Ini mirip serbuan mendadak. Syukurlah, untuk hal2 inti, kita selalu siap. Wachsamkeit ist der Preis der Freiheit, gitu ada di buku Papap entah tahun berapa. Tujuan serangan adalah Markas Kostrad.
Awal cerita adalah kerjasama IT (non komersial) antara Telkom dan Kostrad. Ujudnya berupa penyerahan bantuan komputer sekian unit. Dan kemudian pihak Kostrad meminta juga sebuah website untuk public display (bukan utilitas). Tentu yang kami siapkan adalah portal open source. Tim memutuskan menggunakan Joomla. Site kemudian kami siapkan dengan sebuah domain sementara. Dan minggu ini kami harus menyampaikan pelatihan mendadak ke Makostrad.
Kontak Yudha of KLuB, untuk urusan Joomla aku dianjurkan menculik Rolly, dan Rolly mengajak Daus. Tim dari Telkom sendiri aku, Sony BW, & Kokoh Kabul. Tim berangkat ke Jakarta Senin menjelang tengah malam. Pelatihan berlari dua hari di Makostrad, Medan Merdeka Timur. Host oleh Kapen Kostrad, Letkol Husni. Hari pertama (Selasa), training diisi dengan refreshing atas Internet, web, dan web Kostrad. Hari kedua (Rabu), training dibagi dalam track2, yaitu track teknis (instalasi Joomla, maintenance, dll), track content (pengisian content web Joomla), dan track info Internet untuk yang baru mulai memperdalam soal Internet. Kami beruntung, prajurit Kostrad memang prajurit pilihan. Jadi knowledge transfer berjalan cukup smooth dengan interaksi intens.
Foto di atas diambil pada penutupan pelatihan hari kedua. Jumlah peserta sudah tak sebanyak hari pertama yang mencapai satu ruang penuh. Foto2 lain disimpan di Flickr.
Selesai menduduki Makostrad selama 2 hari, pasukan ditarik mundur ke Bandung. Sempat mampir untuk celebration di Excelso café di Km-57.
Sebagai bagian dari acara WOCN 2008 awal Mei ini, panitia lokal dari ITS membawa kami dalam kunjungan sosial ke lokasi bencana semburan lumpur di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Perjalanan melalui tol langsung menemui realita visual yang tajam: jalan tol yang diputus paksa akibat kehancuran lingkungan di sana, rumah2 yang tampak tenggelam (kata penduduk, yang tampak itu adalah rumah tingkat — yang tak bertingkat tak tampak lagi), dan daerah ekonomi di luar tanggul yang juga sudah ditinggalkan (nampaknya pernah terkena luberan lumpur). Daerah yang terhancurkan mencapai kawasan di tiga kecamatan.
Info mengenai penyebab dan penanggulangan bencana lumpur porong ini dapat disimak cukup lengkap di Wikipedia versi Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia. Berlawanan dengan klaim berbagai kelompok ilmuwan dan satgas yang meneliti; pemerintah memutuskan bahwa peristiwa ini adalah bencana alam yang tak terkait dengan kegiatan Lapindo (salah satu perusahaan Bakrie); dan dengan demikian seluruh kerugian masyarakat dan lingkungan akan ditanggung dengan anggaran negara. Tidak perlu merasa bersalah: waktu kita memilih presiden dan wakil rakyat dulu, kita tidak tahu bahwa mereka perilakunya seperti itu.
Tanggal 29 Mei ini, genap dua tahun bencana semburan lumpur itu terjadi. Pun setelah dua tahun, semburan masih berlangsung, dan kadang masih bisa dahsyat. Informasi di Wikipedia masih terupdate hingga 25 Mei 2008.
Mengutip ujar penduduk setempat: “Mboten napa-napa. Gusti mboten saré.”
Ini joke lama yang aku ceritakan ke Abdoul Karim waktu kami sedang menyantap makan siang kami di suatu akhir pekan. Aku terjemahkan ya :).
“Bon appetit, Koen.” “Merci, Abdoul. Hei, dulu konon di sebuah hotel di suatu pagi, ada orang Perancis memberi salam ‘bon appetit’ kepada orang Arab. Si orang Arab mengira ditanyai namanya. Jadi dia jawab ‘Abbas Hassan’.” “Hahaha.” (Tertawa 1) “Belum selesai. Nah, siangnya mereka ketemu lagi waktu makan siang. Orang Perancis memberi salam lagi ‘bon appetit’, dan si Arab menjawab lagi ‘Abbas Hassan’. Tapi lalu dia curiga. Masa orang bertanya nama dua kali.” “Lalu?” “Ya, dia ke toko buku kecil di situ, cari kamus Perancis-Arab. Dan akhirnya tahu ‘bon appetit’ artinya ‘selamat menikmati’.” “Pintar.” “Ya, masalahnya di toko buku itu tidak ada kamus Arab-Perancis. Jadi dia tidak tahu harus menjawab apa.” “Lalu?” “Malamnya, si Arab berpikir mendahului memberi salam; biar dia tahu apa seharusnya jawabannya.” “Hahaha.” (Tertawa 2) “Jadi begitu ketemu si Perancis, dia menguluk salam dulu: ‘bon appetit’. Ugh, sialnya … si Perancis malah menjawab … ‘Abbas Hassan’.” “Kok gitu?” “Ya, dia pikir jawaban untuk ‘bon appetit’ versi orang Arab memang ‘Abbas Hassan’.” “Hahaha.” (Tertawa 3) “Tahu nggak, aku baca joke itu dari siapa?” “Siapa?” “Mr Wahid, presiden kami.” “Hahahahahahaha.” (Tertawa 4 dan panjang)
Ya, memang humor Mr Wahid itu multikultural dan bisa dinikmati orang berbagai dunia. Aku menikmati tulisan beliau sejak aku doyan baca kolom2 Abdurrahman Wahid di Tempo tahun 1980an. Budayawan yang cerdas, aku pikir waktu itu. Tapi politikus yang menyebalkan, dan presiden yang disastrous, aku pikir sekarang :).
Dalam rangka ingin menemui lagi Mr Wahid budayawan tersayang itu, aku datang ke pengajian Isnet lagi, di kediaman keluarga Motik, Menteng, Jumat malam — 8 jam setelah operasi mencabut geraham atas dan bawah.
Gusdur yang ini tidak mirip yang politikus. Ia berdamai dengan banyak pihak: Amien Rais, PAN, ahmadiyah, zionist. Perbaikan hanya bisa dilakukan dengan dialog, dia bilang. Kedekatannya pada kaum zionist diakuinya sebagai satu2nya langkah yang mungkin — kita loyo di kekuatan militer dan ekonomi, tetapi menginginkan adanya solusi. Maka sambil menerima penghargaan Simon Wiesenthal, ia juga mempertanyakan: mulai kapan Israel benar2 akan memulai demokrasi dan menghentikan diskriminasi rasialis.
Hal-hal yang sering kita dengar dari beliau juga diulangi. Misalnya bahwa pergerakan nasional didorong oleh orang2 Islam multialiran yang memiliki fundamental Islam dan nasionalisme. Juga hasil muktamar NU di Banjarmasin (sebelum kemerdekaan) bahwa cita2 yang dituju tidak berbentuk negara Islam. Sambil becanda, Gusdur juga bercerita bahwa menurut Hidayat Nur Wahid PKS itu bukan organisasi Islam, sementara menurut Tifatul Sembiring PKS itu organisasi Islam. Perbedaan fundamental dalam mendeskripsikan organisasi pun tidak membuat organisasi harus macet. Cuman mengenai soal PKB, Gusdur malah tegas. Kepemimpinan PKB dinilainya sudah berbau uang, dan harus dirombak total.
Ada beberapa halaman tulisanku tentang perbincangan malam itu. Mungkin aku save di tempat lain saja nantinya. Tapi yang aku cukup takjub adalah bahwa Gusdur betul2 demokrat budaya. Penanya boleh mengkritik dirinya cukup keras, termasuk menyebut bahwa Gusdur bukan presiden yang berhasil, serta menganjurkan Gusdur tidak maju lagi. Tapi ekspresi Gusdur tak berubah. Beliau tetap menjawab santun dan santai. Kadang selisih konteks juga sih :).
Terakhir, ada yang mau aku cuplik. Beliau menyebut kenapa komunikasi suka tak sampai. Bukan hanya soal salah konteks (eh, ini opini aku dink), tetapi terutama soal bahasa. Di Indonesia ada bahasa LSM/intelektual/mahasiswa, ada bahasa birokrat, dan ada bahasa rakyat. Ketiga bahasa itu belum menyatu. Hey, bahasa blogger di mana? Kayaknya di yang pertama ya. Pantas, sulit sekali memasyarakatkan blogger :)
Seperti gaya Gusdur yang berhenti bicara waktu pingin berhenti. Aku juga berhenti menulis waktu pingin berhenti. Mudah2an Gusdur tetap jadi Bapak Bangsa, dan tidak jadi presiden lagi :). Tentu yang terakhir ini juga diharapkan untuk Bu Mega dan Oom SBY. Kita pingin orang baru, bersemangat baru, lepas dari klik-klik lama.
Malam minggu ini digunakan untuk menikmati performance dari Nusantara Symphony Orchestra di Balai Sarbini (Jakarta). Di bawah judul Heart and Passion, orkestra yang diketuai Miranda S Goeltom, serta dipimpin conductor-nya oleh Hikotaro Yazaki ini menampilkan Simfoni Kelima dari Beethoven dan cuplikan opera Carmen dari Bizet. Orkestra dikonduktori langsung oleh Hikotaro Yazaki (yang ternyata apprentice dari Seiji Ozawa).
Simfoni kelima barangkali adalah simfoni Beethoven yang paling terkenal. Dulu digunakan untuk menunjukkan “motif” dalam musik (dan kemudian dianut secara fanatik oleh Wagner). Motif empat nadanya ini langsung terpapar dari birama awal, berulang, dan berulang, kemudian bervariasi, dan memaksa kita terus mencari, sambil riang; sambil tersentuh, entah oleh bagian mananya. Aksen2 dipaparkan dengan kontral antara nada keras, nada lembut, dan disonansi. Ya, simfoni kelima ini juga termasuk pelopor disonansi dalam musik klasik. Konon ini menceritakan tentang suatu malapetaka dahsyat yang tertanggulangi dengan tekat membaja dan kekuatan hati yang mengagumkan.
Carmen juga masterpiece dari Bizet. Baru malam ini aku menseriusi opera Bizet (biasanya aku memilih yang versi nada tanpa kata saja). Dan baru baca ceritanya juga. Dibawakan dalam bahasa Perancis, Carmen menceritakan wanita petualang gipsi di Sevilla (Spanyol) yang terlibat cinta segitiga dengan serdadu Don Jose dan matador Escamillo. Gaya bernyanyi tokoh Carmen tentu harus dibuat urakan, dan baru melembut saat2 akhir, sebelum Jose membunuhnya, saat Escamillo tengah bertarung melawan seekor banteng. Vokal dibawakan oleh Sarah Sweeting sebagai Carmen, Aning Katamsi sebacai Micaela (tunangan Jose), Ndaru Darsono sebagai Jose, dan Harland Hutabarat sebagai Escamillo. Selain tentu harus kagum pada Sarah dan Aning, aku juga kagum pada suara Escamillo dari Harland. Hmm, dalam opera2 Nibelung, yang satu ini akan pantas jadi Hagen atau Alberich.
Ruang tertutup ini menarik juga untuk menyegarkan pikiran, plus menambah semangat; untuk kembali ke perjuangan di luar sana. Yuk.
Hari2 ini, aku jadi sering harus main2 dengan SMS gateway, dan bikin aplikasi web mini dengan itu. Tentu dengan PHP dan MySQL lagi. Dan sebenernya aku ragu, apa scripting dengan PHP masih bisa kita anggap bagian dari programming, seperti zaman kita dulu masih boleh sering2 main2 dengan C++. Batasnya “etika”-nya apa sih? :) Aku selalu berpikir bahwa programming harus agak mengandung hacking, dengan meletakkan kreativitas personal ke dalam kode; yang membuat program ciptaan seorang programmer jadi suatu yang akan berbeda dengan program programmer lain. Atau mungkin aku — seperti biasa — salah menggunakan istilah lagi :).
Dengan bahasa C, aku pernah membandingkan deret untuk menghitung nilai e dan π. Tentu bilangan natural e melejit lebih cepat ke nilai asimptotiknya. Soalnya aku waktu itu cuma menghitung π sebagai arc tan 1 yang dideretkan sebagai 1 – 1/3 + 1/5 – 1/7 + 1/9 dst. Padahal mungkin programmer lain bisa lebih cepat dengan menggunakan π3/32 = 1 – 1/33 + 1/53 – 1/73 + 1/93 dst.
π3/32 diambil dari π3/(16*2!). Dan ini bisa dilanjutkan ke pangkat ganjil yang lain. Jadi:
Deret angka 1, 1, 5, 61, 1385, 50521, 2702765, 199360981, 19391512145, dan seterusnya itu disebut dengan bilangan-bilangan Euler (Euler numbers). Dia berasal dari sesuatu yang disebut permutasi zigzag. Permutasi zigzag itu kemungkinan kita menderetkan n bilangan p yang berbeda, dengan p1 < p2 > p3 < p4 > dst sampai bilangan n. Dengan kata lain, pi < pi+1 jika i ganjil, dan pi > pi+1 jika i genap. Bolak balik. Zigzag. Untuk n=0, 1, dan 2, tentu hanya ada satu kemungkinan; untuk n=3 ada 2 kemungkinan; untuk n=4 ada 5 kemungkinan; lalu 16, 61, 272, 1385, dan seterusnya. Nah, kita ambil yang genap saja untuk bilangan Euler kita.
Tapi apa kaitannya permutasi ini, dengan Euler, dengan arc tan, dengan π? Nah, itulah asyiknya kalau weekend tidak harus dihabiskan untuk urusan kantor. Jadi ada yang bisa dimainin :)
Sementara itu,
π2/6 = 1 + 1/22 + 1/32 + 1/42 + 1/52 … dan kita bisa memasuki cerita lain …
Melewati malam insomnix lagi :), pagi dimulai dengan membuka mail. Ada satu dari Technorati: surat pembebasan. Blog kun.co.ro yang sempat diskors Technorati selama beberapa bulan, mulai hari ini sudah boleh beredar lagi di sana. Aku jadi bisa lagi melihat2 blog yang melink ke tulisan2 di sini. Syukurlah tak banyak (dalam arti: jadi tak banyak waktu yang aku pakai untuk melihat2). Rank juga agak turun.
Lalu secangkir kopi. Kali ini mencoba mengenal negeri tetangga dengan mencicipi kopi Thailand. Cukup keras, mengingatkan pada kopi2 Sumatra. Mmm, kenapa ya, kopi Sumatra umumnya keras: Gayo, Sidikalang, Siborong2, Baturaja, Lampung — bikin addicted. Trus punya ide jail: bikin pop corn.
Membuat Pop Corn. Alat & Bahan: Segenggam jagung kering siap dipopcornkan, minyak zaitun, wajan & penutupnya + kompor, serta MP3 La Marseillaise (mudah didownload gratis). Cara membuat: (1) Letakkan wajan di atas kompor, dan tuang minyak zaitun 30cc. (2) Isi dengan biji jagung, dan pastikan semua jagung tenggelam, lalu tutup wajan. (3) Pasang MP3 La Marseillaise cukup keras, dan nyalakan kompor pada posisi api sedang. (4) Nikmati musik mars dengan serentetan jagung yang mulai meledak, sambil membayangkan pasukan Napoleon berperang melawan Stalin (ya, sekedar dalam bayangan, nggak papa lah). (5) Saat suara tembakan berakhir, matikan kompor, biarpun barangkali La Marseillaise belum selesai. Pop corn gosong kurang asik, dan LPG lagi langka. (6) Nikmati pop corn tanpa garam beraroma minyak zaitun sambil menyelesaikan La Marseillaise.
Sambil menyelesaikan La Marseillaise, aku jadi ingat bahwa mars kebangsaan Perancis ini pernah diadopsi. Bukan saja diadopsi oleh Czaikovsky dalam 1812 (atau Dari Sabang Sampai Merauke), tetapi betul2 diadopsi sebagai sebuah lagu kebangsaan oleh Kaum Bolshevik Russia di bawah Lenin. Ya, La Marseillaise dan juga L’Internationale. Tapi tak lama, L’Internationale lebih sering digunakan, dan diadopsi jadi lagu kebangsaan Uni Soviet. Untuk catatan, lirik L’Internationale dirancang untuk dinyanyikan dengan irama dari La Marseillaise juga, sebelum ia akhirnya punya irama sendiri.
Urusan lagu kebangsaan, bangsa Russia punya cerita yang rada unik. Di zaman tsar, negeri Russia pernah menggunakan lagu kebangsaan Tsarya Khrani. Ini adalah terjemahan Russia versi tsar, atas God Save The King dari Inggris. Waktu kaum Bolshevik merebut kekuasaan, mereka mengadopsi Internationale menjadi lagu kebangsaan, yang juga terjemahan Russia atas L’Internationale. Nah, waktu Stalin menggantikan Lenin, dan kemudian jadi diktator, ia merasa Internationale tak lagi sevisi dengannya. Selain ia sibuk melakukan Russianisasi, ia juga khawatir rakyat terdorong berontak kepada Stalin gara2 lagu Internationale, haha. Maka ia mempermaklumkan perlunya mengganti lagu kebangsaan. Dengan kisah yang agak panjang, akhirnya tersusunlah Himne Uni Soviet (Gimn Sovyetskogo Soyuza) pada tahun 1944, dengan musik dari Alexandrov dan lirik dari Mikhalkov dan El-Registan. Stalin sempat mengedit kata2 dalam lagu ini juga. Jadi ada nama Stalin segala di dalam lirik lagu. Duh. Namun diakui, tanpa melihat liriknya, musiknya indah :).
Tapi lalu Stalin tumbang, dan pemujaan atas Stalin dalam lagu kebangsaan dirasa kurang pas. Maka, sejak masa Khrushchev, lagu kebangsaan Soviet dibiarkan dalam bentuk musik saja, tanpa kata2. Ini berlangsung sekitar 20 tahun. Di tahun 1971, Mikhalkov — yang ternyata masih hidup — menulis ulang lirik lagu itu, dan mengajukan usulan. Tapi birokrasi negara komunis adalah yang paling menyebalkan di atas muka bumi. Jadi revisi Mikhalkov baru diresmikan tahun 1977. Dan jadilah Soviet punya lagu kebangsaan yang terkenal itu. Terkenal karena … sering dinyanyikan saat penyerahan medali emas di Olimpiade — orang Soviet masa itu gemar memborong medali. Tentu kita di Indonesia tak terlalu mengenalnya. Di zaman kejayaan Soviet itu, di Indonesia cuma ada TVRI, yang hanya secuplik2 menyiarkan warta luar negeri, dan lebih banyak menampilkan muka Ali Murtopo dan kemudian Harmoko.
Dan kita tahu, lalu giliran Soviet yang tumbang, di masa akhir pemerintahan Gorbachev. Russia, di bawah Presiden Yeltsin menggunakan lagu kebangsaan baru sejak 1991, dengan musik dari Glinka. Tanpa kata2. Juga, di masa itu, kontingen CIS di Olimpiade menggunakan simfoni Beethoven, untuk menunjukkan bahwa mereka tak lagi selalu berwarna Russia. Ini berlangsung sampai Yeltsin digantikan Putin. Saat baru menjabat, Putin menyatakan keprihatinannya bahwa atlit Russia di Olimpiade tampak tak bersemangat dengan hanya mendengarkan musik lagu kebangsaan. Lalu ia menyatakan bahwa Russia perlu lagu kebangsaan baru, yang memiliki kata2. Dari banyak usulan, salah satu yang masuk adalah untuk mengadopsi musik Himne Uni Soviet, dengan lirik yang diperbaharui. Mengabaikan banyak kritik, Putin menyetujui usulan ini. Lalu ia membuat maklumat yang mengajak rakyat membuat lirik lagu kebangsaan. Dan percaya atau tidak, Pak tua Mikhalkovlah — yang ternyata masih hidup juga — yang merevisi lagi lirik lagunya, lalu mengajukannya ke Putin. Dan Putin menerimanya. Pun perlu ada revisi beberapa kali. Tadinya negeri digambarkan bernaung di bawah sayap elang (lambang negara), kemudian diganti menjadi negeri yang diberkati Tuhan. Maka jadilah Himne Russia (Gosudarstvenny Gimn Rossiyskoy Federatsii) yang sekarang. Masih indah.
Dan pop corn sudah habis. Masih ada setengah cangkir kopi Thailand.
Mei. 1. Hari Buruh. 2. Hari Pendidikan. 3. Hari Kebebasan Pers. Dan seterusnya.
Mei ini juga 100 tahun Kebangkitan Nasional. Tentu, Boedi Oetomo memang sekedar simbol suatu kebangkitan., tapi bangsa pun hanyalah sebuah simbol untuk perjanjian dalam masyarakat untuk bersama menuju kemuliaan. Banyak pihak lebih suka mensikapi 100 tahun Kebangkitan Nasional ini dengan gerakan-gerakan masyarakat yang sifatnya non dan anti komersialisme. Komersialisme dianggap penjajahan baru yang bisa malah lebih jahat daripada kolonialis masa lalu. Pencitraan komersial atas kesyahduan ini malah dianggap kitsch.
Mei ini juga peringatan 10 tahun tumbangnya Soeharto. Soeharto dulu secara licik mempertahankan kedudukan dengan menjaga adanya ketegangan antar kelompok, dengan hanya dirinya dan kelompoknya yang bisa jadi penengah, dan demikian penguasa. Untuk menunjukkan itu, klan2 Soeharto secara besar2an memicu ketegangan antar kelompok yang berujung kesadisan massal di Jakarta, dan sedikit kota lain, sehingga seolah2 negeri mau hancur. Mirip trik Soeharto zaman G30S, waktu ketegangan Jakarta dianggap identik dengan status darurat nasional yang memerlukan pergantian kepemimpinan nasional. Bedanya, rakyat tak sebodoh dulu. Dan Soeharto tetap harus tumbang terhina. Pun trik pecah belahnya malah terus dijalankan hingga tahun2 awal abad ke-21 ini.
Tapi peringatan itu cuman peringatan. Hidup, dan perjuangan, harus jalan secara cerdas dan rasional, bukan emosional. Mei juga menyibukkan kita, selain urusan peringatan2 itu. Blog nasional yang sudah makin berwarna warni (I love it) menggambarkan perhatian berbagai warna atas segala peristiwa di negeri ini. Ada yang sibuk dengan kedatangan Gates, ada yang justru sibuk mempersiapkan FOSS summit. Ada yang masih setia memelihara lingkungan, mengingatkan pada global warming, dan urusan sampah. Ada yang menunjukkan pentingnya politikus non-partai dalam memakmurkan wilayah dan negeri. Ada yang makin prihatin pada kekonyolan pemerintah (yang cukup baik hati dengan menawarkan deposito berbunga 30% per bulan dalam bentuk timbunan BBM). Ada yang berfokus pada makin gentingnya soal pendidikan di negeri ini. Dan karena itu blog jadi lebih berwarna daripada media konvensional. Blog bisa tetap fokus menatap satu hal, serta sah meninggalkan hal lain (bukan kurang perhatian, tapi kan ada blogger lain yang sudah membahas).
Aku sendiri, sayangnya, malah tak blogging sebanyak biasanya. Sedang punya terlalu banyak pekerjaan harian, yang sama menderunya dengan mesin-mesin ide para blogger nasional. Menderu kencang untuk bersama jutaan umat lain membuat roda dunia tetap berputar, memadukan keringat kaum pekerja dengan ide-ide cemerlang para intelektual. Dan turut mewarnai Mei dengan aneka warna cerianya.
Aku masuk Surabaya di sebuah malam berbintik gerimis yang beresok Senin. Duh, bahasanya nggak aku banget :). Itu malam menginap di Hotel Naruto dengan Internet yang padam. Seninnya persiapan WOCN, sementara tutorial di ITS. Siang itu ada city tour dan kunjungan sosial, termasuk ke House of Sampoerna dan ke lokasi Lumpur Bakrie Sidoarjo. Trus pindah ke Hotel Hyatt. Lain kali deh ini diceritakan lebih panjang.
Hari ini, WOCN 2008 (Wireless & Optical Communications Network Conference) dibuka, berlokasi di Hyatt Regency. Mewakili IEEE Comsoc Indonesia Chapter, dan sebagai pihak yang paling tidak sibuk, aku diperankan sebagai pembawa acara sesi pembuka ini, memperkenalkan pembicara, menyampaikan skema & jadwal, dll. Pembukaan oleh Rektor ITS, Prof Priyo Suprobo. Opening remark dari IEEE Communications Society, Dr Guy Omidyar. Keynote speaking oleh Dr Gamantyo Hendrantoro (ITS), Mr Husni Amani (ITT, Rektor), Mrs Koesmarihati Soegondo (BRTI). Materi keynote speaking akan aku pasang di web IEEE Comsoc (Indonesia chapter).
Kemudian conference displit menjadi dua. Track 1 untuk optical communications, dan track 2 untuk wireless & mobile communications. Setiap sesi membahas 4-5 paper. Di sesi 1, aku jadi session chair bersama Dr Achmad Affandi (ITS). Papernya membahas VPN over Satellite, integrasi WLAN dan WiMAX, optimasi protokol MAC pada WLAN, serta konvergensi voice, video, data di WLAN dengan QoS. Tentu dalam bahasa Inggris dialek aneka bangsa. Pusing? Nggak sepusing mereka yang harus mendengarkan pronounciation Inggrisku yang berdialek kutub selatan (yaa, agak2 sedikit mirip pinguin, gitulah). Eh, masa sih semua paper harus ditulis judulnya? Gile kali ye. Ya, pokoknya gitu lah. Ada CD dari IEEE yang katanya berisi proceeding. Tapi jangan harap diupload di web ya. Satu CD gitu loh. Para peminat bisa … ah, nanti kita pikirin.
Break, tentu diisi dengan networking; baik antar institusi maupun antar bangsa. Sorenya ada acara panel sessions. Temanya tentang eksplorasi dunia 4G, serta tentang inovasi2 saat ini. Optical switch misalnya. Haha, agak lama juga nggak lihat yang macam optical switch gini. Perlu nih sesekali menyentuh hal semacam ini lagi.
Malam, semestinya ada banquet dinner. Tapi aku malah kabur :). Ceritanya aku melaporkan kehadiranku di Wilayah Telkom Divisi Regional V ini ke Big Boss of the Division, Mr Mas’ud Khamid (ternyata beliau pernah jadi anggota IEEE juga). Dan alhasil beliau menculikku. Malam ini kami melakukan city tour ke wilayah2 baru & potensial, dengan beliau sebagai personal guide. Lengkap dengan sharing tentang best practice beliau sebagai leader di Divisi tersukses di Telkom ini. Perbincangan diakhiri dengan sesi sea food yang juga menantang.
Besok conference masih berlangsung. Dan sorenya aku akan balik ke Bandung. Seperti biasa, Surabaya memang memperkaya pengalaman profesional. Matur nuwun, Suroboyo.
Internet 2.0, 3.0, 4.0. Apa yang lalu sudah berubah pada kita? Google, Wikipedia, dan segalanya membuat kita mendadak jadi ingat informasi2 penting — kalau ingat didefinisikan sebagai berhasilnya menampilkan suatu fakta ke layar kesadaran. Info 2.0 (saling comment antar dan dalam blog serta social network) membuat kita mendadak bijak: melihat berbagai hal dari sisi yang berbeda, secara hidup, yang tak mudah diperoleh hanya dengan membaca media mainstream. Ide2 liar pengganggu stabilitas mewarnai wacana kita, membuat kita lebih kreatif dan bijak menyiapkan diri menghadapi masa depan. Dan Internet masih juga tumbuh, dan masih juga berubah.
Ukuran komunikasi Internet sudah mulai dapat dibandingkan dengan otak manusia, yang memiliki titik komunikasi (alih logika) berupa korteks. Komunikasi korteks sendiri tak intensif: hanya 1 dalam 100 dari neron dalam kolom vertikal berdiameter 1mm, dan hanya 1 per sejuta untuk neron yang mulai berjarak. Tingkat komputasi yang sungguh rendah, tetapi sudah cukup untuk membuat otak bekerja sejauh yang kita tahu. Dengan kejarangan semacam ini, analogi bandwidthnya diperkirakan 1 Tb/s; kira2 sama dengan bandwidth backbone Internet saat ini.
Memori korteks cukup besar. Kira2 ada 109 sinapsis antar neron2 setiap 1mm2 korteks, atau total 1011 sinapsis seluruhnya, atau kira2 (sangat kira2) 1015 bit data tersimpan. Masih sangat kira2 mirip juga dengan total data yang tersimpan di Internet (dan bisa disimpan serta diolah oleh Google misalnya). Sebentar lagi Internet bisa melampaui kapasitas sebuah otak. Bedanya, cara kerja otak masih misterius dan belum sepenuhnya diketahui — syukurlah :). Para ilmuwan tengah menyelidiki, termasuk melalui pengamatan terhadap kelainan2, misalnya kepada orang2 sinestesis (yang mengalami persilangan sensasi, seperti mendengar warna, melihat suara, dll). Juga turut diamati frekuensi kerja otak makhluk2 yang diperkirakan memiliki kesadaran, serta kecepatan koneksi korteks yang masih dianggap luar biasa (berjalan di atas sel hayati dengan kerapatan biasa2 itu), melintas banyak sel dengan sinkronisasi yang menarik.
Internet yang tumbuh melebihi prediksi para penciptanya pun meninggalkan perasaan luar biasa seperti itu. Dengan routing terdesentralisasi (menentukan rute terbaik masing2 seusai kondisi trafik masing2), secara keseluruhan ia malah lebih kokoh dibandingkan komunikasi data terkelola yang ada sebelumnya. Dan ini menimbulkan pertanyaan menarik: apakah akhirnya Internet akan memiliki kesadaran?
Jawaban untuk pertanyaan itu bisa teknis dan bisa filosofis. Dan mengingatkanku pada sesuatu yang mengganjal pikiranku waktu masih balita (dan beberapa kali disinggung di sini). Dari mana kesadaran (bahasa aku waktu itu: keakuan) yang ini tiba2 datang ke badan (atau kemudian: otak) yang ini. Darimana kita bisa yakin (selain dengan asumsi dan prasangka baik) bahwa manusia lain juga punya kesadaran semacam ini? Dan sampai mana ini bisa kita teruskan ke makhluk non manusia? Pertanyaan tentang kesadaran pada Internet bisa ditembak dengan asumsi yang sama. Internet nampaknya memang sudah memiliki kesadaran.