Author: Koen (Page 13 of 86)

Computer Society

Btw, ada orang2 yang memang profesi utamanya adalah tukang menghilangkan kacamata. Aku salah satunya. Hik :(. Kayaknya kacamataku hilang di taksi di Lapu-Lapu City.

Dinner time kemarin, aku duduk di antara Dr. Iwao Hyakutake dan Dr. Hotaoka Nobuo. Iwao adalah Asia Pacific Region Manager untuk IEEE Computer Society, berkedudukan di Tokyo. Aku, biarpun lebih aktif di Communications Society (Comsoc), adalah anggota Computer Society (CS) juga. Waktu masuk ke IEEE setelah lulus kuliah di akhir abad lalu, aku memutuskan bahwa bidang ilmuku adalah konvergensi infokom; jadi aku masuk ke dua society. Eh tiga, termasuk IT Society. Tapi yang terakhir ini aku hentikan untuk menghemat dana.

Iwao menanyakan kenapa tidak ada Computer Society Chapter di Indonesia. Pertanyaan sulit. Faktanya, society di IEEE yang memiliki paling banyak anggota di Indonesia justru Computer Society. Tetapi chapternya tidak ada. Dulu para aktivis IEEE Indonesia memutuskan membentuk Join Chapter of Computer and Communications Society. Namun Join Chapter ini dipecah pada 2003 menjadi Computer Society (CS) Chapter dan Communication Society (Comsoc) Chapter. Comsoc Chapter mulai maju, biarpun dengan langkah cukup berat. Tetapi CS Chapter menghilang.

Barangkali memang di Indonesia sudah terlalu banyak asosiasi, himpunan, paguyuban, dll yang berelasi dengan bidang ilmu komputer, Internet, IT, baik dari sisi perangkat keras, perangkat lunak, aplikasi, jaringan, hingga pemanfaatannya di masyarakat. Yang terlalu serius macam CS barangkali tak lagi diminati untuk membuat kegiatan bersama. Kopdar dan networking lebih menarik daripada conference :).

Padahal sebenarnya hanya perlu petisi 12 anggota CS untuk membuat chapter baru. Dan kegiatan sharing ilmu bisa dilakukan dengan gaya populer, tak harus dalam bentuk simposium yang memerlukan komitmen besar. Materi untuk sharing ide, ilmu, dan skill bisa diacu langsung dari web CS di COMPUTER.ORG — ini adalah web terlengkap dan terkeren dibandingkan web society lain di IEEE. Di dalamnya bukan saja ada materi2 menarik bagi anggota CS, tetapi juga berbagai skill profesi, manajemen, dan komputasi, serta banyak feature lain yang dapat digunakan oleh siapa pun. CS memang tengah berusaha mengimplementasikan lifetime learning kepada seluruh IEEE dan masyarakat luas. Maka CS Chapter, andai bisa dibentuk, memiliki cukup banyak peluang menarik untuk beraktivitas.

Tapi itu sih dilihat dari kacamataku. Mungkin para profesional ilmu komputer di Indonesia punya padangan lain. Lagipula, seperti aku bilang tadi, kacamataku hilang.

Lapu Lapu

Apa yang terbayang dari nama Cebu? Bayangan seorang Ibu Guru di SMP yang mengajar sejarah dengan begitu passionate-nya, menceritakan penjelajahan Fernão de Magalhães, pelaut Portugis yang pernah ke Melaka bersama pasukan D’Albuquerque, lalu mengabdi Ratu Ysabel dari Spanyol, dan menjelajah ke barat untuk membuktikan bahwa bumi itu bulat. Misinya berhasil. Namun dari ratusan pelaut, hanya belasan yang kembali ke Spanyol, dipimpin oleh Juan Sebastian Elcano. Magellan (begitu namanya dieja dalam bahasa Inggris) terlalu asyik menaklukkan Kepulauan Cebu. Lalu ia berminat menaklukkan pula Pulau Mactan. Namun di Pantai Mactan, Magellan tewas dalam pertempuran di air dangkal melawan pimpinan suku Mactan, Lapu-Lapu. Tentu akhirnya Spanyol menguasai juga kepulauan besar ini, yang kemudian bernama Filipina. Penjajahan Spanyol digantikan oleh Amerika Serikat, dan kini digantikan oleh orang kaya lokal. Mactan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Cebu, yang dihubungkan dengan dua jembatan besar. Cebu Airport pun terletak di Mactan. Di kota bernama Lapu-Lapu :).

Di sebuah resort di salah satu ujung kota Lapu-Lapu ini, hanya berjarak 5 menit berjalan kaki dari tempat Pertempuran Mactan itu, IEEE menyelenggarakan Pertemuan Tahunan Region 10 (Asia Pacific). Indonesia Section mengirimkan 2 wakil, ditambah 1 dari Indonesia Comsoc Chapter, dan 1 dari organiser TENCON 2011 (yang akan diselenggarakan di Bali tahun 2011). Pertemuan ini cukup lengkap. Selain para awak Region 10 dan seluruh Section di bawahnya, hadir pula Presiden Elect IEEE Moshe Kam, dan perwakilan dari Region 8 (Eropa Afrika) Joseph Modelsky.

Menarik menyimak paparan Kam. IEEE adalah hasil merger AIEE dan IRE. AIEE adalah organisasi yang secara klasik dihuni para engineer elektrik, sedangkan IRE organisasi yang dirasuki para engineer muda yang menggemari teknologi elektronika. Mirip NEFO dan OLDEFO, haha. Keduanya memiliki jumlah anggota yang terus bertambah; namun IRE melaju cepat dan melampaui AIEE. Merger keduanya ke dalam IEEE di tahun 1963 menyelesaikan masalah dualisme. Lalu dibentuklah society, region, section, dan lain2, yang berkembang hingga kini. Kini IEEE diakui sebagai pemegang autoritas dalam berbagai bidang ilmu dan profesi keinsinyuran. Dari 20 jurnal bidang elektroteknika yang paling banyak diacu, 16 di antaranya dari IEEE. Dari 20 jurnal bidang telekomunikasi yang paling banyak diacu, 15 di antaranya dari IEEE. Dan seterusnya. Namun. Dari 20 jurnal bidang medical informatics yang paling banyak diacu, hanya 2 dari IEEE. Dan dari 20 jurnal bidang nanoscience yang paling banyak diacu, tak satu pun dari IEEE. Kam menohok: mungkinkah IEEE sudah menjadi kekuatan established seperti AIEE zaman dahulu, sementara ilmu berkembang ke arah life science yang digandrungi para ilmuwan dan engineer muda, seperti IRE zaman dahulu? Maka ia menyampaikan arahan BOD: IEEE diarahkan ke teknologi yang relevan! IEEE bukan asosiasi kaum terdidik saja, melainkan harus jadi himpunan para engineer dan profesional. Bersambut dengan itu, Region 10 menyampaikan program2 yang mengarah ke peningkatan benefit ke anggota dan masyarakat melalui pengembangan organisasi, profesi, dan teknologi yang relevan dengan kekinian.

Apa sih untungnya jadi anggota IEEE? Ini pertanyaan yang sejak aku jadi Associate Member sudah sering dikaji. Aku bertahan cukup lama di sini, dengan alasan tersendiri. Tapi tak yakin bahwa alasan pribadi ini bisa ditularkan untuk membuat rekan2 bertahan juga, atau para engineer lain jadi ikut berminat masuk serta aktif di IEEE. Beberapa hal menarik yang sering disebutkan atas IEEE meliputi: akses ke engineering knowledge, peningkatan profesionalitas, kesempatan networking, bakti buat masyarakat, kesempatan karir, dan lain-lain. Namun buat para engineer di Indonesia, mungkin itu belum cukup; terutama karena organisasi ini mengenakan iuran tahunan yang menarik (istilah yang aneh, haha). Jadi kami di Indonesia Section (dan Communication Society Chapter yang sedang aku kelola) berusaha menciptakan benefit2 lebih: membuka kesempatan2 baru untuk networking, menampilkan citra profesionalitas anggota IEEE (expertise yang digabungkan dengan kepiawaian berkomunikasi manusiawi), dan menyusun serial kegiatan berbagi ilmu. Dari pusat, mulai ada policy untuk menurunkan iuran keanggotaan, agar lebih menarik. Angkanya disimpan dulu, sampai informasinya ditampilkan resmi :).

Strategi2 ini digali dan didiskusikan hari2 ini, untuk membentuk breakthrough dalam pengembangan organisasi, profesi, dan teknologi. Beberapa hal lain meliputi keprihatinan atas kurangnya peran insinyur perempuan, padahal telah terwadahi dalam Women in Engineering (WIE). Juga perlunya peningkatan peran para insinyur baru (GOLD — graduation of the last decade). Sayap filantrofi IEEE dikembangkan melalui HTC (humanitarian technology challenge). Dan masih banyak gagasan2 lain. Ada satu hari lagi, besok.

Berbeda dengan kota2 lain di Asia Timur Raya, Mactan dan Cebu ditaburi sinar matahari yang hangat sepanjang hari, nyaris tanpa awan dan mendung. Kesejukan datang dari angin laut. Suasana kota mirip kota2 agak kecil di Indonesia, dengan berbagai jenis angkot, tukang jual makanan di pinggir dan di tengah jalan, sopir taksi yang semena2 mengenakan tarif, dan sopir angkot yang biarpun gila tapi kalah gila dibanding sopir taksi. Harga2 terasa lebih murah dari Bandung, nah lo.

Penduduknya ramah, pandai berbahasa Inggris, namun sehari2 menggunakan bahasa Cebuano, yang beberapa kosa katanya mirip Bahasa Indonesia. Haha. Segala informasi ditulis dan dicetak dalam Bahasa Inggris. Tapi, hati2, di sini kita harus bawa peso kalau mau belanja atau jalan2. Serem nggak sih?

Gerbang 4G di Surabaya

Kampanye memperkenalkan IEEE melalui penyebaran wawasan atas teknologi-teknologi terbaru terus kami giatkan di berbagai kota. Februari ini, giliran kota Surabaya.

IEEE Indonesia Comsoc Chapter: Opening the Gates to 4G Mobile.

Kegiatan kali ini lebih besar dari kegiatan serupa. Audiensi bukan saja dari UPH, namun juga dari berbagai kampus dan dari para profesional teknologi di Surabaya. Tuan rumah kegiatan ini adalah Universitas Pelita Harapan (UPH), dipimpin Rektor UPH Prof John Parapak. Juga hadir pemrakarsa kegiatan ini di UPH, Prof John Batubara.

Seperti seminar sebelumnya, kami mengkaji aspek pengembangan teknologi telekomunikasi, termasuk beberapa alternatif dalam pengembangan teknologi mobile generasi keempat, termasuk LTE dan Wimax.

Masyarakat FaceBook

Account Facebook-ku pernah dimatikan. Tanpa alasan — selain “aku bisa hidup tanpa Facebook” :). Lalu hidup berjalan nyaris tanpa perubahan, kecuali perubahan yang baik. Tapi belum 48 jam, Mbak Enno dari MetroTV menelefon. Kelanjutannya sudah dibahas di entry sebelumnya. Yang jelas, account Facebook itu terpaksa dihidupkan lagi :).

Sejarah Facebook sendiri tak terlalu menarik. Mark Zuckerberg adalah seorang hacker yang barangkali tak termasuk ethical hacker. Mahasiswa Universitas Harvard ini konon sempat menuliskan pengalamannya dalam sebuah blog. Diawali sebuah kencan yang gagal, Mark menggunakan keterampilannya untuk membajak database-database mahasiswa di universitasnya. Pelbagai cara dilakukan, termasuk menerobos miskonfigurasi Apache, aplikasi web dengan scripting lemah, server dengan password yang jelek, dan sebagainya. Tujuannya untuk mengumpulkan foto2 mahasiswi Harvard. “A little wget magic is all that’s necessary to download the entire Kirkland facebook,” ujarnya. Foto2 mahasiswi itu dikumpulkannya dalam situs baru FaceMash.com, lalu ia buat sistem skor. Tentu skor fisik semata. Trafik site ini mendadak tinggi, dan menguras bandwidth universitasnya. Mark menjadi sadar: ada ruang yang terbuka luas untuk membuat jejaring sosial dengan foto2. Maka dibuatlah TheFaceBook.com. Dalam 1 minggu, 5000 orang telah mendaftar. Dalam 10 bulan, 1 juta anggota tercapai. Namanya diubah menjadi FaceBook.com. Dalam usia 6 tahun di awal 2010 ini, jumlah anggota mencapai 400 juta, dan diprediksi dapat mencapai 1 miliar akhir tahun ini.

Sejujurnya, FaceBook telah membuka peluang berkomunikasi dan berinteraksi secara lebih baik. Komunikasi dengan teman2, lalu dengan teman2 lama, dapat disusul dengan mengorganisasikan kegiatan positif, dari sekedar reuni hingga kegiatan sosial, termasuk meningkatkan kepedulian atas kemanusiaan dengan berbagai causes, dan bahkan mengumpulkan dana. Tentu bohong kalau ada yang menyebut bahwa dibebaskannya Prita, dan juga duet Pemimpin KPK Chandra dan Bibit, tidak berkaitan dengan desakan keras masyarakat menggunakan FaceBook. Dan Twitter :).

Namun jika di Twitter mulai dibentuk tim pemecah ombak untuk menceraiberaikan suara khalayak, maka FaceBook-pun mulai dituduh menjadi fasilitator berbagai tindakan kriminal, termasuk bullying, pencurian identitas, penipuan, penculikan, prostitusi, dan mungkin suatu hari juga kudeta. Dan, sialnya, aku mulai berfikir bahwa itu bukan tanpa alasan.

Seperti interaksi Internet lainnya, FaceBook membuka peluang komunikasi baru, dan mungkin juga menggantikan komunikasi bentuk lama. Internet membuat kita berkomunikasi lebih bebas dengan teman, guru, atasan, musuh, dll. Internet juga membebaskan kita2 yang sebelumnya sulit berkomunikasi wajar. Tetapi halangan berkomunikasi manusiawi yang wajar ini, yang seharusnya dapat diatasi, justru mungkin menjadi tak teratasi. FaceBook membentuk realitas baru. Seolah2. Padahal sesungguhnya dunia nyata mungkin belum banyak berubah. Maka FaceBook menjadi penipu: ia sekedar memberi ilusi bahwa kita memiliki realitas yang menarik, dengan komunikasi yang baik. Ini tentu terjadi pada aplikasi Internet lain, termasuk email, YM, Kaskus, dll. Namun di FaceBook, kita membuka seluruh diri kita: data vital (tanggal lahir, alamat), relasi kita (keluarga, teman, tempat sekolah, alumni, angkatan). Di luar sana masyarakat masih lapar, masih kejam, masih jahat; dan dengan kenaifan kita, kita memberi mereka kesempatan, terselubung ilusi kita. Ilusi bahwa kita aman — ada keluarga, teman, guru, dan masyarakat luas yang baik hati dan berkepedulian sosial di sana. Maka jika terjadi kejahatan yang terfasilitasi FaceBook, ya, memang FaceBook pun harus dinyatakan bersalah.

Menggunakan FaceBook, dan media sosial lainnya, memerlukan kedewasaan. Karena itu anak di bawah umur memang tak diperkenankan menggunakan fasilitas ini. Kecuali orang tuanya memang gagap teknologi dan benar2 tak paham apa itu media sosial. Kedewasaan membuat kita ingat bahwa kita adalah makhluk dengan berbagai keterbatasan. Akal sehat kita seringkali harus terkalahkan oleh sisi lain dari kemanusiaan kita (orang dewasa paham maksudku). Ini tak terhindarkan. Dan orang dewasa sadar: kita memerlukan kontrol. Tapi tentu saja kontrol bukan dari provider, dari negara, atau dari pihak yang (merasa) berwenang. Buat kaum2 muda, kontrol terbesar bukan dari orang tua, guru, hansip, dll, tetapi barangkali dari teman2. Maka kebiasaan sebelum FaceBook, untuk memiliki teman2 dekat, dan untuk saling terbuka dengan teman2 dekat, harus tetap dipelihara. Mereka bisa menjadi kontrol ampuh: memverifikasi pikiran kita saat kita benar atau saat kita salah, ikut menjaga diri kita saat kita mungkin menjadi korban kejahatan (atau lebih parah: ikut menjadi pelaku kejahatan).

Tapi mungkin juga akan lebih menarik untuk menggunakan FaceBook dan media sosial lainnya lebih sebagai media ide. Hmm, entah kenapa jadi ingat Pitra ya :). FaceBook, Twitter, blog, dll, lebih menarik untuk digunakan sebagai tempat mencurahkan ide, memversifikasi, mengkompetisikan, lalu mengkoordinasikan implementasi ide2 itu menjadi hal2 menarik. Menyebalkan membayangkan media sosial cuma dipakai untuk membuang sampah, curhat, memaki, dan menunjukkan kebodohan diri sendiri dengan cara2 semacam itu. Langit biru, cerah, indah. Dan mereka yang menggerutu pada mendung tebal hanya menunjukkan bahwa mereka tak punya kemampuan mendasar untuk memiliki pandangan yang menembus awan. Realitas dibentuk oleh pikiran kita, dan kecerdasan kita. Tak perlu selalu menyerah kepada kebodohan :).

Eh, btw, aku jadi punya judul baru neh: pengamat, haha. Pengamat sama pelaku sebenernya berbeda kan ya?

Multilayer

Februari ini seharusnya jadi musim pancaroba di Gugus Tugas kami. Restrukturisasi Telkom sebagai konsekuensi dari perubahan arah bisnis sudah waktunya menjangkau gugus yang mungil ini. Kami akan digabungkan dengan Divisi Multimedia yang memiliki expertise dalam bisnis multimedia, dan dengan demikian diharapkan lebih efektif menelurkan bisnis-bisnis yang kokoh di bidang informasi, media, dan education.

Di tengah suasana menarik ini, aku justru dijauhkan dari kantor , dan disuruh menyepi ke Gegerkalong. 2 minggu, wow. I mean, biasanya agak sulit untuk mendapatkan izin ke luar kota lebih dari 2 hari. Dan justru sering dalam 1 hari harus ikut kegiatan di 2 kota :). Tapi tentu kembali ke Bandung itu anugerah :).

Di Bandung, kami mendiskusikan semua aspek teknologi dan bisnis di bidang content & application. Mentornya berasal dari kota Kendal, sebuah kota imut di Cumbria, North-West England. Aku ‘gak tulis namanya di sini, kerna beliau akan mudah menggooglenya, termasuk mentranslatenya :). Peserta dari Telkom Group, termasuk Telkomsel, Sigma, Infomedia, dll. Dan karena kami dianggap expert di bidang masing2, sang mentor membawakan dalam gabungan semi diskusi. Tentu masih banyak hal baru yang kami pelajari, di luar expertise kami masing2. Tak ada pakar multilayer di bisnis ini. Aku sendiri dulu lebih banyak mendalami layer bawah (infrastuktur), dan belum terlalu banyak bermain di layer atas (aplikasi). Jadi cukup menarik mendiskusikan, mensimulasikan, memprediksikan berbagai hal dalam konektivitas dunia ini dengan mempertimbangkan layer-layer yang berbeda. Benar2 seluruh layer: DWDM, GPON, MPLS, IP, SCTP, SIGTRAN, IMS, SDP, hingga Web 2.0, Ajax, Facebook, Twitter, Adsense, Buzz, dll. Diskusi yang menarik dan bikin lupa urusan kantor :). Ini baru seminggu berlangsung, dan akan berlangsung seminggu ini.

Weekend lalu (13 Februari 2010), IEEE Comsoc Indonesia Section meneruskan seri seminar 4G Mobile Technologiesnya. Kebetulan kali ini di Bandung juga, jadi aku tak perlu lompat ke luar kota. Host kali ini adalah ITT (Institut Teknologi Telekomunikasi). Tim masih M Ary Murti (mengenalkan IEEE dan Comsoc), aku (memaparkan evolusi dan requirement 4G), Arief Hamdani (memperdalam LTE), dan kembali ke M Ary Murti (memaparkan WiMAX II). Sebelum acara dimulai, sempat dilakukan Comsoc Officer Meeting di situ juga. FX Ari Wibowo hadir, tetapi kali ini tidak sebagai speaker.

Seperti sebelumnya, paparan aku menjelaskan mengapa harus ada 4G (didorong a.l. oleh Web 2.0 dan Mobile 2.0). Lalu disusul pendekatan pada 4G: transmisi OFDMA, MIMO dan spatial multiplex, cognitive radio (CR, DSA, IEEE P.1900). Lalu aku tutup dengan pengenalan para kandidat: LTE dan WiMAX II. Karena waktu yang singkat, paparan tentang context-aware application tidak diberikan ;). Peserta konon mencapai 300 orang — sebagian besar mahasiswa ITT, dan sisanya para profesional dari beberapa perusahaan di Bandung.

Sayangnya aku tak sempat beramah tamah :). Selesai Sesi-1, aku langsung meluncur kembali ke Jakarta. Kali ini memenuhi janji untuk bercerita tentang Web 2.0 di MetroTV. Dengan kecepatan tinggi, dan berputar menghindari banjir yang mendadak mematikan trafik di tengah Jakarta, aku sampai tepat waktu di Studio MetroTV.

Sambil menunggu, para “narasumber” (dalam tanda petik, yang artinya adalah mereka yang nantinya duduk di belakang tanda “narasumber”) berdiskusi asik, terutama dengan terus mengerjai Mr Controversial Ruhut “Poltak” Sitompul. Dia lucu, enak diajak berdiskusi dan berteman, tapi tentu mengkhawatirkan kalau dia harus ikut menentukan kebijakan negeri ini (wakakakakaka). Sulit memaki tokoh ini, kerna dia terus menerus memaki dirinya sendiri (anjing SBY, kafir, dll). Dan — haha — juga menertawai rekan separtainya yang suka mengaku jadi pakar IT. Lupa namanya tapi.

Masuk ke studio, aku baru sadar bahwa acara Democrazy ini berisi dialog yang agak serius tapi banyakan becandanya :). Serasa kembali ke ruang diskusi di Gegerkalong, yang diskusi seriusnya juga harus diselingi candaan. Dan lucunya, waktu bercerita tentang Facebook, aku malah bercerita tentang angka2 prediksi, haha, bukan angka real sekarang. Duh, siap2 dimaki2 orang banyak ah :).

Baru hari ini aku bisa tidur :). Dan besok pagi balik ke Bandung. Seminggu lagi. Weekend depan, jadi speaker lagi untuk IEEE Comsoc. Host untuk minggu depan adalah UPH (Universitas Pelita Harapan) di Surabaya. Sekaligus bertemu para Ketua Departemen Elektro se-Surabaya. Mudah2an tidak ada interupsi yang mengharuskan aku jadi stuntman lagi minggu2 ini.

Cikarang – Pekalongan

Bagimu Guru dan Santri Indigo merupakan dua dari sekian bentuk program CSR Telkom. Kedua program ini diselenggarakan bersama dengan Republika. Bagimu Guru memberikan pembekalan tentang teknologi digital kepada para guru, yang umumnya berada di kota2 kecil. Santri Indigo memberikan keterampilan blog & Internet kepada para siswa di pesantren. Entah kebetulan aneh dari mana, dua minggu ini aku kebagian tugas untuk mengisi program CSR ini (setelah sekitar 1 tahun tak bersentuhan dengan keduanya).

Program Bagimu Guru dilaksanakan di Cikarang. Pada program ini, aku menggantikan Pak Indra Utoyo (CIO Telkom Indonesia) memberikan pencerahan tentang IT Trend. Materi aku kemas ulang — sebenarnya kami di Direktorat IT, termasuk IT Policy dan Content & Appl Work Group suka saling bertukar materi presentasi — supaya aku tak harus menceritakan banyak angka2. Aku lupa bahwa audience-nya guru2 yang secara sukarela mendaftar dan memang memiliki minat tinggi. Sekitar 60 orang. Wow, pertanyaannya banyak, dan kelas berat :). Mereka bukan pemula, tetapi pemakai Facebook, Twitter, dan social network lain, termasuk blog. Diskusi jadi cukup menarik dan tajam. Cikarang cukup dekat dengan Jakarta, jadi aku bisa melakukan tugas ini sambil tetap hadir di kantor :D.

Untuk program Santri Indigo, aku harus terbang ke Pekalongan. Eh, nggak ada airport dink di Pekalongan. Aku harus terbang ke Semarang, dan menempuh jalan darat ke Pekalongan, via Alas Roban. Jadi harus terbang malam sebelumnya. Baru sekali ini aku menuju (bukan sekedar lewat) di Pekalongan. Pesantrennya bernama Pesantren Modern Buaran. Aku seharusnya memberikan Teori Blog di sini, kepada sekitar 100 santri dan pengasuhnya. Beruntung, sekali lagi aku sempat bersua Ramaditya Adikara, salah satu Indigo Fellow kita, yang kali ini memberikan sharing motivasi kepada para peserta. Baru sekali ini aku ikut mendengarkan motivasi dari Rama. Keren. Elegan. Tak lebay seperti para banyak orang lain yang mengaku motivator :). Selama break, kami berbincang banyak hal. Termasuk soal Singa Udara (haha). Tapi harus diputus, kerna sudah waktuku menyebarkan paham blogisme kepada para santri. Sayangnya Pak Indra sekali lagi tak dapat hadir (sedang ada gelombang reorganisasi yang menarik di Telkom). Jadi sekali lagi aku bercerita tentang IT untuk Syiar Digital. Aku tak yakin bisa menggantikan presentasi Pak Indra yang selalu anggun itu. You know, presentasi seorang Koen kayak apa bentuknya, haha :). Nyaris tanpa break, aku langsung kembali mengejar pesawat di Semarang untuk kembali ke Jakarta, sementara para santri meneruskan tentang praktek blog dengan rekan2 dari Republika.

Banyak tugas yang tak dapat ditinggalkan. Tapi ikut sumbang ilmu dan waktu dalam kegiatan2 CSR ini menimbulkan kebanggaan, semangat baru, dan inspirasi baru. Kapan ya … program ini juga diperluas ke luar Jawa?

IEEE Comsoc: Digital TV

Tahun ini IEEE Indonesia Section dan chapter2 di bawahnya mengintensifkan serial2 seminar/lecturing di beberapa kota di Indonesia, secara paralel. Hey, melakukan serial secara paralel itu menarik :). Jadi, sementara serial 4G Mobile Technologies masih akan diselenggarakan di kota2 dan kampus2 lain, hari ini kami membuka serial baru: Digital TV. Seperti biasa, serial ini dibuka juga di Bandung; kali ini di Hotel Nalendra, Cihampelas.

Agak takjub dengan para peserta yang hadir dalam seminar hari ini. Kelas berat. Dari Bu Kusmarihati of Mastel (sebelumnya, beliau adalah Dirpem Telkom, Dirut Telkomsel, dan Ketua BRTI), beberapa Kepaja Jurusan dan pejabat dari Universitas2 (Universitas Hasanudin, Universitas Ahmad Yani, Universitas Maranatha, ITENAS, IT Telkom), wakil dari operator & provider (Telkom, XL Axiata, DAAITV, Nasio), dan beberapa profesional lain. Cukup kelas berat :).

Materi dalam seminar hari ini:

  • Muhammad Ary Murti, IEEE sebagai Organisasi Profesi
  • Arief Hamdani Gunawan, Digital TV & IPTV Network
  • Kuncoro Wastuwibowo, Video Coding, Compression, & Format
  • Irwan Prasetya Gunawan, Quality of Service & Quality of Experience
  • Satrio Dharmanto, Implementasi IPTV di Beberapa Negara

Dan barangkali karena cuaca Bandung yang merupakan paduan antara sinar matahari yang cerah dan udara yang sejuk, diskusi kali ini berlangsung amat seru dan hangat. Bukan saja di level implementasi bisnis dan engineering decision misalnya, tetapi sampai pemilihan formula matematis pun dibahas dengan asyiknya (Kenapa sih pakai DCT, bukan DFFT — haha. Dan asyiknya, aku punya jawabannya, haha). Andai seminar2 sebelumnya juga seseru ini :).

Seminar IEEE ini juga didukung Multikom sebagai sponsor. Ini untuk pertama kalinya IEEE Indonesia mulai menerima sponsorship dalam seminar2 mandiri yang dilakukannya. Berikutnya Digital TV akan disampaikan dalam bentuk lecturing di Universitas Bina Nusantara weekend depan. Aku harus memilih antara memberikan lecturing atau hadir di Wordcamp Indonesia. Keputusan yang sulit.

Di Bandung sendiri sedang ada kegiatan menarik. Telkom menyelenggarakan Speedy Games Championship II di Paris van Java hari ini dan besok. Dari Nalendra ini, kayaknya aku bakal meluncur ke PvJ. Dari mode serius, beralih ke mode game. Eh, game itu serius loh :D

Internetworking Indonesia: Data Mining

Weekend lalu, Internetworking Indonesia Journal (IIJ) Vol 1 No 2 diterbitkan. Ini adalah edisi Fall / Winter 2009 yang sedikit terlambat diluncurkan. Tapi keterlambatan ini diimbangi dengan kuantitas dan kualitas paper yang terus meningkat :). Edisi ini adalah edisi yang khusus membahas Data Mining. Dan pada edisi ini, bertindak sebagai Editor Tamu adalah Dr Anto Satriyo Nugroho dari BPPT dan Moch Arif Bijaksana dari ITT Telkom.

Paper yang masuk bukan hanya dari Indonesia, tetapi juga dari negara-negara lain. Bahkan tiga paper ditulis oleh penulis asing. Selain jumlah paper yang meningkat, proses review juga menjadi memerlukan waktu lebih lama dari yang direncanakan. Terima kasih setulusnya dan sedalamnya untuk para Editor Tamu, dan juga untuk para anggota Dewan Penasehat :).

Daftar ini edisi ini:

  • Guest Editors’ Introduction: Special Issue on Data Mining by Anto Satriyo Nugroho & Moch Arif Bijaksana (PDF)
  • Enhanced SMART-TV: A Classifier with Vertical Data Structure and Dimensional Projections Pruning by Taufik Fuadi Abidin & William Perrizo (PDF)
  • Using Business Intelligence Solutions for Achieving Organization’s Strategy: Arab International University Case Study by Mouhib Alnoukari (PDF)
  • Feature Selection for Large Scale Data by Combining Class Association Rule Mining and Information Gain: a Hybrid Approachby Appavu alias Balamurugan, Pramala, Rajalakshmi & Rajaram (PDF)
  • Detecting the Originality of Extended Research Articles Using Similarity Techniques – A Proposal by Shanmugasundaram Hariharan (PDF)
  • Prediksi Masa Studi Sarjana dengan Artificial Neural Network by Muhamad Hanief Meinanda, Metri Annisa, Narendi Muhandri & Kadarsyah Suryadi (PDF)
  • Adaptive Content-based Navigation Generating System: Data Mining on Unorganized Multi Web Resources by Diana Purwitasari, Yasuhisa Okazaki & Kenzi Watanabe (PDF)
  • Fuzzy Decision Tree dengan Algoritme ID3 pada Data Diabetes by F. Romansyah, I. S. Sitanggang & S. Nurdiati (PDF)

Untuk mengunduh edisi lengkap jurnal ini, klik di sini: IIJ Vol 1 No 2 Th 2009, atau kunjungi website Internetworking Indonesia Journal.

Blogger Strikes Back

“Nah ini dia Mas Koen. Jadi gimana nih blog menghadapi serangan Twitter dan Facebook?” Itu kalimat pertama dari Mas Ferly waktu aku datang ke Green Room of MetroTV. Dan dengan segera, tema awal “Tips dan Trik Membuat Blog” di e-Lifestyle itu ditambahi tagline “Blogger Strikes Back” :). Blog bukan saja masih relevan melewati satu dekade usianya, tetapi justru membentuk sinergi kuat dengan social media lainnya. Blog masih jadi alat ampuh bagi personal branding, professional networking, dan business. Tokoh Puti Karina Puar ditampilkan sebagai generasi yang tumbuh dalam arus social media itu. ABG labil versi online, yang justru tampil elegan, educated-syle, tidak harus alay mengikuti arus.

MetroTV2

Tahun 2010 ini aku seharusnya memperingati 1 dekade blogging. Lupa tanggal awalnya, karena versi awal blogku – yang dibuat dengan script PHP sederhana itu – dihapus saat blog berpindah ke Blogger pada Juli 2000. Aku menulis blog karena sebuah passion yang mengganggu, yang tak bisa dihapus oleh kesibukan yang luar biasa, yang tak bisa dienyahkan oleh larinya para blogger ke social media yang lebih centil semacam Facebook atau Twitter. Passion ini menyuruhku membuat mini blog di koen.su kalau aku hanya mampu menulis satu dua kalimat dengan HP, atau di sebuah buku kecil kalau aku benar2 tak bisa menulis di atas benda digital. Juga ia menyuruhku menyebarkan virus blog ini, baik sebagai personal, sebagai bagian dari komunitas blogger, maupun sebagai employee di Telkom (via Santri Indigo dan kegiatan2 lain).

MetroTV1

Berlawanan dengan pendapat umum, sebenarnya blog tak lebih sulit dari Facebook atau Twitter. Di WordPress.com, kita bisa membuat account dalam waktu 5 menit, mengetikkan teks di editor yang mirip miniatur Word, menekan tombol Publish, dan langsung menjadi editor kelas dunia: tulisan kita terbaca oleh dunia, terpantau oleh Google. Barulah kemudian para blogger baru diajak penasaran dengan dunia online lainnya: mereka bisa upload foto dan video, memasang karya digital, mengkompetisikan dan menjual hasil karya, dan mengangkat personal uniqueness mereka. Dengan kesempatan pengembangan yang luas itu, program semacam Indigo menganggap kegiatan2 blogging sebagai hal yang menarik untuk dikembangkan. Twitter tak perlu mematikan blog. Ia bisa jadi ruang perbincangan yang lebih dinamis atas tema yang dikaji di blog, dan dalam level tertentu memiliki daya tarik ke blog melebihi feed blog kita.

Kita masih memerlukan banyak blog, terutama yang bersifat tematis, untuk memperkaya diskusi cerdas yang independen. Saat media tampil makin jorok memihak penguasa atau pemilik modal, blog bisa jadi pembanding yang secara tajam dan dalam memberikan wacana pembanding. Publik juga masih haus akan tema2 spesifik: pariwisata, pendidikan, aplikasi mobile, kuliner, lifestyle, hobby, film, buku, musik; yang disoroti dari sisi developer, user, appreciator, dll. Informasi publik di negeri kita masih jauh dari terpenuhi. Blog masih harus hidup, dan masih akan hidup.

Tweeting

Blogger angkatan lama pasti kenal Ev William, salah satu pendiri Blogger.com. Saat Google membeli Blogger.com, Ev menjadi karyawan Google. Namun tak lama, ia mendirikan Odeo. Odeo berisi developer muda bergaya Silicon Valley: mereka bekerja di sembarang tempat, di sembarang waktu. Pemuda berkaus lusuh yang duduk di pojok warung menjelang tengah malam sambil memelototi gadgetnya itu mungkin juga karyawan Odeo yang sedang bekerja keras. Ini memang mendorong kreativitas, tetapi mulai menyulitkan komunikasi. Maka Odeo menciptakan aplikasi web sederhana yang memungkinkan para karyawannya menulis status mereka, progress mereka, secara singkat saja, agar mudah saling melacak. Konversasi personal dimungkinkan, tetapi tetap dapat dilacak dan ditimbrungi lainnya. Menariknya, aplikasi ini kemudian tak hanya digunakan pekerja Odeo, tetapi juga rekan-rekan mereka, dan akhirnya menjadi aplikasi publik. Lahirlah Twitter.

Twitter lahir dari prakarsa2 karyawan. Tapi ia membesar karena prakarsa2 user. Sebuah prosumerity. Dari tujuan semula untuk menulis status pribadi (“What are you doing?”), Twitter berkembang menjadi media konversasi publik. Kemudian media kompilasi ide. Tanda pagar (#) itu bukan berasal dari pencipta Twitter, tetapi dari user. Meme menular cepat melalui retweet (RT). Lalu terjadi penggalangan ide, dan gerakan. Banyak yang percaya bahwa rezim Indonesia pun beberapa kali harus mengubah langkah2 tak populer mereka atas desakan massa yang diperkuat melalui media Twitter. Twitter sendiri pun mengubah pertanyaannya menjadi “What’s happening?”

Twitter-SmallAku pernah diwawancarai oleh BBC khusus mengenai Twitter beberapa bulan lalu. Pun ternyata masih banyak yang bertanya: “Apa sebenarnya Twitter?” Dan ini bukan pertanyaan para pemula. Ini pertanyaan dari blogger senior dan developer sistem. Mereka masuk Twitter, mereka mencoba menulis satu dua hal menarik. Lalu merasa tak ada yang tertarik. Lalu tenggelam. Atau menjadi komunikasi yang gamang.

Tapi pertama bayangkan Twitter bukan sebagai microblog, dan bukan sebagai google. Ia adalah sistem komunikasi antar manusia yang bersifat unicast, multicast, atau broadcast (pada level ini, bukan level IP, haha). Apa yang pertama kali kita lakukan saat memasuki sebuah komunitas baru? Kita tidak akan membuat pernyataan yang tidak seorangpun yang mendengar. Tak juga kita akan menanyakan sesuatu yang tak seorangpun membaca. Pun takkan kita meneriakkan pendapat yang tidak dapat kita jelaskan dalam 140 karakter. (Wolfgang Pauli akan penasaran, kenapa angka ini begitu dekat dengan 137).

Tahap awal kita di Twitter sebaiknya digunakan mengikuti (follow) orang2 yang pas buat kita ajak bicara. Kita tidak mencari orang yang terkenal, atau orang yang paling ahli. Dan jangan mengikuti artis, selebriti, dll, yang kira2 tidak akan berguna dalam hidup kita. Lalu kita lakukan perbincangan. Sebagian dari mereka akan balik mengikuti kita, tanpa diminta (Oh ya: kalau kamu merasa kata2 kamu memang layak didengar, kamu takkan sekalipun minta difollow). Kita mulai memiliki ruang: kata2 kita mulai terdengar. Perbincangan kita dengan orang2 ini akan menarik orang2 lain bergabung, dan memperluas rentang pengaruh kita, menambah follower kita. Kita bebas memfollow balik mereka yang memfollow kita, tapi tak harus. Komunikasi harus efektif, dengan noise yang rendah, dan sampah seminimal mungkin (itu sebabnya mengikuti selebriti dll tak dianjurkan, jika itu tak berkait dengan dunia kita, kecuali jika mereka memang inspiring secara teks).

Komunikasi manusiawi bersifat kontekstual. Memang ada yang menyebut bahwa itu lemah. Tapi kita manusia, bukan komputer yang mudah disearch, dll. Komunikasi kontekstual itu manusiawi, sesuai cara otak kita mengelola simbol. Kita mulai mengenali rekan2 di Twitter: keahlian mereka, gaya komunikasi mereka, rasa humor mereka, komitmen dan konsistensi mereka. Pesan2 jadi efektif dalam 140 karakter, karena mereka bersifat amat kontekstual. Menanyakan sesuatu ke seseorang tak harus detail, karena kita saling tahu apa yang dikomunikasikan. Komunikasi serius dan becanda tak perlu ditandai, karena kita paham konteks komunikasi. Informasi tak harus memetakan fakta, karena kita paham level sindiran, pelesetan, ejekan, dalam komunikasi – dan dengan demikian justru dapat menangkap apa yang sedang disampaikan. Dengan demikian, pujian tekstual bukan berarti pujian kontekstual, dan makian tekstual justru mungkin merupakan simpati kontekstual.

Tentu banyak kritik mengenai cara berkomunikasi macam ini yang dibilang tidak logis. Tapi – percayalah, aku pakar komunikasi dan informatika loh – yang kita sebut logika pun tidak sesederhana IF THEN ELSE seperti yang dipahami kearifan selevel SMP. Object-oriented programmer pun paham bahwa message antar object mengikuti karakteristik class, dan ini 100% logis. Lalu aspect-oriented programming (logic), haha. Masalahnya, kita lupa bahwa knowledge merupakan object, kita juga object, dan diskursus kita juga object yang flexible. Message mengikuti interaksi kita.

[Di catatan sebelum blog, aku pernah bercerita tentang sebuah konsistensi. Suatu malam, sebelum mengerjakan tugas berat, aku bilang ke diri sendiri: (1) “Istirahatlah. Performansimu besok ditentukan oleh kondisi badan.” Besoknya, yang harus aku kerjakan memang berat. Hampir menembus batas. Tapi aku mendorong diri sendiri, (2) “Terus maju. Kondisi badan tak mempengaruhi performansi!” Dalam contoh ini, aku rasa kita bisa melihat bahwa kedua pernyataan tidak inkonsisten. Kita tahu bahwa (3) performansi didukung oleh banyak hal, dan kondisi badan menyumbang sekian persen. Message 1 lebih pas untuk memetakan message 3 ke dalam kondisi malam itu, dan message 2 adalah message 3 yang dipetakan ke kondisi siang itu. Message 3 yang sama. Tujuan yang sama (performansi maksimal). Tidak ada inkonsistensi. Yang ada hanya konteks waktu, konteks aksi, dan mapping. Begitulah juga kita memahami lalu lintas perbincangan di Twitter.]

OK. Jadi di Twitter kita membentuk lingkungan kita sendiri, tempat kita mulai saling bertanya, saling berbagi info (info internal maupun info dari jaringan2 lain di Twitter), dan saling berkolaborasi. Pada titik inilah Twitter jadi blok yang kuat untuk mendiskusikan, memfilter, mempertajam ide. Twitter jadi tools berupa mesin pencari cerdas dan kontekstual yang paham info yang kita butuhkan pada situasi terkini. Twitter jadi media penggalangan gagasan dan aksi. Twitter mampu mengecutkan nyali kepala polisi hingga presiden. Jaringan antar jaringan di Twitter bersifat kuat kokoh merekat, sekuat jaringan IP di bawahnya.

Catatan:

  • Entry blog ini ditulis tanpa support setetes kopi pun dari kemarin pagi
  • Twitter bukan Plurk. Jadi tidak ada kompetisi memperbanyak jumlah follower untuk mengejar karma dll. Tak ada yang peduli jumlah follower kita, atau berapa orang yang memasukkan kita ke dalam list.
  • Memang ada semacam panduan bahwa perbandingan jumlah following : follower sebaiknya 2 : 1. Atau bahkan 3 : 1. Tapi Twitter bukan soal angka. Yang lebih penting adalah kualitas komunikasi, kualitas follower dan followee (huh, ada ya kata semacam ini?).
  • Sejauh ini, satu2nya buku tentang Twitter yang layak dibaca adalah Twitterville dari Shel Israel (@shelisrael).
  • Account Twitterku adalah @kuncoro.
« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑