Author: Koen (Page 12 of 86)

From South Wales to West Midlands

Tak heran kalau seorang penulis terkenal (?) pun menyangka James Herriot tinggal di Edensor, atau tempat lain di Britania Raya ini. Melintasi jalan2 utama di luar kota, kita dipameri pemandangan yang bergaya Herriot: perbukitan yang hijau dan luas, jalan desa berliku, pagar2 membatasi wilayah peternakan yang luas, rumput hijau melebar, dan belasan hingga puluhan ternah yang dilepas bebas di atasnya untuk menikmati makanan segar di musim semi. Kuda coklat dan hitam, lembu coklat dan hitam dan belang, domba berbulu putih tebal. Pemandangan seperti ini tampak bahkan hingga ke Wales. Enggan rasanya memejamkan mata dalam bis yang kencang dan bergoncang, dalam perjalanan dari London ke South Wales dan kemudian ke West Midlands.

Di perjalanan ini, kami agak menghindari kota besar. Tak terlalu nyaman rasanya menjelajahi mall2 yang sebenarnya kalah megah dibandingkan Jakarta dan Singapore. Pun di kota besar, jarak antara tempat2 menarik biasanya cukup jauh. Untuk kunjungan singkat dan banyak dilakukan dengan berjalan kaki, ini sungguh tak nyaman.

Kota semacam Cardiff memberikan semangat dan inspirasi tersendiri. Ruang hidup yang sederhana membuat warga lebih bahagia, ramah, dan kreatif. Kota jadi lahan kreasi orang ramah. Sambutan atas tamu terasa amat berbeda dengan di London atau Birmingham. Kami menutup kunjungan ke Cardiff dengan berkeliling hingga Cardiff bay. Dan auditorium berwarna jazz ringan menampilkan warga yang tengah mempersiapkan sebuah performance. Sayang kami harus pergi.

Kami masih menyegaja melintas kota besar untuk melihat hal yang juga menarik minat: toko buku. Maka Birmingham dihampiri untuk menengok Waterstone’s di New Street. Bertingkat 5, ruangan di dalamnya mirip kastil modern, dengan karpet tebal, sofa nyaman, rak buku berwarna klasik, buku yang amat bervariasi, dan rekomendasi buku yang ditulis tangan oleh pengelola toko. Toko buku di kota besar selalu lebih besar dan memiliki variasi buku lebih banyak. Dalam hal ini Jakarta sungguh terbelakang dibandingkan kota2 lain: tak ada toko buku yang memberikan buku2 dengan informasi terbaru dengan spektrum yang luas. Aksara dan Gramedia,asih jauh. Kinokuniya juga belum. Mungkin salah sistem pendidikan kita juga yang mewajarkan spektrum yang sempit, buku2 bajakan di lingkungan akademik, dan penghamburan uang yang berharga untuk hal2 yang lebih superficial.

Hampir pukul 20, dengan langit masih putih berlapis mendung, aku menatap tiga menara runcing di kejauhan, yang menjadi ciri kota Coventry. Lalu rumah2 yang mirip di … di … mungkin tak mirip di mana2 selain di kenanganku. Lalu jalan melingkar itu. Dan aku tiba di Pool Meadow. Welcome back to Coventry, Koen.

Croeso i Gymru, Croeso i Gaerdydd

April berganti Mei, dan aku melewatkan tengah malam berpurnama itu di fasilitas UK Border. Biasanya kita menamainya loket imigrasi. Tapi petugas di dalamnya terlalu ramah untuk sebuah loket jawatan pemerintah. Setelah bincang singkat itu, kami masuk ke baggage claim di Stansted Airport. Melaporkan diri sejenak ke Twitter, kami membeli £££, melontar ke bus station di bawah, lalu meluncur ke Victoria.

National Express dengan kejam menurunkan kami di halte di jalan gelap di Victoria. Bukan di dalam coach station. Malam beku, dan aku belum siap dengan lapisan2 baju hangat. Berjalan 3 blok, kami masuk ke coach station. Si coach mengikuti kami, haha. Prosedur atau pelit? Victoria coach station sendiri terlalu beku untuk diceritakan. Sepasang pengunjung yang seperti kami menyelamatkanku dari pencuri yang sudah mengambil tasku yang berisi seluruh tiket dan sebagian cadangan cash.

Dua coach membawa para penumpang ke Cardiff. Satu melalui Newport (Casnewydd), dan satu langsung. Langit mendadak cerah. Berlapis awan menampilkan langit bersuasana holografik berlatar biru lembut. Padang rumput dan canola; peternakan sapi, kuda, dan domba; rumah2 petani dan kota2 kecil, membuatku ingat bahwa aku akan ke Darrowby beberapa hari lagi. Lamunan terputus saat coach melintasi sebuah jembatan yang membelah Bristol Channel. Di ujung jembatan sebuah tanda menyambut ramah: Croeso i Gymru. Selamat datang di Cymru.

Cymru adalah negeri di bagian barat Britania. Ia satu dari 4 negara yang bergabung dalam United Kingdom, menemani England, Scotland, dan North Ireland. Nama Cymru kira2 berarti negeri kami, dihuni oleh Cymraeg, bangsa kami. Orang England menyebutnya Wales, yang berarti negeri asing. Aku pernah menulis tentang ini di salah satu blog tahun 2001 dulu. Tentu saja penduduk di sini berbahasa Inggris. Mereka hanya sedang mengobarkan kembali budaya Wales.

Perlu hampir 1 jam untuk akhirnya menjangkau pusat dari ibukota Cymru: Caerdydd (Cardiff). Kota ini berawal dari fort Romawi tahun 55, lalu memperoleh pengaruh Viking dan Norman juga. Tahun 1091, puri Cardiff dibangun. Akhir abad ke-19, kanal Glamorganshire dibangun untuk memudahkan ekspor batubara. Cardiff jadi pusat ekspor batubara dunia. Lalu akhirnya dijadikan ibukota wilayah Wales. Sempat menurun tahun 1970an, Cardiff bangkit dengan gaya barunya sebagai kota Eropa abad 21. Hampir setengah pekerjaan di Cardiff bersifat sarat ilmu (knowledge intensive employment).

Selesai menyesap suasana dan budaya Cardiff di kawasan pejalan kaki, kami meneruskan langkah ke Cardiff Castle (Castell Caerdydd). Eh, kenapa ingat Faber Castell ya? Dengan £10, tiba2 kita melihat keajaiban. Sekilas, puri ini tak tampak berbeda dengan puri Britania lainnya. Tapi masuk ke dalam, kita akan melihat ornamen luar biasa, dari ruang keemasan dan kemerahan, motif2 geometris bernuansa Arab, narasi biblical. Sungguh tak terbayangkan. Unik. Di dalam kompleks puri ini, ada juga benteng perlindungan. Yang ini standard bentuknya.

Dari puncaknya kita bisa melihat keindahan seluruh Cardiff: daun musim semi yang menampilkan seluruh spektrum hijau coklat kuning kelabu, bangunan dari berabad sejarah Cardiff (termasuk millenium stadium yang masih baru), dan deretan pengunungan di kawasan South Wales ini. Rasanya enggan turun.

Kembali ke kota, aku baru ingat membeli nomor telefon lokal. Aku ambil satu dari O2 dan satu dari Orange. Keduanya menawarkan unlimited access untuk pembelian topup £10. Simcard gratis. Ah, aku bisa kembali jadi netizen. So, selama perjalanan ini, ini nomorku: +44-7716-373-334.

Buku Yang Mempengaruhi Hidupmu

Pun pada saat semua perangkat elektronik dimatikan, dorongan untuk menulis blog sering tak terhentikan. Maka buku kecil, amplop bekas, dan sering juga kantong penampung (maaf) muntah aku jadikan sasaran menulis. Tulisan di bawah ditulis bukan dalam rangka hari buku, tapi dalam rangka mengisi waktu di angkasa antara Kualalumpur dan Jakarta.

Eyjafjallajökull menunda kunjunganku ke Thirsk. Aku khawatir Dan Howlett dengan lugunya masih menungguiku di bawah lonceng di tengah pasar Thirsk, berharap aku datang dengan coach pukul 10.00 dari York. Dia mewantiwantiku membawa buku James Herriot “Seandainya Mereka Bisa Bicara” terjemahan Indonesia yang sudah lusuh sejak aku kecil itu. Aku beruntung bahwa buku itu termasuk yang terselamatkan waktu Papap memindahkan buku2 dari Malang ke Jakarta tahun 2000 lalu (dan jadi kalimat pertama di entry pertama blog ini). Nanti aku cerita lebih jauh tentang Darrowby lagi setelah aku menjejakkan kaki di sana. Sementara itu, pikiranku melayang ke buku2 lain, dari Papap, yang aku bacai juga waktu kecil.

Ada buku terjemahan berjudul “Buku Buku yang Mengubah Dunia” dengan cover coklat. Di dalamnya ada buku-buku nonfiksi yang ditulis setelah abad pertengahan. Ada Principia Mathematica, Relativity, Das Kapital, Mein Kampf, dll; tetapi tiap judulnya diterjemahkan ke bahasa Indonesia: Sang Pangeran, Modal, Perjuanganku, dll. Sekian belas tahun kemudian, aku tak lagi ingat buku apa yang disebutkan di sana, dan apa yang tidak. Salah satu alasan adalah bahwa buku ini memilih dan menerjemahkan hanya sebagian bab (sebagian buku) dari buku aslinya. Jadi ada buku yang tak masuk di bagian terjemahan. Tapi tercakup dalam kata pengantar. Jadi aku tak ingat apakah beberapa buku ada dibahas di sana, atau cuma disebut di kata pengantar. Dari buku ajaib itu, aku mulai mengenal cara2 tokoh2 dunia hidup, berpikir, dan mengembangkan gagasan: Newton, Einstein, Marx, Macchiaveli, Darwin, Freud, Hitler. Dari buku itu aku belajar bahwa komunisme bukanlah ajaran anti tuhan semata, bahwa Macchiaveli lebih bergaya satiris daripada macchiavelist seperti Marx menolak digolongkan sebagai marxist, bahwa Einstein sibuk dengan “teori medan jang dipersatukan” sampai akhir hayatnya. Baru sekian tahun kemudian aku mulai membacai teks2 asli dari penulis2 itu. Bukan saja buku yang mengubah dunia, tapi juga buku yang membuatku mulai berpikir tentang dunia selalu dari berbagai sudut pandang yang secara lincah berubah.

Di luar buku2 itu, aku jadi membayangkan buku2 apa yang mempengaruhi, menginspirasi, dan memberi ide2 kepada kita, sampai mungkin juga menentukan nilai2 yang kita anut dan kita jalani dalam hidup kita. Ini beberapa contoh buku2 yang saat ini aku pikir telah banyak mempengaruhi aku (aku pilih dari buku fiksi dan non fiksi yang diterbitkan di abad-20 ke atas):

  • If Only They Could Talk, James Herriot
  • Catatan Harian Seorang Demonstran, Soe Hok Gie
  • Le Petit Prince, Antoine de Saint-Exupéry
  • A Brief History of Time, Stephen Hawking
  • The Third Force: The Psychology of Abraham Maslow, Frank Goble
  • Menjelajah Cakrawala, Soedjatmoko
  • The C Programming Language, Brian Kernighan & Dennis Ritchie
  • The Myth of Sisyphus, Albert Camus
  • I am a Strange Loop, Douglas Hofstadter
  • Unbearable Lightness of Being, Milan Kundera

Pasti masih banyak. Dan masih banyak yang mungkin lebih berpengaruh daripada buku2 di atas. Tapi baru ini yang terpikirkan, di angkasa biru, dengan pikiran masih beralih antara Darrowby dan deretan trolley di KL LCCT tempat para turis telantar dan harus menahan malu menukar2 voucher makan dengan uang entah untuk apa.

Hey, buat kamu sendiri, buku-buku apa yang kamu anggap paling berpengaruh dalam hidupmu? Tuliskan buku-buku fiksi atau nonfiksi, yang ditulis manusia di abad XX ke atas, dan mengapa kamu anggap itu berpengaruh dalam hidupmu.

Tulisan di kertas kusut itu berakhir, dan aku tak sempat mendigitalkannya. Tapi karena hari ini adalah Hari Buku, maka aku sempatkan mengetik cepat, dan mempublishnya di blogku. Selamat Hari Buku!

Internet dan Masa Depan

“Tak seorang pun ragu bahwa Internet telah membentuk lifestyle baru, serta mentransformasi budaya. Tinggal tunggu waktu untuk menyaksikan bahwa pemerintahan dan pengaturan masyarakat pun akan diredefinisi.” Itu cuplikan dari seorang analis di bidang content & application di sebuah perusahaan informasi dan media ternama. Entah sambil becanda, ia meneruskan, “Tentu pemerintahan, khususnya yang tak demokratis, akan melawan dengan memulai mengupayakan kontrol atas Internet, atau perangkat ruang maya secara umum. Adalah tugas kita untuk mempertahankan Internet dalam perannya membentuk masyarakat yang lebih baik.”

Sayangnya dia tak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan “kita” di situ. Aku sendiri melihat bahwa Internet merupakan bagian dari evolusi teknologi dan budaya manusia yang membuat manusia bisa secara dinamis bertahan hidup di bumi ini dan mencapai harkat yang terus meningkat. Tapi budaya tak hanya dibentuk oleh gaya hidup berinternet. Secara lebih ekstrim, rekayasa budaya bisa dilakukan dan dan dipaksakan menggunakan Internet.

Sebagai contoh pertama, perusahaan dan entitas bisnis lain dapat mulai ditekan untuk menghemat lingkungan dengan mengurangi transport manusia dan menggantikan dengan komunikasi ruang maya yang lebih baik. Pemerintahan ditekan untuk mengurangi surat-surat, pengurusan kertas (termasuk SIM, STNK, KTP, SPT), serta menggantikan dengan sistem kredensial yang berbasis ruang maya. Uang kertas, uang logam, adn surat-surat berharga bisa secara bertahap dipunahkan, karena ekonomi mengharuskan efisiensi, friksi yang lebih rendah, dan penghematan lingkungan. Pernahkah terpikir bahwa distribusi uang memerlukan biaya amat besar juga? Kemudian proses pendidikan dapat dicerdaskan dengan menggantikan sekolah formal dengan … aku bahkan belum tahu seperti apa :). Tapi ilmu akan dihikmahkan lebih manusiawi, seumur hidup, dan natural melekat pada hidup keseharian. Hal-hal semacam ini bukanlah transformasi yang alami karena lifestyle Internet, tetapi sesuatu yang direkayasa melalui policy yang ditetapkan oleh kearifan atau keterpaksaan untuk melihat bahwa lingkungan, iklim, dan planet ini hanya bisa dijaga tetap lestari dan layak huni bagi manusia dengan mengubah budaya, menggunakan apa yang saat ini dinamai Internet.

Namun sebelum masyarakat ditransformasikan, infrastruktur Internet sendiri masih jadi PR besar. Bahkan mungkin di semua layernya. Di layer paling bawah, bagaimana memanfaatkan spektrum elektromagnetik yang terbatas itu  seefisien dan secerdas mungkin untuk mengangkut informasi yang terus bertambah tanpa ampun (itu salah satu pendorong 2G harus dimigrasikan ke 3G lalu 4G); yang harus dibantu layer di atasnya untuk mengemas informasi secerdas mungkin agar terangkut secara efisien. Bagaimana informasi harus diabstraksikan, tetap berguna secara efisien, namun tetap manusiawi untuk digunakan tanpa mengubah manusia jadi komputer. Bagaimana informasi tetap terbaca sebagai teks halus, suara, video, namun di pihak lain ditransfer secara efisien dan dapat diabstraksikan untuk membentuk informasi yang berarti (dapat dicari, diolah, dihimpun, dicerna). Bagaimana gaya hidup manusia ditransfer secara baik menggunakan Internet sehingga tetap layak digunakan tanpa mengurangi harkat kemanusiaan kita. PR panjang.

Mungkin kita harus mulai membuat tulisan yang lebih panjang dan komprehensif. Itu menarik. Aku tidak becanda — engineering yang tampak kompleks itu amat menarik untuk dipaparkan. Mungkin juga kita harus mulai menyusun action plan. Atau menyusun kelompok diskusi dan kelompok kampanye. Tapi aku pikir aku akan lebih suka memulai dengan berjalan2 ke sekolah2, berbincang tentang Internet dan masa depan bumi ini dengan para siswa yang jadi pemilik asli bumi dan budaya digital kita ini.

“Bertemu Generasi Z. Ide yang menarik,” lanjut si analis. “Siapa lagi yang bisa kita percayai selain mereka?”

Fulltrek

Nama Fulltrek sendiri kami rancang beberapa saat setelah menempati ruang baru Gugus Tugas Content & Application (GTCA) di Merdeka Selatan 12. Dari sekian pilihan nama, tampak tak ada yang menarik. Aku lupa, nama itu hadir dari Pak Widi atau Pak Komang. Dan aku cuma menambahi: Trek-nya dibuat mirip Star Trek yach. Lalu jadilah.

Di GTCA, aku termasuk yang paling tak memiliki sense atas musik. Kata musik sendiri entah kenapa mengingatkan aku pada Haydn, Debussy, atau malah gamelan. Oh, lagu masuk ke musik ya? Haha :). OK. OK. Clueless kalau teman2 GTCA berbincang asyik masalah musik. Atau game. Tapi waktu produk ini diluncurkan, tentu semua harus ikut andil menyebarluaskan ke komunitas-komunitas. Dan karena aku pastilah useless dipasangkan di komunitas musik (bukan Haydn dan gamelan, maksudnya), maka aku mendapatkan tugas yang berkait tidak dengan komunitas musik.

Tugas pertama adalah Ignite. Ignite baru pertama kali diselenggarakan di Jakarta. Ia mirip Pecha Kucha — Pecha Kucha yang mencontek konsep Ignite, atau sebaliknya. Aku pernah rajin hadir di Pecha Kucha, jadi bisa membayangkan formatnya. Ignite diadakan bulan lalu di Grha Citra Caraka. Ada 20-an speaker, yang memberikan presentasi dalam waktu masing2  lima menit saja. Aku jadi presenter kelima, tepat setelah Pandji Pragiwakarsa. Syukurlah Pandji berpresentasi dengan tema pembajakan, termasuk pembajakan musik. Tepat di akhir wacana Pandji, aku bisa masuk, dan tepat memulai dengan skala pembajakan musik. Tak ingin kehilangan momentum, aku langsung masuk ke tema itu … lupa memperkenalkan diri :). Haha. Gaya ajaibku membuat Aulia yakin bahwa presentasi itu bukan aku yang buat :). Pak Indra Utoyo kemudian sempat hadir, tapi jauh setelah presentasiku.

Tugas kedua adalah DJUS. DJUS adalah offline sharing forum dari MIKTI yang juga rutin diselenggarakan. Aku pernah sekali hadir di DJUS. Kali ini DJUS diselenggarakan di Risti Tower di Bandung, dan bertemakan Digital Music. Speaker adalah Jodi Handoyo dan Grahadea Kusuf. Pengantar dari Ketua MIKTI Indra Utoyo, Kadis Indag Jabar, dan salah satu pelindung MIKTI (Cahyana Ahmadjayadi) yang juga salah satu Indigo Fellow. Aku mengisi sedikit tentang Fulltrek juga.

Fulltrek bukanlah sekedar tempat penjualan musik secara online. Fulltrek dimaksudkan sebagai bagian dari prakarsa Indigo, untuk membentuk ekosistem bisnis musik digital. Distribusi musik secara fisik sudah jatuh — tampak secara visual. Namun karena distribusi digital tak pernah disiapkan, user menggantikan dengan pembajakan. Nilai pembajakan musik di Indonesia tahun lalu diperkirakan berskala 4.5 triliun rupiah (atau 180 gayus — dengan 1 gayus setara dengan loss 25 miliar rupiah). Peningkatan revenue ada, tapi kecil — karena baik pencipta maupun distributor tak termotivasi. Semangatnya hancur oleh pembajakan. Fulltrek dan prakarsa-prakarsa serupa mencoba membangun distribusi musik secara legal dan sehat, sehingga membangkitkan kembali kreativitas dan dinamika musik sehat Indonesia.

Fulltrek membangun ekosistem bisnis musik dari proses kreasi. Dengan Speedytrek, kelompok musik indie di daerah2 diseleksi, dipilih, dan dibantu memproduksi single atau album. Dengan Indigo Unplugged, dibentuk kegiatan komunitas untuk bersentuhan langsung dengan kelompok musik kebanggaannya, dan langsung dibuat produksi live music. Kerjasama produksi dilakukan dengan major label maupun kelompok musik indie dan developer yang mengabungkan musik dengan aplikasi-aplikasi digital. Revenue diperoleh dari sales, advertising, cobranding, events, dan kegiatan2 lain. DRM, security, hingga payment system dikelola dan dikembangkan dengan infrastruktur yang terus diperbaiki. Diharapkan publik akhirnya menemukan cara memperoleh musik secara sehat dan legal, dan menikmati distribusi musik dengan cara yang lebih mudah dan menarik. Diharapkan bahwa seniman musik akan kembali bangkit motivasinya untuk menciptakan yang terbaik buat dinamika musik Indonesia.

Mungkin dengan itu, suatu hari aku akan kembali menikmati musik kontemporer Indonesia. Bukan kembali ke Haydn, atau Stravinsky, atau Wagner. Serem deh :D. OK, sekarang kembali ke Die Walküre Act 2. Tadi Brunnhilde sedang berbincang dengan Siegmund di atas gunung.

Cuci Piring

Cukup lama tak menyentuh James Herriot, kali ini aku mencuplik satu cerita yang rada berbeda. Tak melibatkan kedokteran hewan. Dan ini diambil dari buku All Creatures Great and Small. Buku ini adalah versi Amerika, yaitu versi bundling, dari dua buku pertama Herriot: If Only They Could Talk dan It Shouldn’t Happen to a Vet. Seperti buku Seandainya Mereka Bisa Bicara (If Only They Could Talk) yang jadi bersejarah buat aku — dan buat banyak anak2 Indonesia masa itu; buku All Creatures Great and Small ini juga bersejarah. Ini adalah buku yang pertama kali aku beli dari Amazon. Waktu aku sedang menunggu buku ini datang dari gudang Amazon (zaman itu memakan waktu berminggu2), aku dipanggil British Council karena dinyatakan mendapatkan Chevening Award. Tapi, seperti siswa Chevening lainnya, aku harus ikut training Bahasa Inggris dulu, untuk memperbaiki dan terutama mempercepat respons kami memahami bahasa Inggris. Buku ini tiba tepat waktu. Aku baca setiap malam. Bahasa Inggrisnya yang dirusak pengejaan gaya York dan gaya lain (termasuk konon Scottish dan Irish English) membuat aku makin tertantang untuk cepat memahami kalimat2 unik di dalamnya.

Balik ke buku. Halaman 277. Herriot sedang kasmaran, haha. Seorang putri petani, Helen Alderson, terus menghantui pikirannya. Sayangnya ia tak punya cukup alasan untuk menemuinya. Pak Alderson peternak yang cerdas, dan ternaknya jarang sakit. Memang salah satu sapinya pernah harus dijahit kakinya. Tapi perlu menunggu sampai akhir bulan sebelum plester penutup jahitan bisa dilepas. Dan penantian itu kandas saat Pak Alderson menelepon dan menyebut sudah melepas plester itu sendiri — hasil operasinya bagus. Untuk pertama kali James memaki kecerdasan seseorang.

Lalu James bergabung ke Music Society di Darrowby. Helen tampak beberapa kali ikut pertemuan di sana. Namun beberapa minggu, James hanya berani melihat Helen dari kejauhan, dikerumuni sahabat2nya. Termasuk malam itu. Di tengah string kuartet (haruskah kuterjermahkan sebagai dawai berempat?), James hanya melihat punggung Helen. Tapi ketua kelompok dengan riang mengajak semuanya minum teh dulu (dan membayar 3 pence). James langsung menyambar teh, lalu bergerak ke arah Helen.

Helen menatapnya. “Selamat sore, Pak Herriot. Bisa menikmati malam ini?”
“Duh, kenapa panggilnya pakai Pak sih. Panggil saja Jim,” kata James. Tapi cuma dalam hati.
Dan yang dia ucapkan adalah, “Selamat sore, Nona Alderson. Malam yang menyenangkan kan?”
Lalu diam.

Para sahabat Helen berbincang tentang Mozart. Tak ada hal lain yang bisa diperbincangkan lagi. Selesai.

Tapi Pak Ketua datang lagi. “Kayaknya harus ada yang berkorban cuci piring malam ini. Siapa yang mau ambil giliran? Atau dua anak muda ini saja?” — sambil menatap Helen dan James. Tentu saja James punya banyak gagasan yang lebih menarik daripada cuci piring. Tapi tiba2 dia melihat itu sebagai peluang emas. “Oh. Tentu. Kalau Nona Alderson tak keberatan, tentu.”

Lalu mereka berbagi tugas. James mencuci. Helen mengeringkan. Lima menit berlalu. Mereka mulai berbincang. Tapi lagi2 tentang musik. Duh, gak kemana2, pikir James. Dan dengan panik dia melihat cangkirnya tinggal satu. Ia menyerahkan ke Helen. Tapi tak dilepas. Panik menunggu inspirasi yang tak kunjung datang. Sementara perang berebut cangkir terakhir terjadi, James mendengar suara, “Boleh kita ketemu lagi?” — yang ternyata suaranya sendiri.

Helen diam. Wajahnya tak dapat dibaca. Akhirnya ia menjawab pendek. “Boleh.” Lalu James lagi. “Sabtu malam?” Disusul anggukan ringan Helen yang meletakkan cangkir kering, dan pergi. Sementara Haydn dimainkan. Apakah Helen memang berminat untuk ditemui? Atau hanya terpaksa demi kesopanan?

Selesai.

Tapi, btw, untuk kita semua yang mengejar kesempatan apa pun: bisnis, karir, network, travelling, dll — jangan meremehkan hal2 kecil semacam kesempatan untuk mencuci piring. Ingat bahwa Feynman pun memperoleh Hadiah Nobel gara2 dia memanfaatkan waktunya menghitung rotasi piring, saat dia merasa mandeg dengan cita2 yang dirasa terlalu tinggi. Mungkin … cuci piring adalah peluang emas kita :).

Oh ya. Penasarankah dengan akhir cerita? Bisa ke Wikipedia atau lainnya sih :). Tapi aku cuplikkan halaman terakhir buku itu. Halaman 437.

Aku berteriak ke Helen: “Nomor tiga delapan. Tujuh. C!”
“Tiga delapan. Tujuh. C,” istriku mengulang sambil membentangkan bukunya dan mulai menulis.

Aplikasi Visa UK

Aku sedang mempersiapkan kunjungan ketiga ke UK. Untuk kunjungan pertama, tahun 1995 (wow), ada pihak2 yang berbaik hati menguruskan visaku. Dan untuk kunjungan kedua (2000), aku dapat backing dari British Council, jadi bisa dapat visa gratis dan mudah, biarpun tetap harus dicereweti petugas di balik loket kaca di konsulat UK di Jakarta. Untuk kunjungan ketiga ini, aku harus mengurusi sendiri. Tapi aku beruntung :).

Pun tahun 2000 menunjukkan atmosfir yang berbeda dengan tahun 1995. Mudah2an bukan saja karena sejak 1997 Partai Buruh mengambil alih administrasi dari Partai Konservatif, tetapi karena UK merasa perlu menampilkan diri lebih ramah dan empatik ke dunia baru. Gerbang imigrasi yang di tahun 1995 tampak angker, di tahun 2000 berkesan amat ramah. Konsulat yang di tahun 2000 masih tampak angker, kini tak perlu lagi kita kunjungi.

UK menyerahkan administrasi pengurusan visa ke pihak ketiga. Pun dianjurkan (di Indonesia: DIHARUSKAN) untuk mengunjungi website UKVISAS.GOV.UK sebelum mulai mengurus visa. Untuk warga Indonesia yang tinggal di Indonesia, kepengurusan visa harus melalui PT VFS Services Indonesia. Banyak keuntungan pengurusan melalui pihak ketiga ini. Dari sisi warga, kita akan menghadapi customer service sebuah perusahaan swasta, tidak lagi harus menghadapi pegawai sebuah birokrasi. Dari sisi konsulat, mereka bekerja lebih efisien dan aman jika tidak harus banyak menerima tamu secara langsung.

Di Jakarta, untuk mulai mengurus visa ini, kita harus mengunjungi web VFS Services. Kita harus mengisi formulir aplikasi visa secara online. Form kosong memang disediakan, dan bisa diunduh untuk diisi. Tetapi, untuk mengurangi kemungkinan salah baca dll, kita tidak boleh memasukkan form ini. Kita harus mengisi formulir online, lalu mencetaknya, dan menandatanganinya. Formulir ini panjang :). Dan panjangnya bervariasi sesuai kebutuhan kita berkunjung ke UK. Tapi kita dapat mencicilnya dalam waktu hingga 1 minggu. Diisi, disave, diload lain waktu, diteruskan diisi, disave lagi, dst. Agar lebih cepat, aku mengisi form ini di hari libur, tanpa interupsi, sambil mendengarkan mars Rule Britannica dari Wagner. Hey, ini buat motivasi!

Berikutnya adalah dokumen pendamping. Pasfoto berwarna dengan latar kelabu muda atau krem, dan wajah tanpa senyum — haha :). Ukuran 3½ × 4½ cm — ini angka aneh, andaipun dijadikan inci. Dokumen pendamping boleh diisi selengkap mungkin, plus fotokopinya: passport (termasuk passport sebelumnya), slip gaji, rekening bank, deposito, surat tanah, SK atau surat dari perusahaan, kartu keluarga, dll. Ini bukan candaan loh :). Berhubung aku lagi mood mengumpulkan dokumen gituan, aku copy semua ke kertas dengan ukuran seragam A4, trus aku masukkan binder, yang bikin kumpulan dokumen itu jadi mirip buku biografi. Inggris memang bangsa penjajah yang selalu ingin mengubah gaya hidup kita menjadi teratur seperti layaknya bangsa yang harus diatur. Tapi aku menang, aku bisa lebih gila :).

Selesai mengkoleksi dokumen, kita harus kembali ke situs VFS Services untuk membuat appointment untuk menyerahkan dokumen2. VFS berada di Plasa Abda di daerah Sudirman, Jakarta. Kita sebaiknya hadir tepat waktu. Bawa KTP atau SIM asli, untuk diserahkan bulat2 ke resepsionis di Ground Floor, ditukar karcis MRT untuk melaju ke Lt 22, dan di sana antri lagi. Antrinya cukup lama, karena petugas memeriksai dokumen-dokumen cukup seksama — memastikan kelengkapan. Kita tidak boleh menghidupkan notebook atau telefon — jadi tidak ada Twitter dan benda2 menarik lainnya. Membawa buku dalam bentuk kertas amat dianjurkan :). Dan di akhir penantian, petugas dengan akrab memanggil kita lalu dengan ramah mendiskusikan dokumen-dokumen yang kita masukkan.

Seluruh dokumen akan diserahkan ke Konsulat UK, dan hanya passport yang akan dikembalikan. Jadi pastikan tidak ada dokumen penting yang terbawa — selain fotokopian. Setelah dinyatakan lengkap, kita boleh membayar biaya visa. Cukup mahal. Untuk visa turis jangka pendek, kira-kira Rp 1.005.000,- dan untuk visa pelajar Rp 2.600.000,- :). Biaya ini diambil Konsulat UK sebagai biaya processing visa. Andaipun visa ditolak, biaya processing ini tak dikembalikan. VFS sendiri memungut Rp 25.000,- untuk service yang diberikan kepada kita. Tapi VFS berbaik hati untuk menyuruh kita melengkapi dokumen dll jika belum lengkap atau dirasa bisa mengakibatkan visa ditolak. Jadi ini lebih baik daripada saat kita submit langsung ke Konsulat, dan bisa ditolak (plus kehilangan uang) hanya gara2 dokumen tidak lengkap.

Lalu pemeriksaan biometri. Ini cuman berarti kita diambil foto dan sidik jari di ruangan berpemandangan indah. Wow, kita bisa lihat Istora Senayan nyaris dari atas. Tapi gak boleh lama2. Kita langsung didepak pulang oleh petugas, sebelum sempat memasang tenda di ruangan ini.

VFS akan mengirimi kita SMS dan mail. Pertama adalah notifikasi saat visa kita sudah dikirimkan ke Konsulat. Kedua, notifikasi saat passport sudah boleh kita ambil. Aku sendiri cukup beruntung: visa bisa diambil kurang dari 2 hari setelah dokumen diserahkan ke Konsulat.

Tentu kita mengambil passport di VFS lagi di Plasa Abda. Visa versi tahun 2010 ini berbeda dengan visa sebelumnya. Di tahun 1995, visanya kecil berwarna merah. Di tahun 2000, visa berwarna cerah berukuran sehalaman passport. Di tahun 2010 ini, visa berwarna gelap mirip visa Eropa, tapi dilengkapi foto.

Setelah passport selesai, VFS masih mengirimi SMS ketiga, menyatakan bahwa visa sudah diambil. Haha :). Ini barangkali perlu buat yang visanya minta diambilin keponakannya :).

Sementara itu, ada reporter Northern Echo membaca blogku yang dalam bahasa Inggris. Dia langsung melakukan penjajagan untuk interview di Thirsk, sekaligus bikin foto2. Baca situs Northern Echo, aku bener2 merasa hidup di zaman Herriot: sebuah koran lokal yang pemberitaannya sekitar warga lokal yang bermasalah dengan kuda, anjing, dll. Barangkali kedatangan turis blogger dari negara penghasil tweeter paling banyak se-Asia ini dianggap pantas juga jadi berita. Aku harus baca buku Herriot lagi untuk mencoba menjawab pertanyaan sang reporter dengan pelafalan ala Yorkshire :). Reckon it’s allus a piece o’ t’awd nonsense, Sorr.

Plus kali ini mendengarkan satu mars lagi dari Wagner: Kaissermarsch. Ini adalah komposisi yang diperbincangkan James Herriot dan Siegfried Farnon di awal jumpa mereka di Skeldale House, Darrowby (Thirsk).

Kolisi LHC Berhasil

Di tengah deretan tweet yang agak membosankan malam ini, mendadak sebuah tweet Teh @Ranti membawakan berita gembira: LHC sukses! Follow @CERN, lalu langsung menuju situs CERN, sebuah press release telah disiapkan di sana. Ya, kolisi yang telah disiapkan bertahun-tahun itu akhirnya sukses dieksekusi hari ini, pukul 18.06 WIB. Partikel-partikel berpacu secara stabil, kemudian ditumbukkan pada tingkat energi 7 TeV (teraelekronvolt). Ini rekor baru tumbukan rekayasa manusia: tiga setengah kali lebih tinggi dari rekor sebelumnya.

CERN akan menjalankan LHC selama 18-24 untuk menyiapkan data bagi riset-riset fisika partikel. Tujuannya tak lain dari meninjau kembali Standard Model yang menjadi dasar ilmu fisika beberapa dasawarsa terakhir. Yang konon paling banyak dicari adalah jejak dari boson Higgs yang diharapkan bakal membuka tabir misteri gravitasi. Ini termasuk tugas lab ATLAS dan CMS. Jika boson Higgs berada pada tingkat energi 160 GeV, diharapkan ia dapat terdeteksi. Namun jika tingkatnya jauh lebih kecil atau justru lebih besar, kolisi saat ini belum akan dapat menemukannya.

Untuk riset di bidang supersimetri, ATLAS dan CMS memberikan sensitivitas dua kali eksperimen sebelumnya, yaitu diharapkan dapat mencapai level 800 GeV. akan memberikan data-data untuk partikel dengan massa/energi yang terdeteksi pada sensitivitas 400 GeV. Dalam dua tahun ke depan, diharapkan LHC dapat membantu menemukan partikel supersimetrik. Eksperimen di LHC juga diharapkan mampu mendeteksi partikel bermassa hingga 2 TeV, sementara eksperimen sebelumnya baru menghasilkan deteksi massa 1 TeV.

Setelah eksperimen perdana ini, LHC diistirahatkan, dan diperbaiki kembali untuk mempersiapkan tumbukan pada level 14 TeV. Biasanya CERN mengoperasikan akseleratornya dalam siklus tahunan: dijalankan 7-8 bulan, lalu dimatikan 4-5 bulan. Namun mesin LHC ini bersifat cryogenic yang bekerja pada suhu amat rendah. Perlu hingga 1 bulan untuk mengembalikan suhu akseleratornya ke suhu normal, dan nantinya perlu 1 bulan lagi untuk mendinginkannya ke suhu operasi. Maka kini siklusnya tidak lagi tahunan. Ia akan dioperasikan terus-menerus selama dua tahun.

Para fisikawan dan para pecinta sains, mari kita syukuri malam ini :).

Ultah IEEE 802

Pada bulan Maret 1980, beberapa perusahaan, termasuk DEC, HP, IBM, Intel, dan Xerox mulai mengkristalkan gagasan untuk membentuk sebuah komite komunikasi data di bawah IEEE. IEEE dipilih karena sifatnya yang netral dan lebih berfokus pada soal teknis. Komite ini akhirnya dibentuk, dengan Maris Graube dari Tektronix sebagai ketua.

Aku pernah Kerja Praktek di LEN. Di sana, aku sempat mendapatkan tugas mendayagunakan interface IEEE 488 GPIB yang tak banyak disentuh. Graube juga beranjak dari standar itu, tetapi ia berminat melakukan standardisasi untuk interface pada jarak yang lebih jauh. Salah satu standar pertama dari IEEE 802 — begitu Komite Standard ini dinamakan — adalah Ethernet. Menariknya, Bob Metcalfe sebagai penemu Ethernet justru menolak standardisasi Ethernet waktu itu, dengan alasan bisa mengganggu proses inovasi.

Standar lain mulai ditetaskan oleh IEEE 802. Token ring misalnya. Tapi juga ke dunia wireless. Yang amat dikenal generasi saat ini tentulah WiFi (IEEE 802.11). Padahal standar WLAN IEEE 802.11 ini sempat tak lancar dikaji: ia memerlukan nyaris 8 tahun hanya untuk standard dasarnya saja. Yang lebih parah adalah UWB (ultra wideband) dari kelompok WPAN IEEE 802.15, yang melibatkan dua kubu yang bersaing — mereka gagal mencapai konsensus dan akhirnya menarik proyek mereka. Contoh lain yang tak pernah mencapai standardisasi adalah Manajemen Network (dan ini menjelaskan kenapa kita tidak memiliki standar Manajemen Network yang menarik).

IEEE 802 juga turut mengarahkan tren industri. Contohnya adalah standar WiFi Gigabit 802.11AD yang mendorong kalangan industri untuk menyiapkannya mulai mulai tahun 2013, dengan versi 6 GHz dan 60 GHz. Versi 6 GHz akan digunakan untuk aplikasi bisnis dan industri, karena sinyalnya kuat kuat, namun berbiaya lebih tinggi untuk pengkodean, penanganan gangguan, antena MIMO, dan modulasi multilevel. Sebaliknya, versi 60 GHz akan ideal digunakan konsumen dan kantor kecil karena mudah dibangun, namun sinyalnya terganggu oleh penyerapan oksigen — secara harfiah.

Aplikasi skala industri yang didorong oleh standar 802 juga meliputi WPAN IEEE 802.15 yang mendukung RFID dan smart grid, serta 802.16 yang menjadi standar WiMAX, WiMAX mobile, hingga WiMAX 4G. Yang juga menarik adalah IEEE 802.15.6 (Body Area Networks) dan VLC IEEE 802.15.7. Yang pertama dapat digunakan untuk transceiver skala nano yang bisa ditelan pasien dalam bentuk pil; dan yang kedua untuk jaringan data tingkat tinggi dengan modulasi gelombang cahaya sebagai lapisan fisik yang akan beroperasi dalam rentang terahertz tanpa izin dan kebal terhadap gangguan listrik.

Untuk mengulangtahuni Komite Standar IEEE 802, IEEE juga memberikan kesempatan terbatas bagi siapa pun untuk mengambil standar-standar dari keluarga IEEE 802 secara gratis. Silakan klik pada standar-standar di bawah untuk melakukan download gratis.

Standar-standar ini hanya dapat diunduh gratis selama masa Peringatan Ulang Tahun Komite Standar IEEE 802; dan keputusan ini dapat diubah setiap saat tanpa pemberitahuan. Silakan disebarkan demi makin majunya pengembangan sistem komunikasi dan informasi demi kemanusiaan. Selamat Ulang Tahun, Komite Standar IEEE 802!

Cebu – Mactan

Emang blogku isinya jadi terlalu serius ya? Sukurin, haha :). Yawdah … kali ini aku cerita tentang Mactan dan Cebu dari sisi yang lain :). Nggak dijamin lucu juga sih. Dua tahun ini aku cukup banyak melakukan travelling, baik buat Telkom, IEEE, atau lainnya. Jadi jalan2 gitu kayak udah nggak pakai persiapan lagi. Beli tiket pun dilakukan dalam beberapa menit, sambil break di Gegerkalong, ditungguin Dave, yang heran lihat di Indonesia ada Mastercard dari Royal Bank of Scotland. Abis itu, ada beberapa perjalanan lagi, bikin aku bener2 nggak sempat mempersiapkan perjalanan ke negeri yang ajaib ini.

Perjalanan dimulai pukul 00.30, dari Soekarno Hatta, dengan Cebu Pacific Air. Aku pikir jarang orang berangkat semalam itu, jadi aku santai aja. Tapi Mas Ary agak nervous, dan minta berangkat dipercepat. Jadi pukul 22.30 kami sudah di Soekarno Hatta. Antrian pendek dan dibagi tiga. Tapi … lamaaaa sekali. Hampir 1 jam habis di antrian pendek itu. Untuk aku sendiri, dihabiskan sekitar 15 menit, untuk bisa memperoleh boarding pass transit di Manila. Tapi, katanya, dengan boarding pass itu, aku tetap harus ambil bagasi dan check in ulang di Manila. Hah? Jadi dari tadi buat apa lama2 :). Trus mengurus bebas fiskal, kurang dari 1 menit. Imigrasi, kurang dari 1 menit. Aku stay dulu di salah satu executive lounge yang menerima Citibank Garuda card — soalnya bisa buat 2 orang. Pak Wahidin memilih ke lounge lain. Tak lama, kami pindah ke ruang tunggu, bareng2, padahal tanpa janjian :). Dan langsung boarding.

Aku udah mempersiapkan diri menghadapi low fare airlines macam ini. Tapi ternyata Cebu Pacific belum sekelas Air Asia, misalnya. Waktu pesawat menggelinding dalam proses taxi ke runway, udah kerasa ada yang ajaib. Bannya kempes, atau ada jalan berlobang di CGK? Dengan getaran kuat, Cebu Pacific melenting kuat ke udara Jakarta. Ah, lega, pesawatnya masih utuh. Dan aku memutuskan bobo. Capek. Aku bangun 3 jam kemudian. Di bawah tampak pulau2 dan lampu2. Nggak ada info apa2. Nggak ada majalah atau bacaan lain. Lalu diumumkan bahwa pesawat siap didaratkan di Neenoy, eh, Ninoy Aquino International Airport, Manila. Eh, miring2 sebelum mendarat. Bum, dia mendarat, dan langsung berguncang keras. Beneran bannya kempes kali. Di Indonesia nggak ada pendaratan seaneh ini.

Antrian imigrasi di NAIA panjang. Dan lama. Rupanya di CGK aku memang dipersiapkan merasakan antri gaya Filipina. Beda dengan di CGK atau Changi (SIN), di mana kita cuman perlu kurang dari 1 menit. Beberapa orang di belakangku nervous berat. Aku sih cuek. Lolos dari imigrasi, ambil bagasi (tanpa menunggu lagi — mungkin tas kami sudah berputar2 beberapa kali di sana), dan langsung ke tempat check in untuk penerbangan ke Cebu. Koper dititipkan kembali, baru cari sarapan. Berbeda dengan CGK dan SIN, kurs di money changer di NAIA seram. Aku gak jadi tukar duit ke Peso. Pinjam Peso ke Pak Wahidin. Serem di sini: mau makan harus ke kasir bawa peso. Kehidupan keras. Terminal Cebu Pacific di NAIA ini baru. Jadi belum banyak diisi tempat2 menarik. GPRS juga hilang :(. Penantian yang membosankan. Tapi akhirnya kami terbang lagi. Kali ini tanpa ban kempes. Menikmati indahnya pulau2 di Kepulauan Filipina dari atas. Dalam waktu 1 jam, pesawat mendarat di Mactan Cebu Airport. Huh, miring2 lagi.

Mactan

“Minggir,” terdengar seorang awak bicara ke anak kecil, disusul kata2 asing. Hah? Itu bahasa Tagalog atau Cebuanos? Menunggu bagasi kali ini lama sekali. Dan terdengar kata2 lokal yang sekilas mirip Melayu juga. Kenapa di Manila nggak seajaib itu tadi? Ini negara menarik. Di mana2, segalanya dicetak dalam Bahasa Inggris, bukan bahasa lokal. Iklan2 sebagian besar dalam Bahasa Inggris juga — dan justru iklan2 baru yang berkilau yang menggunakan bahasa lokal. Taxi dispatcher berbicara dalam Bahasa Inggris ke kami; tapi waktu mereka saling bicara, terdengar nuansa Melayu, seperti “Ada di atas.” Heh, jangan2 memang orang Melayu. Atau Indonesia. Ragu. Orang Filipina, seperti Indonesia, juga exporter TKI. Taxi Bandara lebih mahal dari taxi luar, tapi jauh lebih baik. Dan kalau kita bicara tentang mahal, dia tetap tak lebih mahal dari Jakarta. Selain taxi, juga banyak Jeepney berseliweran, dengan tarif murah.

Kernet @ Mactan

Kalau kita menutup telinga, rasanya kita masih di Indonesia. Perawakan, gaya berkomunikasi, dll, mirip kota2 di Indonesia. Tapi tentu nyaris tak ada yang pakai kerudung di sini. Buka telinga, baru kita sadar bahwa bahasanya berbeda :). Sinyal GPRS cukup baik, baik di Mactan maupun Cebu. WiFi diberikan gratis di hotel2, dengan kecepatan OK. Credit Card tak selalu diterima. Jadi, memang kita harus selalu bawa peso. Seram. Eh, tadi sudah.

Becak @ Mactan

Pisang Bakar @ Mactan

Taxi di Cebu-Mactan menyeramkan. Mirip taxi Kota Kembang di Bandung: putih, bobrok, bau. Kabel seliweran. Drivernya menyetir ngebut dan seenaknya. Bedanya dengan di Bandung: driver angkot (Jeepney) pun menyerah atas kegilaan driver taxi di sini. Resort dan tempat2 yang dikelola untuk wisata keren sekali. Pasir putih kasar (tidak halus, jadi tak mengotori baju), pohon, dan petugas yang ramah. Di Imperial misalnya, kami nggak boleh jalan masuk, tapi diberi tumpangan mobil elektrik untuk berkeliling dengan guide yang sabar dan ramah. Gak bayar apa2, padahal kami bukan tamu yang menginap, dan mereka tahu kami menginap di hotel lain.

Mactan

Oh ya … penerbangan dari Jakarta ke Cebu-Mactan itu tidak setiap hari. Jadi kami datang terlalu cepat. Jadi serasa punya hari libur. Jadi kami ke Cebu. Lihat mall juga, haha. “Silakan,” kata satpam di depan mall, sambil mengoperasikan detektor logam (Indonesia sekali kan?). Lihat2 souvenir, benar2 tak beda dengan di Indonesia. Bedanya, mereka nggak punya batik. Ada juga songkit (dengan huruf i). Penjaganya ramah. Kami berbincang panjang sambil melihat souvenir. Tapi dia sambil menyanyi, haha. Ke ATM, wow, antri panjaaang. Aku ke ATM, soalnya udah ogah ke money changer lagi. Ambil Peso dengan ATM Mandiri, tidak ada kesulitan sama sekali (selain antrinya panjang di semua ATM di mall itu). Ke toko buku, huh, bukunya Bahasa Inggris. Padahal aku mau cari buku “Pangeran Kecil” dalam bahasa Tagalog. (Mirip waktu ke Johor — aku nggak dapat “Pangeran Kecil” dalam Bahasa Melayu). Cari makan. Gilse. Baboy euh. Baboy mulu. Sea food akhirnya :). Trus ke Department Store, soalnya aku nggak punya dasi. Di Telkom udah nggak ada budaya pakai dasi sih, jadi udah nggak punya. Harganya sekilas tampak normal. Tapi kalau kita sempat mengkurs, baru kita sadar: murahnya bersaing dengan Bandung. Haha :). Hati2 nih orang Bandung. So, aku beli dasi kelabu dan ikat pinggang (punyaku sudah lama rusak, tapi masih dipakai terus). Nggak tergoda belanja — nunggu ke Bandung aja :). Hmm, padahal ada jaket keren.

Di luar mall, suasanya nggak jauh juga dengan Bandung. Ada becak (pakai motor tapi, kayak di Medan). Ada tukang jual makanan di lampu merah. Ada angkot penuh dempul. Dan ada orang2 ramah tamah di mana2 :). Cerita tentang Starbucks aku tulis di blog satu lagi. Dari mall, kami kembali ke Mactan, dan langsung ke Shangri-La, tempat IEEE Region 10 Meeting akan diselenggarakan.

PKL @ Cebu

Shangri-La terletak hanya beberapa menit jalan kaki dari Shrine of Magellan, tempat Fernao de Magalhaes tewas dalam upayanya yang gagal untuk menjajah Pulau Mactan. Malam itu IEEE belum menyediakan dinner; sementara makanan di Shangri-La mahal. Jadi kami dari Indonesia Section dan Malaysia Section bergabung cari sea food di dekat Shrine of Magellan. Ternyata masih mahal juga, haha. Abisan, yang dimakan malah lobster dan makanan unik lainnya. Tapi langsung dibayari pihak Malaysia, soalnya salah satunya adalah pejabat Region, yang biaya dinner-nya malam itu bisa dipertanggungkan ;).

Malam itu, sekalian kami mengadakan IEEE Comsoc Indonesia Chapter Special Meeting. Mumpun ketemu aja. Dua hari berikutnya adalah IEEE Region 10 Meeting, yang udah aku tulis di dua entry sebelumnya. Apa yang menarik ya? Ya, kita sambil kampanye tentang Indonesia juga, soalnya tahun 2011 kita sudah disetujui untuk menjadi tuan rumah TENCON di Bali; sekaligus mengajukan diri jadi tuan rumah Region 10 Meeting 2011 di Yogyakarta. Diskusi2 dengan delegasi2 negara2 lain, dan dengan officer baik IEEE pusat maupun Region 10. Dievaluasi juga aktivitas Section dan Chapter. Penanggungjawab Chapter2 agak kecewa bahwa di Indonesia tidak banyak Chapter yang aktif, selain Communications Society (Comsoc) Chapter. Juga dari Computer Society, didesak untuk segera membuat Computer Society Chapter di Indonesia. Aku juga ketemu officer dari Philippine Section. Mereka kecewa gara2 aku dan tim nggak sempat memberikan lecture di Manila beberapa hari sebelumnya. Sedih juga sih. Tapi aku kan masih punya kantor :D. Dia ngasih tawaran buat ngasih lecture lagi bulan2 ini. Mudah2an bisa. Laku juga ternyata orang Indonesia ngasih lecture ;). Mas pinalakas, mas pinalawak, haha :).

Acara belum sepenuhnya selesai waktu aku melejit lagi ke Mactan Airport, meninggalkan acara2 menarik (kunjungan sosial dan budaya) di Cebu. Aku mengejar pesawat ke Manila, lalu terbang ke Singapore untuk aktivitas yang lain. Pesawatnya masih miring2 aja setiap kali mau landing. Oh ya, dari dekat runway, aku lihat pesawat Cebu Pacific Air lain juga miring2 waktu mau mendarat. Sudah Standard Operation Procedure barangkali. Mudah2an nggak sering2 naik Miring Airlines itu.

Manila

Tapi, btw, aku sama sekali nggak keberatan kalau harus berkunjung lagi ke Filipina. Negeri yang menarik :). Sayangnya, sampai Indonesia, level kesehatan agak jatuh. Rada lelah dan kacau. Temen2 yang ketemu aku di Ignite pasti melihat hal yang sama :). Dan masih terasa sampai sekarang. Kurasa aku harus beristirahat dulu.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑