So, aku masih setengah minggu di Bandung setengah minggu di Jakarta. Ini kisah Jakarta suatu pagi minggu lalu. Masih agak jauh dari Wisma Antara, sudah tampak Gedung Bank Mandiri (Thamrin) berwarna perunggu. Hmm, aku malah masih ingat waktu gedung itu masih berjudul BDN, sebelum bank itu bermerger dengan Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bapindo menjadi Bank Mandiri. Aku sempat ke kantor itu awal tahun ini, buat acara Deklarasi Koperasi Isnet. Ahlul-baitnya, Mas Haryoko, waktu itu masih jadi salah seorang direktur di Bank Syariah Mandiri. Beliau baru berhenti dari jabatan itu (yang dipegang selama dua periode) bulan lalu; dan langsung mengirim SMS tanda syukur kepada para Isnetter, bahwa selama dua masa jabatan itu tidak sampai terpaksa tergelincir ke hal2 yang tak dihendaki, yang bisa terjadi di posisi itu. Teringat beliau, aku mendadak usil, kirim SMS. Ternyata beliau hari itu sedang di gedung itu. Mirip aku, beliau bekerja di beberapa lokasi minggu2 ini, tapi dua-duanya Jakarta: Plasa Mandiri Gatsu dan Gedung Bank Mandiri Thamrin itu. Saling kirim SMS jadi mirip chatting, cuman berselangan detik, terus menerus. SMS terakhir membahas soal warung mi ayam samping lapangan dekat Wisma Antara, yang didirikan sejak 1982 (zaman Brezhnev, Sabra-Shatilla, Petisi 50, Woyla, Kopkamtib, Malvinas, KAL, Babrak Kamal, dll itu). Terus aku sibuk menerima tamu2 dari content providers.
Lunch time, masih ada tamu; dan makan siang harus ditunda. Janjian dengan Mas Haryoko jadi kayaknya tertunda. Baru setelah tamu2 pulang, aku ke kantin. Dari kantin Lt 9 itu, aku coba mengintai di mana gerangan si warung mi ayam yang dikagumi Boss BSM itu, hmmm. Ada titik yang tampak mirip warung. Aku lihat terus. Terus balik kanan, dan sesosok makhluk gagah menyapaku: “Mas Kuncoro ya?”
Tentu bukan cuman aku yang punya pengalaman mirip seperti ini: disapa ramah oleh seseorang, sementara ingatan kita tak mengirimkan informasi apa pun tentang sang penyapa. Aku menyambut ramah, “Oh hai!” — yang disusul sang penyapa dengan memperkenalkan diri sebagai penulis blog Anusapati. Ah ha, kejutan :). Anusapati adalah penulis blog unik, tentang celah sejarah Indonesia, semi anekdotal, tetapi membuka mata kita tentang kemanusiawian sejarah negeri kita ini. Anusapati juga orang pertama yang berhasil menebak posisi aku bekerja di entry blog sebelumnya (Jakarta 10110). Tapi dari tanggapan aku, Mas Teguh a.k.a. Anusapati ini mengira aku pernah kenal beliau. Tentu pernah. Membacai blognya setiap ada entry baru, membuat kita serasa mengenalinya kan? Bercakap tanpa sua, tentu lebih kenal daripada sua muka tanpa komunikasi :). Malahan blog Anusapati sudah kumasukkan juga di aggregator pribadi (baru ganti domain, sekarang: ra.me-ra.me). Tapi Mas Teguh heran bahwa aku tahu beliau seorang jurnalis. Hmmm, kalau kita baca2 blog beliau, tentu segera tampak bahwa beliau seorang jurnalis. Dari Detik :). Tidak perlu jadi profiler handal untuk memahaminya :). Oh ya, Mas Teguh ternyata ditemani seorang rekan, Mas Iwan. Tapi aku belum dapat alamat blog Mas Iwan.
Perbincangan dengan Mas Teguh asyik juga. Dari soal sejarah negara ke sejarah pribadi, haha :). Sayangnya kurang lama. Beliaunya harus segera turun untuk meneruskan bisnis :), dan aku juga harus balik ke mejaku untuk bersiap menghadapi …. rekan bisnis (huh, sama).
Kusesap kopi hitamku sampai habis, trus kami meninggalkan kantin Lt 9 yang sedang bermusik dengan solo keyboard itu. Mudah2an nggak perlu nunggu lama untuk bisa sua lagi.