang perlunya pindah ke pondok baru. Malas browsing dan mengexcel, aku memilih sebuah hosting yang berposisi unik. Lalu pindah. Tapi tak semudah itu. Domain kun.co.ro sudah expired tahun 2004 lalu, dan regisrarnya tak mau mengubah setting DNS. Jadi aku langsung memperpanjang dulu s.d. 2014. Tapi, memang tak mudah. Registrar hanya menerima pembayaran dengan Paypal. Aku punya dua account Paypal. Satu dalam poundsterling, tak bisa dipindah ke rekening rupiah. Satu lagi dalam rupiah, tapi aku non-aktifkan karena aku tak menyetujui term & condition di dalamnya. Bagaimanapun, akhirnya pembayaran bisa dilakukan. DNS bisa diubah, biarpun propagasinya sampai saat ini belum tuntas. Dan sementara itu, ke mana si tupai pergi seandainya ia mau berarung jeram?

Cit cit cit cit Citarik.

Sebetulnya aku memindah pondok pada waktu yang salah: waktu aku sedang memutuskan tak banyak membuang waktu untuk blog pribadi. Selain pekerjaan kantor, dan beberapa kegiatan lain, aku cuma punya sedikit waktu senggang di bulan ini. Dan aku pakai untuk proyek pribadi yang lain, non-blog. Jadi aku memutuskan membayar hutang ke diri sendiri: menulis tentang persepsi negatifku atas Harun Yahya. Aku bersyukur, lega. Tanpa menulis ini, nuraniku terus merasa terkhianati. Tentu, aspek lain adalah bahwa dengan tulisan itu, aku hampir membunuh sohibku, Harry Sufehmi, sekali lagi. Aku pikir aku harus mengingatkan keluarganya agar kopi, makanan, dan minuman lain harus dijauhkan waktu dia sedang baca blogku. Oh, kalau tupai kebanyakan makan kenari, jadi apa dia?

Jadi buncit cit cit cit.

Dan tentang makanan, kita harus cerita tentang Batagor. Ini Bandung Kota Blogger, komunitas muda tempat blogger kota lautan api ini berhimpun. Berkenalan dengan Batagor, aku langsung kagum bahwa salah satu ide mereka adalah melakukan kegiatan darat yang tak berhubungan dengan Internet. Blogger tak cuma pintar berkata, tapi juga bekerja. Maka mereka sepakat membersihkan sampah di Lapangan Gasibu. Balik kantor, aku punya ide untuk mencari kaos2 ex-events untuk kegiatan itu. Deniar, ketua panitia acara bebersih, setuju mengambil kaos itu. Tapi sorenya, sebuah telepon masuk ke kantor. Produser acara Indigo (untuk MetroTV) ingin meliput kegiatan Komunitas IT yang punya aktivitas sosial. Aku langsung menyebut Kegiatan KLuB di PBA, dan Kegiatan Batagor bebersih Gasibu. Mereka langsung setuju. Maka jadilah acara Batagor itu direpoti urusan liputan :). Tapi sayangnya para peliput punya tugas lain, sehingga mereka menunda meliput kegiatan KLuB. Acara bebersih sendiri diiringi hujan setengah deras. Kami berkaus Flexi, menyandang ransel berisi notebook (ada acara bloggingnya juga), memunguti sampah basah di bawah hujan. Hujan, becek, nggak ada ojek (eh salah). Dan, semuanya ceria :). Dan seandainya tupai melompat ke atas mobil, apa nama mobilnya?

Cit cit cit Citroen.

Balik ke kantor (masih kedinginan), aku lihat majalah kecil Patriot: media internal Telkom. Baca dari depan apa belakang? Tengah. Dan tampaklah TELKOM.TV (taman virtual): web inovasi Divre III untuk mendukung kegiatan komunitas. Sebalik ke belakang, tampak juga TELKOM.US: blog facility buat warga Telkom. Juga disebut TELKOM.INFO sebagai blog informasi teknologi telekomunikasi. Alhamdulillah, yang lain belum ketahuan editor majalah :). Misalnya TELKOM.CC (community centre) yang masih dipark di TELKOM.TV, TELKOM.BIZ yang dipakai untuk office works, TELKOM.TK yang mau dijadikan ensi mini — companion dari TELKOM.INFO, dan TELKOM.LAH.YAW yang masih menunggu TLD bernama YAW. Tapi tentu domain ini aku kembalikan ke TELKOM kalau diminta. TELKOM.US misalnya, sudah dibicarakan dengan Mas Baskoro of Divisi Multimedia untuk dipindah dan dikelola di sana. Yang lain, setidaknya selamat dulu dari para pembajak domain. Tapi, hey, seandainya tupainya ternyata kerja di Telkom, di mana donk kantornya?

Grha Cit Cit Cit Citra Caraka.

Katyusha

Salah satu pernik masa perang dingin adalah Katyusha. Ini adalah peluncur roket (dengan kemampuan luncur banyak roket) yang dibangun masa awal Perang Dunia II, dan di tahun 1980an dulu sering digunakan bangsa2 timur tengah, saat Uni Soviet masih mendukung persenjataan mereka, hanya untuk mencegah meluasnya pengaruh Amerika Serikat (bukan saja melalui Israel) di kawasan itu. Di awal 1990an, waktu aku pertama kali punya notebook (dan sekaligus pertama kali punya komputer sendiri), aku menamai sistem itu Katyusha. Dan memang banyak yang diluncurkan dari situ :)

Katyusha berpindah tangan ke Oom Jos (sorry, aku membuat konsensus sama Kukuh untuk saling memanggil Oom, jadi semuanya harus ikut tercemar jadi Oom dan Tante juga, wekk). Dan aku harus beli notebook kedua. Karena ini adalah copy yang sama, aku menamainya Katyusha II. OK, aku harus mengakui, waktu itu aku lagi nggak kreatif cari nama. Tapi dengan Katyusha II ini aku pertama kali in touch dengan Internet. Dan peluncuran-peluncuran masih berlangsung. Katyusha II ini masih menggunakan Windows 3.1, biarpun ia masih hidup mendekati Abad XXI ini. Tapi spec-nya tak menarik lagi untuk dibawa ke Coventry, di mana aku menghabiskan tahun pertama Abad XXI.

Di Coventry, aku tinggal di apartemen Faraday. Aku menamai notebook berikutnya Crescent. Itu dinamai waktu bulan sabit tampak di langit jernih. tapi Crescent tidak stabil. Setelah beberapa kali format ulang, didukung alat bantu yang membuat kerja jadi efisien, sistem itu aku rename jadi Faraday. Memang agak nggak kreatif. Tapi bener2 aku lagi kagum sama Michael Faraday (yang manusia, bukan yang apartemen). Ingat kan? Ilmuwan yang membuat fondasi berbagai hukum elektrik & magnet, tapi tak paham kalkulus, dan cuman geleng2 waktu formulasinya dinotasi ulang secara elegan oleh Maxwell. Faraday lebih suka gambar garis2 gaya daripada rumus medan :). Faraday menolak disodori gelar kebangsawanan oleh pemerintah Inggris. Apa lagi ya? Oh, waktu itu sedang musim kuliah Faraday oleh IEE (sekarang IET) yang mengajarkan ilmu engineering kepada pelajar dan masyarakat awam.

Faraday si notebook berhasil membantuku menyelesaikan tesis. Tesis nyaris tanpa kalkulus. Banyak garis. Itu konfigurasi network, bukan garis gaya :). Bukan berarti kuliah tanpa kalkulus :). Bagian2 berkalkulus sudah diselesaikan dengan Mathcad zaman pakai Crescent.

Trus, setelah Faraday, tentu saja Maxwell. Aku nggak terlalu kreatif :).

Yang pusing harus sering dikasih nama adalah flash drive. Kalau sudah terpasang di komputer, kita pusing kalau cuman baca drive F, G, sampai N segala. Hmm, flash driveku yang mana, SD card yang mana, XD card yang mana? Keterusan dengan Maxwell, aku kasih nama menurut nama ilmuwan lagi. Tapi udah pindah ke Abad XX. So, ada Feynman, Neumann, Weyl, Dirac, Fermi, dll. Dan suatu hari aku iseng mengubah jadi nama pahlawan Afrika: Nyerere, Mandela, Lumumba. Berhenti waktu Pak Agus menyampaikan dengan halus: “Dicek dulu. Tadi Lumumba jatuh terinjak.” Aku jadi berhenti menamai flash drive dengan nama orang lagi. Bayangin kalau aku ngasih nama menurut nama seleb blog, trus flash drivenya terinjak lagi. “Aduh, Maylaffayza terinjak, dan Priyadi kena virus.” Kan kasihan.

So, aku menamai dengan k- diikuti nama bintang. k-Sirius yang pertama. Tapi diembat sama Pak Tris :), dan syukurnya nggak diganti namanya. Trus k-Pollux, yang berisi data pekerjaan yang sedang aku kerjakan. Not necessarily yang paling penting. Dan k-Castor, tempat data yang perlu dipertukarkan. Dan Pak Agus lagi yang harus jadi korban. “Namanya apa sekarang? Castor?” Ya, Castor saudara kembar si Pollux. Castor yang manusiawi, Pollux yang dewawi. Castor mati dalam perang, tapi Pollux minta saudaranya tidak dimatikan, karena masih ingin berjuang bersama. Maka para dewa2 ajaib itu mengangkat keduanya, Pollux dan Castor, ke langit, bercahaya sebagai Gemini si kembar. Lihat web Novi Scorpius kalau mau melihat posisi mereka. Mind you, dalam cerita perdewaan itu, si kembar itu dua2nya cowok, haha. Nggak romantis? Syukurin.

OK, reinstalling harddisk notebook selesai (yang ini ngetiknya pakai Mac Mini yang dinamai MacSquirrel –tambahan). Aku masih pingin berdongeng sih. Tapi, kerja dulu ah. Btw, enaknya aku kasih nama apa nih, sistem yang baru diformat ini?

Nokia Twelve Hundred

Masalah pemanasan global mulai memanas dan soal krisis energi mulai dikritisi. Tokoh politik (dalam arti positif) mulai mengingatkan masyarakat dan memperbaiki regulasi. Pembalak hutan mulai dikerasi, biarpun malah dilindung oknum menteri oon tertentu (cuma oknum). Industri2 mulai mendorong lifestyle masyarakat yang ramah lingkungan.

Di RRC misalnya, ada semacam regulasi yang mendorong produk ponsel negeri itu menggunakan charger standar. Dan tentu, standar yang tidak sulit, yang sudah ada sebelumnya, adalah USB. Maka tak heran, ponsel baru buatan RRC (dan juga Taiwan) kini menggunakan charger berinterface USB. Charger2 bisa saling dipertukarkan antar merk HP. Almarhum Xphone II punyaku bisa berbagi charger dengan Huawei misalnya. Dan tak perlu heran bahwa justru RRC yang punya ide semacam ini. Selain menjadi kekuatan baru dalam industri selular (d/h sel ular), mereka juga jadi konsumen terbesar. Bayangkan penghematan yang bisa dilakukan kalau semua merk HP yang dijual dalam skala RRC menggunakan charger yang sama, dan bayangkan penghematan bagi konsumen jika misalnya HP-HP RRC/Taiwan yang umumnya agak murah itu bisa dijual lepas tanpa charger (karena toh di rumah atau di kantor kita sudah punya charger yang cocok).

Nokia punya pendekatan berbeda. Darpos (sadar posisi) sebagai pemasar HP terbesar secara global, termasuk posisi sampingnya sebagai trendsetter; Nokia mulai menampilkan lifestyle yang berbeda: HP amat hemat energi. Pertengahan tahun lalu misalnya, Nokia meluncurkan produk HP bertampilan jadul: Nokia 1200. Jangan salah: tampilannya memang jadul, dan layarnya monokrom hijau; tapi featurenya lebih jadul lagi. HP ringan, berbahan murah, dan hemat energi ini sempat menarik perhatian pasar. Review atas HP ini bukan tampil di majalah2 HP kelas tabloid, tetapi justru di majalah gadget keren, dan majalah2 sains. Majalah Science&Vie di bawah ini misalnya. Harga HP ini tak semurah HP RRC yang berlayar monokrom. Ini Nokia dengan lifestyle, bukan paket HP murah :).

nokia1200.jpg

Mungkin mirip style naik sepeda ke kantor.

“Hare gene? Ke kantor ngayuh sepeda?”
“Heit, ini bukan sepeda Oemar Bakrie, tetapi ini sepeda lifestyle.”
“Heya. Lagian guru zaman sekarang gajinya tinggi lo. Tapi kok bentuknya sama, featurenya sama? Sama2 jelek.”
“Ini lifestyle! Geto loh! Secara geto loh!”
“Sama stylishnya dengan ABG Amrik yang konon lagi gandrung knitting ya?”
“Mungkin. Eh, masa? Tapi sama dengan gaya minum kopi tanpa gula. Selain menghemat gula, mencegah diabetes, juga dilabeli gede2: LIFESTYLE.”
“Sebenernya lifestyle loe itu berkait sama pengetahuan, kesehatan, apa sekedar pamer bahwa loe bisa sewa apartemen deket kantor?”

Mungkin nantinya akan lebih mudah mengembangkan HP hemat energi ini menjadi HP 4G hemat energi, daripada membuat HP 3G boros energi saat ini menjadi HP hemat energi. Anyway, ini akan jadi menarik buat kaum2 pikoen, baik yang suka lupa melistriki HPnya setiap malam, ataupun yang suka lupa membawa charger dalam perjalanan.

Tentu saja HP ini belum menarik buat kite2 yang lebih banyak memakai HP untuk blogging dan memeriksa email, sambil mengabaikan telepon masuk dan selalu lupa membalas SMS. Dan, uh, chargernya belum USB. Lucunya, kayak sepeda lagi (karena semua relasi sudah kita balik), ini juga bisa dipakai untuk show-off: gue bukan orang yang masih mikirin email — gue bisa sukses dan tetap keren tanpa menyentuh Internet.

Ngantor dulu ah. Ngantor waktu weekend ini sebenernya lifestyle baru juga. Pesan yang disampaikan: gue tetap keren tanpa kehidupan sosial. Hush.

Simfoni Ketujuh

Chai. Minuman ajaib ini diperkenalkan Yani sebagai minuman favoritnya di masa lalu, waktu dia masih hobby bobo di Starbucks Changi. Sebagai mantan saudara kembar Yani, aku langsung terpengaruh; dan chai wajib selalu ada. Membantu lagi waktu asthma menyerang tanpa ampun seperti hari2 ini. Chai, sebenarnya merupakan bahasa Asia asli atas teh. Kita di Indonesia menyerap kata dan budaya teh dari Eropa, jadi tak merasakan nada yang sama. Chá, tsai, chai, jay, çay, dll. Chai sendiri merupakan bahasa India selatan. Nah, di sana orang konon suka membuat minuman teh dengan campuran berbagai rempah segar. Chai masálá, dll. Resepnya tak baku, dan berbeda dari setiap keluarga. Biasanya si teh hitam ditambahi jahe, kayu manis, lada hitam, cengkeh, cardamom, dan star anise (udah lihat bahasa Indonesianya di MTC, tapi lupa euy). Hasilnya, sebuah minuman yang memang layak difavoriti makhluk pintar semacam Yani. Nah, kalau orang asing (non India) menyebut nama chai, yang dimaksud adalah teh berempah macam ini, bukan chai lainnya. Aku sih memang menyukai nuansa keragaman budaya (dan sialnya juga keragaman diskursus). Jadi nggak keberatan kalau chai harus selalu ada di tengah koleksi kopi hitam non-instan.

Mmm, sedap. Sementara Simfoni Ketujuh Beethoven ada di latar belakang, berusaha menanamkan semangat musim semi ke hati yang sedang buram. Paduan yang inspiring.

Inspiring :). Benda bernama inspirasi memang sering datang saat kita megelak dari kotak-kotak standar kita. Saat pikiran kita mencoba keluar batas dari bingkai kita. Bingkai kita, seperti yang sering aku tulis di milis2 zaman sebelum blog :), tidak harus tunggal, dan kita harus punya fleksibilitas untuk beralih antar bingkai. Tetapi untuk membangkitkan inspirasi, kita kadang harus mengambil sebuah bingkai yang kita belum pernah miliki yang belum kita akui (bukan kita definisikan, karena definisi justru mengikuti si bingkai). Juga kadang kita memerlukan kelincahan yang berbeda untuk bergerak antara 2 bingkai, atau lebih. Ini tak sederhana, karena pikiran kita ada di dalam bingkai itu. Kalau kita merasa bisa melihat bingkai dari luar, maka kita salah mendefinisikan bingkai – dia harus membingkai pikiran kita, karena kalau tidak maka pikiran kita tak akan mau ikut pindah bersama pemindahan bingkai yang kita inginkan. Dan saat ingin betualang cepat antar bingkai, setiap bingkai yang kita singgahi harus sama cepatnya memindah kita ke bingkai berikutnya, sambil sempat beradaptasi dan melakukan transvaluasi citra yang sedang kita bawa.

Konon (ini artinya aku belum coba), beberapa ilmuwan dan seniman mencoba mengaburkan bingkai (dan dengan demikian memancing hal-hal yang inspiring), dengan mencoba mengail di antara kondisi alfa dan beta dari otak. Dali, Einstein, Wagner, Goethe, merupakan beberapa contoh. Dan karya2 mereka memang bersifat multiframe, Einstein yang secara formal meredefinisi frame fisika. Dali menolak batas realisme dan fantasi. Wagner menggunakan simbol klasik untuk menceritakan ide kebangkitan akal manusia. Goethe mencipta adibudayanya dengan mencerminkan berbagai budaya manusia. Konon, begini caranya bermain di level yang bernama hypnagogia itu.

  • Berbaring di atas punggung atau duduk di kursi yang nyaman. Dalam gelap pun tak apa.
  • Letakkan siku tangan pada kursi atau kasur, dan tegakkan lengan ke atas. Tapi buat sesantai mungkin.
  • Fokuskan pikiran pada masalah yang ingin dipecahkan, atau ide yang ingin dicapai.
  • Biarkan badan untuk mulai tertidur. Fokuskan saja pikiran.
  • Saat kita jatuh ke tidur yang lebih dalam, tangan akan jatuh, dan membangunkan kita. Catat apa pun yang terbayangkan saat itu.
  • Ulangi.

Kalau aku, belum perlu mencoba kali ya. Aku udah terlalu sering tidur dalam sadar dan sadar dalam tidur. Mencobai cara ini, jangan2 yang terjadi adalah tidur dalam tidur, trus pulas-s-s-z-z-z.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑