Author: Koen (Page 26 of 86)

Akar Kuadrat dan 5f3759df

Saat source code untuk game Quake III dibuka, orang menemukan kode-kode C menarik dari John Carmack. Salah satunya adalah fungsi invers akar kuadrat, yang pada intinya ditulis sebagai berikut:

float InvSqrt(float x)
{
float xhalf = 0.5f*x;
int i = *(int*)&x;
i = 0x5f3759df- (i>>1);
x = *(float*)&i;
x = x*(1.5f-xhalf*x*x);
return x;
}

Menariknya, hack semacam ini menghasilkan kecepatan kalkulasi yang amat cepat, kira-kira empat kali lebih cepat daripada menggunakan (float)(1.0/sqrt(x)), walaupun sqrt dalam hal ini menggunakan instruksi assembly FSQRT.

Yang jelas, kode ini memanfaatkan metode Newton-Raphson. Tetapi pendekatan yang digunakan, dan terutama penggunaan heksadesimal 5f3759df tentu sangat menarik. Googlekan angka itu, dan temukan petualangan menarik mencari asal-usul baik bilangan ajaib itu, maupun hacknya sendiri. D Ebery misalnya, menganggap shift i>>1 mengakibatkan interpolasi linear pada si invers akar kuadrat. Tetapi, pertama kali, kita harus ingat bahwa si penulis kode sedang memainkan bit-bit floating point yang secara standar akan dikodekan sesuai IEEE 754-1985 (yang memisahkan mantissa dengan eksponen); dan si penulis juga meyakinkan diri bahwa kode ini jalan baik untuk little endian maupun big endian.

Sekarang, metode Newton-Raphson dulu, sambil dipandu C Lomont. Kita akan menghitung 1/akar(x). Definisikan dulu f(y)=1/y2 – x, sehingga nantinya nilai yang kita cari adalah akar positif dari f(x). Dengan metode Newton, jika kita punya pendekatan awal yn, maka kitadapat menghitung pendekatan berikutnya sebagai yn+1 = yn – f(yn)/f'(yn). Dengan f(y) di atas, akan diperoleh yn+1 = ½yn (3 – xyn2), atau dalam kode C di atas adalah x = x*(1.5f-xhalf*x*x), dengan x nilai pendekatan awal y0 kita. Baris i = 0x5f3759df-(i>>1) menghitung nilai awal y0 ini, dengan mengalikan eksponen x dengan -½. Kemudian bagian yang menarik pun dimulai. Karena, hey, yang dishift kan bukan hanya eksponen, tetapi keseluruhan bilangan.

Ada beberapa pendekatan untuk bagian ini. Aku baca baik versi C Lomont maupun C McEniry. Lomont membagi ulasan untuk eksponen genap dan ganjil segala. Tapi akhirnya yang mereka dapati adalah sebuah pola berulang, yang kemudian dicari minimasi kesalahannya, sehingga diperoleh sebuah nilai dengan kesalahan paling kecil. Dan kode di atas itulah hasilnya, dengan sebuah kiraan r 0.4327448899 dst. Lomont sendiri mendapati bahwa ia memperoleh bilangan yang memberikan akurasi lebih tinggi, yaitu 5f375a86. McEniry mengkritik bahwa brutal force yang sempat digunakan Lomont bisa justru tidak mendeteksi jurang sempit antar celah serangan brutal itu. Tapi, sebagaimana Lomont, ia juga memberikan saran perbaikan, baik untuk versi float maupun versi double.

float InvSqrt(float x)
{
union {float f; unsigned long ul; } y;
y.f = x;
y.ul = ( 0xBE6EB50C – y.ul ) >> 1;
y.f = 0.5f * y.f * (3.0f – x * y.f * y.f);
return y.f;
}

Untuk versi double, keyword float harus diganti double, unsigned long menjadi unsigned long long, dan si konstanta ajaib jadi 0xBFCDD6A18F6A6F54.

Hukum Conway

Cukup beruntung untuk mendapati Götterdämmerung dalam format DVD, minggu lalu. Dan cukup mengacaukan jadwal hidup. Pulang kerja kadang nyaris tengah malam, dan tak langsung pindah ke alam mimpi. Malah mencicil act demi act dari bagian keempat tetralogi Der Ring Des Nibelungen ini. Musik yang masih menggetarkan itu bagian awal dari prelude, sebelum para Norn mendongeng (“Ulurkan lagi tali itu, Saudariku“); dan bagian awal Act 2, saat Hagen dihantui Alberich, bapaknya (“Tidurkah kau, Anakku?“). Biarpun Götterdämmerung adalah bagian keempat, tetapi sebenarnya Wagner merancang opera ini terlebih dahulu, lalu merancang tiga lainnya sebagai latar belakang. Pun dari Götterdämmerung saja, kita akan mendengar sari tiga opera pendahulunya diceritakan ulang. Cerita konyol, haha. Tapi telanjur adiktif sama Wagner sih. Mau jadi apa, coba?

Wotan, sang mahadewa, menghadapi suatu masalah. Dari soal delegasi kewenangan biasa, masalahnya lari ke soal ancaman atas sumberdaya kritis: sebuah cincin yang membuat pemiliknya memiliki power, namun dimuati sebuah kutukan: “Siapa yang memiliki cincin itu akan hancur. Tapi siapa yang tak memilikinya akan menginginkannya.” Wotan tak mengingini cincin itu, tetapi berkepentingan bahwa cincin itu tak dapat digunakan siapa pun. Plot dari Wotan dan para rekan dari sidang dewa terbukti hanya memindahkan ancaman dari satu titik ke titik lainnya. Buntu. Bukan, bukan Edubuntu, karena ini tak mendidik.

Lalu tak sengaja terbaca Wotan sebuah cuplikan dari buku software engineering. “Any organisation that designs a system will produce a design whose structure is a copy of the organisation’s communication structure.” Hukum Conway, namanya.

Sekilas mirip generalisasi sinis. Tetapi setidaknya kita bisa membayangkan bahwa pikiran yang memiliki kendali menyusun suatu organisasi, juga — dengan cara berpikir yang sama — memiliki kendali menyusun bentuk produk yang dihasilkan organisasi itu. Atau bisa juga kita bayangkan bahwa produk adalah anak dari organisasi, dan dengan satu atau beberapa cara akan mewarisi sifat orangtuanya. Jadi takkan salah kalau orang menilai organisasi Microsoft dari Windows dan Office-nya yang megah, berat, komplit, tapi malah bikin hang selalu. Atau menilai Telkom dari logo2 Speedy, Flexi, Homeline, 007, Ventus, dll yang tidak tidak saling memiliki hubungan batin :). Atau membayangkan birokrasi perguruan tinggi dari lulusan yang dihasilkannya. Cara kerja Google segera tampak misalnya saat kita melihat produk luar diadaptasi masuk sebagai bagian dari produk Google.

Pikiran Wotan melantur. Blog juga barangkali, pikirnya. Blog, sebagai produk personal, menunjukkan komunikasi internal sang penulis: cara berpikirnya; pun tanpa serius mengamati argumen apa yang tertulis di dalamnya. Apakah seseorang bekerja dengan komitmen atau tergantung mood. Apakah dalam menghadapi masalah, sebuah blog cenderung menyusun terobosan solusi, mencari kompromi, atau sekedar menuding tanpa solusi yang jelas, atau lebih parah lagi sekedar meramaikan? Begitulah pula barangkali platform pikiran sang blogger bekerja :).

Lepas dari lanturannya, Wotan berpikir lagi: tapi sebenarnya bisakah kita menghindar? Misalnya, tanpa kewenangan mengubah organisasi Valhalla (yang berbiaya besar dan bisa menyulut perang dewa yang lain lagi), ia ingin merancang sistem yang lebih efektif. Berkelit bisa jadi solusi, sebenarnya. Serahkan desain program ke pihak luar, untuk diadaptasi kembali. Dan hasilnya bisa unpredictable (bisa dalam arti positif maupun negatif). Memang perlu spekulasi.

Tapi lalu itu yang dilakukan Wotan. Ia turun ke bumi, menjadi Walse, dan dengan kerjasama makhluk bumi menurunkan para Walsung: Siegmund dan Sieglinde, yang berikutnya melalui metode incest menurunkan Siegfried. Sebagai derivatif Wotan, Siegfried mewarisi kekuatan kedewaan. Tetapi ia memiliki sifat baru: ketiadaan rasa takut. Hmm, jadi ingat salah satu buku Asterix. Tapi ini cerita lain. Singkat cerita, Siegfried berhasil menguasai sumberdaya yang kritis itu, tapi tanpa kehendak untuk menggunakannya (Untuk apa? Orang yang bebas rasa takut tak memerlukan apa pun.). Ia menjadi solusi yang ideal. Tetapi tetap tak sempurnya: mudah terkena konspirasi. Dan akhirnya ia harus hancur juga.

Wotan mungkin akan cuman bilang: Oops. “Software is doomed to reflect structure of the organisation that produces it.” Ya, keburukan Valhalla memang tak tampak pada personality Siegfried. Tetapi kelemahan itu cuma berubah menjadi bentuk yang lain. Tak bisa tidak, struktur memang harus diubah, untuk menghasilkan produk yang lebih baik. Tanpa berkelit.

Al Ma’mun

Khalifah Al-Ma’mun melantunkan puisi di depan para undangan dan punggawanya. Tampak Abu Nawas sang penyair di antaranya. Selesai menikmati puisinya sendiri, khalifah berpura-pura sopan kepada Abu Nawas: “Bagaimana puisi sederhanaku, Hai Abu Nawas? Seorang penguasa pun bisa puitis, bukan?”

Dalam mood anti-kitsch, Abu Nawas menjawab, “Aroma balaghah (kefasihan) tak tercium dari Anda.”

Al-Ma’mun memendam kemarahan. Namun setelah acara selesai, ia menyuruh punggawanya menangkap Abu Nawas. Diam-diam diperintahkannya untuk membawa Abu Nawas ke kandang keledai, dan melemparkannya ke tumpukan kotoran hewan. Abu Nawas dilepaskan dalam keadaan babak belur dan menjijikkan.

Menguji kesetiaan rakyatnya, Abu Nawas kembali diundang dalam acara khalifah Al-Ma’mun yang berikutnya. Tanpa malu, khalifah kembali melantunkan puisi yang lebih heboh dan disyahdu-syahdukan itu. Dan kembali ia menanyakan pendapat Abu Nawas: “Adakah kini aroma balaghah sudah mulai tercium, wahai Abu Nawas?”

Abu Nawas tersenyum tipis, berdiri, lalu melangkah keluar.
“Mau ke manakah tamu tanpa kesopanan ini?” hentak Khalifah.
“Ke kandang keledai lagi,” jawab Abu Nawas, disusul dengan: “Tuanku!”

IEEE Knowledge Sharing

Di Tunjungan Plasa, aku menemui satu kopi yang belum tertemui di kafe2 Starbucks Bandung: Kopi Timor. Judulnya Komodo Dragon, dengan logo merah hitam seram. Tapi kita mulai cerita ini dari latar belakangnya.

IEEEWaktu aku menulis tentang rencana IEEE di Surabaya, yang sedang kami bahas adalah sebuah seminar yang cukup luas. Jadi waktu Mas Muhammad Ary Murti (chairman of Indonesia IEEE Comsoc Chapter) meneleponku, aku pikir kita akan mulai soal ini. Tapi ternyata judulnya lain. Ini acara mini IEEE Knowledge Sharing saja, dengan tiga speaker: Mas Ary tentang IEEE, Arief Hamdani Gunawan tentang teknologi BWA, dan aku tentang business aspect-nya. So, aku iyakan saja. Dan singkat cerita aku kemarin menjejak Surabaya.

Surabaya itu, ok, keren. Tapi aku cerita seminar aja ah. Knowledge Sharing ini dilakukan di Gd Rektorat ITS hari ini (5 November 2007), di Hall Lt 3. Audience dari beberapa perguruan tinggi di Surabaya. Penyelenggara adalah Mas Daniel dari Fakultas Teknologi Informasi ITS.

Pada sesi pertama, Mas Arief (chairman of IEEE Indonesia section) membahas IEEE secara umum, termasuk kegiatan society, standard yang dihasilkan, dan kesempatan2 yang bisa diperoleh. Lalu Mas Ary memfokuskan tentang Communications Society dan hal2 yang bersifat akademis, termasuk kerjasama dll. Trus break.

Setelah break, ternyata Mas Arief harus kembali ke Jakarta untuk memperjuangkan soal kode akses melawan orang2 aneh dari BRTI (selamat berjuang ya, demi bangsa dan tanah air). Jadi di sesi ini aku akhirnya membahas bukan saja business aspect, tetapi juga beberapa technology breakthrough. Bahan2 diskusi adalah tema2 yang akhir2 ini sering didiskusikan, bukan saja oleh Communications Society, tetapi juga oleh Computer Society. Interworking 3G dan WiMAX, NGMN, Daidalos project (biarpun tidak aku sebut namanya), context awareness, augmented reality. Hmm, apalagi ya. Feedback dan sharing dari audience cukup menarik dan beragam; dan Mas Ary harus membantuku menjelaskan kegiatan2 yang bisa kita lakukan ke depan.

its-01.jpg

Acara baru selesai waktu halaman rektorat ITS tak berasa panas lagi. Dan aku pikir, cukup pas kalau secangkir kopi dinikmati sebelum matahari benar2 tenggelam. Jadi …

Blitz

Blitz di Grand Indonesia hari ini menjadi fokus. Sampel dari para blogger Indonesia berkumpul di sini: hampir 500 jurnalis personal internet se-Indonesia. Sebelum masuk elevator, sudah tampak Andika dan sebagian anggota Kampung Gajah, kemudian Rara dan sebagian anggota Anging Mamiri. Elevator mengangkat kami dan langsung melontarkan ke keriuhan Lt 8. Keriuhan penuih warna dari detik pertama itu mengalahkan kenorakan komposisi Petrushka dari Stravinsky. Teriakan kangen, salam2an, dan jepretan kamera yang yang henti2nya. Tak penting mana yang seleb dan mana yang pemburu foto: semuanya merangkap :). Jay, si warga baru Jakarta, cuma bisa senyum di antara Gajah. Idban (guru blogger-ku) kehilangan suara. Thomas berpasangan ceria dengan Lala. Panitia berkostum hitam terpelanting ke sana kemari: Budi Putra yang terus mencoba tersenyum, Enda Nasution yang tetap ramah biarpun tak mampu menghilangkan garis ketegangan :p. Lalu maklumat dikeluarkan untuk menenangkan: masuk ke hall!

Hall hanya sedikit meredam keriuhan. Aku duduk di antara para Gajah (oh ya, aku bukan anggota gerombolan Gajah, tetapi sering in touch dengan banyak dari mereka); diapit Aa Nata calon walikota Bandung (amin), dan Aa Jojo dari Telkom (RDC — kayak pernah dengar nama perusahaan ini ya, haha). Sambil bantu2 memplastiki OpenSUSE oleh2 Aa Nata, kami mulai menyimak. Pidato Enda Nasution yang bernuansa Sumpah Pemuda memperoleh sambutan seperti adat para blogger — cerita, tanpa batas, kurang santun, haha. Lalu sambutan M Nuh, Menkominfo kita, yang mendorong gerakan para blogger untuk memajukan Indonesia melalui dukungan informasi masyarakat. Menkominfo menjanjikan tahun depan akan ada Kompetisi Blogger Nasional, dan Blogger Award dari Menkominfo. Juga, tanggal 27 Oktober dinyatakan sebagai Hari Blogger Nasional. Ruang kemudian diserahkan kepada Wimar Witoelar. Wimar bukan saja berbincang dengan Budi Putra dan Enda Nasution yang berada di atas panggung, tetapi juga dengan Cahyana Ahmajayadi (Dirjen Aplikasi Telematika), Nila Tanzil, Wisnu Aryo Setio (blogger SMP yang tulisannya keren), blogger dari Poso, dll. Cahyana mengingatkan bahwa jumlah blogger 130rb masih rendah. Ia menantang untuk meningkatkan menjadi setidaknya 1 juta, dengan terutama menggerakkan komunitas pendidikan sebagai tulang punggungnya.

Sesi makan siang menjadi ajang Kopdar. Aku tentu menikmati sesi ini dengan melakukan blogger-walking (bukan blogwalking): menemui aneka blogger dan bertukar satu dua kata, sebelum lompat lagi ke blogger lain. Ada Ady Permadi (Big) yang menjadi host untuk kun.co.ro dan telkom.us. Firman Firdaus masih juga pendiam. Rendy gundul baru manasik. Eko Juniarto sibuk dengan kameranya. Rovicky yang murah senyum sibuk menjawab pertanyaan (atau interview?). Tika Banget berkeliling menyalami semua orang. Viking Karwur serius. Boy Avianto tanpa penutup kepala. Dan satu lagi. Dan satu lagi. Dan satu lagi. Sayangnya tak bisa lama. Terlalu banyak orang2 menarik yang pingin aku temui. Trus antri lunch bareng Priyadi, si Mr Serius yang selalu bernuansa warm, dan lunch-nya sama … ya ampun, gerombolan Gajah lagi :p.

Atas ajakan Priyadi, aku bergabung pada sesi Teknologi. Blog Teknologi dan Teknologi Blog. Yang diperbincangkan platform yang ditawarkan Microsoft untuk mempermudah komunikasi online, khususnya blogging. Lalu beberapa masalah seperti security dan traffic. Aku diminta Priyadi bercerita tentang sukaduka menjadi CBO sebuah perusahaan berbasis teknologi yang banyak punya customer dan dengan demikian banyak menuai kritik. Dan untuk ceritaku, Risman Adnan dari Microsoft memberi hadiah sebuah Windows Vista Business berlisensi. Hey, dalam satu hari aku dapat dua OS Keren: OpenSUSE terbaru dan Vista Business terbaru. Makasih ya :). Ada yang mau ngasih Leopard yang baru launching itu?


Sumber: Oom Thomas Orangescale

Masuk lagi ke hall, hasil diskusi (hah, tadi itu diskusi?) itu disampaikan. Di atas panggung ada Maylaffayza, Nukman, Nila Tanzil, Priyadi, … siapa lagi ya? Kok sebagian besar temen2 di Facebook ya? Maaf tak sempat saling sapa :). Dipandu Wimar, tentu. Lalu pengumuman Blog Terpopuler pilihan. Eh, sebelumnya, terima kasih buat siapa saja (entah siapa) yang bisa2nya membuat salah satu blog-ku: koen.telkom.us, masuk ke nominasi. Masuknya ke kategori bridge blog, yaitu blog yang ditulis dalam bahasa Inggris. Duh, malu sebenernya. Untuk bridge blog ini, pemenangnya akhirnya Enda Nasution, yang sekaligus akhirnya juga menjadi pemenang Blog Terpopuler. Kemudian hadiah2 dari sponsor :). Anita mendapat Blackberry imut dari XL — dih, curang.

Informasi lain, sila simak di web resmi Pesta Blogger: pestablogger.com.

Seperti juga Petrushka yang langsung dimulai dengan riuh tetapi berakhir dengan senyap; Pesta Blogger ini juga berakhir senyap dan tenang. Ruang harus dikosongkan untuk kegiatan komersial. Satu per satu peserta meninggalkan hal, berfoto lagi, berceria lagi, dan turun sedikit demi sedikit. Dan ruang pun lengang kembali. Secara masih lapar, kami kabur cari makan ke Plasa Indonesia.

Di Plasa Indonesia ada acara kejutan. Tak sengaja kami bersua Luigi Pralangga yang akhirnya bisa juga mencapai titik Pesta Blogger, biarpun sangat terlambat, dikawal Viking Karwur. Tokoh ini sama cemerlangnya dengan blog yang diasuhnya (pralangga.org), dan santun sekali.

Gambar2 bisa dilihat di Flickr: flickr.com/photos/tags/pb2007

Pesta usai. Tapi banyak komitmen baru untuk kegiatan baru. Kami tidak mau menunggu Indonesia Bangkit. Kami, Para Blogger Indonesia, mau membangkitkan Indonesia.

IEEE

Majalah2 dan jurnal2 bertebaran di sekeliling kaki kasur. Itu hasil kegiatan tengah malam beberapa malam ini. Belum ketemu waktu luang lain selain tengah malam. “Sadar akan” keterbatasan waktu luang, sebenarnya jumlah majalah sudah aku kurangi. ACM, aku pindah ke versi online saja (biar nggak merasa berdosa kalau tak sempat dibaca). Majalah2 sains udah aku putus, selain Science&Vie (aku masih perlu belajar baca biar lancar). Tapi tentu nggak semua. Membaca dari kertas masih mengasyikkan :).

Yang terasa menarik, jurnal IET yang dulu (waktu masih IEE) terasa nggak membumi, sekarang jadi nyaman dibaca. Juga IEEE Computer, jadi lebih down-to-earth (biarpun pasti tokoh semacam BR bakal mengeluhkan bahwa majalah ini semakin awam). Haha, orang computer science juga harus lebih menyadari interaksi masyarakat, bukan melulu memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi masyarakat dari menara gading digital mereka :).Tema yang terakhir aku baca ist tentang Tantangan Security di Web 2.0 :). Membumi kan?

Di tahun2 lalu sih, IEEE bersifat menara gading sekali. Yang banyak dikaji adalah hal2 yang masih jauh di depan mata. VoIP dibahas waktu aku baru lulus kuliah. ADSL, lima tahun sebelum deployment komersial di USA (dan 10 tahun sebelum Speedy di Jawa Barat, haha). Yang kita baca bukan yang bisa dijadikan bahan obrolan di negeri Bandung (dengan asumsi bahwa negeri ITB dan negeri Telkom-RDC berada di luar negeri Bandung).

Obrolan 10 tahun yang lalu:

“Kun, DPG bisa dipakai untuk ATM?”
“Bener Pak ada yang mau pasang ATM? Siapa? Tapi jangan pakai DPG yang udah ada. Itu kan groupingnya di 2 mega.”
“Masa kurang?”
“Nggak pas. Siapa sih yang mau pasang ATM beneran?”
“Bank ….” (deleted –red)
“Oh, ATM yang itu. Maaf Pak. Saya kira …”
“Mbok kiro opo?”

Masih menatai jurnal2, sebuah amplop tiba. Kartu Anggota IEEE untuk tahun 2008. Berbeda dengan IET, IEEE memang memberikan kartu ini setiap tahun. Tapi, physically, kartunya jelek dan tipis. Baru sampai pun sudah tertekuk. IET memberikan kartu yang keren, tapi cuma sekali, kecuali status keanggotaan kita berubah. Ini yang dari IEEE (lihat ada masa berlakunya):

Then, entah malaikat apa yang mengatur, Mas Ary menelepon. IEEE Roadshow to Surabaya akan jadi dieksekusi. Wow, Surabaya, aku datang :).

Buku Buku Buku Buku

Liburan ini berlalu nyaris tanpa penjelajahan. Asthma datang tak tepat waktu :). Jadi, selain bebenah, aku banyak ditemani buku. Bukunya dari banyak tema, dan aku bacanya melompat dari satu buku ke buku lain. Kalau buku tertinggal di sofa, aku nggak mau susah2 ambil lagi — aku baca saja buku yang lain lagi.

Aku sempat cerita tentang si Running Mac OS X Tiger di blog ini. Yang ini aku baca sambil santai, bukannya sambil dicobai di Mac. Aku mau menikmati benda ini sebagai buku. Kalau pernah pegang buku O’Reilly, tentu tahu bahwa buku O’Reilly dirancang untuk nyaman dipegang dan dibaca. Sambil membacai buku ini, komputernya aku biarkan melakukan software update ke Mac OS X 10.4.10. Ini update yang terlambat memang. Hasilnya, dia melejit secepat harimau. Ah, berlebihan. Sebelum diupdate pun, dia sudah melejit secepat harimau si Santa Claws :). Oh ya, O’Reilly sedang menyiapkan update buku ini, berjudul Running Mac OS X Leopard. Jadi, kalau berminat, lebih baik menunggu buku updatenya, sekaligus sambil update Mac OS X ke 10.5.

Albert Camus

Buku tipis dari Albert Camus: La Chute terbaca ulang pasca lebaran. Ini buku yang amat bergaya eksistensialis, seperti banyak buku Camus lainnya (misalnya Sisyphus, l’Etranger, dan entah apa lagi). Gaya eksistensialisnya bikin kita terpaksa memaki, serasa menemukan bagian dari diri kita yang tersesat dan ikut terjatuh. Aku pernah menikmati diskursus eksistensialisme secara aktif, beberapa saat. Tentu masih ada sisanya sampai sekarang. Tapi Camus betul2 sialan, dan mencapai ekstrim yang menyebalkan. Bayangkan: tokoh dalam cerita ini malam itu meninggalkan pacarnya lewat tengah malam. Berjalan melintas tepi sungai. Bersitatap dengan seorang wanita. Tapi dia acuh, dan meneruskan perjalanan. Setelah agak jauh, terdengar suara air, dan teriakan. Tokoh kita mengkalkulasi: apa sih yang mungkin terjadi — aku tak pandai berenang — dan kalaupun bisa, jarak kami terlalu jauh sekarang untuk bisa menolong. Lalu, tanpa menoleh, tokoh kita meneruskan perjalanan. Dan karena kurang enak badan, ia tidak membaca berita besok dan beberapa hari kemudian. Eksistensialis kurang ajar yang betul2 merasa bahwa pada saat ia tidak dapat melakukan perubahan, maka hidup harus jalan terus dengan nilai yang melekat pada perjalanan kita. Syukur aku belum pernah kenal tokoh beneran yang macam gini. Hey, tapi ceritanya menarik. Ini adalah buku Camus terakhir sebelum ia meninggal akibat kecelakaan. Saat itu, ia sudah berpisah jalan secara keras dengan Sartre. De Beauvoir, pasangan Sartre, melihat nada muram dalam buku ini, dan dengan puas menyatakan bahwa ia bahagia bisa menghancurkan hati Camus. Orang tak menarik, de Beauvoir itu. Tapi buku ini recommended :).

Lalu dalam perjalanan ke Senayan, aku sempat melihat buku Norman Peale: The Amazing Result of Positive Thinking. Reminds me to my best friend who used to call me Mr Positive Thinking. Sayangnya dia menyebutku seperti itu justru di awal masa aku sedang luruh ke idealisme yang lain, termasuk bahwa dunia tidak diciptakan untuk mewujudkan nilai yang terus positif dan bertambah baik. Alih2 aku malah percaya bahwa dunia ini tempat ujian panjang untuk tumbuhnya kita secara cerdas dan jujur — tidak tertipu oleh nilai2 palsu yang meninabobokan. Mungkin bagian besar dari pikiranku masih ada di sana. Tapi memang terasa ada bagian dari diriku yang jadi hilang. Buku Peale ini aku ambil. Barangkali bisa jadi cermin untuk mengembalikan pikiranku yang lebih positif lagi :). Recommended juga :).

Roger Penrose

Sementara itu, aku sudah berjanji bahwa buku Roger Penrose: The Road to Reality, harus aku tamatkan sebelum lebaran. Cedera janji: bukunya belum tamat. Aku sempat ulas di blogku satunya, yang in English: ini buku sains populer yang tak terlalu populer. Berbeda dengan Stephen Hawking yang menghindarkan buku populernya dari formula2 (untuk tak menjatuhkan pemasaran), Penrose tak ambil pusing dengan soal marketing. Dibanjirinya buku ini dengan segala formulasi matematis, untuk memberikan penjelasan yang detail dan jujur, menghindarkan pembacanya dari bayangan bahwa sains itu manis dan meninabobokan (dan ujungnya pembaca mudah tertipu pada orang awam yang mengaku ilmuwan, misalnya Harun Yahya). Memegang buku ini, waktu serasa mengalir cepat, seiring dengan otak yang berolahraga dengan asyiknya. Baru sahur, tahu2 sudah waktunya buka puasa :p, dan sahur lagi :). Not recommended, kecuali buat yang beneran tergila2 pada sains. Sekali lagi: buku ini perlu waktu untuk dibaca :). Penrose saja perlu 8 tahun untuk menulisnya :). Teh Jennie (Jennie S Bev) konon beli buku ini juga. Udah tamat belum, Teh?

Lisa Randall

Tapi ada alasan lain kenapa buku Penrose belum tertamatkan. Baca tulisan Penrose, aku jadi pingin membandingkan dengan Lisa Randall: Warped Passages. Buku yang dibeli di Borders tahun lalu ini, dan udah tertamatkan beberapa kali, jadi enak dibaca lagi berseling dengan buku Penrose. Randall juga tak alergi formula. Tapi dia banyak mengurangi, agar bukunya praktis dan nyaman dibaca. Buku Randall bahkan dipasangi fragmen2 kecil di tiap awal bab. Sayangnya kadang Randall terlalu wordy untuk menceritakan sebuah konsep — tidak hemat kata. Kesannya memang jadi kayak ngobrol sama ilmuwan jenius, nggak kayak kuliah misalnya. Formula yang dipotong Randall bisa didetilkan di Penrose, sementara ekstrapolasi (duh, maaf, ini subyektif — jangan dipertentangkan ya) dari yang diulas Penrose bisa dicari di Randall. Penrose sangat berhati2. Misalnya, dia dikenal tidak (belum) menyetujui konsep superstring, sementara Randall termasuk yang cukup mendalami bidang ini. Penrose memasang lukisan Escher untuk contoh, dan Randall memasang Dali dan Picasso. Recommended. Recommended! Aku sudah baca buku Peter Woit. Tapi buku Randal masih akan aku labeli recommended 2x :).

Trus ada buku lagi. Mmm, buku kosong. Mungkin aku harus belajar menulis.

3G Week

3G Week, satu dari blogmedia yang dikelola Budi Putra, sedang dalam pembenahan untuk menemukan bentuk baru. Media semacam ini pernah aku cita2kan untuk aku kembangkan, di celah yang agak berbeda. Tetapi demi menjaga keseimbangan hidup di luar Internet (adakah?), aku harus realistis: banyak pernik Internet lain yang harus aku jaga :). Nah, Mas Budi punya pendekatan lain. Terpantau di Amigos, technoblogger profesional ini sempat mencari kontributor untuk memperkuat media ini. Wow, serius. Keseriusan juga tampak dari tampilan 3G Week, yang kini less personal dan more professional. Serius: ini keren. Visi untuk mengejar infoservice semacam Engadget dan Gizmodo, Insya Allâh, bisa terkejar. Orang Indonesia memang keren :).

3gweek.png

Hanya satu kritik: buzzworld datang dan pergi. Nama 3G sama rentannya dengan Web 2.0. Tak lama, dengan alasan komersial, nama seperti ini akan ditinggalkan dan terasa usang. Untuk iseng, barangkali Mas Budi sudah harus memesan domain 5Gweek. Sampai tulisan ini published, masih available. Atau perlu semacam lomba atau rapat untuk menamakan layanan keren ini, sebelum telanjur lebih ngetop lagi :).

Anonim

Sejauh kita tak suka pelabelan, dan tentu pengkategorian, sejauh itu juga kita tak suka segala yang selalu senada dan seragam, kan? Sip deh :). Kalimat macam ini aku tulis waktu kata blog belum ada di kepalaku, dan semua catatan masih diketik dengan ballpen di buku kecil (tentu semuanya private, jadi isinya lebih … hwahaha … shinting — kira-kira 32% dari Anda pasti punya kebiasaan yang sama). Trus aku memberikan contoh: pagi tadi aku lebih suka fisika daripada biologi (oh ya, aku masih di sekolah waktu nulis ini), dan ini tidak harus berlaku siang ini, waktu biologi terasa mendadak jauh lebih menarik daripada fisika. Jadi tidak mungkin aku dikategorikan sebagai penggemar fisika, misalnya. Atau kopi. Atau saat ini: blog.

Eh, tapi aku bukan mau nulis soal itu. Itu soal masa lalu :). Aku mau cerita soal Starbucks. Dan Starbucks berasosiasi dengan kehangatan persahabatan. Beribu maaf buat rekan2 di Starbucks: kalau soal kopi sih, banyak yang lebih enak :); tapi soal persahabatan memang Starbucks top. Masalahnya, tentu, kita kadang tidak memerlukan sahabat. Kita kadang hanya ingin menikmati kesendirian. Starbucks memang akan membiarkan kita menyendiri tanpa mengganggu, kalau kita tampak tak ingin diganggu. Tapi kadang itu belum cukup. Kadang kita betul2 tidak ingin dikenali. Ingin dianggap bukan sebuah personal. Hanya orang, atau bahkan hanya sesuatu yang lewat: tidak untuk dilihat, dipikirkan, diingat. Dan untuk kemewahan semacam ini, aku perlu sesuatu yang lain di luar Starbucks (kecuali kabur ke Starbucks di luar Bandung, haha).

Sebuah resto ikan sedap di Sukajadi: Pak Chi Met, dulu beberapa kali aku datangi, bareng Jeffrey (sekutuku yang ini, kayaknya jarang aku tulis di blog — kalau memang pernah). Recommended: santapan nyaman dan suasana sedap. Dan pada one fine night, Aa’ Pramusaji menyapaku: “Ini Bapak Kuncoro?” lalu mengulang dengan nama lengkapku. Bangga, ia menyebut bahwa mereka memang ditugasi mengenal para customer. Itu hampir dua tahun yang lalu. Sejak itu, aku nggak pernah balik lagi ke sana. Sebuah ruang besar, ruang publik, bukan ruang kecil bernada kamar seorang sohib. Di tempat semacam itu, dikenali sungguh jadi tak nyaman. Nggak gue banget.

Tukang menghafal lain aku temui di Landmark, Bandung. Tahun 1990an, aku pernah disuruh Mama beli water heater. Ini buat dipasang di rumah Mama. Aku cuman perlu milih, ninggalin alamat, bayar uang muka, selesai. Beberapa menit. Nah di pameran berikutnya (beberapa bulan kemudian), ada yang nawarin aku water heater lagi. Aku bilang sudah punya. Tapi dia menyanggah: “Dulu kan buat rumah Mamanya, Mas. Sekarang beli lagi, buat rumah Mas.” Aku terpaksa memelototi wajah si Mas itu untuk meyakinkan bahwa ini bener orang yang dulu menjualiku water heater. Tapi memoriku tak sebagus punya dia: aku nggak ingat sama sekali.

Barangkali memang aku terlalu aneh. Maksudku, barangkali memang wajar kalau orang ingin saling mengenal. Tak peduli bahwa satu bagian dari jiwaku terlalu menderita kalau terbuka ke orang lain (haha, pengakuan — itulah sebabnya blogging jadi sarana belajar berkomunikasi). Wajar, barangkali. Dan aku yang tak wajar, kalau sampai harus cari café lain untuk bersantai membaca buku tanpa ingin dikenali. Dan pindah lagi, waktu ada sebuah comment di blog ini, berisi statement seorang anonim lain, bahwa dia sering melihat aku di café pelarian itu :(.

Penutup: satu yang lucu dan nggak menyebalkan, biarpun mengkhawatirkan. Sempat balik ke Malang, aku pinjam motor teman buat bernostalgia keliling Malang. Termasuk nostalgia mengalami ban kempes di sekitar Klojen. Nuntun sebentar, di dekat Setiabudi aku ketemu tukang tambal ban, agak tua. Melihat ban kempes, dia langsung mengambil alih, dan bekerja. Sambil memegangi ban, ramah dia menyapa: “Sampèyan nang ‘ndi saiki, Mas?” Aku senyum aja. Tapi dia meneruskan, “Ndisik lak SMP Telu sé, Mas?” Hah, trus aku tanya dengan Bahasa Malang-ku yang sudah luntur: kok bisa ingat. I mean, itu belasan abad yang lalu. Trus dia jawab: “Lha mbiyèn lak ‘ben dina lèwat rél kaé.” Tapi itu lak mbiyèn, aku protes. Dan dia ketawa: “Lha sampèyan pancet koyo ngono.” Haha, kali ini aku nggak keberatan nggak anonim. Cuman khawatir. Sekacau itukah aku, jadi gampang diingat orang?

Undangan Undangan

Pesta Blogger 2007Ada beberapa undangan non-profesional (tak berkaitan dengan profesi, mmm, kecuali …) yang menarik (tapi menurut Newton, menarik juga berarti mendorong) beberapa hari ini. Yang pertama, tentulah Undangan Pesta Blogger 2007. Pesta yang sudah banyak diulas blog Indonesia ini dikirim oleh chairman Enda Nasution, dan sudah kubalas dengan tajuk CONFIRMED tanda keinsyaallahan hadir. Aku belum tahu apa yang enak disiapkan untuk pesta ini. Kalau melihat persiapan pesta yang cukup serius, aku yakin ini bukan sekedar kopdar skala besar. Kebetulan moodku juga lagi bukan mood ceria (secara keceriaan palsu itu lagi aku tanggalkan sementara ini). Hmm, atau aku bisa siapkan paper tentang roadshow interaksi sosial bergaya Web 2.7 (jembatan dari 2.0 ke 3.0) untuk memotivasi pendidikan masyarakat, transparansi sosial, pertumbuhan bisnis, dan … umh, mending ceria aja ah.

Undangan lain yang lebih yahud datang melalui SMS dari Mas Haryoko. Isinya tentang silaturrahim ISNET. Lokasi (kejutan) di Bandung, tepatnya di Wisma Mandiri; seminggu setelah Pesta Blogger. Mas Haryoko memancing dengan menyebut mantera “Revolusi Isnet” yang sejauh ini aku lihat sebagai cerminan rasa humor beliau yang luar biasa. Secara aku masih termasuk yang membaca nama ISNET sebagai SINERGI, dan bukan misalnya yayasan atau institusi, maka kalau kata Revolusi Isnet ini diseriusi, maka isinya harusnya revolusi dalam interaksi sosial yang senada dalam musik madani Isnetian. Tapi aku nggak akan mengeksplorasi lebih jauh. Enakan ditunggu tanggal mainnya. Dan sejauh ini, Mas Haryoko lebih sering membisu pada Hari H, memposisikan diri sebagai host atau panitia yang baik, mengabaikan posisinya di luar ISNET sebagai direktur sebuah bank keren.

Trus ada pra-undangan ke Surabaya, masih tentatif waktunya. Tapi yang ini rada profesional. Dan ada undangan untuk assessment tahap 2, kira2 seminggu sebelum Pesta Blogger. Temanya pembahasan Business Plan 2008. Mudah2an nggak mengganggu liburan :). Dan mudah2an aku nggak kekeuh memasukkan Internet 2.5 ke dalam pembahasan Business Plan 2008. Secara …

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑