Author: Koen (Page 43 of 87)

You May Be Right

Dalam kisah Karamazov bersaudara, Dostoyevsky bercerita tentang zaman Inkuisisi di Sevilla. Aku cuplik versi Coelho aja dari cerita itu.

Di Sevilla saat itu, siapa pun yang tak setuju dengan Gereja (dengan G besar) akan dihukum, disiksa, bahkan dibunuh. Saat itu terdengar bahwa Isa kembali turun ke bumi.

Sang Inkuisitor Agung memerintahkan Isa untuk ditangkap, lalu ia menemuinya di tahanan.

“Tuan,” kata Inkuisitor Agung, “Anda hanya mempersulit. Kami memahami ajaran Tuan. Sesungguhnya yang kami lakukan tak lain hanya mencoba mewujudkan semua ajaran Tuan itu. Situasinya sungguh sulit. Sedang ada kekacauan di mana-mana. Hati tak dapat hidup dalam damai. Memang Tuan ada mengatakan bahwa manusia itu sama, dan beroleh cahaya Ilahi dalam hatinya. Namun pun ada waswas di hati manusia, dan mereka perlu pemandu. Jangan mempersulit kami, Tuan. Kembalilah.”

Isa memeluk Inkuisitor Agung, seraya berbisik: “You may be right. But my love is stronger.”

Wanted: Wall 2nd Ed

Dari Abad XX, satu buku ini masih aku cari: edisi asli (non bajakan) dari Larry Wall Programming Perl, 2nd Edition. Harus 2nd Ed, terbitan kira2 tahun 1996. Aku udah pernah membajak 1st Ed, dan udah aku musnahkan bersama semua buku bajakan lain dari rumah ini. Dan aku nggak terlalu tertarik dengan 3rd Ed ke atas. Buat yang bisa bantu … please.

StarOne

Kereta api menembus rembang malam. Gerbong kami kosong. Perempuan berambut oranye berselonjor di kursiku. Aku memilih duduk di belakangnya, dan belajar berselonjor juga. Nggak terlalu nyaman, soalnya nggak biasa. Dipaksain aja. Trus baca2 mail dan web2 dengan Nokia 6235 ber-Flexi, sampai sinyalnya dibatasi regulasi di daerah Karawang. Sejujurnya, sebagian besar mail dibaca dengan cara kayak gini, di kereta, di taksi, di angkot, di kasur. Dan dijawabnya nunggu ketemu komputer, soalnya ngetik jawaban serius dengan HP imut gini sungguh melelahkan. Mendingan mikirin mekanisme lompatan tupai, misalnya.
Di seberang, seorang lelaki berwajah ramah, utak-atik Nokia 9500. Hmm, kapan terakhir kali aku lihat orang baca buku di kereta? Semuanya baca di HP atau PDA. Dekat Bandung, dia menyapa, dan memperkenalkan diri. Mahasiswa S2 dari Hamburg. Cerita tentang lingkungan kampus, suasana Jerman, keharusan belajar bahasa Jerman dan Portugis, dll. Dia tanya di mana aku sekolah dan dapat beasiswa dari mana, dan entah kenapa dia bertepuk tangan (beneran) waktu aku jawab soal Chevening. Dan cerita perlu akses Internet flat rate dari Bandung. Aku cerita tentang Speedy yang 1 April ini bakal diluncurkan (soft launching). Tapi dia cerita belum punya line telefon. Trus dia tanya tentang StarOne. Dan kaget waktu sadar bahwa StarOne belum ada di Bandung. Aku kenalin ke Flexi, tapi tentu saja Flexi belum ada feature Internet flat rate-nya.

Akhirnya kami bertukar kontak. Dengan pesan minta dihubungi kalau StarOne udah dipasarkan di Bandung. OK :). Sahabat adalah sahabat, biarpun artinya seorang profesional di Product Management di Telkom harus punya fungsi marketing communication bagi kompetitornya: Indosat, StarOne. The show must go on :).

Optio

Pentax Optio S6Ternyata aku lupa cerita bahwa Olympus-ku menghilang dalam tugas. Ngasih training di Gegerkalong, rehat batin di masjid, dan lenyap gitu aja si Olympus. Lupa nama masjidnya, tapi aku nggak bercita2 menamainya Masjid Olympus. Itu beberapa hari y.l. Tapi ternyata aku juga lupa nggak pernah cerita punya teman bernama Jeffrey. Nah, Jeffrey malam ini bertelepon. Rumahnya baru kebobolan. Notebook hilang. Plus satu set kamera Panasonic. Dan brankas. Ini namanya bukan berlomba dalam kebaikan, Jeff.

Tapi yang hilang biarlah tidak lagi disebut2. Ini cuman hal duniawi, bukan urusan hati. Jadi aku mulai lirik2 lagi nih. Hmmm, Optio S6, cukup elegan nggak, untuk pemakaian sehari2?

Amazon menceritakan dengan ringkas: “Dans la lignée des appareils bijoux, ll Pentax Optio S6 tient ses promesses. Doté d’un capteur 6,0 Mégapixels, d’un zoom optique 3x rétractable, d’un écran 2,5″ opérationnel même en plein soleil, il répondra à tous vos besoins photographiques. Ajoutez à cela une vidéo illimitée au format DivX, une interface USB 2.0 High Speed, il sera votre compagnon idéal pour des photos de qualité.” Heh, barangkali seharusnya aku ke Amazon negara lain :). Tapi fitur intinya udah ditulis di situ.

Well, abis pernah punya Fuji, Canon, dan Olympus (plus pernah minjem Nikon dalam waktu cukup lama), kayaknya layak deh mencobai Pentax. Wish me luck :).

Ganti Logo

Udah lama nggak melakukan hal2 yang bersentuhan sama kampus, hari ini aku sedikit dikagetkan oleh datangnya Focus-news. Ini adalah jurnal untuk alumni dan associate Coventry University. Yang bikin kaget bukan jurnalnya, tapi logo universitas tampak tercetak terbalik. Di depan dan di belakang. Penasaran, aku ke website kampus: coventry.ac.uk, dan memang ternyata ada rebranding (duh istilahnya). Logo baru jadi kayak gini:

Rada canggung sih :). Sama canggungnya waktu aku jalan2 ke Sarinah dan lihat souvenir perak Garuda dengan wajah menghadap kiri (barangkali kalau menghadap ke depan malah keren). Tapi, dengan adaptasi beberapa menit, udah ok lagi. Dan malah asyik berkelana ke web kampus. Tentu sambil cari2 cerita: kenapa logo harus diganti.

Pasti aku pernah cerita di weblog ini, kenapa Coventry memilih logo burung Phoenix. Burung dari mitologi Arab ini menginspirasi kaum yang hancur, haha :). Burung phoenix, sekian waktu sekali, akan terbakar, menjadi abu, dan dari abunya akan tercipta phoenix baru yang segar dan perkasa. Kehancuran tak pernah jadi akhir cerita, melainkan menjadi titik tolak penting dan kritis untuk menjadi kita yang baru, yang jauh lebih baik.

OK, blogging bersambung. Surfing berlanjut.

Cerita Teknologi

Dari zaman di Network, di Sisfo, jadi Analis Teknologi, sampai sekarang di Product Management, salah satu job yang aku harus sering lakukan adalah bercerita tentang teknologi. Audiencenya sering tapi tidak selalu dari kalangan tech-aware. Yang menarik, tentu, justru kalangan di luar itu. Boss Telkom punya spektrum dari techno-geek sampai PHB, lengkap, plus para underling-nya. Customer, kadang. Forum2. Dan kadang frontliner juga.

Susahkah cerita teknologi ke frontliner? Nggak. Pernah cerita  kenapa langit berwarna biru secara ilmiah ke anak berusia 5 tahun? Aku pernah. Tapi mulainya nggak gampang. Cerita ke frontliner pasti lebih mudah. Bahkan nggak sesulit menceritakan perbedaan operator * dan & ke C-newbie.

Misalnya, kita ingin menceritakan ke seorang frontliner, bedanya produk (Telkom) VPN Gold, Silver, dll, yang perbedaan utamanya adalah bahwa satu menggunakan LC, satu Frame Relay, dan satunya MPLS. Pertama, yakinkan ke mereka bahwa mereka nggak perlu tahu kepanjangan semua istilah. IP, MPLS, FR, ATM, ISDN, CDMA, DID, DFI, DLU, dll, itu adalah kumpulan nama, kumpulan konsep, bukan singkatan yang ada kepanjangannya. Modem dan Laser bisa hidup tanpa kita harus tahu kepanjangannya. Kedua, teknologi sejenis bisa dicarikan analogi semacam. Bandingkan misalnya teknologi network dengan transportasi kereta. LC itu mirip kita menyewa rel untuk kita sendiri, FR mirip menyewa satu rangkaian kereta untuk kita sendiri tetapi di atas rel yang dipakai bersama kereta lain, dan VPN-IP tentu mirip mengirimkan paket via kereta yang tidak perlu kita sewa. Konsep layer OSI sudah masuk di sini. Konsep QoS bisa masuk menjelaskan paket yang pakai reservasi berlangganan dan yang tidak, paket ukuran seragam atau paket berbagai ukuran, dll. Dan ketiga, berharaplah bahwa di akhir cerita, mereka masih ingat bahwa kita bercerita tentang PT Telkom, bukan PT KAI.

Menakjubkan melihat rekan2 frontliner jadi lebih mudah memahami. Kita bisa meneruskan membahas, misalnya, kenapa VoIP lebih murah daripada telepon biasa, tapi kenapa ada delaynya. Bagaimana CDMA berbeda dengan TDMA. Bagaimana teknologi ADSL bekerja. Apa yang dimaksud dengan redaman 65 dB dan SNR 25 dB. Asyik deh.

Aesthetic/Functional

Aku ikut tes Personality-DNA. Dan ini hasilnya: you are a benevolent inventor. Apa tuh artinya? Ntah.

Tapi yang jelas aku selalu keki kalau disuruh memilih antara fungsi dan tampilan. Benda. Aplikasi. Dan diri sendiri. Aku nggak tau bedanya. Web yang indah adalah yang komunikatif sesuai segmen yang dituju. Teks lurus tidak komunikatif buat anak2, sehingga tidak indah jadi web pendidikan anak kecil. Teks penuh warna bikin pusing untuk orang yang habis bekerja seharian, jadi tidak indah, dan artinya tidak berfungsi. Jam tangan yang baik, tapi tak mengena di hati, akhirnya jadi membosankan pemakai, dan ditinggalkan. Tak fungsional karena tak estetik. Zaman dulu, rekomendasi dari aku dinomorduakan di bawah expert asing. Aku khawatirnya soalnya kita print pakai printer dot di atas kertas printer bolong2, sementara si expert asing rekomendasinya bergrafis bagus, tercetak dengan laser. Lebih komunikatif. Asosiasi terus mengalir, lekat, tak terpisahkan. Sesuatu kita bilang jorok karena tak sesuai kebutuhan kita.

Bahkan — aku jadi nulis ini sekali lagi — waktu melihat keindahan bulan, aku selalu bilang bahwa bulan itu indah sekali karena ia berfungsi baik memberi dukungan untuk hidup kita. Jupiter yang kaya warna. Supernova sisa ledakan bintang. Dengan demikian, kita juga boleh bilang: jiwamu cantik. Hatimu indah. Beautiful mind.

Dari Esia ke Excel

Kalau CSR Telkom ditanya tentang kompetitor Flexi, biasanya mereka menjawab dengan beberapa operator. Biasanya, kalau di Bandung, dimulai dengan Esia. Kemudian Fren, produk2 Indosat, dan Excel. Urutannya suka berubah, tapi biasanya dimulai dengan Esia dan diakhiri dengan Excel. Jadi aku bikin kunjungan ke Esia dan Excel, Bandung. Naik angkot.

Esia, dari Bakrie Telecom, menempati sebuah rumah klasik berdinding tembok tebal di Dago. Tempatnya nyaman, dan mirip rumah atau kantor konsultan, nggakmirip tempat penjualan atau service, dan bikin ragu. Satpam-1 masih mengobrol, dan aku harus tanya “Beli Esia bisa di sini, Pak?” baru mereka menjawab. Di dalam satu lagi Satpam-2 ngobrol dengan CSR-1. Aku harus menginterupsi “Saya mau beli kartu Esia tapi bukan paket.” Satpam-2 mengulangi ke CSR-1 di sebelahnya, dan CSR-1 menelepon rekannya di dalam. Aku diminta menunggu sambil berdiri. Agak lama, CSR-2 keluar membawa telepon CDMA tanpa kartu. Aku ulangi permintaanku, dan dia mengambilkan kartu antrian, menyuruhku masuk ke ruang tunggu, dan meninggalkanku tanpa pesan lain. Minta maaf misalnya. Ada 3 loket buka. Dua untuk kartu pascabayar dan satu untuk kartu prabayar. Display nomor antrian di tembok mati. Di meja hidup. Aku hanya nunggu 2 orang. Tapi lama, hampir 1 jam, dan membosankan. Loket 1 dan 3 ternyata diandel 1 CSR yang bergantian. Pantes lama. Satu orang pengunjung masuk, tanpa antri, untuk beli voucher. CSR dari loket pascabayar melayaninya. Hmmh, kalau aku tahu di sini nggak perlu antri, aku langsung tembak aja tadi. Akhirnya aku dipanggil. CSR-3 menerimaku dengan keramahan yang alami dan profesional. Aku minta kartu perdana, dan dia mau lihat HPku. Sekilas aku tunjukkan, dan dia mengangguk. OK, dia tahu Nokia 6235. CSR-3 memberiku daftar noor untuk dipilih, tapi terus meninggalkan meja. Padahal aku sekalian pingin chatting tentang feature Esia yang baru. Nggak ada kesempatan. Dia balik waktu aku sudah memilih nomor. Masih simpatik. Aku tanya soal Internet. Dia jawab: Esia prabayar tidak bisa dipakai Internet dan WAP, dan tidak ada rencana untuk itu. Dia menawarkan voucher isi ulang, dan aku setujui. Trus aku diminta ke kasir (tempatnya terpisah) untuk melakukan pembayaran. Kasirnya pendiam, dan tidak customer-oriented. Visa bisa dipakai di sini. Trus balik ke loket. CSR-3 menawari registrasi (wajib). Aku iyakan. Dia mengeluarkan formulir panjang dan minta KTP. Trus dia mengisikan formulir (di kertas) sambil terus menanyaiku. Sampai selesai. Trus dia membuka aplikasi registrasi di komputernya, dan mengetik ulang semua data dari kertas di komputernya. Prosesnya lama. Tapi simpatik. Sementara kursi di sebelahku (di loket ini juga) diduduki seorang Bapak berseragam TNI yang masuk tanpa antri. CSR-3 melayani kami berdua sekaligus. Selesai, aku keluar. Satpam-3 sedang mengatur parkir. Melihat aku mau menyeberang, dia ke luar, menghentikan mobil di Jl Dago, dan mempersilakan aku menyeberang.

Excel, dari Excelcomindo, menempati bekas Bank Bali di perempatan Riau-Purnawarnan. Gedungnya khas pelayanan, berdinding kaca jernih yang memudahkan melihat dari luar. Tak ada Satpam menyambut buat diisengi. Masuk, aku nggak menemukan karcis antrian. Jadi langsung ke loket. CSR-1 menyuruh antri dan menunjukkan tempat karcis antrian. Aku ambil. Di kejauhan tampak beberapa Satpam bercakap, acuh. Ruang tunggu luas, warnanya menarik. Loket jumlahnya banyak, dan dibagi untuk berbagai urusan. Menuggu tidak membosankan, karena — coba tebak — ada dua terminal Internet gratis buat customer yang sedang menunggu. Layar datar dan jernih, dioperasikan dengan keyboard dan mouse sambil berdiri. Menunggu 2 jam pun nggak bakal bosan. Aku bisa download file dan save (ke harddisk), trus dikirim ke mail kantor :). Trus nomorku disebut. Ke CSR-1 lagi. Aku menanyakan bedanya XLFun, XLBebas, XLJempol, dan dia menjelaskan. Aku menyatakan mau beli, dan dia menginformasikan bahwa di luar ada stand promo. Kalau aku beli kartu prabayar di luar, aku dapat merchandise. Di dalam nggak. Menarik. Tapi aku keukeuh di dalam, dan dia menerima. Milih kartu, mirip di Esia, tapi sambil ngobrol dengan CSR-1 tentang feature-feature. Satu nomor diambil. Aku minta disetting Internet di HP-ku. Dia minta lihat HP-nya. Aku tunjukkan XPhone, dan CSR-1 bilang bisa. “Yakin bisa?” aku rada kaget. XPhone udah nggak terlalu umum. Dia memastikan. Trus aku serahkan XPhone. Si CSR-1 mulai melakukan setting. Agak lama. Tapi dia nggak minta bantuan apa pun dari aku. Padahal menu XPhone udah aku customise. Hebat. Trus aku penasaran, dan mulai melirik layar monitor si CSR. “Sambil baca ya?” Dia mengiyakan. Tapi aku masih kagum. Selesai akhirnya. Aku coba baca mail ke Gmail. Gagal. Aku tanya kenapa masih gagal. CSR-1 minta aku cek ke alamat lain. Hotmail. Berhasil. OK. Aku mengingatkan bahwa aku belum bayar. CSR-1 ketawa (CSR ini jarang ketawa sebenernya. Serius melulu). Trus dia mengurus pembayaran. Dia yang ke kasir. Sebelum pergi, dia nyuruh aku ngisi formulir registrasi. Di kertas. Ngisi sendiri. Selesai, dia ambil formulir, dan bilang nanti akan diurus. Selesai. Keluar, masih nggak ketemu Satpam.

Setiap perusahaan punya policy sendiri, punya tantangan sendiri, dan jelas punya approach sendiri. Tapi entah kenapa, aku kayaknya harus bilang ke CSR Telkom, bahwa lebih baik menganggap Excel merupakan kompetitor yang bakal lebih tangguh daripada Esia. Kecuali kalau kompetisinya di bidang kesatpaman.

Trus, gimana dengan Flexi? Haha :). Aku bakal dibilang bias kalau nulis soal Flexi. Biar weblog lain aja yang membahas soal Flexi.

Satu Bintang di Langit

Angkasa tanpa pesan merengkuh semakin dalam
Berselimut debu waktu kumenanti cemas
Kau datang dengan sederhana
Satu bintang dilangit kelam
Sinarmu rimba pesona dan kutahu tlah tersesat
Kukejar kau takkan bertepi
Menggapaimu takkan bersambut
Sendiri membendung rasa ini
Sementara kau membeku
Khayalku terbuai jauh
Pelita kecilmu mengalir pelan dan aku terbenam
Redup kilaumu tak mengarah
Jadilah diriku selatan
Namun tak kau sadari hingga kini dan nanti

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑