Category: Book (Page 5 of 10)

Flowers for Algernon

IQ-nya 68 (kayak si …). Tapi para profesor berhasil membuat penelitian untuk melipattigakan angka itu. Jadilah Charlie, si dungu yang dipekerjakan di pabrik roti itu, seorang jenius. Prosedurnya tak singkat. Selama prosedur itu, Charlie diminta menulis Catatan Harian. Catatan ini dimulai dengan kata2 serabutan, lalu berangsur menjadi kalimat yang bagus dan sempurna, dengan keilmiahan dan kemanusiaan yang mendalam, dan akhirnya …

Sebelum mencobai pada manusia, lembaga itu lebih dulu melakukan percobaan pada seekor tikus, yang dinamai Algernon. Efeknya menarik. Tikus itu dapat menyelesaikan hal2 yang memerlukan kecerdasan, tanpa terlalu banyak motivator luar. Barulah kemudian eksperimen dilakukan pada Charlie Gordon. Charlie jadi berkembang kecerdasannya: sastra, matematika, filsafat. Ia juga memiliki motivasi besar untuk ikut melakukan penelitian, untuk memecahkan masalah yang sama dengan yang pernah dialaminya. Sambil, dengan kepribadiannya yang baru, ia berusaha memecahkan masalah2 hubungan dengan masyarakat (termasuk dengan keluarganya). Juga sambil terus mengamati bahwa kepribadiannya yang lama pun sebenarnya masih ada — mengintai tanpa mengganggu, kecuali pada saat2 tertentu.

Tapi kemudian Algernon bermasalah. Ia mulai agresif, memiliki lebih banyak energi untuk menerjang daripada untuk berpikir. Dan terus begitu. Catatan-catatan yang ada diperiksa Charlie. Dan pada suatu malam, di bulan September, Charlie menuliskan analisisnya. Efek Gordon-Algernon, begitu dia tulis. Intinya: peningkatan kecerdasan secara cepat akan mendorong pengausan kerja otak dengan kecepatan yang sebanding. Data2 laporan dikirimkan, dan dinyatakan akurat. Sementara itu Algernon mati. Charlie membawanya pulang, menguburkannya, dan meletakkan seberkas bunga di atas kuburannya.

Tinggal beberapa waktu bagi Charlie untuk mengukir nasib yang sama dengan Algernon: merasakan sedikit demi sedikit kecerdasannya hilang dan amnesianya menguat. Lalu …

Buku ini aslinya berjudul Flowers for Algernon. Oleh Daniel Keyes. Yang aku baca adalah terjemahan Indonesianya. Buat yang pernah percaya bahwa weblog ini banyak mengulas soal sains, aku harus bilang bahwa buku ini 100% fiksi. Dan aku pernah membahas Borges, Kundera, Saroyan, dll juga di web ini. Dalam hidup yang pendek ini pun, membaca dan mengulas fiksi bukan kesalahan. Pun sambil menyadari bahwa dalam sisa {hidup, kesehatan, kecerdasan} yang kian pendek seperti ini, kita masih boleh memilih untuk optimis dan positif.

Buku Akhir November

borders.jpgBeberapa buku buat mengisi kepala, akhir bulan ini:

Semuanya hasil kunjungan ke Borders.

Yang pertama dibaca adalah buku Randall. Buku ini pernah diulas di Scientific American tahun lalu, waktu aku masih langganan (sekarang berhenti). Lisa bukanlah sekedar penulis buku sains. Ia adalah salah satu fisikawan yang berada pada cutting-edge fisika elementer. Riset2nya pada teori string termasuk yang paling disegani saat ini. Tapi buku Lisa tidak seperti buku Wolfgang Pauli atau Max Born yang menakutkan orang2 yang bukan ilmuwan atau matematikawan. Dia juga tidak mengulang cerita lama, kecuali di bab2 awal. Itu pun dengan pendekatan yang berbeda. Lisa bercerita lancar, seperti penulis kawakan. Ia juga menyisipkan cerita2 ringan di awal setiap babnya. Tapi tak seperti Hawking yang takut memasang persamaan di dalam buku pertamanya, Lisa tak merasa berdosa menghiasi bukunya dengan persamaan2 yang relevan. Buku yang menarik untuk menandai akhir tahun 2006, dan bisa jadi buku klasik untuk Fisika String bagi orang awam. Ini jelas subyektif, tapi aku jelas jauh lebih suka buku Lisa ini daripada buku2 Brian Greene.

Dan tentu, Yani protes, bahwa toko buku kesayangannya akhirnya berhasil kujajah.

Buku Awal November

Beberapa bulan kemarin, aku sempat mencuplik Feynman (Feynman dan Feminis). Ini diambil dari salah satu bab buku “What do you care what other people think.” Hm, judulnya gue banget ya? Haha. Tapi topiknya bukan itu. Mizan akhirnya menerbitkan terjemahan buku ini. Judulnya dikomersialkan jadi “Feynman, genius fisika paling cool sedunia.” Mirip yang terjadi pada buku pertama (Surely you’re joking, Mr Feynman), Mizan juga melakukan sensor atas beberapa adegan yang dianggap tidak indonesiawi :).

Buku lain yang bisa bakal jadi kontroversi adalah “Kartun Riwayat Peradaban.” Aku baca versi Inggrisnya abad lalu, pinjam dari Perpustakaan Teh Ranti (heh-heh-heh). Terjemahan Indonesia baru terbit Jilid II-nya, setelah yang Jilid I terbit bulan kemarin. Dasar kartun, hal2 yang biasanya disebut2 sejarawan secara samar dan santun itu malah dibikin konyol dan vulgar. Kita harus bersiap melihat tokoh Moses, David, Socrates, Alexander, Asterix (!), Gautama, Konfuzi, Yeshua, Saulus, dibelejeti. Dan entah kalau Buku Jilid III keluar. Barangkali FPI harus siap2 baris lagi di depan Penerbit KPG. Syukurlah, FPI suka lupa sama 24 nabi yang lain.

gonick-12.jpg

Sebenernya, udah agak lama aku memutuskan nggak beli kartun Gonick, yang rajin diterjemahkan KPG. Pertama, kalau kita doyan baca buku sains (dan juga sejarah), buku Gonick tidak menawarkan hal2 baru atau kelucuan baru. Kedua, aku nggak suka melihat paparan kecongkakan. Lucunya, aku malah beli dua jilid ini. Lupa alasannya. Tapi bahwa seluruh tokoh agama dan filsafat sekaligus ditelanjangi oleh satu serial buku aja, aku pikir itu menarik. Efektif, daripada setiap agama dan filsafat harus saling menyinyiri satu sama lain :). Jadi kalau Anda selama ini telanjur doyan menertawai agama orang lain, beli saja buku Gonick, dan puaskan ketawa sampai agama Anda juga ditertawai. Dan kalau geram pada “ilmuwan dan kartunis yang doyan menertawai nilai2 orang lain,” percayalah bahwa yang mereka lakukan tak lebih dari menertawai kemanusiaan dan menelanjangi diri mereka sendiri. Dan kalau nggak pingin bikin kartunis kaya dengan cara kayak gini, nggak usah beli bukunya :). Tapi kalau alasan untuk nggak beli hanya gara2 nggak suka teori evolusi, mendingan dicoba untuk suka dulu :). Allah menciptakan semesta ini indah :), tanpa harus disesuaikan dengan selera2 kita yang juga beda2 ini.

Ada buku apa lagi yach. Onno W Purbo menulis tentang ADSL dan Speedy. Mizan, selain menerjemahkan Feynman, juga menerjemahkan buku Gleick: Isaac Newton. Aku belum baca versi Inggrisnya, jadi belum tahu apakah ada semacam sensor dari Mizan. Elex menerbitkan beberapa buku dari Jubilee Enterprise tentang teknik2 fotografi. Jadwal membaca weekend ini padat lah :). Buat tambahan, di Amazon, ada buku Lee Smolin yang terbaru, membuka perang baru antara pendukung String/Superstring/M dengan Loop Quantum Gravity. Bookworms are never bored.

Loebis di Kamp NAZI

Buku ini berjudul Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi NAZI. Autobiografi dari Parlindoengan Loebis. Dibeli sambil menunggu hasil X-Ray di Borromeuz, pada 26 Oktober 2006 (H+3).

Loebis berangkat ke Negeri Belanda untuk belajar Kedokteran, setelah lulus Kandidat I di Betawi (begitu dia menuliskannya). Semasa di Betawi, ia sempat aktif di Jong Islamieten Bond dan Jong Batak, yang kemudian bersama perhimpunan mahasiswa lain (selain Jong Java) bersatu membentuk PPPI dan Indonesia Moeda. Di Leiden, tak lama ia direkrut Perhimpoenan Indonesia. Sepeninggal Hatta cs, PI bersifat kekirian, dengan garis Stalinis yang jelas. Sempat Loebis menjadi ketua, selama 3 tahun, dan membawa PI ke arah yang tak begitu kiri. Kerjasama dengan Partai Komunis Belanda dihentikan, dan digantikan dengan kerjasama dengan Partai Sosialis (SDAP).

loebis.jpgTapi kemudian PD II pecah. Mei 1940, saat Jerman bergerak ke barat, Belanda menyerah nyaris tanpa perlawanan. Dan bahkan kemudian kehidupan masih tampak normal dalam pendudukan Jerman. Sebelum serangan Jerman pun, partai NSB pro Jerman pernah memperoleh suara cukup besar (separuh suara) dari rakyat Belanda. Selama pendudukan Jerman ini, Loebis sempat lulus di Leiden, menikah di Haarlem, menjajagi bekerja di Utrecht, dan akhirnya membuka praktek di Amsterdam. Tapi kemudian, 26 Juni 1941, dua orang reserse Belanda menjemputnya. Loebis dipenjarakan, dan kemudian dipindahkan ke Kamp Konsentrasi. (Baru pada tahun 1945, Loebis mengetahui alasan penahanannya: Jerman baru membuka front baru melawan Sovyet, dan para aktivis gerakan pro komunis ditakutkan menjadi partisan di belakang front).

Kamp Konsentrasi yang pertama dihuni adalah Kamp Schoorl. Di sini, tawanan belum disuruh bekerja, tetapi hanya disuruh apel dan berolah raga. Kemudian seluruh isi kamp ini digabungkan ke Kamp Amersfoort. Di sini, tawanan memperoleh perkerjaan konstruksi, termasuk memasang kawat berduri. Juga mulai sering disiksa secara kejam, baik oleh orang Jerman, maupun terutama oleh orang NSB.

Loebis kemudian dipindahkan ke Kamp Buchenwald di Jerman. Di sini Loebis mulai kehilangan harapan untuk dibebaskan, kecuali perang berakhir dengan kekalahan Jerman. Ia memutuskan untuk hidup secara efisien dan tanpa hati, untuk bertahan hidup selama mungkin. Di Buchenwald, mereka membuka hutan di pegunungan berkabut, memecah batu, membuat barak, saluran air, listrik, bengkel, dll, selama 7 hari seminggu, 14 jam sehari. Tawanan sering dipukuli, bahkan hingga mati. Tawanan yang mengobrol ditembak.

Namun kemudian Loebis dipindahkan lagi, pada Oktober 1942, ke Sachsenhausen, ke instalasi pabrik pesawat perang Heinkel. Di sini situasi lebih baik. Kamp lebih difokuskan pada pekerjaan teknis, biarpun kekejaman masih berlangsung, dan menyita nyawa manusia segala bangsa di sana. Kali ini, Loebis ditugaskan sebagai dokter kamp, sehingga tugasnya lebih ringan. Loebis jarang mengulas tentang Yahudi. Ia beralasan bahwa barangkali para Yahudi dipisahkan, dan ditempatkan di kamp tersendiri. Atau barangkali … entahlah.

Saat akhirnya pasukan sekutu berhasil masuk ke Jerman, Kamp kacau. Para tawanan dan penjaga membentuk barisan tak teratur yang terus bergerak ke barat. Tawanan yang keluar barisan langsung ditembak di belakang kepala. Tapi banyak juga penjaga yang juga lari memisahkan diri. Mereka akhirnya berhenti di kampung Grabouw. Sempat barisan dari kamp lain bergabung. Dan akhirnya tentara Russia masuk juga ke kampung itu. Mereka resmi lepas dari tawanan. Tapi perlu waktu untuk memulihkan diri, dan mencari cara untuk lepas dari kawasan Russia, menyeberangi sungai Elbe, masuk ke kawasan Sekutu Barat, dan akhirnya kembali ke Belanda dengan kereta ke Maastricht, lalu naik mobil ke keluarganya di Amsterdam.

Namun, nun di timur, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, dan pada akhir 1945, berita itu mulai terdengar masyarakat Indonesia di Belanda. Loebis dkk langsung menyatakan diri bagian dari Republik Indonesia yang merdeka, dan kekikukan kemudian terjadi lagi. Sempat ada Kongres Pemuda Demokrat Sedunia di Cekoslovakia, dan Loebis ingin menghadiri kongres ini, atas nama Indonesia. Tentu Belanda tak memberikan pass, tetapi atas bantuan Inggris, Loebis bisa berangkat. Sambutan untuk Indonesia amat meriah, membuat berang para pemuda Belanda. Loebis kembali ke Belanda menumpang tim Belgia. Pemerintah Belanda akhirnya memperbolehkan orang Indonesia kembali ke negerinya. Namun dengan status sebagai NICA. Banyak yang mengira bahwa ini adalah support yang baik, karena tidak menyadari bahwa NICA justru memusuhi Pemerintah Indonesia Merdeka. Loebis sempat menyadari, dan memberi peringatan kepada lainnya. Namun saat ia bertolak pulang, ia diberi juga pangkat Mayor NICA, yang tentu ia tolak. Ia mengambil status sebagai dokter kapal, dan dalam status itu sempat menyelundupkan Dr Setia Boedi (Douwes Dekker) kembali ke Indonesia.

Di Indonesia, Loebis meneruskan karir sebagai dokter, dan menolak berpolitik. Bekerja sebagai dokter di PT Timah, Belitung. Zaman kaum komunis Indonesia bangkit, Loebis difitnah dan dipensiunkan dini, karena dianggap tak mau mendukung kaum komunis. Tapi ia tetap tinggal di Belitung. Saat istrinya meninggal, baru ia pindah ke Jakarta. Loebis meninggal di ujung tahun 1994, nyaris tanpa perhatian dari bangsa kita.

Pesta Buku Senayan

Buat hati yang lagi perlu penyegaran (kusut melulu — haha), Pesta Buku pasti hal yang menarik. So, hari Sabtu dan Ahad lalu, dua sesi kunjungan dilakukan ke Senayan. Dua sesi! Tanpa lelah. Demam, masih. Tapi daripada demam dirasain, mendingan dipakai menjelajah, kan? :) Hasilnya? Kunjungan dan kunjungan berulang ke semua booth. Dan memboyong 15 buku, 3 bahasa. At least. At least!

Buku apa aja? Bervariasi. Dari buku bekas bertahun 1960-an, sampai buku yang baru terbit bulan ini. Dari yang kovernya cuman dua baris tulisan, sampai yang penuh warna norak. Dari yang tipis sampai yang agak tebal. Dan, sorry, aku nggak mau nulis satu judul buku pun di sini. Sebagian udah masuk ke Librarything. Ada link-nya di samping (kecuali kalau tulisan ini dibaca di agregator). Sebagian besar sih memang buku yang nggak terlalu mahal. Masih set mode bokek on, sebenernya :). Tapi bookworm tak gentar sama ketipisan dompet, as usual :).

Lucunya, persentase buku bekas yang dibeli cukup dominan tahun ini. Aku menghabiskan berjam-jam (literally) di beberapa booth penjual buku langka, buku bekas, dan buku2 unik. Kapan lagi? Buku baru ada di Gunung Agung atau QB dan bisa dilihat kapan saja seusai pesta. Ini pesta, kita harus cari keunikan.

Di luar buku, nggak terlalu banyak acara atau asesori tambahan yang menarik. Ada jumpa penulis dari kelompok penerbit Gagas Media, tapi tidak menimbulkan keinginan untuk melirik. Ada festival band sekolah juga, tapi beberapa menit kemudian minat kembali ke buku. Ada Hitler yang lucu, tapi sungkan mau ngajak foto bareng. Ada beberapa pengemis yang gendong anak kecil sambil bawa map bertuliskan yayasan anu, tapi penipuan kayak gini udah terlalu klise, nggak inspiring lagi. Jadi buat non-bookworm, barangkali pesta ini tak terlalu menarik.

Pulang. Bokek. Tapi bukuku tambah banyak :). Duh, kasihan rak bukuku. Makin nggak indah aja tumpukan buku di dalamnya. Plus pernik2 termasuk sepasang kucing lucu yang asyik ngobrol, tanpa gentar kejatuhan tumpukan buku.

Nonsecret Encryption

Siapa para tokoh di belakang public-key encryption? Orang akan menyebut nama RSA: Rivest, Shamir, Adleman. Atau lebih jauh: Diffie, Hellman, dan Merkle. Tapi beberapa tahun sebelum Diffie, bagian dari dinas rahasia Inggris sudah mengkaji konsep yang serupa. Cheltenham. Nama kota ini mengingatkan ke Ahmad Sofyan yang terus-menerus meyakinkanku bahwa inilah kota tercantik di England. Di sini ada Markas Komunikasi Pemerintah (GCHQ). Di sana John Ellis dulu bekerja, sebagai pegawai yang selalu penuh ide. Separuhnya konyol, dan separuhnya brilian. Sebelum ada kopi instan, ia sudah punya ide mencampur Nescafe dengan gula, dengan alasan efisiensi kerja.

Oh ya, cerita berhenti dulu untuk pesan sponsor. Pagi ini aku minumnya kopi Flores. Jadi agak-agak fly. Kurang banyak kali :).

Sampai mana tadi? Oh ya, di Bell Labs, akhir PD II, ada insinyur iseng membuat catatan bagaimana melakukan scrambling suara analog. Masukkan noise yang banyak dengan noise generator, gitu idenya. Campurkan noise ini ke suara dan kirimkan. Musuh akan menangkap sinyal kita, tetapi tak dapat memisahkan sinyal dari noise. Sementara, lanjut insinyur anonim itu, sekutu di ujung sana, yang punya noise generator yang sama, bisa melakukan pengurangan noise dari sinyal, dan menyisakan sinyal suara yang asli. Sederhana sekali. Tapi tak berguna waktu komunikasi lebih banyak dilakukan secara digital.

Tokoh Ellis kita membaca catatan itu, dan tidak menganggapnya konyol. Dia mulai memikirkan cara agar musuh, biarpun memperoleh sinyal yang sama, dan bahkan mengetahui teknologi enkripsi yang digunakan, tetap kesulitan melakukan dekripsi. Mungkinkah, tanyanya suatu malam. Dan malam itu, di tahun 1969, ia memperoleh jawabannya: bisa! Konsepnya seperti ini, dengan skema Bob mengirim ke Alice tapi diintip Eve. Alice membangkitkan angka yang besar dengan melakukan transformasi matematika dari sebuah bilangan yang dibuatnya. Bilangan yang dibangkitkan dikirimkan ke Bob. Bob mengenkripsi dengan angka yang dikirim Alice. Tapi enkripsi oleh Bob hanya bisa didekripsi oleh bilangan semula yang dibuat Alice. Eve, yang memperoleh baik angka panjang dari Alice mupun data terenkripsi kiriman Bob, tetap tidak bisa melakukan dekripsi. Dia memerlukan angka asli Alice, yang tentu tidak dikirimkan ke mana pun. Bilangan panjang dari Alice boleh dikirimkan melalui jaringan yang tidak aman. Bahkan boleh dipublikasikan :). Dan tetap saja siapa pun akan kesulitan melakukan dekripsi. Ellis menamai skema ini non-secret encryption.

Proyek berlanjut dengan mencari transformasi matematika yang dibutuhkan. Matematikawan Clifford Cocks, yang baru bergabung setelah lulus pascasarjana dari Oxford, memecahkan dalam semalam (juga). Ia melakukannya dengan mengalikan dua bilangan prima yang besar. Mengalikan dua bilangan prima yang besar itu relatif mudah. Yang jauh lebih sulit adalah menguraikan hasil kalinya menjadi dua faktor prima yang benar. Ia menyampaikan laporannya ke mentornya, Nick Patterson, sesama matematikawan. Patterson langsung berteriak di depan pintu: “Ini penemuan kriptografis terbesar sepanjang sejarah!”

Tapi tentu, ini adalah lembaga birokratik, seperti juga agen rahasia di mana pun. Hasil penemuan tersimpan di bawah selimut. Memberikan ruang kepada Diffie cs untuk menemukan kembali penemuan Ellis, dan RSA untuk menemukan kembali pememuan Cocks. Dan seterusnya sampai Zimmerman, PGP, GPG, GPP, EGP, dan semacamnya. Buat yang tidak pernah membaca soal ini, yang GPP dan EGP itu bohong. Tapi kita harus tahu: skema semacam inilah yang kini memungkinkan e-commerce berkembang di Internet.

Ada waktunya rahasia tentang Ellis ini dibocorkan ke Diffie. Whitfield Diffie yang terperanjat ingin menemui tokoh ini. Pertemuan itu terlaksana tahun 1982 di Cheltenham.

“Gimana rasanya menemukan non-secret encryption?” tanya Diffie.
“Siapa bilang?” sahut Ellis.
Diffie menyebutkan nama seorang tokoh NSA.
“Kamu kerja untuk dia?” tanya Ellis.

Percakapan mereka bersahabat, tapi Ellis enggan membahas soal enkripsi :). Ia kemudian hanya menyentil sekali, dengan mengatakan “You did more with it than we did,” lalu meneruskan kerahasiaannya. Cerita lebih lanjut, baca aja buku Crypto.

Visualisasi Wagnerian

Kayaknya perlu dijadwalkan untuk mencuri buku ini entah dari mana: karya2 visual para seniman yang diilhami Wagner.

Mungkin seharusnya bukan ilham, tapi semacam resonansi. Implikasinya lebih luas, kan? Cita rasa Wagner bisa berarti Schopenhauer, tapi bakal bisa jadi Nietzsche juga, kalau fokusnya pada filsafat. Dan biarpun musiknya digolongkan ke madzhab romantisisme, bukan berarti resonansinya juga ke senu rupa gaya romantik. Bisa juga ke impressionisme (Renoir), simbolisme (Redon), ekspresionisme, hingga surrealisme Dali.

Hmm, masih menarik membahas soal2 gini. Tapi, kayak biasa, time out lagi. Waktu luang bener langka :). Kesimpulannya, buku ini bener2 layak dicuri, kecuali ada kesempatan buat beli :).

Pesta Buku

Acara berjudul Pesta Buku 2006 itu sebenernya pameran buku biasa. Rutin dengan acara yang itu-itu juga. Tapi buku memang bikin kecanduan. Kita tahu nggak ada yang istimewa dengan buku (dan kopi, dan dengan C++, serta Wagner), tapi kita merasa lebih nyaman untuk terus bersentuhan dan meningkatkan intensitas kita dengannya. Maka jadilah aku terjebak dalam kerumunan para pecinta buku di Landmark Bandung.

Buku mana yang pertama menggoda? Buku yang pertama kali kelihatan. Dan itu adalah buku pelajaran buat anak, dengan memakai tokoh Garfield :).

Buku mana yang pertama diambil? Judulnya Pemberontakan Mahasiswa, tentang peristiwa Mei 1968, yang tentu merupakan pemberontakan setengah hati. Tapi kita juga lagi hidup setengah hati. Kenapa nggak?

Buku apa yang dibaca lama tapi nggak diambil? Banyak :). Zahir dari Coelho, misalnya. Bagus, tapi entah kenapa nama Coelho lagi sering memedihkan. Barangkali lain hari aja. Juga beberapa buku tentang Ahmad Aidit (lebih terkenal sebagai DN Aidit). Berlama2 juga di Mizan — baca buku2 berhikmah di sana.

Buku apa yang nggak disentuh? Banyak juga :). Kayak biasa: buku yang sesat, yang menuduh sesat, yang saling menyesatkan, dan yang sesat2 :) :). Buku2 komputer juga nggak disentuh — barangkali udah masuk golongan menyesatkan.

Buku apa yang dicari tapi nggak ditemukan? Nah, sayangnya ini banyak juga. Karena itu aku menyebutnya pameran buku biasa, bukan pesta buku.

Ketemu siapa? Beberapa makhluk. Salah satunya M Arif Bijaksana, Isnetter yang terakhir kali tampak di Tutugan tahun 2000, dan kemaren sempat dicari2 waktu pengajian di Jakarta.

Pulang jam berapa? Sampai rumah udah di atas jam 22.

(Baca juga catatan dari Yulian dan Yuti)

1740

Aku jarang doyan baca Drama. Ada blok mental untuk membacai tulisan dalam bentuk percakapan. Jadi sebenernya (pengakuan), aku juga nggak suka2 amat baca Godot. Atau Faust sekalipun :). Tapi Remy Sylado adalah salah satu perkecualian. Dia mempermainkan bahasa dengan menarik. Nuansa2 suasana yang dialirkan dengan kata2nya membuat bentuk membosankan drama itu jadi mengalir mirip prosa biasa.

Baca apa sih? Haha :). Bukan drama panjang. Judulnya “9 Oktober 1740.” Ini drama sejarah yang diilhami peristiwa pembantaian sepuluh ribuan orang Cina di Jakarta oleh Pemerintah Pendudukan Belanda pada Oktober 1740.

Aku nggak tertarik sama romannya, tapi sama suasana2 yang melatari kekejaman resmi itu. Ada tokoh Pakubuwono II yang sungguh peragu dan seharusnya bikin malu bangsa Jawa karena pernah punya pimpinan semacam itu. Ada desis kewaswasan yang membuat keajegan fikiran manusia, hingga para pemimpin, menjadi kacau. Ada hubungan manusia-manusia yang sungguh manusiawi, sampai tak terasa lagi kedalamannya :).

Jangan2, aku bakal mulai baca drama. Hmmmmmh …

The Tristan Chord

When Wagner started to be a composer, there were three different models of contemporary opera. Wagner had tried to adopt those types with Die Feen (German, rich-orchestrated style), Das Liebesverbot (Italian, lyrical style), and Rienzi (French style, with its luxuries). He then decided that Italian and French models had been decadent: they had passed their peaks in developments; therefore Wagner went back to explore more in German style, manifested in Die Fliegende Holländer, Tannhäuser, and Lohengrin.

Being ideologically attached with Bakunin the anarchist, Wagner got involved with Dresden putsch. Bakunin got caught and jailed, and Wagner fled to Switzerland. He faced the prospect of seemingly endless exile, with debt, hopeless marriage, and bad health. On this condition, he started composing Der Ring. Also he started reading Schopenhauer.

His reading gave him the idea for a wholly new way of opera composing. In a letter to Liszt, he referred the philosopher as a man who has come like a gift from heaven. He then composed Tristan und Isolde, called it the simplest but most full-blooded music conception. He stopped Siegfried on Act 3, and devoted himself to Tristan. But after several months, it was only music as yet.

Schopenhauer maintained that we are, in the most literal sense, embodiment of the metaphysical will, so that willing, wanting, longing, craving, yearning, are not just things we do: they are what we are. Music is also a manifestation of the metaphysical will. It directly corresponds to what we are in our innermost thing.

For years, Tristan remained ‘only music.’ But even now, its chord remains the most famous single chord in the history of music. It contains not one but two dissonances, thus creating a double desire, agonizing in its intensity, for resolution. The chord then moves, resolving one but not the other, thus providing resolution-yet-not resolution. In every chord-shift, something is resolved but not everything. When a satisfaction is created, so is a new frustration. Until the end. The silence. In Wagner’s words: “Here I sank myself into the depths of the soul’s inner workings. Here life and deaths and the very existence and significance of the external world appear only as manifestations of the inner workings of the soul.”

On another fine day, Wagner performed a nice symphony for his wife’s birthday. Siegfried Idyll. It was performed at home, with a very small number of guests attending. One of them was young Nietzsche, starting his long and historical friendship with Wagner. Indeed, Wagner was the greatest influence on the young man, who would in turn became one of the greatest figures in the entire history of western philosophy. But it is another story.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑