Category: Life (Page 12 of 29)

Pangeran Kecil

Dasar si Koen jail — keliling Palasari hanya buat cari buku “Pangeran Kecil”, i.e. “Le Petit Prince” versi Indonesia. Sudah lama aku mau cari  terjemahan buku ini — tapi baru hari ini aku bener-bener cari buku ini.

Ini gara-gara seseorang dari Austria mendadak kirim e-mail minta dicarikan buku ajaib ini. Angin apa yang bikin dia merasa bahwa aku orang yang tepat buat jadi penyalur buku. Mungkin dalam bayangan dia, website ini cabang dari koen.com yang memang penyalur buku.

Dapat?

Dapat sih. Cuman di kovernya tertulis: “Milik Dep P dan K. Tidak diperdagangkan. Inpres No 6 tahun 1980”.

Enaknya aku kirim ke Austria apa aku simpan sendiri yach, buat menemani versi Perancisnya.

Postmortem: Diawali buku ini, koleksi buku Pangeran Kecil akhirnya mencapai ±300 buku. Kunjungi koleksiku di pangerankecil.com.

Nazaruddin

Banyak juga visitor yang datang ke site ini untuk mencari tokoh Nazaruddin, tokoh cerdik yang terkenal dengan kearifan berputarnya. Tapi di dunia tidak hanya ada satu Nazaruddin. Di Telkom ada seorang Nazaruddin lain, yang secerdas Nazaruddin “aseli”, dan kayaknya juga seusil Nazaruddin aseli. Nazaruddin versi Telkom ini seorang expert di bidang networking.

Alkisah Nazaruddin ini bertugas ngasih vision ke para big shots di Divre 3 tentang Internet. Something usual for him. Tapi yang unusual, doi ngasih contoh browsing ke arah site ini — site yang selama ini nyaris invisible buat kalangan Telkom.

Site ini memang public sih, nothing to hide. Cuman kalau dipamerin ke banyak orang sekaligus, pusing juga aku dicecari banyak orang — di lift, di kubikel-kubikel, di gang-gang — tentang tulisan-tulisan di site ini.

Susan Fasis

Di Pusdikhub (tahun 1990-an), Ramadhan cuma berarti perubahan jadwal kegiatan. Nyaris tidak ada keringanan kegiatan. Senam pagi, bela diri, jalan keliling kampung sawah dan hutan tanpa baju, dan mendengarkan indoktrinasi terus menerus.
Hari pertama, kita cuma disuruh jalan-jalan yang nggak jauh-jauh amat. Ke Stasiun Cimahi. Cuma beberapa ratus meter dari kamp. Tapi masuk stasiun, kita nggak pernah ada di atas tanah. Semua perjalanan melalui kali-kali kecil dan gorong-gorong bawah tanah. Ini stasiun, mbah, dengan tumpukan sampah dan kotoran manusia dan air hitam yang ruarrrr biasa. Di atas got, para pelatih sibuk memaki-maki dan mengejek (buat pembinaan mental). “Ayo, siapa yang nggak kuat. Makan aja!” Seandainyapun bukan bulan puasa, kayaknya aku mendingan disuruh mati daripada disuruh makan di suasana kayak gitu.

Keluar gorong-gorong kita mulai buka suara. Aku nyanyi lagunya Susan (ha-ha).

Susan-Susan-Susan, kalau udah gede, mau jadi apa? Aku kepingin pinter biar jadi insinyur. Kalau-kalau-kalau, jadi insinyur kamu mau apa? Mau ikut bintal biar masuk got bau.

Militer nggak se-fasis keliatannya. Aku nggak pernah dihukum gara-gara nyanyi. Paling gara-gara nggak mau makan banyak.

Hikmah Lupa

Barangkali kita bisa bayangkan dengan aritmatika sederhana. Misalnya,
kita punya memori yang kuat luar biasa. Kita bisa menghafalkan apa pun
juga. Dengan kekuatan seperti ini, kita tidak pernah memiliki susunan
angka desimal seperti sekarang. Kalau ada sekian trilyun bilangan,
kita bisa memberikan sekian trilyun nama untuk setiap bilangan. Manusia
tidak lagi memerlukan mekanisme abstraksi angka, kemudian tidak perlu
ada juga operasi aritmatika dalam bentuk yang kita kenal sekarang. Descartes
tidak pernah mensubstitusikan angka dengan huruf x, y, z. Kalkulator,
komputer, dan segala bentuk otomatisasi tidak pernah ditemukan.

Tambahkan dengan fakta bahwa karena manusia tidak pernah lupa maka ia
tidak pernah menulis. Maka ilmu manusia hanya bersifat lokal. Ilmu
hanya didapat dari pengalaman lokal dan info yang didengar. Padahal
waktu manusia terbatas, jadi kemampuannya tidak pernah mencapai level
advance.

61 vpd

Rekor kunjungan ke site ini dipecahkan lagi di bulan Oktober, dengan rata-rata 61 visits per hari (atau 1375 hit per hari), memecahkan rekor Agustus tahun ini sebesar 48 kunjungan per hari. Thanks atas kunjungannya, chums. Tapi siapa sih Anda, para pengunjung yang ke sini? Apa orang yang mengunjungi site-site Indonesia pasca ledakan Bali? Tapi kenapa grafik kunjungan hanya naik sedikit tanggal 14 Oktober, dan justru memuncak tanggal 21-23 Oktober?

Anda, para pengunjung, adalah makhluk misterius yang lama-lama bikin penasaran.

Doa Makbul Nazaruddin

Nazaruddin tiba-tiba dicegat orang tak dikenal. “Tolong tuan. Anakku sakit keras. Tolonglah aku dengan beberapa dirham untuk biaya pengobatan anakku.”

Seperti biasa, Nazaruddin tidak memiliki uang banyak. Tapi diberikan juga uang yang dia miliki, sambil tak lupa dia mendoakan agar si anak orang tak dikenal itu segera sehat.

Tapi tak lama, seorang kenalan Nazaruddin menghampirinya, lalu berkata ke Nazaruddin, “Hey Din, elo ditipu mentah-mentah amé itu orang. Gue kenal dié. Anaknyé banyak, baong-baong, tapi kagak àdé tuh nyang sakit.”

Khas Nazaruddin, ia malah berucap, “Syukurlah. Jadi tidak ada yang sakit sekarang? Cepat sekali doaku dikabulkan Allah. Segala puji bagi Allah.”

Ugh, ikut dengan Lasykar Nazaruddin ah: hidup dengan ringan, ceria, dan mencerahkan.

Numéro Huit

Bandung cuacanya nyaris nggak kenal ampun. Padang rumput jadi lapangan tanah. Malam juga panas, dan kunang-kunang menghilang. Rasanya mau lepas semua baju, plus potong rambut :).

Tahu-tahu inget waktu aku dkk kepanasan malam-malam di Yogya, abis migrasi dari Bandung. Di Malioboro ada tukang cukur bergaya klasik. Kita masuk dan potong rambut bareng-bareng. Lega. Naik taksi, si sopir taksinya nyeletuk, “Abis ikut pendidikan ya Mas.” Kita iya-in aja.

Nggak lama, aku iseng daftar kelas di LIP (CCF versi Yogya). Masuk kelas 1, sama mahasiswa2 yang umumnya dari UGM. Biasa, belum masuk kelas pada ngobrol. Tapi ada satu yang somse amat. Trus masuk, mulai dengan je m’apelle, je suis, j’habite. Trus break maghrib. Trus masuk, dan disuruh mempraktekkan satu-satu. Trus kelas bubar. Si somse ngedeketin, “Mas, maaf … tadi saya kira mahasiswa baru. Rambutnya kayak mahasiswa lagi di-ospek sih.” Bah, panitia OS rupanya dia — satu macam makhluk yang tak aku mengerti arti keberadaannya di atas muka bumi ini. Apa bedanya aku bilang je suis étudiant sama je suis ingénieur?

Tapi nggak lama aku sekelas sama si mantan somse. Aku dipaksa pindah kelas sama gurunya, gara-gara waktu bilang j’habite rue lempuyangan numéro 8, aku melafalkan angka 8 dengan style yang bikin gurunya yakin bahwa aku bukan beginner. Minggu depannya aku masuk ke kelas 2. Tapi ini cerita laen.

The Self

What is the self? Barangkali semuanya harus dimulai dari situ, dari waktu si West berumur 6 tahun, dan baru tahu hari ulang tahunnya, dan mulai terganggu oleh pikiran kenapa aku jadi istimewa.

Aku bukan megaloman, tentu, never. Aku cuma heran, kenapa aku bisa merasakan jadi West, tapi nggak merasakan jadi manusia lain. Maksudku, kan si West itu cuma satu dari jutaan manusia, miliaran malahan (tapi aku tahu miliaran ini sekian tahun kemudian). Kenapa aku harus bisa merasakan perasaan, pikiran, dan pandangan si West. Punya sorotan dari kepala si West. Kenapa si kesadaran ini harus ada dan harus di sini dan masuk ke sini?

Ini bener-bener mengganggu dan bahkan suka bikin aku melamun di sekolah. Mengganggu sekali. Barangkali mulai tak terlalu mengganggu waktu aku sudah tersesat di SMA.

Tapi banyak cerita yang sebenernya pemikiran awalnya berasal dari pertanyaan yang bahkan sampai sekarang masih terasa ajaib itu.

Sakura

Wah, ternyata workshop-nya diseling acara peringatan ultah intranet Telkom. Kacau, aku dipaksa nyanyi lagi. Apa sih lagu yang pas buat ultah sebuah site? Aku nyanyi Sakura aja, peninggalan Fariz RM (udah ke mana tu orang sekarang ya). Enakan lagu yang riang dan pakai teriak-teriak, buat nutupin demam panggung, hehe :).

Kayaknya sekian puluh tahun di Telkom (hehe), aku cuman berhasil dipaksa nyanyi dua kali. Yang pertama dipaksa Mr Judy Iskandar tanggal 19 Juni sekian tahun lalu di Cirebon, waktu ketahuan aku berultah. Dari kamar (aku ngabur soalnya ada yang mulai bagi-nagi info ultah –red) aku dipanggil buat ngebahas network plan, katanya. Keluar, dikasih ucapan selamat ultah, dinyayiin Happy Birthday (dengan suara Mr Judy yang world-class itu), trus ujung-ujungnya disuruh nyanyi sendiri, dan ditinggalin. Aku lupa aku nyanyi apa waktu itu. Yang jelas bukan salah satu cuplikan opera Wagner.

81578545

Makhluk ajaib itu sempat menyesal, kenapa hidupnya banyak dipakai buat bermalas-malasan. Belajar, secara efektif, cuman 1 jam sehari. Selain itu exploring tak menentu aja. Olah raga pun nggak, bahkan boleh dibilang nggak suka. Otot-ototnya suka sakit dan sukar diatur untuk berkoordinasi dalam olah raga teratur.

Sakit pada otot itu kemudian diseriusi tim dokter. Hasilnya memang sangat serius, para dokter bilang. Dan manusia bukan makhluk yang tabah secara alami. Jadi si makhluk ajaib itu banyak merenung dan menarik diri. Dan mulai menyukai musik-musik Wagner. Dan entah dapat inspirasi dari Wagner (yang karya-karya terbaiknya diciptakan dalam keterjepitan) atau memang dari karakter asli dirinya yang selama ini terpendam dalam rutinitas hidup, dia mulai menseriusi hidup, dan panggilan hidupnya untuk menggali ada apa di balik formulasi semesta yang indah ini. Dan hidup mengalir panjang, biarpun otot-otot tubuh benar-benar dilumpuhkan, pada akhirnya.

Di Eropa, waktu mau menghadiri opera Die Walküre yang serba gelap dan serba cerlang itu, dia ambruk. Nyaris divonis mati dokter-dokter Swiss, tapi dilarikan di Inggris dan diselamatkan, biarpun kehilangan suara. Dan tetap tidak bisa bergerak. Di waktu-waktu itu dia mulai punya ide untuk menulis buku tentang riset-risetnya, dalam bahasa publik, untuk dikonsumsi orang banyak.

Cerita-cerita lain tentang Stephen Hawking akan menyusul, kalau ada waktu lagi.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑