Category: Life (Page 12 of 30)

Iqbal vs Nietzsche

Iqbal dan Nietzsche, dua eksistensialis dari zaman yang berbeda. Orang bilang Iqbal banyak terpengaruh Nietzsche. Memang, bagaimana mungkin menyangkalnya? Terlalu banyak tulisan-tulisan Iqbal yang seolah-olah ditulis untuk berbincang dengan Nietzsche: untuk memetakan kembali wacana Nietzsche ke dunia timur, maupun untuk menanggapi pola-pola pikir Nietzsche yang dirasa terlalu jauh berlari. Dan seperti juga Nietzsche, Iqbal tidak mau repot-repot membuat buku-buku filsafat serius ? kata-kata lebih banyak memenjarakan daripada membebaskan. Aforisme, kisah-kisah, dan bahkan puisi, dipandang lebih bisa menyampaikan nuansa-nuansa.

Misalnya, misalnya Nietzsche masih hidup untuk menanggapi Iqbal, apa yang bakal dia sampaikan?

«Semangatmu hebat?» begitu barangkali, «Tapi kamu terlalu takut untuk membunuh tuhan kamu. Kamu malahan menggeser konsep chaosku menjadi konsep akan sang mahakuasa.»

«Aku menarik konsep sang mahakuasa ke konsepsi Islamku,» begitu barangkali jawab Iqbal, «seperti juga kamu menarik konsep sang mahakuasa ke diskursus sekularisme Eropa abad ke-19, bukan ke fitrah manusia»

Lima Belas Derajat

Beberapa hari abis diskusi itu, aku dapat e-mail. Isinya kira-kira kayak gini:

«Mas Koen lebih pantas jadi Nietzsche daripada jadi Foucault, soalnya Mas Koen lebih pantas menghadapi kematian sambil menertawai orang, daripada menghadapi kematian sambil ditangisi orang.»

Dunia rasanya jadi rada bergeser … sekitar 15 derajat.

Keluar Agama Allah

Nashruddin dikenai tuduhan. Penguasa menghukumnya dengan lima puluh cambukan. Setelah hukuman itu selesai, sang penguasa berteriak pada Nashruddin: «Sekarang pergilah dari sini, hai kafir!»

Masih kesakitan, Nashruddin menukas: «Aku bukan orang kafir. Aku hafal Al-Quran.»

«Coba tunjukkan ayat yang kau ketahui.» si penguasa memerintahkan.

Nashruddin diam, lalu berucap: «Sesuai dengan namaku, aku akan membacakan An-Nashr: Dengan nama Allâh yang Pengasih dan Penyayang. Bila telah datang pertolongan Allâh dan kemenangan, dan kamu menyaksikan manusia berbondong-bondong keluar agama Allâh, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, dan mohonlah ampunan pada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha Penerima Taubat.»

Si penguasa semakin marah: «Kamu pengacau. Bukan keluar (yakhrujuna), tapi masuk (yadkhuluna).»

Nashruddin pun menjawab: «Teks yang asli memang demikian. Tapi sekarang mereka keluar lagi akibat kepemimpinan Anda.»

Islam Liberal


Bambang Harimurty memforward tulisan Farid Gaban ke ISNET, dan minta tanggapan. Tumben aku terus nulis tanggapan lagi. Bagian awalnya nggak beda sama yang sering aku tulis di web ini :). Bagian akhirnya kira-kira kayak gini:

Sebelum masa Utan Kayu, beberapa orang, termasuk Nurcholis Madjid, mencoba mengingatkan umat Islam untuk lepas dari kejumudan. Mereka memang tidak selalu benar. Tapi dalam sistem itu, orang selalu bisa menunjukkan di mana salahnya, lalu masyarakat bisa menilai mana
yang lebih baik. Dengan demikian masyarakat bisa diharapkan terus menerus memperbaiki pemahamannya.

Lalu JIL diproklamasikan, dengan nama-nama dan wacana-wacana yang sudah dijuduli. Yang terjadi bukan proses penilaian nilai-nilai, tapi pembentukan pagar. Ada Islam Liberal, dan jadi ada Islam Konservatif (tidak liberal, begitulah). Kalau Ulil Abshar menulis, orang tidak lagi mau merenunginya, tapi cukup menuding: Itu Islam Liberal, berbahaya. Sebaliknya, wacana Islam Konservatif pun ditolak orang-orang Liberal, dengan anggapan itu pandangan orang kaku dan buta, tidak obyektif. Jadi yang konservatif dibiarkan tetap konservatif, dan yang liberal dibiarkan tanpa koreksi. Yang ada diantara keduanya bukan lagi saling berbagi kearifan, tapi saling serang yang jorok dan tidak bermutu.

Kenapa saya memilih persatuan, bukan toleransi? Saya banyangkan toleransi adalah hidup berdampingan tanpa saling mengusik. Sekedar itu. Tapi persatuan berarti orang Liberal dan Konservatif itu harus melupakan perbedaan mereka, dan hidup sebagai satu umat, biarpun pikiran mereka tetap liberal atau konservatif (tanpa huruf besar). Tidak perlu pengelompokan
lagi, dan pelabelan diri lagi. Selanjutnya … berbagi wacana dengan sikap arif untuk saling memperbaiki diri, dan dengan demikian memperbaiki masyarakat.

Persatuan memang bukan soal ringan. Persatuan hanya bisa dibentuk kalau ego dilemahkan. Dan yang termasuk di dalam ego adalah segala nilai yang kita anggap benar tapi dianggap orang lain salah. Harus ada komitmen untuk mempertimbangkan bahwa orang lain bisa lebih benar dari kita, biarpun kita yakin sekali bahwa kita benar.

Bagaimana membentuk persatuan? Tidak mungkin. Keanekaragaman itu properti alamiah. Yang bisa dilakukan hanyalah perasaan bersatu.

«Umat Islam akan terpecah jadi 73 golongan,» sering kita dengar hadist itu disitir, «dan hanya ada satu golongan yang benar.» Kalau kita mau belajar rendah hati, akan lebih baik jika kita menganggap diri kita masuk ke salah satu dari 72 golongan yang salah itu. Dengan demikian kita terpaksa selalu berusaha memperbaiki diri sendiri, saling belajar dari kelompok-kelompok lain; alih-alih saling membiarkan atas nama melestarikan keberagaman.

Future Codes

Tapi bagaimana dengan industri baru? Microsoft memaksa orang meninggalkan standarisasi dan berpaling ke citarasa Microsoft seperti VB, dan versi VB yang dibikin kayak C++, yaitu C# (I still like it, anyway). Aplikasi multiplatform memilih teknologi yang menggunakan middleware, kayak Java (dan C# lagi, nantinya). Kaum open source lebih menyukai bahasa yang lebih ringkas dan selalu bisa dibaca, kayak Perl dan Python. Dunia web melahirkan scripting yang kuat macam PHP dan ASP.

Aku pikir tadinya C++ tertinggal di «dunia serius» aja.

Tapi survey di PC Magazine menunjukkan keahlian yang paling dibutuhkan web professional yang paling banyak dicari adalah, sesuai ranking: C++, SQL, Java, XML, Perl, HTML, SQL Server, TCP/IP, dan VB.

Apa sih yang terjadi? Mungkin dalam jangka pendek ke depan ini, yang lagi dikembangkan memang web service, bukan sekedar client-side program atau server-side program kecil-kecil.

Dalam jangka menengah? Sistem operasi yang terintegrasi web, berbasis XML atau semacamnya, dengan aplikasi yang jadi bersifat multiplatform.

Jangka panjang? Internet dan komputer menghilang — meresap ke mana-mana, tanpa perlu disadari kehadirannya.

Pangeran Kecil

Dasar si Koen jail — keliling Palasari hanya buat cari buku “Pangeran Kecil”, i.e. “Le Petit Prince” versi Indonesia. Sudah lama aku mau cari  terjemahan buku ini — tapi baru hari ini aku bener-bener cari buku ini.

Ini gara-gara seseorang dari Austria mendadak kirim e-mail minta dicarikan buku ajaib ini. Angin apa yang bikin dia merasa bahwa aku orang yang tepat buat jadi penyalur buku. Mungkin dalam bayangan dia, website ini cabang dari koen.com yang memang penyalur buku.

Dapat?

Dapat sih. Cuman di kovernya tertulis: “Milik Dep P dan K. Tidak diperdagangkan. Inpres No 6 tahun 1980”.

Enaknya aku kirim ke Austria apa aku simpan sendiri yach, buat menemani versi Perancisnya.

Postmortem: Diawali buku ini, koleksi buku Pangeran Kecil akhirnya mencapai ±300 buku. Kunjungi koleksiku di pangerankecil.com.

Nazaruddin

Banyak juga visitor yang datang ke site ini untuk mencari tokoh Nazaruddin, tokoh cerdik yang terkenal dengan kearifan berputarnya. Tapi di dunia tidak hanya ada satu Nazaruddin. Di Telkom ada seorang Nazaruddin lain, yang secerdas Nazaruddin “aseli”, dan kayaknya juga seusil Nazaruddin aseli. Nazaruddin versi Telkom ini seorang expert di bidang networking.

Alkisah Nazaruddin ini bertugas ngasih vision ke para big shots di Divre 3 tentang Internet. Something usual for him. Tapi yang unusual, doi ngasih contoh browsing ke arah site ini — site yang selama ini nyaris invisible buat kalangan Telkom.

Site ini memang public sih, nothing to hide. Cuman kalau dipamerin ke banyak orang sekaligus, pusing juga aku dicecari banyak orang — di lift, di kubikel-kubikel, di gang-gang — tentang tulisan-tulisan di site ini.

Susan Fasis

Di Pusdikhub (tahun 1990-an), Ramadhan cuma berarti perubahan jadwal kegiatan. Nyaris tidak ada keringanan kegiatan. Senam pagi, bela diri, jalan keliling kampung sawah dan hutan tanpa baju, dan mendengarkan indoktrinasi terus menerus.
Hari pertama, kita cuma disuruh jalan-jalan yang nggak jauh-jauh amat. Ke Stasiun Cimahi. Cuma beberapa ratus meter dari kamp. Tapi masuk stasiun, kita nggak pernah ada di atas tanah. Semua perjalanan melalui kali-kali kecil dan gorong-gorong bawah tanah. Ini stasiun, mbah, dengan tumpukan sampah dan kotoran manusia dan air hitam yang ruarrrr biasa. Di atas got, para pelatih sibuk memaki-maki dan mengejek (buat pembinaan mental). “Ayo, siapa yang nggak kuat. Makan aja!” Seandainyapun bukan bulan puasa, kayaknya aku mendingan disuruh mati daripada disuruh makan di suasana kayak gitu.

Keluar gorong-gorong kita mulai buka suara. Aku nyanyi lagunya Susan (ha-ha).

Susan-Susan-Susan, kalau udah gede, mau jadi apa? Aku kepingin pinter biar jadi insinyur. Kalau-kalau-kalau, jadi insinyur kamu mau apa? Mau ikut bintal biar masuk got bau.

Militer nggak se-fasis keliatannya. Aku nggak pernah dihukum gara-gara nyanyi. Paling gara-gara nggak mau makan banyak.

Hikmah Lupa

Barangkali kita bisa bayangkan dengan aritmatika sederhana. Misalnya,
kita punya memori yang kuat luar biasa. Kita bisa menghafalkan apa pun
juga. Dengan kekuatan seperti ini, kita tidak pernah memiliki susunan
angka desimal seperti sekarang. Kalau ada sekian trilyun bilangan,
kita bisa memberikan sekian trilyun nama untuk setiap bilangan. Manusia
tidak lagi memerlukan mekanisme abstraksi angka, kemudian tidak perlu
ada juga operasi aritmatika dalam bentuk yang kita kenal sekarang. Descartes
tidak pernah mensubstitusikan angka dengan huruf x, y, z. Kalkulator,
komputer, dan segala bentuk otomatisasi tidak pernah ditemukan.

Tambahkan dengan fakta bahwa karena manusia tidak pernah lupa maka ia
tidak pernah menulis. Maka ilmu manusia hanya bersifat lokal. Ilmu
hanya didapat dari pengalaman lokal dan info yang didengar. Padahal
waktu manusia terbatas, jadi kemampuannya tidak pernah mencapai level
advance.

61 vpd

Rekor kunjungan ke site ini dipecahkan lagi di bulan Oktober, dengan rata-rata 61 visits per hari (atau 1375 hit per hari), memecahkan rekor Agustus tahun ini sebesar 48 kunjungan per hari. Thanks atas kunjungannya, chums. Tapi siapa sih Anda, para pengunjung yang ke sini? Apa orang yang mengunjungi site-site Indonesia pasca ledakan Bali? Tapi kenapa grafik kunjungan hanya naik sedikit tanggal 14 Oktober, dan justru memuncak tanggal 21-23 Oktober?

Anda, para pengunjung, adalah makhluk misterius yang lama-lama bikin penasaran.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑