Author: Koen (Page 13 of 87)

Fulltrek

Nama Fulltrek sendiri kami rancang beberapa saat setelah menempati ruang baru Gugus Tugas Content & Application (GTCA) di Merdeka Selatan 12. Dari sekian pilihan nama, tampak tak ada yang menarik. Aku lupa, nama itu hadir dari Pak Widi atau Pak Komang. Dan aku cuma menambahi: Trek-nya dibuat mirip Star Trek yach. Lalu jadilah.

Di GTCA, aku termasuk yang paling tak memiliki sense atas musik. Kata musik sendiri entah kenapa mengingatkan aku pada Haydn, Debussy, atau malah gamelan. Oh, lagu masuk ke musik ya? Haha :). OK. OK. Clueless kalau teman2 GTCA berbincang asyik masalah musik. Atau game. Tapi waktu produk ini diluncurkan, tentu semua harus ikut andil menyebarluaskan ke komunitas-komunitas. Dan karena aku pastilah useless dipasangkan di komunitas musik (bukan Haydn dan gamelan, maksudnya), maka aku mendapatkan tugas yang berkait tidak dengan komunitas musik.

Tugas pertama adalah Ignite. Ignite baru pertama kali diselenggarakan di Jakarta. Ia mirip Pecha Kucha — Pecha Kucha yang mencontek konsep Ignite, atau sebaliknya. Aku pernah rajin hadir di Pecha Kucha, jadi bisa membayangkan formatnya. Ignite diadakan bulan lalu di Grha Citra Caraka. Ada 20-an speaker, yang memberikan presentasi dalam waktu masing2  lima menit saja. Aku jadi presenter kelima, tepat setelah Pandji Pragiwakarsa. Syukurlah Pandji berpresentasi dengan tema pembajakan, termasuk pembajakan musik. Tepat di akhir wacana Pandji, aku bisa masuk, dan tepat memulai dengan skala pembajakan musik. Tak ingin kehilangan momentum, aku langsung masuk ke tema itu … lupa memperkenalkan diri :). Haha. Gaya ajaibku membuat Aulia yakin bahwa presentasi itu bukan aku yang buat :). Pak Indra Utoyo kemudian sempat hadir, tapi jauh setelah presentasiku.

Tugas kedua adalah DJUS. DJUS adalah offline sharing forum dari MIKTI yang juga rutin diselenggarakan. Aku pernah sekali hadir di DJUS. Kali ini DJUS diselenggarakan di Risti Tower di Bandung, dan bertemakan Digital Music. Speaker adalah Jodi Handoyo dan Grahadea Kusuf. Pengantar dari Ketua MIKTI Indra Utoyo, Kadis Indag Jabar, dan salah satu pelindung MIKTI (Cahyana Ahmadjayadi) yang juga salah satu Indigo Fellow. Aku mengisi sedikit tentang Fulltrek juga.

Fulltrek bukanlah sekedar tempat penjualan musik secara online. Fulltrek dimaksudkan sebagai bagian dari prakarsa Indigo, untuk membentuk ekosistem bisnis musik digital. Distribusi musik secara fisik sudah jatuh — tampak secara visual. Namun karena distribusi digital tak pernah disiapkan, user menggantikan dengan pembajakan. Nilai pembajakan musik di Indonesia tahun lalu diperkirakan berskala 4.5 triliun rupiah (atau 180 gayus — dengan 1 gayus setara dengan loss 25 miliar rupiah). Peningkatan revenue ada, tapi kecil — karena baik pencipta maupun distributor tak termotivasi. Semangatnya hancur oleh pembajakan. Fulltrek dan prakarsa-prakarsa serupa mencoba membangun distribusi musik secara legal dan sehat, sehingga membangkitkan kembali kreativitas dan dinamika musik sehat Indonesia.

Fulltrek membangun ekosistem bisnis musik dari proses kreasi. Dengan Speedytrek, kelompok musik indie di daerah2 diseleksi, dipilih, dan dibantu memproduksi single atau album. Dengan Indigo Unplugged, dibentuk kegiatan komunitas untuk bersentuhan langsung dengan kelompok musik kebanggaannya, dan langsung dibuat produksi live music. Kerjasama produksi dilakukan dengan major label maupun kelompok musik indie dan developer yang mengabungkan musik dengan aplikasi-aplikasi digital. Revenue diperoleh dari sales, advertising, cobranding, events, dan kegiatan2 lain. DRM, security, hingga payment system dikelola dan dikembangkan dengan infrastruktur yang terus diperbaiki. Diharapkan publik akhirnya menemukan cara memperoleh musik secara sehat dan legal, dan menikmati distribusi musik dengan cara yang lebih mudah dan menarik. Diharapkan bahwa seniman musik akan kembali bangkit motivasinya untuk menciptakan yang terbaik buat dinamika musik Indonesia.

Mungkin dengan itu, suatu hari aku akan kembali menikmati musik kontemporer Indonesia. Bukan kembali ke Haydn, atau Stravinsky, atau Wagner. Serem deh :D. OK, sekarang kembali ke Die Walküre Act 2. Tadi Brunnhilde sedang berbincang dengan Siegmund di atas gunung.

Cuci Piring

Cukup lama tak menyentuh James Herriot, kali ini aku mencuplik satu cerita yang rada berbeda. Tak melibatkan kedokteran hewan. Dan ini diambil dari buku All Creatures Great and Small. Buku ini adalah versi Amerika, yaitu versi bundling, dari dua buku pertama Herriot: If Only They Could Talk dan It Shouldn’t Happen to a Vet. Seperti buku Seandainya Mereka Bisa Bicara (If Only They Could Talk) yang jadi bersejarah buat aku — dan buat banyak anak2 Indonesia masa itu; buku All Creatures Great and Small ini juga bersejarah. Ini adalah buku yang pertama kali aku beli dari Amazon. Waktu aku sedang menunggu buku ini datang dari gudang Amazon (zaman itu memakan waktu berminggu2), aku dipanggil British Council karena dinyatakan mendapatkan Chevening Award. Tapi, seperti siswa Chevening lainnya, aku harus ikut training Bahasa Inggris dulu, untuk memperbaiki dan terutama mempercepat respons kami memahami bahasa Inggris. Buku ini tiba tepat waktu. Aku baca setiap malam. Bahasa Inggrisnya yang dirusak pengejaan gaya York dan gaya lain (termasuk konon Scottish dan Irish English) membuat aku makin tertantang untuk cepat memahami kalimat2 unik di dalamnya.

Balik ke buku. Halaman 277. Herriot sedang kasmaran, haha. Seorang putri petani, Helen Alderson, terus menghantui pikirannya. Sayangnya ia tak punya cukup alasan untuk menemuinya. Pak Alderson peternak yang cerdas, dan ternaknya jarang sakit. Memang salah satu sapinya pernah harus dijahit kakinya. Tapi perlu menunggu sampai akhir bulan sebelum plester penutup jahitan bisa dilepas. Dan penantian itu kandas saat Pak Alderson menelepon dan menyebut sudah melepas plester itu sendiri — hasil operasinya bagus. Untuk pertama kali James memaki kecerdasan seseorang.

Lalu James bergabung ke Music Society di Darrowby. Helen tampak beberapa kali ikut pertemuan di sana. Namun beberapa minggu, James hanya berani melihat Helen dari kejauhan, dikerumuni sahabat2nya. Termasuk malam itu. Di tengah string kuartet (haruskah kuterjermahkan sebagai dawai berempat?), James hanya melihat punggung Helen. Tapi ketua kelompok dengan riang mengajak semuanya minum teh dulu (dan membayar 3 pence). James langsung menyambar teh, lalu bergerak ke arah Helen.

Helen menatapnya. “Selamat sore, Pak Herriot. Bisa menikmati malam ini?”
“Duh, kenapa panggilnya pakai Pak sih. Panggil saja Jim,” kata James. Tapi cuma dalam hati.
Dan yang dia ucapkan adalah, “Selamat sore, Nona Alderson. Malam yang menyenangkan kan?”
Lalu diam.

Para sahabat Helen berbincang tentang Mozart. Tak ada hal lain yang bisa diperbincangkan lagi. Selesai.

Tapi Pak Ketua datang lagi. “Kayaknya harus ada yang berkorban cuci piring malam ini. Siapa yang mau ambil giliran? Atau dua anak muda ini saja?” — sambil menatap Helen dan James. Tentu saja James punya banyak gagasan yang lebih menarik daripada cuci piring. Tapi tiba2 dia melihat itu sebagai peluang emas. “Oh. Tentu. Kalau Nona Alderson tak keberatan, tentu.”

Lalu mereka berbagi tugas. James mencuci. Helen mengeringkan. Lima menit berlalu. Mereka mulai berbincang. Tapi lagi2 tentang musik. Duh, gak kemana2, pikir James. Dan dengan panik dia melihat cangkirnya tinggal satu. Ia menyerahkan ke Helen. Tapi tak dilepas. Panik menunggu inspirasi yang tak kunjung datang. Sementara perang berebut cangkir terakhir terjadi, James mendengar suara, “Boleh kita ketemu lagi?” — yang ternyata suaranya sendiri.

Helen diam. Wajahnya tak dapat dibaca. Akhirnya ia menjawab pendek. “Boleh.” Lalu James lagi. “Sabtu malam?” Disusul anggukan ringan Helen yang meletakkan cangkir kering, dan pergi. Sementara Haydn dimainkan. Apakah Helen memang berminat untuk ditemui? Atau hanya terpaksa demi kesopanan?

Selesai.

Tapi, btw, untuk kita semua yang mengejar kesempatan apa pun: bisnis, karir, network, travelling, dll — jangan meremehkan hal2 kecil semacam kesempatan untuk mencuci piring. Ingat bahwa Feynman pun memperoleh Hadiah Nobel gara2 dia memanfaatkan waktunya menghitung rotasi piring, saat dia merasa mandeg dengan cita2 yang dirasa terlalu tinggi. Mungkin … cuci piring adalah peluang emas kita :).

Oh ya. Penasarankah dengan akhir cerita? Bisa ke Wikipedia atau lainnya sih :). Tapi aku cuplikkan halaman terakhir buku itu. Halaman 437.

Aku berteriak ke Helen: “Nomor tiga delapan. Tujuh. C!”
“Tiga delapan. Tujuh. C,” istriku mengulang sambil membentangkan bukunya dan mulai menulis.

Aplikasi Visa UK

Aku sedang mempersiapkan kunjungan ketiga ke UK. Untuk kunjungan pertama, tahun 1995 (wow), ada pihak2 yang berbaik hati menguruskan visaku. Dan untuk kunjungan kedua (2000), aku dapat backing dari British Council, jadi bisa dapat visa gratis dan mudah, biarpun tetap harus dicereweti petugas di balik loket kaca di konsulat UK di Jakarta. Untuk kunjungan ketiga ini, aku harus mengurusi sendiri. Tapi aku beruntung :).

Pun tahun 2000 menunjukkan atmosfir yang berbeda dengan tahun 1995. Mudah2an bukan saja karena sejak 1997 Partai Buruh mengambil alih administrasi dari Partai Konservatif, tetapi karena UK merasa perlu menampilkan diri lebih ramah dan empatik ke dunia baru. Gerbang imigrasi yang di tahun 1995 tampak angker, di tahun 2000 berkesan amat ramah. Konsulat yang di tahun 2000 masih tampak angker, kini tak perlu lagi kita kunjungi.

UK menyerahkan administrasi pengurusan visa ke pihak ketiga. Pun dianjurkan (di Indonesia: DIHARUSKAN) untuk mengunjungi website UKVISAS.GOV.UK sebelum mulai mengurus visa. Untuk warga Indonesia yang tinggal di Indonesia, kepengurusan visa harus melalui PT VFS Services Indonesia. Banyak keuntungan pengurusan melalui pihak ketiga ini. Dari sisi warga, kita akan menghadapi customer service sebuah perusahaan swasta, tidak lagi harus menghadapi pegawai sebuah birokrasi. Dari sisi konsulat, mereka bekerja lebih efisien dan aman jika tidak harus banyak menerima tamu secara langsung.

Di Jakarta, untuk mulai mengurus visa ini, kita harus mengunjungi web VFS Services. Kita harus mengisi formulir aplikasi visa secara online. Form kosong memang disediakan, dan bisa diunduh untuk diisi. Tetapi, untuk mengurangi kemungkinan salah baca dll, kita tidak boleh memasukkan form ini. Kita harus mengisi formulir online, lalu mencetaknya, dan menandatanganinya. Formulir ini panjang :). Dan panjangnya bervariasi sesuai kebutuhan kita berkunjung ke UK. Tapi kita dapat mencicilnya dalam waktu hingga 1 minggu. Diisi, disave, diload lain waktu, diteruskan diisi, disave lagi, dst. Agar lebih cepat, aku mengisi form ini di hari libur, tanpa interupsi, sambil mendengarkan mars Rule Britannica dari Wagner. Hey, ini buat motivasi!

Berikutnya adalah dokumen pendamping. Pasfoto berwarna dengan latar kelabu muda atau krem, dan wajah tanpa senyum — haha :). Ukuran 3½ × 4½ cm — ini angka aneh, andaipun dijadikan inci. Dokumen pendamping boleh diisi selengkap mungkin, plus fotokopinya: passport (termasuk passport sebelumnya), slip gaji, rekening bank, deposito, surat tanah, SK atau surat dari perusahaan, kartu keluarga, dll. Ini bukan candaan loh :). Berhubung aku lagi mood mengumpulkan dokumen gituan, aku copy semua ke kertas dengan ukuran seragam A4, trus aku masukkan binder, yang bikin kumpulan dokumen itu jadi mirip buku biografi. Inggris memang bangsa penjajah yang selalu ingin mengubah gaya hidup kita menjadi teratur seperti layaknya bangsa yang harus diatur. Tapi aku menang, aku bisa lebih gila :).

Selesai mengkoleksi dokumen, kita harus kembali ke situs VFS Services untuk membuat appointment untuk menyerahkan dokumen2. VFS berada di Plasa Abda di daerah Sudirman, Jakarta. Kita sebaiknya hadir tepat waktu. Bawa KTP atau SIM asli, untuk diserahkan bulat2 ke resepsionis di Ground Floor, ditukar karcis MRT untuk melaju ke Lt 22, dan di sana antri lagi. Antrinya cukup lama, karena petugas memeriksai dokumen-dokumen cukup seksama — memastikan kelengkapan. Kita tidak boleh menghidupkan notebook atau telefon — jadi tidak ada Twitter dan benda2 menarik lainnya. Membawa buku dalam bentuk kertas amat dianjurkan :). Dan di akhir penantian, petugas dengan akrab memanggil kita lalu dengan ramah mendiskusikan dokumen-dokumen yang kita masukkan.

Seluruh dokumen akan diserahkan ke Konsulat UK, dan hanya passport yang akan dikembalikan. Jadi pastikan tidak ada dokumen penting yang terbawa — selain fotokopian. Setelah dinyatakan lengkap, kita boleh membayar biaya visa. Cukup mahal. Untuk visa turis jangka pendek, kira-kira Rp 1.005.000,- dan untuk visa pelajar Rp 2.600.000,- :). Biaya ini diambil Konsulat UK sebagai biaya processing visa. Andaipun visa ditolak, biaya processing ini tak dikembalikan. VFS sendiri memungut Rp 25.000,- untuk service yang diberikan kepada kita. Tapi VFS berbaik hati untuk menyuruh kita melengkapi dokumen dll jika belum lengkap atau dirasa bisa mengakibatkan visa ditolak. Jadi ini lebih baik daripada saat kita submit langsung ke Konsulat, dan bisa ditolak (plus kehilangan uang) hanya gara2 dokumen tidak lengkap.

Lalu pemeriksaan biometri. Ini cuman berarti kita diambil foto dan sidik jari di ruangan berpemandangan indah. Wow, kita bisa lihat Istora Senayan nyaris dari atas. Tapi gak boleh lama2. Kita langsung didepak pulang oleh petugas, sebelum sempat memasang tenda di ruangan ini.

VFS akan mengirimi kita SMS dan mail. Pertama adalah notifikasi saat visa kita sudah dikirimkan ke Konsulat. Kedua, notifikasi saat passport sudah boleh kita ambil. Aku sendiri cukup beruntung: visa bisa diambil kurang dari 2 hari setelah dokumen diserahkan ke Konsulat.

Tentu kita mengambil passport di VFS lagi di Plasa Abda. Visa versi tahun 2010 ini berbeda dengan visa sebelumnya. Di tahun 1995, visanya kecil berwarna merah. Di tahun 2000, visa berwarna cerah berukuran sehalaman passport. Di tahun 2010 ini, visa berwarna gelap mirip visa Eropa, tapi dilengkapi foto.

Setelah passport selesai, VFS masih mengirimi SMS ketiga, menyatakan bahwa visa sudah diambil. Haha :). Ini barangkali perlu buat yang visanya minta diambilin keponakannya :).

Sementara itu, ada reporter Northern Echo membaca blogku yang dalam bahasa Inggris. Dia langsung melakukan penjajagan untuk interview di Thirsk, sekaligus bikin foto2. Baca situs Northern Echo, aku bener2 merasa hidup di zaman Herriot: sebuah koran lokal yang pemberitaannya sekitar warga lokal yang bermasalah dengan kuda, anjing, dll. Barangkali kedatangan turis blogger dari negara penghasil tweeter paling banyak se-Asia ini dianggap pantas juga jadi berita. Aku harus baca buku Herriot lagi untuk mencoba menjawab pertanyaan sang reporter dengan pelafalan ala Yorkshire :). Reckon it’s allus a piece o’ t’awd nonsense, Sorr.

Plus kali ini mendengarkan satu mars lagi dari Wagner: Kaissermarsch. Ini adalah komposisi yang diperbincangkan James Herriot dan Siegfried Farnon di awal jumpa mereka di Skeldale House, Darrowby (Thirsk).

Kolisi LHC Berhasil

Di tengah deretan tweet yang agak membosankan malam ini, mendadak sebuah tweet Teh @Ranti membawakan berita gembira: LHC sukses! Follow @CERN, lalu langsung menuju situs CERN, sebuah press release telah disiapkan di sana. Ya, kolisi yang telah disiapkan bertahun-tahun itu akhirnya sukses dieksekusi hari ini, pukul 18.06 WIB. Partikel-partikel berpacu secara stabil, kemudian ditumbukkan pada tingkat energi 7 TeV (teraelekronvolt). Ini rekor baru tumbukan rekayasa manusia: tiga setengah kali lebih tinggi dari rekor sebelumnya.

CERN akan menjalankan LHC selama 18-24 untuk menyiapkan data bagi riset-riset fisika partikel. Tujuannya tak lain dari meninjau kembali Standard Model yang menjadi dasar ilmu fisika beberapa dasawarsa terakhir. Yang konon paling banyak dicari adalah jejak dari boson Higgs yang diharapkan bakal membuka tabir misteri gravitasi. Ini termasuk tugas lab ATLAS dan CMS. Jika boson Higgs berada pada tingkat energi 160 GeV, diharapkan ia dapat terdeteksi. Namun jika tingkatnya jauh lebih kecil atau justru lebih besar, kolisi saat ini belum akan dapat menemukannya.

Untuk riset di bidang supersimetri, ATLAS dan CMS memberikan sensitivitas dua kali eksperimen sebelumnya, yaitu diharapkan dapat mencapai level 800 GeV. akan memberikan data-data untuk partikel dengan massa/energi yang terdeteksi pada sensitivitas 400 GeV. Dalam dua tahun ke depan, diharapkan LHC dapat membantu menemukan partikel supersimetrik. Eksperimen di LHC juga diharapkan mampu mendeteksi partikel bermassa hingga 2 TeV, sementara eksperimen sebelumnya baru menghasilkan deteksi massa 1 TeV.

Setelah eksperimen perdana ini, LHC diistirahatkan, dan diperbaiki kembali untuk mempersiapkan tumbukan pada level 14 TeV. Biasanya CERN mengoperasikan akseleratornya dalam siklus tahunan: dijalankan 7-8 bulan, lalu dimatikan 4-5 bulan. Namun mesin LHC ini bersifat cryogenic yang bekerja pada suhu amat rendah. Perlu hingga 1 bulan untuk mengembalikan suhu akseleratornya ke suhu normal, dan nantinya perlu 1 bulan lagi untuk mendinginkannya ke suhu operasi. Maka kini siklusnya tidak lagi tahunan. Ia akan dioperasikan terus-menerus selama dua tahun.

Para fisikawan dan para pecinta sains, mari kita syukuri malam ini :).

Ultah IEEE 802

Pada bulan Maret 1980, beberapa perusahaan, termasuk DEC, HP, IBM, Intel, dan Xerox mulai mengkristalkan gagasan untuk membentuk sebuah komite komunikasi data di bawah IEEE. IEEE dipilih karena sifatnya yang netral dan lebih berfokus pada soal teknis. Komite ini akhirnya dibentuk, dengan Maris Graube dari Tektronix sebagai ketua.

Aku pernah Kerja Praktek di LEN. Di sana, aku sempat mendapatkan tugas mendayagunakan interface IEEE 488 GPIB yang tak banyak disentuh. Graube juga beranjak dari standar itu, tetapi ia berminat melakukan standardisasi untuk interface pada jarak yang lebih jauh. Salah satu standar pertama dari IEEE 802 — begitu Komite Standard ini dinamakan — adalah Ethernet. Menariknya, Bob Metcalfe sebagai penemu Ethernet justru menolak standardisasi Ethernet waktu itu, dengan alasan bisa mengganggu proses inovasi.

Standar lain mulai ditetaskan oleh IEEE 802. Token ring misalnya. Tapi juga ke dunia wireless. Yang amat dikenal generasi saat ini tentulah WiFi (IEEE 802.11). Padahal standar WLAN IEEE 802.11 ini sempat tak lancar dikaji: ia memerlukan nyaris 8 tahun hanya untuk standard dasarnya saja. Yang lebih parah adalah UWB (ultra wideband) dari kelompok WPAN IEEE 802.15, yang melibatkan dua kubu yang bersaing — mereka gagal mencapai konsensus dan akhirnya menarik proyek mereka. Contoh lain yang tak pernah mencapai standardisasi adalah Manajemen Network (dan ini menjelaskan kenapa kita tidak memiliki standar Manajemen Network yang menarik).

IEEE 802 juga turut mengarahkan tren industri. Contohnya adalah standar WiFi Gigabit 802.11AD yang mendorong kalangan industri untuk menyiapkannya mulai mulai tahun 2013, dengan versi 6 GHz dan 60 GHz. Versi 6 GHz akan digunakan untuk aplikasi bisnis dan industri, karena sinyalnya kuat kuat, namun berbiaya lebih tinggi untuk pengkodean, penanganan gangguan, antena MIMO, dan modulasi multilevel. Sebaliknya, versi 60 GHz akan ideal digunakan konsumen dan kantor kecil karena mudah dibangun, namun sinyalnya terganggu oleh penyerapan oksigen — secara harfiah.

Aplikasi skala industri yang didorong oleh standar 802 juga meliputi WPAN IEEE 802.15 yang mendukung RFID dan smart grid, serta 802.16 yang menjadi standar WiMAX, WiMAX mobile, hingga WiMAX 4G. Yang juga menarik adalah IEEE 802.15.6 (Body Area Networks) dan VLC IEEE 802.15.7. Yang pertama dapat digunakan untuk transceiver skala nano yang bisa ditelan pasien dalam bentuk pil; dan yang kedua untuk jaringan data tingkat tinggi dengan modulasi gelombang cahaya sebagai lapisan fisik yang akan beroperasi dalam rentang terahertz tanpa izin dan kebal terhadap gangguan listrik.

Untuk mengulangtahuni Komite Standar IEEE 802, IEEE juga memberikan kesempatan terbatas bagi siapa pun untuk mengambil standar-standar dari keluarga IEEE 802 secara gratis. Silakan klik pada standar-standar di bawah untuk melakukan download gratis.

Standar-standar ini hanya dapat diunduh gratis selama masa Peringatan Ulang Tahun Komite Standar IEEE 802; dan keputusan ini dapat diubah setiap saat tanpa pemberitahuan. Silakan disebarkan demi makin majunya pengembangan sistem komunikasi dan informasi demi kemanusiaan. Selamat Ulang Tahun, Komite Standar IEEE 802!

Cebu – Mactan

Emang blogku isinya jadi terlalu serius ya? Sukurin, haha :). Yawdah … kali ini aku cerita tentang Mactan dan Cebu dari sisi yang lain :). Nggak dijamin lucu juga sih. Dua tahun ini aku cukup banyak melakukan travelling, baik buat Telkom, IEEE, atau lainnya. Jadi jalan2 gitu kayak udah nggak pakai persiapan lagi. Beli tiket pun dilakukan dalam beberapa menit, sambil break di Gegerkalong, ditungguin Dave, yang heran lihat di Indonesia ada Mastercard dari Royal Bank of Scotland. Abis itu, ada beberapa perjalanan lagi, bikin aku bener2 nggak sempat mempersiapkan perjalanan ke negeri yang ajaib ini.

Perjalanan dimulai pukul 00.30, dari Soekarno Hatta, dengan Cebu Pacific Air. Aku pikir jarang orang berangkat semalam itu, jadi aku santai aja. Tapi Mas Ary agak nervous, dan minta berangkat dipercepat. Jadi pukul 22.30 kami sudah di Soekarno Hatta. Antrian pendek dan dibagi tiga. Tapi … lamaaaa sekali. Hampir 1 jam habis di antrian pendek itu. Untuk aku sendiri, dihabiskan sekitar 15 menit, untuk bisa memperoleh boarding pass transit di Manila. Tapi, katanya, dengan boarding pass itu, aku tetap harus ambil bagasi dan check in ulang di Manila. Hah? Jadi dari tadi buat apa lama2 :). Trus mengurus bebas fiskal, kurang dari 1 menit. Imigrasi, kurang dari 1 menit. Aku stay dulu di salah satu executive lounge yang menerima Citibank Garuda card — soalnya bisa buat 2 orang. Pak Wahidin memilih ke lounge lain. Tak lama, kami pindah ke ruang tunggu, bareng2, padahal tanpa janjian :). Dan langsung boarding.

Aku udah mempersiapkan diri menghadapi low fare airlines macam ini. Tapi ternyata Cebu Pacific belum sekelas Air Asia, misalnya. Waktu pesawat menggelinding dalam proses taxi ke runway, udah kerasa ada yang ajaib. Bannya kempes, atau ada jalan berlobang di CGK? Dengan getaran kuat, Cebu Pacific melenting kuat ke udara Jakarta. Ah, lega, pesawatnya masih utuh. Dan aku memutuskan bobo. Capek. Aku bangun 3 jam kemudian. Di bawah tampak pulau2 dan lampu2. Nggak ada info apa2. Nggak ada majalah atau bacaan lain. Lalu diumumkan bahwa pesawat siap didaratkan di Neenoy, eh, Ninoy Aquino International Airport, Manila. Eh, miring2 sebelum mendarat. Bum, dia mendarat, dan langsung berguncang keras. Beneran bannya kempes kali. Di Indonesia nggak ada pendaratan seaneh ini.

Antrian imigrasi di NAIA panjang. Dan lama. Rupanya di CGK aku memang dipersiapkan merasakan antri gaya Filipina. Beda dengan di CGK atau Changi (SIN), di mana kita cuman perlu kurang dari 1 menit. Beberapa orang di belakangku nervous berat. Aku sih cuek. Lolos dari imigrasi, ambil bagasi (tanpa menunggu lagi — mungkin tas kami sudah berputar2 beberapa kali di sana), dan langsung ke tempat check in untuk penerbangan ke Cebu. Koper dititipkan kembali, baru cari sarapan. Berbeda dengan CGK dan SIN, kurs di money changer di NAIA seram. Aku gak jadi tukar duit ke Peso. Pinjam Peso ke Pak Wahidin. Serem di sini: mau makan harus ke kasir bawa peso. Kehidupan keras. Terminal Cebu Pacific di NAIA ini baru. Jadi belum banyak diisi tempat2 menarik. GPRS juga hilang :(. Penantian yang membosankan. Tapi akhirnya kami terbang lagi. Kali ini tanpa ban kempes. Menikmati indahnya pulau2 di Kepulauan Filipina dari atas. Dalam waktu 1 jam, pesawat mendarat di Mactan Cebu Airport. Huh, miring2 lagi.

“Minggir,” terdengar seorang awak bicara ke anak kecil, disusul kata2 asing. Hah? Itu bahasa Tagalog atau Cebuanos? Menunggu bagasi kali ini lama sekali. Dan terdengar kata2 lokal yang sekilas mirip Melayu juga. Kenapa di Manila nggak seajaib itu tadi? Ini negara menarik. Di mana2, segalanya dicetak dalam Bahasa Inggris, bukan bahasa lokal. Iklan2 sebagian besar dalam Bahasa Inggris juga — dan justru iklan2 baru yang berkilau yang menggunakan bahasa lokal. Taxi dispatcher berbicara dalam Bahasa Inggris ke kami; tapi waktu mereka saling bicara, terdengar nuansa Melayu, seperti “Ada di atas.” Heh, jangan2 memang orang Melayu. Atau Indonesia. Ragu. Orang Filipina, seperti Indonesia, juga exporter TKI. Taxi Bandara lebih mahal dari taxi luar, tapi jauh lebih baik. Dan kalau kita bicara tentang mahal, dia tetap tak lebih mahal dari Jakarta. Selain taxi, juga banyak Jeepney berseliweran, dengan tarif murah.

Kalau kita menutup telinga, rasanya kita masih di Indonesia. Perawakan, gaya berkomunikasi, dll, mirip kota2 di Indonesia. Tapi tentu nyaris tak ada yang pakai kerudung di sini. Buka telinga, baru kita sadar bahwa bahasanya berbeda :). Sinyal GPRS cukup baik, baik di Mactan maupun Cebu. WiFi diberikan gratis di hotel2, dengan kecepatan OK. Credit Card tak selalu diterima. Jadi, memang kita harus selalu bawa peso. Seram. Eh, tadi sudah.

Taxi di Cebu-Mactan menyeramkan. Mirip taxi Kota Kembang di Bandung: putih, bobrok, bau. Kabel seliweran. Drivernya menyetir ngebut dan seenaknya. Bedanya dengan di Bandung: driver angkot (Jeepney) pun menyerah atas kegilaan driver taxi di sini. Resort dan tempat2 yang dikelola untuk wisata keren sekali. Pasir putih kasar (tidak halus, jadi tak mengotori baju), pohon, dan petugas yang ramah. Di Imperial misalnya, kami nggak boleh jalan masuk, tapi diberi tumpangan mobil elektrik untuk berkeliling dengan guide yang sabar dan ramah. Gak bayar apa2, padahal kami bukan tamu yang menginap, dan mereka tahu kami menginap di hotel lain.

Oh ya … penerbangan dari Jakarta ke Cebu-Mactan itu tidak setiap hari. Jadi kami datang terlalu cepat. Jadi serasa punya hari libur. Jadi kami ke Cebu. Lihat mall juga, haha. “Silakan,” kata satpam di depan mall, sambil mengoperasikan detektor logam (Indonesia sekali kan?). Lihat2 souvenir, benar2 tak beda dengan di Indonesia. Bedanya, mereka nggak punya batik. Ada juga songkit (dengan huruf i). Penjaganya ramah. Kami berbincang panjang sambil melihat souvenir. Tapi dia sambil menyanyi, haha. Ke ATM, wow, antri panjaaang. Aku ke ATM, soalnya udah ogah ke money changer lagi. Ambil Peso dengan ATM Mandiri, tidak ada kesulitan sama sekali (selain antrinya panjang di semua ATM di mall itu). Ke toko buku, huh, bukunya Bahasa Inggris. Padahal aku mau cari buku “Pangeran Kecil” dalam bahasa Tagalog. (Mirip waktu ke Johor — aku nggak dapat “Pangeran Kecil” dalam Bahasa Melayu). Cari makan. Gilse. Baboy euh. Baboy mulu. Sea food akhirnya :). Trus ke Department Store, soalnya aku nggak punya dasi. Di Telkom udah nggak ada budaya pakai dasi sih, jadi udah nggak punya. Harganya sekilas tampak normal. Tapi kalau kita sempat mengkurs, baru kita sadar: murahnya bersaing dengan Bandung. Haha :). Hati2 nih orang Bandung. So, aku beli dasi kelabu dan ikat pinggang (punyaku sudah lama rusak, tapi masih dipakai terus). Nggak tergoda belanja — nunggu ke Bandung aja :). Hmm, padahal ada jaket keren.

Di luar mall, suasanya nggak jauh juga dengan Bandung. Ada becak (pakai motor tapi, kayak di Medan). Ada tukang jual makanan di lampu merah. Ada angkot penuh dempul. Dan ada orang2 ramah tamah di mana2 :). Cerita tentang Starbucks aku tulis di blog satu lagi. Dari mall, kami kembali ke Mactan, dan langsung ke Shangri-La, tempat IEEE Region 10 Meeting akan diselenggarakan.

Shangri-La terletak hanya beberapa menit jalan kaki dari Shrine of Magellan, tempat Fernao de Magalhaes tewas dalam upayanya yang gagal untuk menjajah Pulau Mactan. Malam itu IEEE belum menyediakan dinner; sementara makanan di Shangri-La mahal. Jadi kami dari Indonesia Section dan Malaysia Section bergabung cari sea food di dekat Shrine of Magellan. Ternyata masih mahal juga, haha. Abisan, yang dimakan malah lobster dan makanan unik lainnya. Tapi langsung dibayari pihak Malaysia, soalnya salah satunya adalah pejabat Region, yang biaya dinner-nya malam itu bisa dipertanggungkan ;).

Malam itu, sekalian kami mengadakan IEEE Comsoc Indonesia Chapter Special Meeting. Mumpun ketemu aja. Dua hari berikutnya adalah IEEE Region 10 Meeting, yang udah aku tulis di dua entry sebelumnya. Apa yang menarik ya? Ya, kita sambil kampanye tentang Indonesia juga, soalnya tahun 2011 kita sudah disetujui untuk menjadi tuan rumah TENCON di Bali; sekaligus mengajukan diri jadi tuan rumah Region 10 Meeting 2011 di Yogyakarta. Diskusi2 dengan delegasi2 negara2 lain, dan dengan officer baik IEEE pusat maupun Region 10. Dievaluasi juga aktivitas Section dan Chapter. Penanggungjawab Chapter2 agak kecewa bahwa di Indonesia tidak banyak Chapter yang aktif, selain Communications Society (Comsoc) Chapter. Juga dari Computer Society, didesak untuk segera membuat Computer Society Chapter di Indonesia. Aku juga ketemu officer dari Philippine Section. Mereka kecewa gara2 aku dan tim nggak sempat memberikan lecture di Manila beberapa hari sebelumnya. Sedih juga sih. Tapi aku kan masih punya kantor :D. Dia ngasih tawaran buat ngasih lecture lagi bulan2 ini. Mudah2an bisa. Laku juga ternyata orang Indonesia ngasih lecture ;). Mas pinalakas, mas pinalawak, haha :).

Acara belum sepenuhnya selesai waktu aku melejit lagi ke Mactan Airport, meninggalkan acara2 menarik (kunjungan sosial dan budaya) di Cebu. Aku mengejar pesawat ke Manila, lalu terbang ke Singapore untuk aktivitas yang lain. Pesawatnya masih miring2 aja setiap kali mau landing. Oh ya, dari dekat runway, aku lihat pesawat Cebu Pacific Air lain juga miring2 waktu mau mendarat. Sudah Standard Operation Procedure barangkali. Mudah2an nggak sering2 naik Miring Airlines itu.

Tapi, btw, aku sama sekali nggak keberatan kalau harus berkunjung lagi ke Filipina. Negeri yang menarik :). Sayangnya, sampai Indonesia, level kesehatan agak jatuh. Rada lelah dan kacau. Temen2 yang ketemu aku di Ignite pasti melihat hal yang sama :). Dan masih terasa sampai sekarang. Kurasa aku harus beristirahat dulu.

Computer Society

Btw, ada orang2 yang memang profesi utamanya adalah tukang menghilangkan kacamata. Aku salah satunya. Hik :(. Kayaknya kacamataku hilang di taksi di Lapu-Lapu City.

Dinner time kemarin, aku duduk di antara Dr. Iwao Hyakutake dan Dr. Hotaoka Nobuo. Iwao adalah Asia Pacific Region Manager untuk IEEE Computer Society, berkedudukan di Tokyo. Aku, biarpun lebih aktif di Communications Society (Comsoc), adalah anggota Computer Society (CS) juga. Waktu masuk ke IEEE setelah lulus kuliah di akhir abad lalu, aku memutuskan bahwa bidang ilmuku adalah konvergensi infokom; jadi aku masuk ke dua society. Eh tiga, termasuk IT Society. Tapi yang terakhir ini aku hentikan untuk menghemat dana.

Iwao menanyakan kenapa tidak ada Computer Society Chapter di Indonesia. Pertanyaan sulit. Faktanya, society di IEEE yang memiliki paling banyak anggota di Indonesia justru Computer Society. Tetapi chapternya tidak ada. Dulu para aktivis IEEE Indonesia memutuskan membentuk Join Chapter of Computer and Communications Society. Namun Join Chapter ini dipecah pada 2003 menjadi Computer Society (CS) Chapter dan Communication Society (Comsoc) Chapter. Comsoc Chapter mulai maju, biarpun dengan langkah cukup berat. Tetapi CS Chapter menghilang.

Barangkali memang di Indonesia sudah terlalu banyak asosiasi, himpunan, paguyuban, dll yang berelasi dengan bidang ilmu komputer, Internet, IT, baik dari sisi perangkat keras, perangkat lunak, aplikasi, jaringan, hingga pemanfaatannya di masyarakat. Yang terlalu serius macam CS barangkali tak lagi diminati untuk membuat kegiatan bersama. Kopdar dan networking lebih menarik daripada conference :).

Padahal sebenarnya hanya perlu petisi 12 anggota CS untuk membuat chapter baru. Dan kegiatan sharing ilmu bisa dilakukan dengan gaya populer, tak harus dalam bentuk simposium yang memerlukan komitmen besar. Materi untuk sharing ide, ilmu, dan skill bisa diacu langsung dari web CS di COMPUTER.ORG — ini adalah web terlengkap dan terkeren dibandingkan web society lain di IEEE. Di dalamnya bukan saja ada materi2 menarik bagi anggota CS, tetapi juga berbagai skill profesi, manajemen, dan komputasi, serta banyak feature lain yang dapat digunakan oleh siapa pun. CS memang tengah berusaha mengimplementasikan lifetime learning kepada seluruh IEEE dan masyarakat luas. Maka CS Chapter, andai bisa dibentuk, memiliki cukup banyak peluang menarik untuk beraktivitas.

Tapi itu sih dilihat dari kacamataku. Mungkin para profesional ilmu komputer di Indonesia punya padangan lain. Lagipula, seperti aku bilang tadi, kacamataku hilang.

Lapu Lapu

Apa yang terbayang dari nama Cebu? Bayangan seorang Ibu Guru di SMP yang mengajar sejarah dengan begitu passionate-nya, menceritakan penjelajahan Fernão de Magalhães, pelaut Portugis yang pernah ke Melaka bersama pasukan D’Albuquerque, lalu mengabdi Ratu Ysabel dari Spanyol, dan menjelajah ke barat untuk membuktikan bahwa bumi itu bulat. Misinya berhasil. Namun dari ratusan pelaut, hanya belasan yang kembali ke Spanyol, dipimpin oleh Juan Sebastian Elcano. Magellan (begitu namanya dieja dalam bahasa Inggris) terlalu asyik menaklukkan Kepulauan Cebu. Lalu ia berminat menaklukkan pula Pulau Mactan. Namun di Pantai Mactan, Magellan tewas dalam pertempuran di air dangkal melawan pimpinan suku Mactan, Lapu-Lapu. Tentu akhirnya Spanyol menguasai juga kepulauan besar ini, yang kemudian bernama Filipina. Penjajahan Spanyol digantikan oleh Amerika Serikat, dan kini digantikan oleh orang kaya lokal. Mactan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Cebu, yang dihubungkan dengan dua jembatan besar. Cebu Airport pun terletak di Mactan. Di kota bernama Lapu-Lapu :).

Di sebuah resort di salah satu ujung kota Lapu-Lapu ini, hanya berjarak 5 menit berjalan kaki dari tempat Pertempuran Mactan itu, IEEE menyelenggarakan Pertemuan Tahunan Region 10 (Asia Pacific). Indonesia Section mengirimkan 2 wakil, ditambah 1 dari Indonesia Comsoc Chapter, dan 1 dari organiser TENCON 2011 (yang akan diselenggarakan di Bali tahun 2011). Pertemuan ini cukup lengkap. Selain para awak Region 10 dan seluruh Section di bawahnya, hadir pula Presiden Elect IEEE Moshe Kam, dan perwakilan dari Region 8 (Eropa Afrika) Joseph Modelsky.

Menarik menyimak paparan Kam. IEEE adalah hasil merger AIEE dan IRE. AIEE adalah organisasi yang secara klasik dihuni para engineer elektrik, sedangkan IRE organisasi yang dirasuki para engineer muda yang menggemari teknologi elektronika. Mirip NEFO dan OLDEFO, haha. Keduanya memiliki jumlah anggota yang terus bertambah; namun IRE melaju cepat dan melampaui AIEE. Merger keduanya ke dalam IEEE di tahun 1963 menyelesaikan masalah dualisme. Lalu dibentuklah society, region, section, dan lain2, yang berkembang hingga kini. Kini IEEE diakui sebagai pemegang autoritas dalam berbagai bidang ilmu dan profesi keinsinyuran. Dari 20 jurnal bidang elektroteknika yang paling banyak diacu, 16 di antaranya dari IEEE. Dari 20 jurnal bidang telekomunikasi yang paling banyak diacu, 15 di antaranya dari IEEE. Dan seterusnya. Namun. Dari 20 jurnal bidang medical informatics yang paling banyak diacu, hanya 2 dari IEEE. Dan dari 20 jurnal bidang nanoscience yang paling banyak diacu, tak satu pun dari IEEE. Kam menohok: mungkinkah IEEE sudah menjadi kekuatan established seperti AIEE zaman dahulu, sementara ilmu berkembang ke arah life science yang digandrungi para ilmuwan dan engineer muda, seperti IRE zaman dahulu? Maka ia menyampaikan arahan BOD: IEEE diarahkan ke teknologi yang relevan! IEEE bukan asosiasi kaum terdidik saja, melainkan harus jadi himpunan para engineer dan profesional. Bersambut dengan itu, Region 10 menyampaikan program2 yang mengarah ke peningkatan benefit ke anggota dan masyarakat melalui pengembangan organisasi, profesi, dan teknologi yang relevan dengan kekinian.

Apa sih untungnya jadi anggota IEEE? Ini pertanyaan yang sejak aku jadi Associate Member sudah sering dikaji. Aku bertahan cukup lama di sini, dengan alasan tersendiri. Tapi tak yakin bahwa alasan pribadi ini bisa ditularkan untuk membuat rekan2 bertahan juga, atau para engineer lain jadi ikut berminat masuk serta aktif di IEEE. Beberapa hal menarik yang sering disebutkan atas IEEE meliputi: akses ke engineering knowledge, peningkatan profesionalitas, kesempatan networking, bakti buat masyarakat, kesempatan karir, dan lain-lain. Namun buat para engineer di Indonesia, mungkin itu belum cukup; terutama karena organisasi ini mengenakan iuran tahunan yang menarik (istilah yang aneh, haha). Jadi kami di Indonesia Section (dan Communication Society Chapter yang sedang aku kelola) berusaha menciptakan benefit2 lebih: membuka kesempatan2 baru untuk networking, menampilkan citra profesionalitas anggota IEEE (expertise yang digabungkan dengan kepiawaian berkomunikasi manusiawi), dan menyusun serial kegiatan berbagi ilmu. Dari pusat, mulai ada policy untuk menurunkan iuran keanggotaan, agar lebih menarik. Angkanya disimpan dulu, sampai informasinya ditampilkan resmi :).

Strategi2 ini digali dan didiskusikan hari2 ini, untuk membentuk breakthrough dalam pengembangan organisasi, profesi, dan teknologi. Beberapa hal lain meliputi keprihatinan atas kurangnya peran insinyur perempuan, padahal telah terwadahi dalam Women in Engineering (WIE). Juga perlunya peningkatan peran para insinyur baru (GOLD — graduation of the last decade). Sayap filantrofi IEEE dikembangkan melalui HTC (humanitarian technology challenge). Dan masih banyak gagasan2 lain. Ada satu hari lagi, besok.

Berbeda dengan kota2 lain di Asia Timur Raya, Mactan dan Cebu ditaburi sinar matahari yang hangat sepanjang hari, nyaris tanpa awan dan mendung. Kesejukan datang dari angin laut. Suasana kota mirip kota2 agak kecil di Indonesia, dengan berbagai jenis angkot, tukang jual makanan di pinggir dan di tengah jalan, sopir taksi yang semena2 mengenakan tarif, dan sopir angkot yang biarpun gila tapi kalah gila dibanding sopir taksi. Harga2 terasa lebih murah dari Bandung, nah lo.

Penduduknya ramah, pandai berbahasa Inggris, namun sehari2 menggunakan bahasa Cebuano, yang beberapa kosa katanya mirip Bahasa Indonesia. Haha. Segala informasi ditulis dan dicetak dalam Bahasa Inggris. Tapi, hati2, di sini kita harus bawa peso kalau mau belanja atau jalan2. Serem nggak sih?

Gerbang 4G di Surabaya

Kampanye memperkenalkan IEEE melalui penyebaran wawasan atas teknologi-teknologi terbaru terus kami giatkan di berbagai kota. Februari ini, giliran kota Surabaya.

IEEE Indonesia Comsoc Chapter: Opening the Gates to 4G Mobile.

Kegiatan kali ini lebih besar dari kegiatan serupa. Audiensi bukan saja dari UPH, namun juga dari berbagai kampus dan dari para profesional teknologi di Surabaya. Tuan rumah kegiatan ini adalah Universitas Pelita Harapan (UPH), dipimpin Rektor UPH Prof John Parapak. Juga hadir pemrakarsa kegiatan ini di UPH, Prof John Batubara.

Seperti seminar sebelumnya, kami mengkaji aspek pengembangan teknologi telekomunikasi, termasuk beberapa alternatif dalam pengembangan teknologi mobile generasi keempat, termasuk LTE dan Wimax.

Masyarakat FaceBook

Account Facebook-ku pernah dimatikan. Tanpa alasan — selain “aku bisa hidup tanpa Facebook” :). Lalu hidup berjalan nyaris tanpa perubahan, kecuali perubahan yang baik. Tapi belum 48 jam, Mbak Enno dari MetroTV menelefon. Kelanjutannya sudah dibahas di entry sebelumnya. Yang jelas, account Facebook itu terpaksa dihidupkan lagi :).

Sejarah Facebook sendiri tak terlalu menarik. Mark Zuckerberg adalah seorang hacker yang barangkali tak termasuk ethical hacker. Mahasiswa Universitas Harvard ini konon sempat menuliskan pengalamannya dalam sebuah blog. Diawali sebuah kencan yang gagal, Mark menggunakan keterampilannya untuk membajak database-database mahasiswa di universitasnya. Pelbagai cara dilakukan, termasuk menerobos miskonfigurasi Apache, aplikasi web dengan scripting lemah, server dengan password yang jelek, dan sebagainya. Tujuannya untuk mengumpulkan foto2 mahasiswi Harvard. “A little wget magic is all that’s necessary to download the entire Kirkland facebook,” ujarnya. Foto2 mahasiswi itu dikumpulkannya dalam situs baru FaceMash.com, lalu ia buat sistem skor. Tentu skor fisik semata. Trafik site ini mendadak tinggi, dan menguras bandwidth universitasnya. Mark menjadi sadar: ada ruang yang terbuka luas untuk membuat jejaring sosial dengan foto2. Maka dibuatlah TheFaceBook.com. Dalam 1 minggu, 5000 orang telah mendaftar. Dalam 10 bulan, 1 juta anggota tercapai. Namanya diubah menjadi FaceBook.com. Dalam usia 6 tahun di awal 2010 ini, jumlah anggota mencapai 400 juta, dan diprediksi dapat mencapai 1 miliar akhir tahun ini.

Sejujurnya, FaceBook telah membuka peluang berkomunikasi dan berinteraksi secara lebih baik. Komunikasi dengan teman2, lalu dengan teman2 lama, dapat disusul dengan mengorganisasikan kegiatan positif, dari sekedar reuni hingga kegiatan sosial, termasuk meningkatkan kepedulian atas kemanusiaan dengan berbagai causes, dan bahkan mengumpulkan dana. Tentu bohong kalau ada yang menyebut bahwa dibebaskannya Prita, dan juga duet Pemimpin KPK Chandra dan Bibit, tidak berkaitan dengan desakan keras masyarakat menggunakan FaceBook. Dan Twitter :).

Namun jika di Twitter mulai dibentuk tim pemecah ombak untuk menceraiberaikan suara khalayak, maka FaceBook-pun mulai dituduh menjadi fasilitator berbagai tindakan kriminal, termasuk bullying, pencurian identitas, penipuan, penculikan, prostitusi, dan mungkin suatu hari juga kudeta. Dan, sialnya, aku mulai berfikir bahwa itu bukan tanpa alasan.

Seperti interaksi Internet lainnya, FaceBook membuka peluang komunikasi baru, dan mungkin juga menggantikan komunikasi bentuk lama. Internet membuat kita berkomunikasi lebih bebas dengan teman, guru, atasan, musuh, dll. Internet juga membebaskan kita2 yang sebelumnya sulit berkomunikasi wajar. Tetapi halangan berkomunikasi manusiawi yang wajar ini, yang seharusnya dapat diatasi, justru mungkin menjadi tak teratasi. FaceBook membentuk realitas baru. Seolah2. Padahal sesungguhnya dunia nyata mungkin belum banyak berubah. Maka FaceBook menjadi penipu: ia sekedar memberi ilusi bahwa kita memiliki realitas yang menarik, dengan komunikasi yang baik. Ini tentu terjadi pada aplikasi Internet lain, termasuk email, YM, Kaskus, dll. Namun di FaceBook, kita membuka seluruh diri kita: data vital (tanggal lahir, alamat), relasi kita (keluarga, teman, tempat sekolah, alumni, angkatan). Di luar sana masyarakat masih lapar, masih kejam, masih jahat; dan dengan kenaifan kita, kita memberi mereka kesempatan, terselubung ilusi kita. Ilusi bahwa kita aman — ada keluarga, teman, guru, dan masyarakat luas yang baik hati dan berkepedulian sosial di sana. Maka jika terjadi kejahatan yang terfasilitasi FaceBook, ya, memang FaceBook pun harus dinyatakan bersalah.

Menggunakan FaceBook, dan media sosial lainnya, memerlukan kedewasaan. Karena itu anak di bawah umur memang tak diperkenankan menggunakan fasilitas ini. Kecuali orang tuanya memang gagap teknologi dan benar2 tak paham apa itu media sosial. Kedewasaan membuat kita ingat bahwa kita adalah makhluk dengan berbagai keterbatasan. Akal sehat kita seringkali harus terkalahkan oleh sisi lain dari kemanusiaan kita (orang dewasa paham maksudku). Ini tak terhindarkan. Dan orang dewasa sadar: kita memerlukan kontrol. Tapi tentu saja kontrol bukan dari provider, dari negara, atau dari pihak yang (merasa) berwenang. Buat kaum2 muda, kontrol terbesar bukan dari orang tua, guru, hansip, dll, tetapi barangkali dari teman2. Maka kebiasaan sebelum FaceBook, untuk memiliki teman2 dekat, dan untuk saling terbuka dengan teman2 dekat, harus tetap dipelihara. Mereka bisa menjadi kontrol ampuh: memverifikasi pikiran kita saat kita benar atau saat kita salah, ikut menjaga diri kita saat kita mungkin menjadi korban kejahatan (atau lebih parah: ikut menjadi pelaku kejahatan).

Tapi mungkin juga akan lebih menarik untuk menggunakan FaceBook dan media sosial lainnya lebih sebagai media ide. Hmm, entah kenapa jadi ingat Pitra ya :). FaceBook, Twitter, blog, dll, lebih menarik untuk digunakan sebagai tempat mencurahkan ide, memversifikasi, mengkompetisikan, lalu mengkoordinasikan implementasi ide2 itu menjadi hal2 menarik. Menyebalkan membayangkan media sosial cuma dipakai untuk membuang sampah, curhat, memaki, dan menunjukkan kebodohan diri sendiri dengan cara2 semacam itu. Langit biru, cerah, indah. Dan mereka yang menggerutu pada mendung tebal hanya menunjukkan bahwa mereka tak punya kemampuan mendasar untuk memiliki pandangan yang menembus awan. Realitas dibentuk oleh pikiran kita, dan kecerdasan kita. Tak perlu selalu menyerah kepada kebodohan :).

Eh, btw, aku jadi punya judul baru neh: pengamat, haha. Pengamat sama pelaku sebenernya berbeda kan ya?

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑