Account Facebook-ku pernah dimatikan. Tanpa alasan — selain “aku bisa hidup tanpa Facebook” :). Lalu hidup berjalan nyaris tanpa perubahan, kecuali perubahan yang baik. Tapi belum 48 jam, Mbak Enno dari MetroTV menelefon. Kelanjutannya sudah dibahas di entry sebelumnya. Yang jelas, account Facebook itu terpaksa dihidupkan lagi :).
Sejarah Facebook sendiri tak terlalu menarik. Mark Zuckerberg adalah seorang hacker yang barangkali tak termasuk ethical hacker. Mahasiswa Universitas Harvard ini konon sempat menuliskan pengalamannya dalam sebuah blog. Diawali sebuah kencan yang gagal, Mark menggunakan keterampilannya untuk membajak database-database mahasiswa di universitasnya. Pelbagai cara dilakukan, termasuk menerobos miskonfigurasi Apache, aplikasi web dengan scripting lemah, server dengan password yang jelek, dan sebagainya. Tujuannya untuk mengumpulkan foto2 mahasiswi Harvard. “A little wget magic is all that’s necessary to download the entire Kirkland facebook,” ujarnya. Foto2 mahasiswi itu dikumpulkannya dalam situs baru FaceMash.com, lalu ia buat sistem skor. Tentu skor fisik semata. Trafik site ini mendadak tinggi, dan menguras bandwidth universitasnya. Mark menjadi sadar: ada ruang yang terbuka luas untuk membuat jejaring sosial dengan foto2. Maka dibuatlah TheFaceBook.com. Dalam 1 minggu, 5000 orang telah mendaftar. Dalam 10 bulan, 1 juta anggota tercapai. Namanya diubah menjadi FaceBook.com. Dalam usia 6 tahun di awal 2010 ini, jumlah anggota mencapai 400 juta, dan diprediksi dapat mencapai 1 miliar akhir tahun ini.
Sejujurnya, FaceBook telah membuka peluang berkomunikasi dan berinteraksi secara lebih baik. Komunikasi dengan teman2, lalu dengan teman2 lama, dapat disusul dengan mengorganisasikan kegiatan positif, dari sekedar reuni hingga kegiatan sosial, termasuk meningkatkan kepedulian atas kemanusiaan dengan berbagai causes, dan bahkan mengumpulkan dana. Tentu bohong kalau ada yang menyebut bahwa dibebaskannya Prita, dan juga duet Pemimpin KPK Chandra dan Bibit, tidak berkaitan dengan desakan keras masyarakat menggunakan FaceBook. Dan Twitter :).
Namun jika di Twitter mulai dibentuk tim pemecah ombak untuk menceraiberaikan suara khalayak, maka FaceBook-pun mulai dituduh menjadi fasilitator berbagai tindakan kriminal, termasuk bullying, pencurian identitas, penipuan, penculikan, prostitusi, dan mungkin suatu hari juga kudeta. Dan, sialnya, aku mulai berfikir bahwa itu bukan tanpa alasan.
Seperti interaksi Internet lainnya, FaceBook membuka peluang komunikasi baru, dan mungkin juga menggantikan komunikasi bentuk lama. Internet membuat kita berkomunikasi lebih bebas dengan teman, guru, atasan, musuh, dll. Internet juga membebaskan kita2 yang sebelumnya sulit berkomunikasi wajar. Tetapi halangan berkomunikasi manusiawi yang wajar ini, yang seharusnya dapat diatasi, justru mungkin menjadi tak teratasi. FaceBook membentuk realitas baru. Seolah2. Padahal sesungguhnya dunia nyata mungkin belum banyak berubah. Maka FaceBook menjadi penipu: ia sekedar memberi ilusi bahwa kita memiliki realitas yang menarik, dengan komunikasi yang baik. Ini tentu terjadi pada aplikasi Internet lain, termasuk email, YM, Kaskus, dll. Namun di FaceBook, kita membuka seluruh diri kita: data vital (tanggal lahir, alamat), relasi kita (keluarga, teman, tempat sekolah, alumni, angkatan). Di luar sana masyarakat masih lapar, masih kejam, masih jahat; dan dengan kenaifan kita, kita memberi mereka kesempatan, terselubung ilusi kita. Ilusi bahwa kita aman — ada keluarga, teman, guru, dan masyarakat luas yang baik hati dan berkepedulian sosial di sana. Maka jika terjadi kejahatan yang terfasilitasi FaceBook, ya, memang FaceBook pun harus dinyatakan bersalah.
Menggunakan FaceBook, dan media sosial lainnya, memerlukan kedewasaan. Karena itu anak di bawah umur memang tak diperkenankan menggunakan fasilitas ini. Kecuali orang tuanya memang gagap teknologi dan benar2 tak paham apa itu media sosial. Kedewasaan membuat kita ingat bahwa kita adalah makhluk dengan berbagai keterbatasan. Akal sehat kita seringkali harus terkalahkan oleh sisi lain dari kemanusiaan kita (orang dewasa paham maksudku). Ini tak terhindarkan. Dan orang dewasa sadar: kita memerlukan kontrol. Tapi tentu saja kontrol bukan dari provider, dari negara, atau dari pihak yang (merasa) berwenang. Buat kaum2 muda, kontrol terbesar bukan dari orang tua, guru, hansip, dll, tetapi barangkali dari teman2. Maka kebiasaan sebelum FaceBook, untuk memiliki teman2 dekat, dan untuk saling terbuka dengan teman2 dekat, harus tetap dipelihara. Mereka bisa menjadi kontrol ampuh: memverifikasi pikiran kita saat kita benar atau saat kita salah, ikut menjaga diri kita saat kita mungkin menjadi korban kejahatan (atau lebih parah: ikut menjadi pelaku kejahatan).
Tapi mungkin juga akan lebih menarik untuk menggunakan FaceBook dan media sosial lainnya lebih sebagai media ide. Hmm, entah kenapa jadi ingat Pitra ya :). FaceBook, Twitter, blog, dll, lebih menarik untuk digunakan sebagai tempat mencurahkan ide, memversifikasi, mengkompetisikan, lalu mengkoordinasikan implementasi ide2 itu menjadi hal2 menarik. Menyebalkan membayangkan media sosial cuma dipakai untuk membuang sampah, curhat, memaki, dan menunjukkan kebodohan diri sendiri dengan cara2 semacam itu. Langit biru, cerah, indah. Dan mereka yang menggerutu pada mendung tebal hanya menunjukkan bahwa mereka tak punya kemampuan mendasar untuk memiliki pandangan yang menembus awan. Realitas dibentuk oleh pikiran kita, dan kecerdasan kita. Tak perlu selalu menyerah kepada kebodohan :).
Eh, btw, aku jadi punya judul baru neh: pengamat, haha. Pengamat sama pelaku sebenernya berbeda kan ya?
Like this:
Like Loading...