Author: Koen (Page 16 of 87)
Salah satu yang aku presentasikan di ITT bulan lalu adalah berbagai platform pengembangan aplikasi mobile saat ini. Perangkat mobile sudah melekat di manusia, bahkan di usia dini (duh, dini lagi). Dan, mengikuti trend, ke depannya ini akan lebih parah :). Saat kita menyebut three-screen, sekarang kita menomorsatukan mobile, baru diikuti komputer dan televisi. Share atas platform smartphone aku ulas bulan lalu di koen.blog.plasa.com. Untuk sales, Symbian (Nokia cs) memimpin dengan share 47%. Namun untuk Internet usage, Apple memimpin dengan share 65%. Kesannya, user iPhone kecil tetapi Internet-savvy; sementara user Nokia banyak tetapi masih sibuk di telefon dan SMS.
Tapi Nokia berminat membalik anggapan itu. Bersamaan dengan HUT Wagner (26 Mei), Nokia meluncurkan kembali Ovi Store; bersanding dan bersaing dengan Apple Store. Beralamat di store.ovi.com, Ovi Store memulai apa yang jadi salah satu titik kuat iPhone: content & aplikasi dari developer bebas, yang ditransaksikan lebih leluasa. Ovi Store dapat diakses dari komputer, memungkinkan kita melakukan download aplikasi dan sinkronisasi ke smartphone. Tapi yang menarik tentu download langsung dari smart phone, baik melalui browser ataupun client Ovi Store yang disediakan khusus.
Smartphone masa kini umumnya telah menyediakan akses WiFi, selain 3G-mobile standard. Dipadukan dengan makin banyaknya titik hotspot yang disediakan di tempat umum (dari rumah, kos, kantor, mall, dan crowd-centre lainnya), ini meleluasakan kita menjelajah mencari aplikasi yang menarik, menginstalasi di tempat sesuai keperluan, dan langsung menjalankan. Aplikasi pertama yang aku instal (setelah client Ovi Store-nya sendiri), adalah Facebook :). Duh. Sekarang masih cari client untuk WordPress-blogging dan Twitter. Aplikasi informasi juga tampak menarik untuk dicobai. Games juga, wow banyak. Install aja banyak2. Mumpung space di Nokia 5800 masih luas. Dan aplikasi masih seluruhnya gratis dari Indonesia sini (nantinya nggak gratis lagi sih).
Untuk para developer, tentu ini jadi peluang satu lagi untuk mengkomersialkan aplikasinya. Satu frame terbuka, dengan cara pemasaran yang lebih mudah (biarpun sementara ini di Indonesia masih gratis), untuk platform dengan jumlah user yang besar; baik di Indonesia maupun di dunia — dan dengan tingkat penetrasi aplikasi yang masih rendah. Keliling di ITB, ITS, dan terakhir di ITT itu, aku sempat melihat banyak aplikasi dan content luar biasa yang bisa mulai dikembangkan secara komersial. Sayang kalau dibiarkan jadi hobby saja; sementara ini bisa dipakai untuk menarik dollar dari luar sana. Bisa dimulai di publish.ovi.com.
BTW, kita bunuh SMS yuk. Ada yang mau bikin aplikasi penggantinya?
It’s 4 o’clock sharp. Setelah mendadak si alat bantu pelelap berhenti berfungsi, aku menemui pikiranku tersesat di simpangan rimbawi. Bukan labirin, yang digital dan/atau borgesian (huss), tetapi sesuatu yang rimbun, dengan hanya sedikit celah, acak menyesak, tapi … kesalnya … berpola. Berawal dari A5 (tokoh2 dalam entry ini akan dikodekan sebagai A1, A2, dst), tapi aku akan memulai tulisan ini dari A1.
Pernah si A1 yang rada sok teu abis itu memamerkan kelemahan manusiawinya. Sebel: cowok kok curhat, haha. Aku nggak bisa menghadapi dia yang berbeda; biarpun aku biasanya cukup mudah beradaptasi memahami perubahan manusia. aku cuman bilang ‘hey, trust to the global plan‘ :). Duh, gwbgt. Dengan pola pikir yang selalu mendukung multiframe dan keberagaman diskursus, dengan kesinisan hidup sisifiusian dan reinterpretasi terusmenerus (andai kata ini boleh tersambung seperti ini) derridean, atau kepragmatikan akut model para engineer yang mengabdi keanekaragaman requirement para manusia; aku masih selalu — diam2 tapi pasti — melihat hidup tetap sebagai sebuah kisah. Tunggal — tapi terlalu sakral untuk pernah diinterpretasikan secara tunggal, apalagi statik. Boleh dibilang tak berdasar; tapi aku rasa itu pikiran yang terlanjur ada dari hasil pendidikan sejak usia dini (I mean it); dan terlalu gwbgt untuk ditinggalkan — pun pada saat di mana aku diam2 menyengiri narasi2 besar.
Lalu A2. Makhluk sok teu juga. Uh, kami para cowok memang umumnya sok teu — itu penyakit turunan dan menular. Saat dia sedang down, aku malah menemani (via sebuah IM) dengan bercerita bagaimana kita menikmati … misalnya … sebuah pola warna. Pola yang sama bisa membuat berpikir tentang si pola sendiri (misalnya lukisan), tentang sebuah komposisi (Biru plus oranye ternyata ok juga. Eh, kalau ungu dan hijau muda gimana?), tentang frame kita sendiri (Hahh, ternyata cuman kegelisahan ala Mime yang dipadu semangat ), atau hal2 yang lebih luar biasa (Eh, pisang goreng jam segini kayaknya enak. Jarang loh akhir2 ini kita lihat pisang goreng di kantor). Semua dari satu pola saja. Contoh lain adalah pola si A3 masa itu: menikmati humor tidak dengan tertawa tetapi dengan membayangkan proses kognitif yang membentuknya.
Di salah satu simpang rimbawi tadi, aku mendadak ingat bahwa kapasitas informasi otak manusia terbatas. Tapi kenapa kita bisa ingat banyak fragmen hidup kita, dari yang dekat (ekspresi A4 waktu bilang mukaku lelah) dan jauh (senyum ceria A5 waktu aku iseng melungsuri mesin cuci — dan aku baru sadar itu senyum serendipity — seperti aku baru melihatnya sehingga berhak mempersepsikannya sekarang). Aku tapi terus menggugat: itu bener2 sebuah fragmen video, atau cuman beberapa frame foto statik beresolusi rendah, dengan voice yang merupakan gabungan optimal (agak, tapi tak terlalu optimal) antara vektor (kata2 dan susunan nada) dan bitmap (voice itu sendiri). Tersimpan terpisah dan holografis, mereka menggabung teranimasi ke dalam halaman depan pikiran, seolah2 frame nyata. Padahal bisa salah. Dengan nada yang sama, kita bisa merekonstruksikan hal2 masa lalu tapi dengan pilihan kata yang salah (karena terambil dari database kamus, ensiklopedia, atau tesaurus kontekstual otak kita), atau dengan konteks yang salah, haha :).
Dan aku pikir mungkin itu terpicu tokoh A6. Tokoh yang aku baru kenal tiga puluhan jam yang lalu ini — nyaris tanpa talk selain meminjam kindle dan mengucap salam perpisahan — segera terlink kembali oleh sebuah foto di facebook (Suatu hari, kata2 seperti google, kindle, facebook menjadi kata benda biasa, dan harus ditulis tanpa huruf besar). Kunjungan ke blog (alamatnya di facebook itu juga — dan loc masih Glasgow), membuatku menemui sederetan teks yang aku cerna di tengah pikiran pragmatik bisnistik metropolitantik di dalam taksi melintas Kuningan (antara Bakrie dan KPK — kapan mereka merger ya, misalnya yang pertama diakuisisi oleh yang kedua). Lucu, deretan kata bergaya kematian surealistik itu, membuatku terhenyak. Bukan semacam hal yang menyangkut kematian itu, atau hal2 yang bersifat kognitif. Tapi aku mendadak merasa deretan kata2 yang teresapi secepat menyesap macchiato-latte itu memojokkanku sekali. Dan artinya adalah melempar jauh, tapi hanya di ruang siku yang terbatas dinding. Nafasku berhenti bukan oleh hentakan pikiran simbolik, tapi oleh perasaan terlempar. Sesak. Tapi mungkin karena aku lupa sarapan juga *gubrak*. Dan saat impresiku kutulis seperti itu, reaksi sang penulis adalah mengirimiku sebuah teks dari novel yang belum selesai.
Eh, ini tanggal 10 apa 11 sih?
11.

Aku ngantuk lagi. Sebentar lagi deh. Di abad ke 20 para penulis menggugat dan menertawai narasi2 besar. Tapi karya mereka toh masih mensiratkan frame latar yang lebih kurang berfungsi semacam itu. Dan aku yakin mereka tahu itu. Tapi belum selesai membaca teks belum selesai ini membuatku harus mengepas frame beberapa kali di setiap halamannya. Mungkin karena memang aku sengaja tak membacanya runut. Tapi aku membaca Camus, Foucault, Borges, dan Wall :) juga tak runut. Aku belum tahu apakah ini sebuah pujian untuk teks itu. Gimana kedengerannya misalnya: “Gilé, kopi lœ nyetrum amat. Pusingnya ampé pagi.” — pujian atau makian? Tergantung intensi saat kita membuat kopi juga sih: untuk dinimkati secara halus atau untuk … nyetrum. Semacam itu lah.
Aku akan meneruskan baca di jalan nanti. Sekarang aku harus meneruskan istirahat. Itu yang aku bilang pragmatik: pikiran dipaksa berhibernasi, karena besok pagi bisnis untuk membangun negeri ini masih menanti.
z z z z z
Uh, tapi trus jadi ingat si A3 lagi. Waktu lagi galau, dia malah tanya, “Dari mana sih asalnya gravitasi?” Hah, mestinya entry ini dijuduli “Curhat para cowok.” Tapi aku bobo dulu ah.
Aku menjalani Hari Pendidikan Nasional di Politeknik Telkom, Bandung, 2 Mei lalu, sambil memperkenalkan beberapa aplikasi pendidikan. Tapi, mumpung lagi di Dayeuhkolot — sarang Mr Ary Murti, maka sekalian kita bikin acara koordinasi IEEE Comsoc Indonesia Chapter (aku harus bikin singkatan untuk chapter ini, kayaknya); sekaligus mini reuni TE Unibraw antar angkatan. Di tengah koordinasi merangkap reuni itu, beberapa mahasiswi ITT menginterupsi, minta aku memberikan Kuliah Umum tentang Mobile Content. Sungkan menolak di depan Mas Ary, aku iyakan saja (haha, dan itulah alasan sesungguhnya).
Institusi pendidikan di Bandung itu agak lucu. UPI jadi contoh yang lucu, tentu saja. Tapi ITT juga. Sore itu aku dapat SMS: “Berapa kira-kira biaya pembicara, termasuk transportasi dan akomodasi.” Halah, kayak ini event komersial aja :). Aku jawab aja: “Sila mengajukan surat permintaan ke Telkom; jadi urusan honor, transportasi, dan akomodasi ditanggung Telkom — kan sesama penyandang nama Telkom. Plus saya jadi nggak harus cuti.” Hi-hi :).
Seminarnya akhirnya berlangsung tanggal 19 Mei lalu. Tepat di tengah salah satu minggu paling sibuk tahun ini. Tanggal 19 itu kebetulan ada 3 acara, dan semuanya di Bandung. Penyelenggaranya adalah Fakultas Informatika ITT (sudah jadi fakultas sekarang, dengan dekan yang masih sangat muda: Mr Fazmah Arif), dan acara itu adalah bagian dari Temu Keluarga Informatika (TKI) ITT, di samping beberapa acara lain seperti pameran.
Materinya cukup panjang. Beberapa menit awal bercerita tentang mobile phone dan teknologinya. Kemudian melompat ke depan — ke masa mereka lulus atau nanti menulis skripsi. Tentu cukup sering juga ditulis di blog ini: NGMS, context-awareness, pervasive mobile communication. Kemudian balik ke masa kini: membandingkan platform operasi dan pengembangan smartphone (Symbian, RIM, Apple, WM, dll, dll). Pertanyaan dari mahasiswa meliputi soal regulasi dan konsumen, teknologi (OFDMA), Mobile 2.0, plus aspek sosial. Wuah, komplit nie. Keren.
Selesai seminar, aku menikmati pameran. Hey, sia2 aku bikin materi seminar. Aplikasi2 dari mahasiswa itu keren2. Buat apa diceramahi lagi, coba? Ada beberapa yang aku pikir bisa mulai diangkat atau diagregasikan jadi sebuah bisnis. Kelihatannya harus ada kunjungan lebih lanjut ke ITT :).
Perjalanan diteruskan ke Japati (uh, lapar). Mr Widi jadi speaker, dengan moderator Mr Prama; menyajikan arah pengembangan content & application ke para stakeholder. Dilanjutkan (dengan jeda sesi mi kocok) dengan meeting tentang [eh, kalau ditulis terus temanya, melanggar rahasia perusahaan nggak sih?] sampai gelap menyelimuti angkasa Bandung.
Hari kedua di Bandung, masih di Japati, Mr Widi jadi speaker, dengan moderator Mr Zuhed, di depan kalangan pendidikan di Bandung: dosen, guru, mahasiswa, siswa. Daripada jadi penonton, aku dilempar jadi co-speaker. Temanya ke ajakan & dukungan dari Telkom untuk menciptakan dan mengembangkan content & aplikasi. Tanpa jeda, kegiatan dilanjutkan ke rapat pengembangan portal di Japati itu juga, dilanjutkan dengan persiapan Indigo Fellowship di Gatsu (Jakarta). Tanpa asupan kopi, huh :). Dan kembali Jakarta menggelap waktu rapat berakhir. Tiket Air Asia ke Yogya, dan tiket Garuda untuk kembali ke Jakarta, telah diunduh untuk kegiatan berikutnya.
Masih Mei, tapi minggu yang baru berlalu boleh dinamai minggu 24/7. Perjalanan, koordinasi, presentasi, dan persiapan presentasinya: Jakarta, Bandung, Jakarta, Yogya, Jakarta; 24 jam selama 7 hari. Tamu di kantor pun harus ditundai. Blog dilupakan dulu. Baru sekarang aku punya waktu untuk blogging.
Beterbangan (mmm) melintasi negeri dengan pesawat komersial; aku kadang masih ingat waktu2 aku sering menumpang pesawat TNI-AU. Hercules, Cassa, dll. Jalur umum: Malang ke Bandung, atau Malang ke Jakarta.
Hampir seluruh penerbangan mengambil waktu pagi, sekitar jam 6 atau 7. Selalu ditimbang dulu badan penumpang setiap akan naik pesawat. Aku selalu pakai ransel setiap ditimbang: biar berat badan mendekati 50kg. Malu kan kalau terlalu ringan :).
Mesin menderu kencang memekakkan setiap pesawat siap take off. Tetapi — pun saat take off — di dalam anak2 kecil masih berlarian. Dan air crew masih berdiri di dekat pintu belakang, dengan rokok terus menyala. ‘Kursi’-nya berupa kursi gantung; dan kami berpegangan saat kursi itu mengayun.
Jalur penerbangan pun bisa tentatif. Kadang aku cuman diinformasii bahwa paginya ada flight. Aku bisa lupa, ini flight ke Jakarta atau Bandung. Peduli ah, pokoknya berangkat dulu :). Tapi, jalurnya bisa lebih bervariasi. Pernah, penerbangan dari Malang ke Bandung mengambil jalur: Malang – Surabaya – Madiun – Makassar – Jakarta, dan terlalu malam untuk meneruskan ke Bandung.
Tapi pendaratan di Bandung memang paling menarik. Landasannya pendek, sampai sekarang. Pesawat menderu keras saat dia harus mengurangi kecepatan di jalur pendek itu. Dan kadang pesawat bisa memantul: turun, menyentuh landasan, memantul, naik lagi, turun, menyentuh landasan lagi. Asik sih.
Pernah membayangkan flight mirip angkot? Hmmm :). Ceritanya, pesawat dari Malang itu seharusnya bertujuan ke Bandung. Tetapi ada instruksi untuk mendarat di Jakarta. Masalahnya, ada beberapa personal yang benar2 harus ke Bandung segera. Jadi tampaknya mereka memutuskan untuk …. mmm. Begitulah. Di atas Bandung, kami dimaklumati: “Yang turun Bandung, ke depan!” Wow, aku di belakang, dan jalur jalan penuh barang. Jadi harus berjalan semi-melompat, saat pesawat turun dan landing. Tiga orang sudah turun. Aku teriak: “Bandung Pak!” dan crew di pintu teriak ke ruang pilot: “Tunggu, satu lagi!” Aku bergegas ke pintu. Pesawat sudah mulai bergerak lagi waktu aku melompat ke luar. Mau lari ke tepi landasan, dari samping terdengar teriakan: “Tiarap dulu! Awas baling-baling!” Aku tiarap, sampai pesawat melewati, dan pergi ke jalur pacu lagi. Berdiri, aku jalan ke samping, dan tak melihat satu petugas pun — mereka sudah kembali ke ruang. Sampai jalan ke luar, tak ada petugas tampak di mata, termasuk tiga penumpang yang tadi turun sebelum aku. Sampai aku keluar bandara, dan jalan ke tempat angkot di Andir.
Dan kenangan2 semacam itu bikin aku terhenyak mendengar jatuhnya Hercules tanggal 20 Mei kemarin, menewaskan sekitar 100 manusia. Dukaku untuk Keluarga TNI-AU.
Padahal kata labirin lebih mengingatkanku pada satu sesi dari serial The New Avengers. Tapi, Jorge Luis Borges, penulis dunia itu (kurasa tak perlu di waktu ini menulis, misalnya, ‘penulis Argentina’) gemar sekali dengan labirin dan pelbagai variasinya.

Borges kukenal pertama kali dari salah satu edisi awal Jurnal Kalam (yang dulu terasa mahal sekali). Cerpennya berjudul Tlön, Uqbar, dan Orbis Tertius. Terasa luar biasa, ia langsung tertamatkan, terbaca lagi. Melintas waktu, sempat ia terdiskusikan — di mail ke Nita, dan di mail ke salah satu mail group di Isnet. Di masa ini, cerpen ini mudah digoogle, dan kajiannya bisa dilirik di kepustakaan wiki. Bentuknya sastra fantasi, bermain dengan ekstrapolasi atas idealisme Berkeley. Stylenya, duh, menggabungkan antara yang real (menggunakan beberapa tokoh, termasuk Borges, penulis Bioy Casares dan Schulz Solari; juga mengupas pandangan Berkeley, Hume, Meinong, dll), yang fiktif (tokoh Herbert Ashe), dan yang fiktif (di dalam kefiktifan cerita itu, ia pun fiktif, seperti negeri Uqbar sendiri dan berbagai budaya, bahasa, dan pandangan hidupnya). Yang lebih menjengkelkan, gayanya betul-betul dibuat seperti reportase non fiksi. Misalnya, ia menambahkan satu bagian yang dimulai seperti ini: “Postskriptum (1947). Artikel di atas saya tampilkan sebagaimana aslinya, seperti termuat dalam Antologi Sastra Fantasi (1940).” Postskriptum fiktif :). Ini semua adalah cerpen yang diterbitkan tahun 1940; termasuk postskriptum bertahun 1947 itu :). Btw, Tlön sendiri adalah ruang hidup dimana bangsa di dalamnya berpandangan idealis tulen, sehingga bahasa dan turunannya (agama, sastra, metafisika) semua berlandas idealisme. Dunia bukanlah sekumpulan obyek dalam ruang, melainkan rentetan tindakan mandiri. Semuanya temporal, bukan spasial. Judul entry blog ini adalah contoh satu kalimat dari salah satu dialek Tlön yang berarti “ke atas dari balik yang mengalir tersebut beranjak membulan.”

LKIS sempat menerbitkan kumpulan terjemahan cerpen Borges, dengan judul Labirin Impian (1999). Nirwan Dewanto menulis pengantar terjemahan itu. Di dalamnya kita bisa melihat evolusi pola permainan Borges. Beberapa cerita agak mirip. Kisah labirin “Ibn Hakkan al-Bokhari” dan kisah “Bentuk Pedang” bercerita tentang pengkhianat yang melintas negeri yang jauh (dari Arab ke Inggris di cerita pertama, dari Irlandia ke Brasil di cerita kedua); dengan penceritaan yang secara mengejutkan mendadak mengubah obyek menjadi subyek. Entah kenapa aku jadi ingat Agatha Christie (di mana tokoh kriminal bisa anak kecil [Josephine], polisi [Three Blind Mice], atau semua orang [Orient Express], atau aku [Roger Ackroyd]).
Kisah Funes si Pengingat mengingatkan aku (aku tidak boleh menggunakan kata ini: ingat) akan diskusi di Isnet juga; bahwa manusia mengenal simbol, sementara malaikat tidak — maka manusia lebih mulia. Funes ini jadi contoh Borges untuk itu. Setelah sebuah kecelakaan, otaknya bekerja tanpa simbol: ia mengingat semua hal. Seluruh angka dipahaminya tanpa penyederhanaan ratusan, puluhan, satuan. John Locke pernah mencoba membayangkan (dan menolak) bahwa setiap benda, batu, burung, bisa punya nama tersendiri. Ia menolaknya karena terlalu rumit. Funes, di lain pihak, menolaknya karena terlalu general. Anjing pada pukul 3:14 (tampak dari depan) haruslah dinyatakan berbeda dengan anjing (yang sama) dilihat pada 3:15 (dilihat dari samping). Tapi, untuk membuatnya makin seru, bayangkan bahwa pikiran dan ingatan kita sendiri pada itu kemudian haruslah memiliki pernyataan yang berbeda.

Sekarang tentang Tuhan. Kisah Mukjizat Rahasia menceritakan seorang penulis Ceska yang dihukum mati tentara Jerman, seminggu setelah disidang. Selama seminggu ia merasakan dari frustrasi, apatis, dan pada hari terakhir ia membuang pikirannya dengan merancang sebuah plot cerita. Ia berusaha menyempurnakan plot itu. Lalu ia bermohon kepada Tuhan, bahwa “Kalau benar aku ada, bukan sekedar kekeliruan plot-Mu, aku minta waktu setahun untuk memperbaiki dramaku.” Pagi harinya, pukul 9:00 (orang Jerman harus tepat waktu), ia disiapkan di depan tembok (seperti kerepotan orang mau bikin foto), lalu pasukan disiapkan, peluru ditembakkan; lalu waktu berhenti … selama setahun … hingga tokoh kita dapat menyelesaikan dramanya di dalam hati, secara lengkap, plus melakukan koreksi lengkap hingga sempurna. Saat drama itu selesai, waktu berjalan kembali, dan matilah sang pengarang.

Tapi satu cerita sebelumnya, “Tulisan Tangan Tuhan” sering kusadur waktu membahas tentang dunia para sufi (zaman dulu), justru berkomplemen (dan karenanya identik). Kisahnya tentang ahli sihir piramida Qaholom yang telah dibumihanguskan pasukan Pedro de Alvarado. Disiksa, dinista, dikurung, ia menghabiskan waktu mengingat dan memperdalam ajaran tradisinya — semuanya didalam hati. Ia merasakan penyatuan semesta, dan segala keindahannya. Ia merasakan kekuatan semesta dengan itu bangkit. Ia menjadi kuat. Ia menjadi sang maha perkasa. Kata-katanya sanggup untuk menghancurkan kembali musuh-musuhnya, dan menegakkan kembali kerajaannya. Tapi .. tapi … pada saat itu, segalanya tak penting lagi baginya. Barang siapa telah memahami rancang bangun semesta dan keindahannya, tak lagi harus memilih siapa yang harus naik dan turun dalam hidup fana manusia. Ia membiarkan hari-hari mengakhiri hidupnya.
“Ein Schwert verhieß mir mein Vater,” teriak Siegmund di wisma Hunding pada Act 1 dari Die Walküre. Mein Vater juga punya pedang yang keren, terpajang indah di ruang tamu rumah Mama di Arcamanik. Dan tak sengaja, aku juga jadi kolektor minatur pedang berbagai bangsa. Terima kasih buat para manusia keren dan baik hati yang sudah ikut menyumbang buat koleksiku.
Tapi waktu mendengar pekik semangat Siegfried, “Notung! Notung! Niedliches Schwert!” — yang terbayang justru pedang yang lebih tajam: pena. Ia menghujam bukan saja rerangkai fisik yang lemah, namun juga rerangkai ide dan memetika. Pedang ini bukan lebih tajam memutus dan menghentikan, tapi juga mengulir, menjalin, menunjuk, menyebar.
Pena masa kini bisa berupa keyboard, mouse, stylus, touch screen. Lesatannya di atas jaringan mobile dan Internet melampaui yang bisa dibayangkan para penemu kertas dan mesin cetak. Perang kata, memetika, diskursus di atas media maya lebih menarik daripada perang yang menumpahkan darah.
Tapi, buat aku sendiri, pena masih memiliki nilai emosional yang berbeda. Ujungnya yang benar-benar masih tajam mengingatkan power yang dimiliki ketajaman mata pedangnya. Sentuhan dan gerakan kita atasnya memindahkan bukan saja simbol dari ide kita, tetapi juga semangat dan aliran hayati yang betul-betul tergerakkan oleh semangat itu. Jadi memang agak lucu, melihat teman2 berkomunikasi dengan iPhone atau semacamnya, sementara aku masih membawa buku kecil dan pena. Haha, lebay :). Aku juga bawa mobile browser ke mana-mana kok; sejax PDA pertama memiliki akses GPRS :).
Mulai berhenti mengkoleksi miniatur pedang, aku malah nggak sengaja mulai mengkoleksi pena. Ya, ini simbolik. Hidup juga cuman :).
Ya, ya. Ini kuno. Scammer zaman sekarang sudah menggunakan kata-kata yang lebih menunjukkan bahwa mereka punya otak juga (biarpun kapasitasnya cuman seperenamnya kita-kita). Eh, tapi masih ada dink yang masih pakai kata-kata mirip di atas.
Di sore berhias mendung itu, aku mendapati 3 amplop dari IEEE Computer Society. Satu menawarkan digital library. Satu memberi tahu bahwa akan datang surat berisi survei pembaca majalah IT Pro. Dan satu lagi survei itu. Surveinya cuma 4 halaman A4. Pakai kertas, huh. Zaman gini masih survei pakai kertas. Disertakan juga amplop yang tidak lagi perlu diperangkoi. Pokoknya tinggal isi, dan kirim, tanpa biaya. Eh, tapi terus ada selembar uang sedolaran di atasnya. Hah?
Tulisannya: uang itu bukan pengganti jerih payah; tetapi sedikit penghargaan karena telah mengirimkan survei dengan cepat. Hihi, ini mah maksa. Kan nggak mungkin kita balikin satu dollar itu tanpa mengirimkan via surat. Dan kalau punya waktu untuk mengirimkan ke kotak pos, kenapa nggak sekalian dikirimkan itu hasil survei?
Kreatif atau jail?
Hari ini diterbitkan Edisi Perdana dari Internetworking Indonesia Journal. Jurnal ini berfokus pada pengembangan ICT di Indonesia. Paper di dalamnya lebih banyak bertemakan pengembangan infrastruktur internetworking. Jadi memang banyak berisi muatan teknis. Namun jurnal ini juga mewadahi sisi-sisi sains, sosial, regulasi, pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pengembangan ICT. Hal-hal yang bersifat interdisiplin lebih disukai :)
Dengan editor sebagian besar dari Indonesia, IIJ (begitu menyingkatnya, jangan dibalik) diterbitkan di Cambridge, Massachusetts. Mengusung semangat Open Access, jurnal ini hanya diterbitkan online, dan dapat diunduh gratis dari sitenya.
URL Edisi Perdana: internetworkingindonesia.org/iij-vol1-no1-spring2009.html.
Daftar isi edisi perdana:
- Editors’ Introduction (PDF)
- The Overhead and Efficiency Analysis on WiMAX’s MAC Management Message
by Ardian Ulvan, Vit Andrlik & Robert Bestak (PDF) - Loop-back Action Latency Performance of an Industrial Data Communication Protocol on a PLC Ethernet Network
by Endra Joelianto & Hosana (PDF) - “Wayang Authoring”: A Web-based Authoring Tool to Support Media Literacy for Children
by Wahju Agung Widjajanto, Michael Lund, & Heidi Schelhowe (PDF) - Studi atas Prilaku Pengguna Layanan Wide Area Network (WAN) BPKP
by Desi Nelvia & Rudy M. Harahap (PDF) - Issues in Elliptic Curve Cryptography Implementation
by Marisa W. Paryasto, Kuspriyanto, Sarwono Sutikno & Arif Sasongko (PDF)
PDF lengkap edisi perdana: (PDF). ISSN = 1942-9703.
Mas Thomas Hardjono pagi ini mengirimkan draft Edisi 1 dari Internetworking Indonesia Journal (IIJ). CFP-nya pernah dipampangkan di blog ini tahun lalu. Bulan-bulan terakhir ini, Mas Thomas nyaris sendirian mengepalai proses editing jurnal ini.
Tentang IIJ sendiri, demikian ditulis pada jurnal itu:
The Internetworking Indonesia Journal (IIJ) was borne out of the need to address the lack of an Indonesia-wide independent academic and professional journal covering the broad area of Information and Communication Technology (ICT) and Internet development in Indonesia. The broad aims of the Internetworking Indonesia Journal (IIJ) are thus as follows:
- Provide an Indonesia-wide independent journal on ICT: The IIJ seeks to be an Indonesia-wide journal that is independent from any specific institution in Indonesia (such as universities and government bodies). Currently in Indonesia there are a number of university-issued journals that publish only papers from those respective universities. Often these university journals experience difficulty in maintaining sustainability due to the limited number of internally sourced papers. Additionally, most of these university-issued journals do not have an independent review and advisory board, and most do not have referees and reviewers from the international community.
- Provide a publishing venue for graduate students: The IIJ seeks also to be a venue for publication for graduate students (i.e. Masters/S2 and PhD/S3 students) as well as working academics in the broad field of ICT. This includes graduate students from Indonesian universities and those studying abroad. The IIJ provides an avenue for these students to publish their papers to a journal that is international in its reviewer scope and in its advisory board.
- Improve the quality of research & publications on ICT in Indonesia: One of the long term goals of the IIJ is to promote research on ICT and Internet development in Indonesia, and over time to improve the quality of academic and technical publications from the Indonesian ICT community. Additionally, the IIJ journal seeks also to be the main publication venue for various authors worldwide whose interest include Indonesia and its growing area of information and communication technology.
- Provide access to academics and professionals overseas: The Editorial Advisory Board (EAB) of the IIJ is intentionally composed of international academics and professionals, as well as those from Indonesia. The aim here is to provide Indonesian authors with access to international academics and professionals within the context of a publication that is aware of the issues facing a developing nation. Similarly, the IIJ seeks to provide readers worldwide with easy access to information regarding ICT and Internet development in Indonesia.
- Promote the culture of writing and authorship: The IIJ seeks to promote the culture of writing and of excellent authorship in Indonesia within the broad area of ICT. The availability of an Indonesia-wide journal with an international advisory board may provide an incentive and impetus for young academics, students and professionals in Indonesia to develop writing skills appropriate for a journal. This in-turn may encourage and train them to subsequently publish in other international journals.
Tunggu versi finalnya ya. Free of charge.