Ini tentang Blaise Pascal: filsuf, ilmuwan, matematikawan, yang tidak menemukan Segitiga Pascal (yang sudah dimainkan Umar Khayam dll jauh sebelumnya) maupun Bahasa Pascal (yang ini ulah Niklaus Wirth jauh sesudahnya). Tokoh ini kebetulan lahir pada 19 Juni, di tahun 1623.
Blaise kecil sudah menggemari matematika. Tapi ayahnya justru sempat menjauhkannya dari matematika, agar ia sempat mempelajari hal2 lain juga (tipe ayah langka). Usaha itu gagal :), jadi Blaise akhirnya malah diberi kesempatan ikut menonton perbincangan rutin antar matematikawan kelas berat, termasuk Rene Descartes. Kemudian Blaise sempat merumuskan Teorema Pascal. Pada usia 18, Blaise juga merancang mesin hitung analog, yang kadang dinamai sebagai Pascaline. Bekerja sama dengan Fermat, ia menurunkan berbagai formulasi probabilitas. Beralih ke fisika, ia mempopulerkan tentang ruang hampa — hal yang ditentang oleh mayoritas masyarakat saat itu. Namun ia berhasil meyakinkan masyarakat bahwa ruang hampa itu ada, dan bahwa barometer bekerja dengan cara itu. Karena hal ini, kelak SI menggunakan nama pascal (Pa) sebagai satuan tekanan. Blaise juga menulis beberapa buku. Salah satunya yang dicuri dijadikan judul entry blog ini.
Tahun 1654, Blaise mendapatkan visi bahwa Tuhan telah menemuinya. “Tuhan dari Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub,” tulisnya (dalam teks kecil yang baru bisa dibaca orang lain sekian bulan setelah ia meninggal). Ia kembali menseriusi soal ketuhanan dan agama. Untuk menjelaskan soal Tuhan kepada mereka yang belum memiliki keyakinan (dan jelas bukan untuk argumentasi bagi dirinya sendiri yang telah kembali memiliki keimanan), ia merumuskan apa yang kemudian disebut dengan Taruhan Pascal. Pada budaya Islam, pola berpikir semacam ini pernah juga diulas oleh Haramayn al-Juwayni, dengan beberapa perbedaan.
Asumsinya, Tuhan memiliki sifat yang berbeda dengan makhluk, dengan apa pun yang ada di dunia. Dengan demikian, Tuhan tak harus teramati, tak harus (dan tak dapat) terbuktikan oleh sains. Masih banyaknya kaum ilmuwan yang memiliki keimanan di masa kini (biarpun kaum ilmuwan atheist terus menerus menunjukkan bahwa Tuhan tidak terbuktikan) antara lain didorong pandangan para ilmuwan bahwa memang jika Tuhan bisa terbuktikan oleh sains, maka Ia bisa disebut tampak secara inderawi, dan bukan lagi Tuhan. Mereka bisa sibuk dengan teori string, medan kuantum, teori evolusi, dll; sambil menikmati hubungan yang manis dengan agama dan keimanannya. Fakta bahwa ide dan ketaatan atas Tuhan (dan agama) itu hanya soal budaya, soal evolusi psikologi, genetik, dan sosial, dst, dst, disikapi dengan pandangan: Begitulah Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang itu membuat diri kita mampu mengenal-Nya. Ia menyukai proses, seperti saat ia menciptakan bumi bulat dan memutarnya dekat sebuah bintang hanya untuk memberi kita siang dan malam dan siklus hidup.
Kembali ke Blaise. Karena Tuhan tak terbuktikan secara ilmiah; maka kita dihadapkan pada probabilitas bahwa 50% Tuhan ada dan 50% Tuhan tidak ada. Lalu kita punya pilihan: hidup dengan (A) cara seolah Tuhan ada atau dengan (B) cara seolah Tuhan tidak ada. Tapi kita harus menghadapi konsekuensinya: (Aa) kita bisa beriman kepada Tuhan yang ada, (Ba) kita bisa tertipu mengira Tuhan ada, (Ab) kita bisa ingkar kepada Tuhan yang ada, atau (Bb) kita bisa bebas dari Tuhan yang tidak ada. Lalu Blaise meminta kita menimbang. Pada Aa, saat kita mati kita mendapat ganjaran surga, dengan benefit tak terhingga. Pada Ab, tergantung sifat Tuhan, kita bisa disiksa selamanya atau diampuni. Pada Ba, kita bagaimanapun sudah berbuat baik, selebihnya biar saja agak mubazir. Pada Bb, kita tidak rugi menghabiskan hidup hanya untuk hura-hura. Namun lalu Blaise menunjukkan hasil timbangannya, bahwa bagaimanapun — bagi kaum yang masih ragu — akan lebih tepat untuk menjalani hidup dengan menganggap Tuhan ada.
Cukup banyak kritikan atas Taruhan Pascal ini, baik dari umat beragama maupun para atheist. Anda sendiri — hai :) — pasti punya kritikan keras. Dan percayalah, Blaise juga tahu itu. Pertama, itu hanya berlaku untuk mereka yang betul2 ragu, tidak untuk orang yang sudah memperoleh hidayah iman keimanan lalu iseng menimbang lagi, juga untuk atheist yang yakin bahwa probabilitas adanya Tuhan itu 0%. Bagaimanapun kita hidup dan memiliki konsekuensi atas pilihan kita masing2. Kedua, timbangannya adil jika agama benar2 diarahkan untuk membawa manusia menjadi khalifah di atas bumi; bukan untuk jadi perusak yang membawa2 nama agama dan kelompok sebagai pembenar. Ketiga, agama selaras dengan nurani dan membuat kita merasakan ketenangan di dalamnya, bukan misalnya agama yang misalnya mengharuskan anak kecil disembelih di altar dan jantungnya dipersembahkan ke Mimikeki (duh, kayak pernah dengar nama ini). Keempat, diasumsikan agama2, karena memiliki tujuan yang baik, tidak saling merusak :). Duh, berat kan ternyata? Kelima, keenam, dst, dst; karena itu Taruhan Pascal memang jadi tidak populer.
Aku nggak akan pakai hitungan semacam ini untuk meyakinkan orang :). Dan seperti aku bilang tadi, Blaise sendiri pun tidak menggunakan Taruhan ini. Seperti yang pernah disampaikan Kanjeng Nabi: Ihsan itu menjalani hidup seolah sambil melihat Allah; atau setidaknya sambil merasa dilihat Allah. Lalu apa kata nuranimu mengenai itu?
Blaise meninggal pada usia 39. Tapi sebelum itu pun kesehatannya selalu buruk. Selalu sakit kepala, katanya.