Kampusku (d.h.i yang Brawijaya, bukan Coventry) memang rada ndeso: akrab bener sama urusan pedesaan :). Waktu kampus lain sibuk urusan pemloncoan (dengan berbagai nama dan tujuan yang keren2, tapi bohong); fakultas teknik di kampusku malah bikin KKM. Aku lupa kepanjangan aslinya — yang teringat cuman Kamp Konsentrasi Mahasiswa. Lebih seram dari pemloncoan, kami benar2 dikirim ke desa terpencil untuk membangun jalan makadam dan saluran air, dengan hanya dibekali kaos oblong sepotong, dan tentu sambil dimaki2 dan disiksa2 juga. Pulang pada tewas, tapi entah kenapa tetap bahagia: tenaga dan waktu yang kami buang tidak sia2, dan memberikan hasil nyata buat warga dusun2 terpencil di pelosok Jabung.
Sebagai bagian dari kurikulum, ada Praktek Kerja I (umumnya di lab, tapi boleh di luar) dan Praktek Kerja II (umumnya di perusahaan2 — aku sendiri ambil di LEN, Bandung). Tapi juga ada KKN (Kuliah Kerja Nyata, sebelum diberi kepanjangan lain menjelang reformasi), dimana mahasiswa wajib turun ke desa terpencil (lagi) selama 2-3 bulan buat membaktikan ilmu. Barangkali waktu itu aku masih sosialis (belum anarkis), jadi malah amat sangat suka sama acara kerja bakti paksaan kayak gitu. Membuang kota & egoismenya jauh2, naik ke desa2 di lereng2 gunung, menemui manusia sungguhan, belajar dari mereka, dan menyerap kemanusiaan secara … surealistik, haha. Andai udah ada blog di zaman itu :p.
Aku sendiri berKKN di dua desa: Sambikerep dan Tritik, di Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Nganjuk :) — bahkan baru kali itu aku menginjakkan kaki di negeri itu. Camat Rejoso sendiri yang selalu in touch dengan kami, dan memaksa kami berposko di ibukota kecamatan: Desa Talang. Sambikerep terletak 9 km dari Talang, dan Tritik 15 km dari Talang, ke arah yang berbeda. Tidak ada angkutan umum ke kedua desa. Tritik lebih parah, karena jalannya ekstra rusak, serta melintasi hutan jati beberapa kilometer. Desa Talang sendiri dipenuhi sawah dan kebun tebu.
Tim kami terdiri atas dua kandidat insinyur elektro, dua ahli perikanan, dua akuntan, satu dokter, satu ahli hukum, satu ekonom, dan … wah agak banyak. Hmm, aku pikir kombinasi kayak gitu, plus keusilan dan fakta bahwa kebetulan aku satu tim dengan para aktivis kampus masa itu, bisa dijadikan bahan blogging 1 tahun :). Dan nyesel deh, kenapa zaman itu belum ada plurk juga ya :). Bersambung ah.
So, aku masih setengah minggu di Bandung setengah minggu di Jakarta. Ini kisah Jakarta suatu pagi minggu lalu. Masih agak jauh dari Wisma Antara, sudah tampak Gedung Bank Mandiri (Thamrin) berwarna perunggu. Hmm, aku malah masih ingat waktu gedung itu masih berjudul BDN, sebelum bank itu bermerger dengan Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bapindo menjadi Bank Mandiri. Aku sempat ke kantor itu awal tahun ini, buat acara Deklarasi Koperasi Isnet. Ahlul-baitnya, Mas Haryoko, waktu itu masih jadi salah seorang direktur di Bank Syariah Mandiri. Beliau baru berhenti dari jabatan itu (yang dipegang selama dua periode) bulan lalu; dan langsung mengirim SMS tanda syukur kepada para Isnetter, bahwa selama dua masa jabatan itu tidak sampai terpaksa tergelincir ke hal2 yang tak dihendaki, yang bisa terjadi di posisi itu. Teringat beliau, aku mendadak usil, kirim SMS. Ternyata beliau hari itu sedang di gedung itu. Mirip aku, beliau bekerja di beberapa lokasi minggu2 ini, tapi dua-duanya Jakarta: Plasa Mandiri Gatsu dan Gedung Bank Mandiri Thamrin itu. Saling kirim SMS jadi mirip chatting, cuman berselangan detik, terus menerus. SMS terakhir membahas soal warung mi ayam samping lapangan dekat Wisma Antara, yang didirikan sejak 1982 (zaman Brezhnev, Sabra-Shatilla, Petisi 50, Woyla, Kopkamtib, Malvinas, KAL, Babrak Kamal, dll itu). Terus aku sibuk menerima tamu2 dari content providers.
Lunch time, masih ada tamu; dan makan siang harus ditunda. Janjian dengan Mas Haryoko jadi kayaknya tertunda. Baru setelah tamu2 pulang, aku ke kantin. Dari kantin Lt 9 itu, aku coba mengintai di mana gerangan si warung mi ayam yang dikagumi Boss BSM itu, hmmm. Ada titik yang tampak mirip warung. Aku lihat terus. Terus balik kanan, dan sesosok makhluk gagah menyapaku: “Mas Kuncoro ya?”
Tentu bukan cuman aku yang punya pengalaman mirip seperti ini: disapa ramah oleh seseorang, sementara ingatan kita tak mengirimkan informasi apa pun tentang sang penyapa. Aku menyambut ramah, “Oh hai!” — yang disusul sang penyapa dengan memperkenalkan diri sebagai penulis blog Anusapati. Ah ha, kejutan :). Anusapati adalah penulis blog unik, tentang celah sejarah Indonesia, semi anekdotal, tetapi membuka mata kita tentang kemanusiawian sejarah negeri kita ini. Anusapati juga orang pertama yang berhasil menebak posisi aku bekerja di entry blog sebelumnya (Jakarta 10110). Tapi dari tanggapan aku, Mas Teguh a.k.a. Anusapati ini mengira aku pernah kenal beliau. Tentu pernah. Membacai blognya setiap ada entry baru, membuat kita serasa mengenalinya kan? Bercakap tanpa sua, tentu lebih kenal daripada sua muka tanpa komunikasi :). Malahan blog Anusapati sudah kumasukkan juga di aggregator pribadi (baru ganti domain, sekarang: ra.me-ra.me). Tapi Mas Teguh heran bahwa aku tahu beliau seorang jurnalis. Hmmm, kalau kita baca2 blog beliau, tentu segera tampak bahwa beliau seorang jurnalis. Dari Detik :). Tidak perlu jadi profiler handal untuk memahaminya :). Oh ya, Mas Teguh ternyata ditemani seorang rekan, Mas Iwan. Tapi aku belum dapat alamat blog Mas Iwan.
Perbincangan dengan Mas Teguh asyik juga. Dari soal sejarah negara ke sejarah pribadi, haha :). Sayangnya kurang lama. Beliaunya harus segera turun untuk meneruskan bisnis :), dan aku juga harus balik ke mejaku untuk bersiap menghadapi …. rekan bisnis (huh, sama).
Kusesap kopi hitamku sampai habis, trus kami meninggalkan kantin Lt 9 yang sedang bermusik dengan solo keyboard itu. Mudah2an nggak perlu nunggu lama untuk bisa sua lagi.
Atas SMS Order dari Oom Widi Nugroho, dua hari ini aku mencobai calon tempat kerja baruku, di Lantai 9 of sebuah kotak besar di Jakarta 10110. Aku datang cuman bawa sebuah MacBook, nyaris tanpa asesori (ketinggalan: MiniDVI-to-VGA converter, Flash modem, flash drive, etc — padahal kayaknya udah diberesin agak rapi), dan jaket (duh, dasar orang Bandung). Syukurlah WiFi di sini gampang akrab dengan Airport si McPollux; beda dengan di Dago yang entah kenapa nggak nyambung2 (kecuali pakai Odyssey for Windows).
Biarpun belum resmi pindah, aku udah mulai harus baca beberapa proposal. Hey, bukan kerjaan yang membosankan. Ini proposal berbagai content & aplikasi Internet (web dan non web). Biasanya kerjaan macam gini adalah hobby di luar kantor :). Jadi memang kayaknya aku disuruh bersenang2 di sini. Sayangnya, baca2nya belum selesai.
Aku bahkan kelihatannya nggak perlu banyak berkenalan sama rekan2 di sini. Sebagian udah sering sua di berbagai meeting sebelumnya, terutama di Forum Content di Yogyakarta kemarin. Oh ya, di Forum Content itu, sebenernya Mr Elvizar (D-EGM Divre III) sudah secara lisan menyerahkanku ke Corporate via Mr Indra Utoyo (CIO). Cuman masih ada beberapa mainan yang harus diberesin di Bandung, jadi aku baru akan resmi pindah bulan Agustus.
Aku nggak bawa card reader, jadi nggak bisa pasang foto baru. Tapi ini foto yang pernah aku ambil dari arah Gambir beberapa waktu lalu. Coba tebak di mana aku … :)
Hari Kamis dan Jumat ini aku habiskan di Jakarta. Pertemuan internal Telkom yang menarik tentang sinergi kegiatan2 komunitas antar divisi, berlokasi di Wisma Antara, Jakarta. Melelahkan, karena dua hari pertemuan itu bener2 pertemuan, dengan silang pendapat yang nyaring dan demokratis. Terlalu menarik, sampai aku tega nggak mengunjungi event Insync di Ritz dan ISS di JCC sama sekali. Beda dengan rapat2 serupa di Supratman, dimana yesmen lebih banyak, dan rapat bukannya melelahkan tapi … cape dehhh. Yaa, hasilnya nggak ditulis di sini deh. Kebanyakan. Tapi nanti bakal dikomunikasikan sama komunitas2 di Bandung. Kapan neh, KLuB ngumpul2 lagi? Batagor? BHTV? Hmmm …
Yang kurang di Wisma Antara itu snack. Berat badanku sedang terjun menembus batas psikologis 50. Dan aku jadi doyan makan. Jadi aku bawa bekal cokelat buat dimakan di tengah rapat. Nggak sopan. Gue banget :). Dan selesai rapat, aku kabur cari snack. Ada Sbux di Thamrin. Menikmati cinnamon roll kesukaanku sama grande ice caramel macchiato sendirian, aku siap buat acara berikutnya: blogger gathering w/ Nokia. Meluncur dengan busway ke sana. Hey, syukur aku sempat makan dan ngopi. Salah gedung aku rupanya. Gedung Stanchart sudah berubah nama jadi ANZ, dan aku harus jalan kaki ke Stanchart baru.
Nokia, seperti perusahaan keren lainnya, mengundang 10 blogger buat memperkenalkan produk terbarunya. Produk itu ialah Nokia N78. Mobile terminal ini dirasa pas buat kaum blogger yang selalu haus untuk sharing personal experience. Ia telah dilengkapi dengan GPS client. Kamera 3.2 megapixel berlensa Carl Zeiss menghasilkan gambar yang bisa langsung dimetadatai dengan informasi lokasi dari GPS. Dikirimkan langsung ke Flickr (via sebuah client, bukan MMS), ia menghasilkan gambar di web dengan informasi lokasi, siap untuk diblogkan. Keren kan? Mudah2an API-API lain bisa dimanfaatkan para programmer kita untuk mulai bikin aplikasi2 context-aware yang bakal luar biasa. N78, dan penerusnya nanti, bisa bikin revolusi budaya kesekian yang diakibatkan oleh teknologi mobile dan Internet. Yang versi sekarang, sayangnya, masih lemah penerimaan GPS-nya untuk indoor. Aku pikir bisa diakalin. Tapi cobanya nggak bisa lama sih. Keburu waktunya makan :).
Sorry, nggak ada gambarnya, nggak dikasih gambar sama pihak Nokia. Cari sendiri di Google ya :). Tapi aku dikasih sebuah ransel berukuran sedang. Pas untuk travelling ringan. Dan sebuah gadget bernama World Charger. Benda ini bisa mengalahkan hotel paling arogan di Indonesia (yang plug listriknya selalu sok asing) dengan menyediakan multi plug (in/out) dan masih plus USB charger. Wow, bisa langsung dicoba nih. Hihi, bukannya mereview N78 malah mereview charger. Abisan, yang bisa dicoba lama2 emang yang ini :).
Sebagai bagian dari acara WOCN 2008 awal Mei ini, panitia lokal dari ITS membawa kami dalam kunjungan sosial ke lokasi bencana semburan lumpur di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Perjalanan melalui tol langsung menemui realita visual yang tajam: jalan tol yang diputus paksa akibat kehancuran lingkungan di sana, rumah2 yang tampak tenggelam (kata penduduk, yang tampak itu adalah rumah tingkat — yang tak bertingkat tak tampak lagi), dan daerah ekonomi di luar tanggul yang juga sudah ditinggalkan (nampaknya pernah terkena luberan lumpur). Daerah yang terhancurkan mencapai kawasan di tiga kecamatan.
Info mengenai penyebab dan penanggulangan bencana lumpur porong ini dapat disimak cukup lengkap di Wikipedia versi Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia. Berlawanan dengan klaim berbagai kelompok ilmuwan dan satgas yang meneliti; pemerintah memutuskan bahwa peristiwa ini adalah bencana alam yang tak terkait dengan kegiatan Lapindo (salah satu perusahaan Bakrie); dan dengan demikian seluruh kerugian masyarakat dan lingkungan akan ditanggung dengan anggaran negara. Tidak perlu merasa bersalah: waktu kita memilih presiden dan wakil rakyat dulu, kita tidak tahu bahwa mereka perilakunya seperti itu.
Tanggal 29 Mei ini, genap dua tahun bencana semburan lumpur itu terjadi. Pun setelah dua tahun, semburan masih berlangsung, dan kadang masih bisa dahsyat. Informasi di Wikipedia masih terupdate hingga 25 Mei 2008.
Mengutip ujar penduduk setempat: “Mboten napa-napa. Gusti mboten saré.”
Ini joke lama yang aku ceritakan ke Abdoul Karim waktu kami sedang menyantap makan siang kami di suatu akhir pekan. Aku terjemahkan ya :).
“Bon appetit, Koen.” “Merci, Abdoul. Hei, dulu konon di sebuah hotel di suatu pagi, ada orang Perancis memberi salam ‘bon appetit’ kepada orang Arab. Si orang Arab mengira ditanyai namanya. Jadi dia jawab ‘Abbas Hassan’.” “Hahaha.” (Tertawa 1) “Belum selesai. Nah, siangnya mereka ketemu lagi waktu makan siang. Orang Perancis memberi salam lagi ‘bon appetit’, dan si Arab menjawab lagi ‘Abbas Hassan’. Tapi lalu dia curiga. Masa orang bertanya nama dua kali.” “Lalu?” “Ya, dia ke toko buku kecil di situ, cari kamus Perancis-Arab. Dan akhirnya tahu ‘bon appetit’ artinya ‘selamat menikmati’.” “Pintar.” “Ya, masalahnya di toko buku itu tidak ada kamus Arab-Perancis. Jadi dia tidak tahu harus menjawab apa.” “Lalu?” “Malamnya, si Arab berpikir mendahului memberi salam; biar dia tahu apa seharusnya jawabannya.” “Hahaha.” (Tertawa 2) “Jadi begitu ketemu si Perancis, dia menguluk salam dulu: ‘bon appetit’. Ugh, sialnya … si Perancis malah menjawab … ‘Abbas Hassan’.” “Kok gitu?” “Ya, dia pikir jawaban untuk ‘bon appetit’ versi orang Arab memang ‘Abbas Hassan’.” “Hahaha.” (Tertawa 3) “Tahu nggak, aku baca joke itu dari siapa?” “Siapa?” “Mr Wahid, presiden kami.” “Hahahahahahaha.” (Tertawa 4 dan panjang)
Ya, memang humor Mr Wahid itu multikultural dan bisa dinikmati orang berbagai dunia. Aku menikmati tulisan beliau sejak aku doyan baca kolom2 Abdurrahman Wahid di Tempo tahun 1980an. Budayawan yang cerdas, aku pikir waktu itu. Tapi politikus yang menyebalkan, dan presiden yang disastrous, aku pikir sekarang :).
Dalam rangka ingin menemui lagi Mr Wahid budayawan tersayang itu, aku datang ke pengajian Isnet lagi, di kediaman keluarga Motik, Menteng, Jumat malam — 8 jam setelah operasi mencabut geraham atas dan bawah.
Gusdur yang ini tidak mirip yang politikus. Ia berdamai dengan banyak pihak: Amien Rais, PAN, ahmadiyah, zionist. Perbaikan hanya bisa dilakukan dengan dialog, dia bilang. Kedekatannya pada kaum zionist diakuinya sebagai satu2nya langkah yang mungkin — kita loyo di kekuatan militer dan ekonomi, tetapi menginginkan adanya solusi. Maka sambil menerima penghargaan Simon Wiesenthal, ia juga mempertanyakan: mulai kapan Israel benar2 akan memulai demokrasi dan menghentikan diskriminasi rasialis.
Hal-hal yang sering kita dengar dari beliau juga diulangi. Misalnya bahwa pergerakan nasional didorong oleh orang2 Islam multialiran yang memiliki fundamental Islam dan nasionalisme. Juga hasil muktamar NU di Banjarmasin (sebelum kemerdekaan) bahwa cita2 yang dituju tidak berbentuk negara Islam. Sambil becanda, Gusdur juga bercerita bahwa menurut Hidayat Nur Wahid PKS itu bukan organisasi Islam, sementara menurut Tifatul Sembiring PKS itu organisasi Islam. Perbedaan fundamental dalam mendeskripsikan organisasi pun tidak membuat organisasi harus macet. Cuman mengenai soal PKB, Gusdur malah tegas. Kepemimpinan PKB dinilainya sudah berbau uang, dan harus dirombak total.
Ada beberapa halaman tulisanku tentang perbincangan malam itu. Mungkin aku save di tempat lain saja nantinya. Tapi yang aku cukup takjub adalah bahwa Gusdur betul2 demokrat budaya. Penanya boleh mengkritik dirinya cukup keras, termasuk menyebut bahwa Gusdur bukan presiden yang berhasil, serta menganjurkan Gusdur tidak maju lagi. Tapi ekspresi Gusdur tak berubah. Beliau tetap menjawab santun dan santai. Kadang selisih konteks juga sih :).
Terakhir, ada yang mau aku cuplik. Beliau menyebut kenapa komunikasi suka tak sampai. Bukan hanya soal salah konteks (eh, ini opini aku dink), tetapi terutama soal bahasa. Di Indonesia ada bahasa LSM/intelektual/mahasiswa, ada bahasa birokrat, dan ada bahasa rakyat. Ketiga bahasa itu belum menyatu. Hey, bahasa blogger di mana? Kayaknya di yang pertama ya. Pantas, sulit sekali memasyarakatkan blogger :)
Seperti gaya Gusdur yang berhenti bicara waktu pingin berhenti. Aku juga berhenti menulis waktu pingin berhenti. Mudah2an Gusdur tetap jadi Bapak Bangsa, dan tidak jadi presiden lagi :). Tentu yang terakhir ini juga diharapkan untuk Bu Mega dan Oom SBY. Kita pingin orang baru, bersemangat baru, lepas dari klik-klik lama.
Melewati malam insomnix lagi :), pagi dimulai dengan membuka mail. Ada satu dari Technorati: surat pembebasan. Blog kun.co.ro yang sempat diskors Technorati selama beberapa bulan, mulai hari ini sudah boleh beredar lagi di sana. Aku jadi bisa lagi melihat2 blog yang melink ke tulisan2 di sini. Syukurlah tak banyak (dalam arti: jadi tak banyak waktu yang aku pakai untuk melihat2). Rank juga agak turun.
Lalu secangkir kopi. Kali ini mencoba mengenal negeri tetangga dengan mencicipi kopi Thailand. Cukup keras, mengingatkan pada kopi2 Sumatra. Mmm, kenapa ya, kopi Sumatra umumnya keras: Gayo, Sidikalang, Siborong2, Baturaja, Lampung — bikin addicted. Trus punya ide jail: bikin pop corn.
Membuat Pop Corn. Alat & Bahan: Segenggam jagung kering siap dipopcornkan, minyak zaitun, wajan & penutupnya + kompor, serta MP3 La Marseillaise (mudah didownload gratis). Cara membuat: (1) Letakkan wajan di atas kompor, dan tuang minyak zaitun 30cc. (2) Isi dengan biji jagung, dan pastikan semua jagung tenggelam, lalu tutup wajan. (3) Pasang MP3 La Marseillaise cukup keras, dan nyalakan kompor pada posisi api sedang. (4) Nikmati musik mars dengan serentetan jagung yang mulai meledak, sambil membayangkan pasukan Napoleon berperang melawan Stalin (ya, sekedar dalam bayangan, nggak papa lah). (5) Saat suara tembakan berakhir, matikan kompor, biarpun barangkali La Marseillaise belum selesai. Pop corn gosong kurang asik, dan LPG lagi langka. (6) Nikmati pop corn tanpa garam beraroma minyak zaitun sambil menyelesaikan La Marseillaise.
Sambil menyelesaikan La Marseillaise, aku jadi ingat bahwa mars kebangsaan Perancis ini pernah diadopsi. Bukan saja diadopsi oleh Czaikovsky dalam 1812 (atau Dari Sabang Sampai Merauke), tetapi betul2 diadopsi sebagai sebuah lagu kebangsaan oleh Kaum Bolshevik Russia di bawah Lenin. Ya, La Marseillaise dan juga L’Internationale. Tapi tak lama, L’Internationale lebih sering digunakan, dan diadopsi jadi lagu kebangsaan Uni Soviet. Untuk catatan, lirik L’Internationale dirancang untuk dinyanyikan dengan irama dari La Marseillaise juga, sebelum ia akhirnya punya irama sendiri.
Urusan lagu kebangsaan, bangsa Russia punya cerita yang rada unik. Di zaman tsar, negeri Russia pernah menggunakan lagu kebangsaan Tsarya Khrani. Ini adalah terjemahan Russia versi tsar, atas God Save The King dari Inggris. Waktu kaum Bolshevik merebut kekuasaan, mereka mengadopsi Internationale menjadi lagu kebangsaan, yang juga terjemahan Russia atas L’Internationale. Nah, waktu Stalin menggantikan Lenin, dan kemudian jadi diktator, ia merasa Internationale tak lagi sevisi dengannya. Selain ia sibuk melakukan Russianisasi, ia juga khawatir rakyat terdorong berontak kepada Stalin gara2 lagu Internationale, haha. Maka ia mempermaklumkan perlunya mengganti lagu kebangsaan. Dengan kisah yang agak panjang, akhirnya tersusunlah Himne Uni Soviet (Gimn Sovyetskogo Soyuza) pada tahun 1944, dengan musik dari Alexandrov dan lirik dari Mikhalkov dan El-Registan. Stalin sempat mengedit kata2 dalam lagu ini juga. Jadi ada nama Stalin segala di dalam lirik lagu. Duh. Namun diakui, tanpa melihat liriknya, musiknya indah :).
Tapi lalu Stalin tumbang, dan pemujaan atas Stalin dalam lagu kebangsaan dirasa kurang pas. Maka, sejak masa Khrushchev, lagu kebangsaan Soviet dibiarkan dalam bentuk musik saja, tanpa kata2. Ini berlangsung sekitar 20 tahun. Di tahun 1971, Mikhalkov — yang ternyata masih hidup — menulis ulang lirik lagu itu, dan mengajukan usulan. Tapi birokrasi negara komunis adalah yang paling menyebalkan di atas muka bumi. Jadi revisi Mikhalkov baru diresmikan tahun 1977. Dan jadilah Soviet punya lagu kebangsaan yang terkenal itu. Terkenal karena … sering dinyanyikan saat penyerahan medali emas di Olimpiade — orang Soviet masa itu gemar memborong medali. Tentu kita di Indonesia tak terlalu mengenalnya. Di zaman kejayaan Soviet itu, di Indonesia cuma ada TVRI, yang hanya secuplik2 menyiarkan warta luar negeri, dan lebih banyak menampilkan muka Ali Murtopo dan kemudian Harmoko.
Dan kita tahu, lalu giliran Soviet yang tumbang, di masa akhir pemerintahan Gorbachev. Russia, di bawah Presiden Yeltsin menggunakan lagu kebangsaan baru sejak 1991, dengan musik dari Glinka. Tanpa kata2. Juga, di masa itu, kontingen CIS di Olimpiade menggunakan simfoni Beethoven, untuk menunjukkan bahwa mereka tak lagi selalu berwarna Russia. Ini berlangsung sampai Yeltsin digantikan Putin. Saat baru menjabat, Putin menyatakan keprihatinannya bahwa atlit Russia di Olimpiade tampak tak bersemangat dengan hanya mendengarkan musik lagu kebangsaan. Lalu ia menyatakan bahwa Russia perlu lagu kebangsaan baru, yang memiliki kata2. Dari banyak usulan, salah satu yang masuk adalah untuk mengadopsi musik Himne Uni Soviet, dengan lirik yang diperbaharui. Mengabaikan banyak kritik, Putin menyetujui usulan ini. Lalu ia membuat maklumat yang mengajak rakyat membuat lirik lagu kebangsaan. Dan percaya atau tidak, Pak tua Mikhalkovlah — yang ternyata masih hidup juga — yang merevisi lagi lirik lagunya, lalu mengajukannya ke Putin. Dan Putin menerimanya. Pun perlu ada revisi beberapa kali. Tadinya negeri digambarkan bernaung di bawah sayap elang (lambang negara), kemudian diganti menjadi negeri yang diberkati Tuhan. Maka jadilah Himne Russia (Gosudarstvenny Gimn Rossiyskoy Federatsii) yang sekarang. Masih indah.
Dan pop corn sudah habis. Masih ada setengah cangkir kopi Thailand.
Mei. 1. Hari Buruh. 2. Hari Pendidikan. 3. Hari Kebebasan Pers. Dan seterusnya.
Mei ini juga 100 tahun Kebangkitan Nasional. Tentu, Boedi Oetomo memang sekedar simbol suatu kebangkitan., tapi bangsa pun hanyalah sebuah simbol untuk perjanjian dalam masyarakat untuk bersama menuju kemuliaan. Banyak pihak lebih suka mensikapi 100 tahun Kebangkitan Nasional ini dengan gerakan-gerakan masyarakat yang sifatnya non dan anti komersialisme. Komersialisme dianggap penjajahan baru yang bisa malah lebih jahat daripada kolonialis masa lalu. Pencitraan komersial atas kesyahduan ini malah dianggap kitsch.
Mei ini juga peringatan 10 tahun tumbangnya Soeharto. Soeharto dulu secara licik mempertahankan kedudukan dengan menjaga adanya ketegangan antar kelompok, dengan hanya dirinya dan kelompoknya yang bisa jadi penengah, dan demikian penguasa. Untuk menunjukkan itu, klan2 Soeharto secara besar2an memicu ketegangan antar kelompok yang berujung kesadisan massal di Jakarta, dan sedikit kota lain, sehingga seolah2 negeri mau hancur. Mirip trik Soeharto zaman G30S, waktu ketegangan Jakarta dianggap identik dengan status darurat nasional yang memerlukan pergantian kepemimpinan nasional. Bedanya, rakyat tak sebodoh dulu. Dan Soeharto tetap harus tumbang terhina. Pun trik pecah belahnya malah terus dijalankan hingga tahun2 awal abad ke-21 ini.
Tapi peringatan itu cuman peringatan. Hidup, dan perjuangan, harus jalan secara cerdas dan rasional, bukan emosional. Mei juga menyibukkan kita, selain urusan peringatan2 itu. Blog nasional yang sudah makin berwarna warni (I love it) menggambarkan perhatian berbagai warna atas segala peristiwa di negeri ini. Ada yang sibuk dengan kedatangan Gates, ada yang justru sibuk mempersiapkan FOSS summit. Ada yang masih setia memelihara lingkungan, mengingatkan pada global warming, dan urusan sampah. Ada yang menunjukkan pentingnya politikus non-partai dalam memakmurkan wilayah dan negeri. Ada yang makin prihatin pada kekonyolan pemerintah (yang cukup baik hati dengan menawarkan deposito berbunga 30% per bulan dalam bentuk timbunan BBM). Ada yang berfokus pada makin gentingnya soal pendidikan di negeri ini. Dan karena itu blog jadi lebih berwarna daripada media konvensional. Blog bisa tetap fokus menatap satu hal, serta sah meninggalkan hal lain (bukan kurang perhatian, tapi kan ada blogger lain yang sudah membahas).
Aku sendiri, sayangnya, malah tak blogging sebanyak biasanya. Sedang punya terlalu banyak pekerjaan harian, yang sama menderunya dengan mesin-mesin ide para blogger nasional. Menderu kencang untuk bersama jutaan umat lain membuat roda dunia tetap berputar, memadukan keringat kaum pekerja dengan ide-ide cemerlang para intelektual. Dan turut mewarnai Mei dengan aneka warna cerianya.