Author: Koen (Page 12 of 87)

Digital Service Delivery Framework

Istilah konvergensi bahkan telah mengemuka waktu aku masih kuliah. ISDN waktu itu telah dikembangkan bertahun-tahun (pertama kali aku baca di majalah Time waktu aku masih SMA), dengan keinginan menyatukan komunikasi suara dan data dalam satu jaringan. Waktu akhirnya para operator mengimplementasikan ISDN, ATM (asynchronous transport module) mulai distandarkan, dan dunia komputasi memperluas jaringannya dengan Internet. Konvergensi diarahkan ke jaringan broadband, antara jaringan telefoni digital, Internet, dan media broadcasting yang waktu itu masih menggunakan CaTV. Lebih dari 10 tahun kemudian, kita telah memiliki jaringan2 yang memiliki layer network yang sama: IP. Internet. Jaringan telekomukasi di-NGN-kan dengan IMS dan TISPAN. Internet menjelma menjadi Broadband Internet dengan gebyar Web 2.o. Media telah memiliki IPTV dengan interaktivitas yang menarik. Namun konvergensi belum terjadi :)

Sifat dari network-network itu mungkin memang berbeda. Bukan dari karakteristik trafiknya. Itu sudah teratasi sekian tahun yang lalu dengan IntServ/DiffServ, MPLS, dll. Sifat pengembangan produk di atas network2 itu berbeda. Di telefoni, layanan voice, SMS, akses Internet, telah menghasilkan revenue yang besar, dengan pengelolaan customer yang relatif baik, dengan produk yang pemakaiannya bisa ditagihkan ke customer yang real.  Masalahnya adalah produk di benua ini tak cepat berkembang. Prosesnya lama, melibatkan segala aspek di dalam infrastuktur network dan bisnis yang panjang. Pun, revenue di sini sudah waktunya menurun. Decline. Dan ini bersifat global, di mana pun. Di benua yang lain, ranah web dan Internet, produk2 baru bermunculan setiap hari. Waktu pengembangan, implementasi, deployment, amat cepat. Namun tak banyak revenue yang bisa diambil dari produk digital di ranah ini, selain dari advertising. Dan advertising pun jumlahnya terbatas. Andai ada cara untuk menggabungkan kekuatan untuk menciptakan layanan yang inovatif, tepat kebutuhan, namun tersampaikan secara tepat ke customer yang terdata dan terkelola, dan dapat menghasilkan revenue yang kemudian dapat digunakan untuk inovasi lebih lanjut, tentu dunia kreasi digital jadi lebih menarik dan berwarna. Dan itu misi konvergensi di tahap ini.

Di forum Fresh tahun lalu, aku sempat menyinggung tentang SDP (service delivery platform). Jejaknya masih bisa dicari di blog ini :). SDP diharapkan mampu menjembatani berbagai aplikasi dan layanan digital, diabstraksikan dan diorkestrasikan dengan database user dan konteks2 penting lainnya (lokasi misalnya, dan informasi perangkat, preferensi user, peta, layanan publik, dll, dll), lalu disampaikan melalui virtualisasi network dan terminal, untuk diterjemahkan sebagai layanan real ke atas berbagai jenis jaringan (telefon, televisi, mobile) ke berbagai jenis perangkat (HP, smartphone aneka platform, TV, dll).

Tampaknya ideal. Tapi ternyata belum terjadi konvergensi juga. Layanan tradisional, seperti voice (mobile dan fix), message, dll, dengan tingkat kehandalan yang dipersyaratkan, belum dapat dimasukkan. Dunia telefoni memiliki jawaban yang menarik: IMS. IMS memang terpusat di layanan dengan sesi-sesi yang jelas, seperti telefoni, dan menggunakan protokol yang distandarkan, yaitu SIP. Namun mulai ada prakarsa untuk memperluas IMS untuk juga menangani sesi-sesi web, video streaming, dan televisi. Apa pun itu, abstraksi di sisi layanan masih akan harus dijajagi dari awal jika hendak dimasukkan ke dunia IMS.

Yang akan menarik adalah mencoba mencoba menggabungkan IMS dengan SDP. Entah kenapa ini mengingatkan aku pada penggabungan MPLS dengan ATM, dalam arti banyak skema2 menarik yang diajukan untuk penggabungan IMS dan SDP ini, sesuai dengan optimasi masing2. Membacai berbagai skema2 ini pun sudah cukup mengurangi waktu bobo, dan membuat kopi jadi menu utama :). Gambar di bawah ini adalah salah satu yang aku pikir cukup pas untuk dunia kita

Pertama, aplikasi dibagi tiga dulu. Aplikasi2 yang selama ini sudah ada di dalam network (komunikasi telefon, message, dll), yang secara tradisional telah menghasilkan revenue tinggi dan harus dipertahankan, dan dioperasikan langsung oleh network operator, dapat memiliki link langsung ke seluruh resource network. Pragmatis. Agak2 bersifat hardwired. Aplikasi semacam ini dapat langsung dihubungkan ke dalam IMS, atau network-centric part. Aplikasi lain, yang bersifat inovatif, mudah diciptakan dan dimodifikasi oleh tim pengembang atau oleh komunitas di luar; ditempatkan mengikuti arsitektur SOA (dalam IT-centric part), dan dapat memiliki akses ke network, enabler (pengelolaan konteks), maupun sumberdaya lain. Aplikasi jenis ketiga, dari dunia Web 2.0 dengan berbagai mashup-nya, yang bersifat long tail (kecil namun potensial), dapat memiliki akses melalui widget2 dan melalui aplikasi built-in yang menghubungkannya dengan sumberdaya di dalam SDP.

Ini tentu adalah diskusi awal yang memerlukan eksplorasi yang panjang. Deksripsi semacam ini pun agak tak masuk akal disajikan dalam sebuah entry blog dengan panjang kurang dari 10 paragraf semacam ini. Mestinya melalui Twitter, haha.

Weekend ini aku mau ke Malang untuk mendiskusikan soal ini. Ada yang berminat bergabung? Sila hubungi Departemen Teknik Elektro Universitas Brawijaya.

Greenwich

Dulu, kata buku-buku kuno, tidak ada standar waktu seperti sekarang. Setiap tempat, setiap kota, menentukan waktunya sendiri dengan sinkronisasi terhadap matahari. Pukul 12.00, matahari harus berada di titik tertinggi. Atau mungkin direratakan. Misalnya, saat di Malang sudah pukul 12.00, di Jayakarta barangkali masih pukul 11.35. Namun di tahun 1879, Sir Sandford Fleming (seorang ilmuwan Kanada) mengusulkan perlunya penstandaran. Ini terjadi gara-gara ia ketinggalan kereta di Irlandia akibat selisih waktu yang tercatat pada form keberangkatan kereta denga. Ia mengusulkan bumi agar dibagi menjadi 24 zone waktu, dengan setiap zone berselisih satu jam. Daerah dalam setiap zone harus memiliki waktu yang sama. Usulnya diperhatikan dan diakomodasi dalam bentuk berbeda dalam International Meridian Conference tahun 1884. Untuk menentukan zone waktu, orang harus mengukur posisi bujur di kotanya. Nah, waktu itu, sekitar 2/3 lokasi di dunia diukur jarak bujurnya dari Greenwich, yang merupakan pangkalan maritim Kekaisaran Inggris. Maka konferensi merekomendasikan penggunaan waktu dengan standard GMT — Greenwich Mean Time. Titik ukur standardnya adalah pada Observatorium Kerajaan Inggris di Greenwich. Perancis, yang memiliki standarnya sendiri (baca Da Vinci Code deh), baru menggunakan standar ini tahun 1911. Di tahun 1929, seluruh negara menggunakan standar GMT. GMT dihitung dari rerata waktu di titik ukur di Greenwich (tak menghitung pergeseran waktu musim panas yang ditetapkan tersendiri). Tetapi tentu pengukuran fisik seperti ini menimbulkan selisih-selisih. Banyak iregularitas pada putaran bumi, dan lain-lain. Maka di tahun 1972, ditetapkan standar baru, yaitu UCT (coordinated universal time), yang menggunakan arloji atomik untuk menghitung waktu standar. Namun jika kita tidak menghitung presisi waktu hingga satuan detik, umumnya UCT dianggap selaras dengan GMT.

Setelah Cardiff, Coventry, York, dan Thirsk, kami masih agak gamang harus menjelajahi kota besar seperti London. Apa menariknya kota besar? Haha :). Maka kami memutuskan pergi ke Greenwich. Greenwich sendiri merupakan kawasan di tenggara kota London, di selatan Sungai Thames. Tempat ini dijadikan cagar budaya oleh UNESCO karena banyak peninggalan masa lalu yang memiliki nilai budaya tinggi, dan masih difungsikan dengan baik. Dari kota London, kita bisa menumpang Underground hingga stasiun Bank atau Canary Wharf, lalu berpindah ke kereta ringan DLR ke Cutty Sark atau Greenwich. Dilanjutkan cukup dengan jalan kaki melewati kawasan perkotaan nan tetap asri ini. Di kawasan ini terdapat Greenwich Palace, Maritime Museum, dan lain-lain. Lalu Greenwich Park yang sangat luas, dengan rumput yang asri dan nyaman, dan pohon-pohon yang indah tertata. Di tengah park terdapat bukit. Di taman di sekitar bukit, banyak (banyak!) tupai-tupai jinak yang mau menghampiri kalau kita memanggil mereka dengan cara yang benar (haha). Dan di atas bukit ada Observatorium Kerajaan (Royal Observatory).

[nggallery id=4]

Observatorium ini didirikan tahun 1675 oleh Raja Charles II, mengambil tempat di Greenwich Castle. Arsiteknya adalah arsitek tenar Sir Christopher Wren. Raja juga mengangkat Astronom Kerajaan, yaitu saat itu John Flamsteed. Tugasnya adalah menjadi direktur observatorium dan mengerjakan secara rajin dan cermat segala pergerakan benda angkasa, serta pemosisian benda-benda yang mampu menjadi alat bantu bagi navigasi seluruh dunia. Maka bagian dari observatorium ini disebut juga Flamsteed House. Observatorium ini, sebagai tempat, fungsi, dan organisasi, kemudian mengalami banyak perubahan. Organisasinya sendiri sempat berpindah-pindah ke beberapa tempat, karena soal polusi, keamanan (bom dll), dan keakuratan pengukuran. Sempat di Sussex, dan terakhir di Cambridge, sebelum akhirnya ditutup. Observatorium Greenwich kemudian dijadikan museum dan tempat studi.

Pengunjung di observatorium ini cukup banyak. Kita tak diharuskan membeli tiket, tetapi dianjurkan mengisi kencleng donasi dengan misalnya £5. Di dalamnya ada museum yang berisi peralatan pengamatan perbintangan dan sistem navigasi, juga pusat sains tempat kita bisa mensimulasikan berbagai gejala astronomis. Di layar lebar ditampilkan sejarah bintang, dan bagaimana kita sebenarnya tersusun dari debu-debu bintang — bintang adalah bagian dari diri kita! Dan terdapat juga sebuah planetarium. Sayangnya, di dalam ruangan-ruangan itu, kita tak diperkenankan memotret. Yang juga tentu menarik buat dikunjungi adalah sebuah garis metal panjang di lantai, yang merupakan standard bujur 0º dunia. Kita bisa melompat ringan dari barat ke timur, atau membagi badan kita di barat dan di timur ;).

Selesai menjelajahi bagian barat dan timur bumi, kami menuruni bukit, becanda lagi dengan beberapa tupai, lalu meneruskan perjalanan menjelajahi kawasan unik ini. Tapi tak bisa lama. Kami jadi berminat ke Musium Sains di South Kensington juga :). Dan tentu saja The British Museum.

The Inextinguishable

London Symphony Orchestra, menurut Wikipedia, adalah salah satu orkestra terbaik di dunia. Patron orkestra ini adalah Ratu Inggris sendiri; presidennya Sir Colin Davis; dan konduktor utama adalah Valery Gergiev. Sir Colin Davis pernah menjadi konduktor utama juga pada tahun 1995-2006. Orkestra ini merupakan resident di Barbican Centre. Malam ini di Barbican Centre LSO memperformansikan The Inextinguishable.

The Inextinguishable adalah simfoni keempat dari Carl Nielsen. Walau aku bisa menikmati simfoni Nielsen kelima berulang dan berulang kali, tetapi aku belum cukup akrab dengan simfoni keempatnya. Saat akan menuliskan simfoni ini, Nielsen menulis kepada istrinya: “I have an idea for a new composition, which has no programme but will express what we understand by the spirit of life or manifestations of life, that is: everything that moves, that wants to live … just life and motion, though varied – very varied – yet connected, and as if constantly on the move, in one big movement or stream. I must have a word or a short title to express this; that will be enough. I cannot quite explain what I want, but what I want is good.” Maka The Inextinguishable menceritakan anasir daya kehidupan itu sendiri, yang bergerak lincah membentuk jiwa-jiwa dinamis dan beraneka rupa dan warna.

Performance Simfoni Keempat ini dikonduktori oleh Sir Colin Davis sendiri. Bukan performance biasa, aku pikir. Jadi, hanya beberapa menit setelah menjejakkan kaki di London dari perjalanan dari York, aku memutuskan mereservasi tempat di Barbican Centre. Barbican Centre sendiri terletak di City of London, bagian dari kota London yang kaya dengan pusat-pusat budaya.

Performance LSO dimulai pukul 19.30. Pada sesi pertama, LSO memainkan Simfoni 97 dari Haydn. Seperti simfony Haydn lainnya, musik ini menenangkan dan membersihkan pikiran. Lalu panggung ditata ulang. Piano besar di sudut ditengahkan. Tampillah Mitsuko Uchida; dan Sir Colin Davis kembali memimpin orkestra memainkan konserto piano yang lembut dari Mozart. Sempurna :).

Setelah sesi break, piano telah ditepikan kembali. Namun jumlah pemain ditambah lebih dari dua kali. Kelompok alat tiup mengisi setiap sisi panggung. Dan sepasang timpani mengisi ujung ruang.

Simfoni Keempat ini terdiri atas 4 movement, dan dimainkan tanpa break. Seperti simfoni Nielsen lainnya, movement pertama langsung diisi hentakan yang bergaya atonal. Tapi tak sedrastis Simfoni Kelima. Klarinet terasa mendominasi. Movement kedua, yang biasanya bersifat lebih tenang, masih dipenuhi paduan menarik dari alat-alat tiup. Violin dan dawai-dawai mendominasi movement ketiga, seperti menyiapkan diri ke klimaks movement terakhir. Di movement keempat, kedua timpani disandingkan mengiringi orkestra yang ditutup masih dengan rasa kepenasaranan yang tinggi.

Memang banyak alternatif untuk menggambarkan sang hidup. Bisa dalam bentuk perulangan yang menarik dan dinamik, atau dalam bentuk tanda tanya yang menggelitik, atau pengelanaan misteri panjang dengan keengganan untuk memasuki kedalaman. Atau ribuan variasi lain. Simfoni Keempat menggambarkan sang hidup dari sisi-sisi dinamika dan variasinya yang menarik. Menghentak, mengejar, dan berpadu dengan lincahnya menyeberangi batas dimensi realita dan kemayaan. Mengajukan kesetaraan antara yang mayor dan minor, antara yang mainstream dan yang terpinggirkan. Sungguh simfoni yang menarik untuk jadi bahan perenungan awal untuk memulai penjelajahan di kota London.

Darrowby

Entah mengapa bis itu mendadak terguncang di jalan rata itu. Aku mendapati diriku terjaga di antara bukit-bukit Yorkshire Dales yang nyaris seluruhnya berwarna variasi hijau dari padang rumput yang luas dan pohon-pohon musim semi. Jalan berkelok-kelok di antara ladang dan peternakan dengan kuda, lembu, dan domba. Sinar matahari masih berusaha menembus awan kelabu saat bis memasuki sebuah kota kecil. Tak sampai semenit, bis sudah berhenti di samping menara lonceng kecil (townclock). Lahan luas marketplace berfungsi jadi lahan parkir. Di sampingnya toko-toko berjajar berwarna-warni. Toko koperasi menarik perhatianku dan membuatku tersenyum tak sengaja. Kami menapak turun, dan menjejakkan kaki di Darrowby.

Blog ini amat sering menyebut kota ini: Thirsk, di Yorkshire. Seorang dokter hewan yang juga penulis handal, bernama samaran James Herriot, memperkenalkan kota dalam buku-bukunya ini ke seluruh dunia sebagai Darrowby. Adalah buku perdananya, Seandainya Mereka Bisa Bicara, yang membawaku ke kota ini. Seorang fotografer dari The Northern Echo, Richard, menungguku di bawah lonceng, dan mengambil fotoku bersama buku kenangan itu. Lalu kami menapaktilasi langkah Herriot mendatangi rumah Skeldale House. Richard meninggalkan kami di sana.

Tak seperti Herriot, aku tak perlu menekan bel dan mendengarkan lima ekor anjing menyalak keras. Margaret sudah di depan rumah dan menyambut ramah. Kami becanda dengan renyah dan asyiknya, sebelum akhirnya ia menyuruh kami membeli tiket di rumah sebelah. “Follow me, Luv,” ajaknya. Lalu dengan aksen Yorkshirenya ia menceritakan apa yang terjadi setelah buku2 itu. Anak-anak James masih di Thirsk: Jim jadi dokter hewan dan Rosie jadi dokter. Rumah itu dijadikan museum sejak 1995. Juga Margaret menanyai bagaimana orang dari ujung dunia yang lain ini bisa menemukan Skeldale House. Haha, keajaiban Internet.

Akhirnya aku diperkenankan menekan bel. Rrrrrring. Tetap tak ada anjing menyalak. Kami harus membuka pintu sendiri. Di dalam rumah, ruang-ruang dipelihara seperti aslinya: ruang makan resmi, ruang keluarga, ruang obat2an, ruang operasi, ruang sarapan, dan gang ke ruang-ruang di belakang. Terbayang Tristan mengendarai sepeda di gang kecil itu.

Semuanya tampak seperti mimpi yang mewujud keluar dari buku yang kubaca dan kubaca lagi bertahun-tahun. Tak ada montir tua menunggu di belakang. Tapi aku boleh mengendarai Austin tua milik James, asal tak melebihi kecepatan 0 mph.

Di bagian belakang, sebuah ruangan disiapkan untuk mengenal James lebih pribadi. Ini sering aku blog juga. Nama asli James Herriot adalah James Alfred Wight, dipanggil Alf, lahir di Sunderland tapi tumbuh di Glasgow. Ortunya memilih Glasgow untuk membangun keluarga dan mendidik anak dengan budaya yang baik. Alf menyukai musik klasik dan gemar menulis buku harian. Kagum dan terpukau aku membaca buku harian Alf muda yang diisi setiap hari. Namun seorang profesor datang ke sekolahnya dan membuatnya mendadak ingin mendalami sains dan menjadi dokter hewan. Ia berkuliah di Glasgow, tempat para mahasiswa tak serius berkuliah. Tapi akhirnya ia lulus, sempat bekerja di Inggris Utara, lalu pindah ke Yorkshire, pada seorang dokter hewan bernama Donald Sinclair di kota Thirsk. Yorkshire, lingkungannya, penduduknya, tantangannya, membuat Alf betah di kota ini, hingga menikah dan membesarkan anak2nya. Serial buku Herriot dijamin membuat kita memahami mengapa ia tak ingin pergi dari sini.

Ia menikmati hidupnya. Masih menikmati musik klasik, menulis buku harian, mendidik anak-anaknya. Tapi kerja keras tak selalu menghasilkan uang. Tabungannya hanya £20 saja. Ia jadi punya ide mengemas buku hariannya jadi buku. Joan, istrinya, berkomentar: tak ada orang yang mulai menulis pada umur segini. Tapi ia menulis, dan setelah beberapa tahun ditolak, akhirnya bukunya terbit dan sukses di kedua sisi Atlantik, lalu diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.

Menembus ke ruang sebelah, yang sebenarnya sudah bagian dari rumah tetangga, sebuah pesawat telefon hitam berdering. Serasa mendengar hardikan Donald a.k.a. Siegfried, “Pick up the phone!” aku mengangkat telefon itu. Langsung terdengar suara petani di ujung sana, menyerocos dengan dialek entah apa, mengeluhkan kondisi ternaknya, dan langsung membanting telefonnya. Kuletakkan telefon perlahan. Membeli topi biru, kami berjalan ke sekitar Thirsk. Marketplace dikelilingi toko yang ramai: toko-toko buku, kafe, toko manisan (hey, mungkin ini tempat si kucing Alfred yang harus dioperasi mengeluarkan bulu lebatnya dari dalam lambung itu), bank-bank.

Terus ke luar, sebuah jembatan membentang di atas sungai. Sungai Darrow, kata James di bukunya. Di baliknya: rumah-rumah dari batu bata merah; dan diseberangnya: kembali lembah-lembah dan bukit-bukit dengan hewan-hewan ternak yang dilepas di atas padang rumput luas.

Hidup tak tampak rumit di sini. Sekilas aku jadi membayangkan spiral besar yang sedang kita bangun di Indonesia, menumbuhkan kreasi digital, meningkatkan kebutuhan akan akses digital, menjadikan itu alasan untuk berinvestasi membesarkan dan menganekaragamkan pipa-pipa digital, lalu mengisinya dengan menumbuhkan kreasi digital lagi. Sungguh hidup yang jauh berbeda. Tapi seperti juga James, aku memilih untuk menjalani setiap bentuk dan variasi kehidupan, menikmatinya setiap keunikannya dengan rasa sayang, menjelajahi setiap rasa penasaran kita, dan terus rajin menulis ;). “Jump in,” teriak sopir bus ke arah Liverpool itu. Kami lompat masuk. Kembali ke York.

Le Royaume Uni

Alkisah, Presiden Blogger Indonesia 2009, Iman Brotoseno mendadak menanyai apakah aku berminat terbang ke London. Mungkin keseringan mendengar mars Rule Britannica, aku langsung menjawab dengan SMS satu kata: Deal. Lalu Mas Iman merinci syarat dan ketentuan. Air Asia akan menyediakan tiket penerbangan, dari Jakarta-Kualalumpur, dan Kualalumpur-London, dan arah balik. Tapi hanya itu yang akan disediakan. Pajak, akomodasi, visa, dll, harus ditanggung sendiri. Dan seterusnya. Bagian ini sudah aku ceritakan di blog satunya.

Aku meluangkan hanya beberapa jam untuk membuat rencana perjalanan. Pekerjaan berikutnya adalah mengajukan visa ke UK. Syarat-syarat terdengar berat, tetapi ternyata tak sulit dilalui. Lalu aku mulai memesan tiket kereta api, bis, hingga akomodasi hotel. Konon, terutama untuk kereta api, tiket kereta api jauh lebih mahal jika kita memesan mendadak atau membeli di tempat. Tiket pesawat diperoleh setelah pajak-pajaknya dibayar. Pihak-pihak Air Asia sangat ramah dan cekatan membantu kami mengurus tiket-tiket ini.

Kami berangkat di pertengahan April. Tapi di tanggal yang salah. Tak satu hari lebih cepat atau satu hari lebih lambat dari ditutupnya Stansted dan kemudian seluruh airport di UK dan kemudian seluruh airport di mayoritas negeri di Eropa, akibat abu dari letusan gunung Eyjafjallajökull di Iceland. Kami sempat terdampar di Kualalumpur tanpa informasi yang memadai. Setelah beberapa hari di KL, akhirnya kami kembali ke Indonesia. Setelah abu mereda, perjalanan direncanakan kembali. Tak semudah rencana semula. Semua tiket kereta api dinyatakan hangus, tiket bis akhirnya dinyatakan hangus juga, tetapi akomodasi hotel bisa dijadwalkan kembali. Rescheduling tiket di Air Asia amat sulit. Tapi kami tertolong oleh PIC yang menangani sponsorship perjalanan ini. Namun, karena tiket Jakarta-Kualalumpur telah kami pakai, kami harus membeli kembali tiket baru Jakarta-Kualalumpur.

Rencana final perjalanan ini (Revisi D) adalah seperti ini: Stansted -> Cardiff -> Coventry -> York & Thirsk -> London -> Stansted

Rincian rencana per tanggal:

  1. Stansted – London – Cardiff dengan coach. Menjelajahi kota Cardiff dan menginap di Ibis Cardiff.
  2. Pagi masih di Cardiff. Lalu coach Cardiff – Birmingham. Berjalan-jalan sebentar di Birmingham, lalu naik bis atau kereta lokal ke Coventry. Menginap di Ibis Coventry Centre.
  3. Menikmati hari di Coventry.
  4. Berjalan2 ke luar kota Coventry (Warwick, Leamington, Stratford, atau lainnya). Malam dengan coach pergi ke Leeds lalu ke York. Menginap di Ibis York Centre.
  5. Pagi di York, lalu dengan transport lokal ke Thirsk. Hello Darrowby. Sore balik ke York.
  6. Pagi di York, lalu dengan coach ke London. Menginap di Wisma Siswa Merdeka :).
  7. Ke Greenwich dan berkeliling London.
  8. Pagi meneruskan menjelajah London. Sore ke Stansted, lalu terbang meninggalkan UK.
  9. Sampai di Jakarta.

Ini waktu yang menarik untuk berada di UK. Rakyat di sini tengah menyiapkan diri menghadapi pemilu besok. Diperkirakan akan terjadi peralihan kekuasaan dari Partai Buruh ke Partai Konservatif lagi. Mudah-mudahan ini tak menjadikan Inggris sekaku zaman aku pertama kali menjejakkan kaki di sini. Udara musim semi menarik. Suhu masih dingin menggigilkan. Sinar matahari langsung akan menghangatkan. Tapi selapis awan tipis atau atap penghalang cukup untuk menghilangkan hangatnya radiasi, dan mengembalikan kita ke dinginnya suhu udara. Bunga-bunga sudah bermekaran beraneka warna di setiap kota. Tupai-tupai sudah mulai berlompatan di taman mencari makan (makanan simpanan musim dingin sudah habis atau rusak, sementara biji baru belum banyak tumbuh di pohon). Penduduk dan turis sudah meramaikan kota dengan keceriaan. Waktu sudah disetel ke summertime (UCT +1 atau WIB -6). Pun matahari baru tenggelam di atas pukul 20:00.

Beberapa tweet account yang memberikan info tentang kota atau negeri tujuan jalan-jalan ini:

So, here we are!

Coventry

Coventry menyambut dengan aroma bekunya yang khas dan akrab. Cukup menyentakku, menghadirkan ilusi seolah aku baru meninggalkan kota ini beberapa bulan lalu. Banyak yang nampaknya terbekukan waktu: gedung dengan label yang sama, teks yang sama, aroma yang sama, dan nada yang sama. Mesin jaguar di Q Block, penjaga KFC, hingga matahari yang belum terbenam pukul 20:00.

Tapi sebenarnya banyak yang berubah. Lower precinct yang dulu direnovasi itu, kini sudah jadi mall yang ramah, menyatu dengan upper precinct yang tak berubah itu. Konon inilah pedestrian precinct pertama di Inggris, yang kemudian banyak ditiru kota lainnya. Millenium arc juga sudah selesai, menambah menarik kawasan sekitar Pool Meadow dan Museum Transportasi.

Coventry pernah jadi kota keempat terbesar di Inggris, setelah London, Norwich, dan Bristol. Sempat tumbuh dari industri wool dan tekstil, ia beralih jadi raja industri mekanik: jam tangan, sepeda, hingga mobil. Namun industri persenjataannyalah yang membuat kota ini habis diluluhlantakkan Luftwaffe tahun 1940.

Kota-kota di sekitar Coventry menampilkan kecantikan masa lalu. Warwick dengan tembok megah dan kastil raksasanya; Leamington dengan taman luas dan gedung anggun bernuansa krem; Stratford-upon-Avon dengan beraneka gaya kecentilan abad2 lalu. Tetapi bom-bom dari Jerman membuat Coventry kehilangan banyak dari masa lalu itu. Namun, seperti seekor phoenix, ia bangkit dari abu kehancurannya, membangun diri sebagai kota modern.

Beberapa situs menandai masa-masa dibangunnya Coventry saat itu. Belgrade Theatre dibangun atas sumbangan rakyat Yugoslavia, karena saat itu Coventry masih harus membangun instalasi vital. Patung-patung rekonsiliasi menunjukkan tiadanya minat mengungkit luka dan lebih memilih bekerja akrab meningkatkan harkat. Dan warna multikultural Coventry adalah warna asali yang membentuk kota ini.

Tentu aku mengawali jelajah Coventry dari Coventry University. Kampus berlogo phoenix ini menjadi simbol kota Coventry yang menjadi kuat oleh kemampuan dan kepeloporan teknologi. Lanchester library, technopark, gedung Jaguar (ruang kuliahku dulu), hingga kantor pusat dengan penjaga yang extra ramah. Logo baru (yaitu logo lama yang dicerminkan) kini menghiasi hampir semua gedung di kampus ini.

Herbert Museum, yaitu pusat budaya dan sejarah Coventry, jadi tujuan berikutnya. Kebetulan ada pameran tentang asal usul Coventry di sini; dari masa prasejarah Coventry, pembentukan kota dan kisah Lady Godiva, perang saudara dan revolusi industri, hingga hancur dan lahir kembalinya Coventry.

Barulah kemudian city centre dan kawasan precinct. Dan kemudian kawasan lain di sekitar kota. Dan berakhir dengan kunjungan ke kota-kota di sekitar. Stratford-upon-Avon dengan puluhan angsa putih yang besar namun lincah di sungai Avon, Warwick dengan kastilnya nan megah dan fantastik, dan Leamington dengan tupai-tupai imutnya. Lalu, Coventry kembali harus ditinggalkan.

Coventry menginspirasi untuk bergerak, berinovasi kreatif, berkomitmen pada kejujuran ilmiah, dan terus maju ke depan; bukan untuk terus berada di masa lalu atau melamuni masa kini. Maka kunjungan ke Coventry belum selesai. Kita terus berada di Coventry justru saat kaki kita melompat jauh darinya, dan kekuatan kreatif kita mewarnai dunia-dunia yang terus kita jelajahi.

From South Wales to West Midlands

Tak heran kalau seorang penulis terkenal (?) pun menyangka James Herriot tinggal di Edensor, atau tempat lain di Britania Raya ini. Melintasi jalan2 utama di luar kota, kita dipameri pemandangan yang bergaya Herriot: perbukitan yang hijau dan luas, jalan desa berliku, pagar2 membatasi wilayah peternakan yang luas, rumput hijau melebar, dan belasan hingga puluhan ternah yang dilepas bebas di atasnya untuk menikmati makanan segar di musim semi. Kuda coklat dan hitam, lembu coklat dan hitam dan belang, domba berbulu putih tebal. Pemandangan seperti ini tampak bahkan hingga ke Wales. Enggan rasanya memejamkan mata dalam bis yang kencang dan bergoncang, dalam perjalanan dari London ke South Wales dan kemudian ke West Midlands.

Di perjalanan ini, kami agak menghindari kota besar. Tak terlalu nyaman rasanya menjelajahi mall2 yang sebenarnya kalah megah dibandingkan Jakarta dan Singapore. Pun di kota besar, jarak antara tempat2 menarik biasanya cukup jauh. Untuk kunjungan singkat dan banyak dilakukan dengan berjalan kaki, ini sungguh tak nyaman.

Kota semacam Cardiff memberikan semangat dan inspirasi tersendiri. Ruang hidup yang sederhana membuat warga lebih bahagia, ramah, dan kreatif. Kota jadi lahan kreasi orang ramah. Sambutan atas tamu terasa amat berbeda dengan di London atau Birmingham. Kami menutup kunjungan ke Cardiff dengan berkeliling hingga Cardiff bay. Dan auditorium berwarna jazz ringan menampilkan warga yang tengah mempersiapkan sebuah performance. Sayang kami harus pergi.

Kami masih menyegaja melintas kota besar untuk melihat hal yang juga menarik minat: toko buku. Maka Birmingham dihampiri untuk menengok Waterstone’s di New Street. Bertingkat 5, ruangan di dalamnya mirip kastil modern, dengan karpet tebal, sofa nyaman, rak buku berwarna klasik, buku yang amat bervariasi, dan rekomendasi buku yang ditulis tangan oleh pengelola toko. Toko buku di kota besar selalu lebih besar dan memiliki variasi buku lebih banyak. Dalam hal ini Jakarta sungguh terbelakang dibandingkan kota2 lain: tak ada toko buku yang memberikan buku2 dengan informasi terbaru dengan spektrum yang luas. Aksara dan Gramedia,asih jauh. Kinokuniya juga belum. Mungkin salah sistem pendidikan kita juga yang mewajarkan spektrum yang sempit, buku2 bajakan di lingkungan akademik, dan penghamburan uang yang berharga untuk hal2 yang lebih superficial.

Hampir pukul 20, dengan langit masih putih berlapis mendung, aku menatap tiga menara runcing di kejauhan, yang menjadi ciri kota Coventry. Lalu rumah2 yang mirip di … di … mungkin tak mirip di mana2 selain di kenanganku. Lalu jalan melingkar itu. Dan aku tiba di Pool Meadow. Welcome back to Coventry, Koen.

Croeso i Gymru, Croeso i Gaerdydd

April berganti Mei, dan aku melewatkan tengah malam berpurnama itu di fasilitas UK Border. Biasanya kita menamainya loket imigrasi. Tapi petugas di dalamnya terlalu ramah untuk sebuah loket jawatan pemerintah. Setelah bincang singkat itu, kami masuk ke baggage claim di Stansted Airport. Melaporkan diri sejenak ke Twitter, kami membeli £££, melontar ke bus station di bawah, lalu meluncur ke Victoria.

National Express dengan kejam menurunkan kami di halte di jalan gelap di Victoria. Bukan di dalam coach station. Malam beku, dan aku belum siap dengan lapisan2 baju hangat. Berjalan 3 blok, kami masuk ke coach station. Si coach mengikuti kami, haha. Prosedur atau pelit? Victoria coach station sendiri terlalu beku untuk diceritakan. Sepasang pengunjung yang seperti kami menyelamatkanku dari pencuri yang sudah mengambil tasku yang berisi seluruh tiket dan sebagian cadangan cash.

Dua coach membawa para penumpang ke Cardiff. Satu melalui Newport (Casnewydd), dan satu langsung. Langit mendadak cerah. Berlapis awan menampilkan langit bersuasana holografik berlatar biru lembut. Padang rumput dan canola; peternakan sapi, kuda, dan domba; rumah2 petani dan kota2 kecil, membuatku ingat bahwa aku akan ke Darrowby beberapa hari lagi. Lamunan terputus saat coach melintasi sebuah jembatan yang membelah Bristol Channel. Di ujung jembatan sebuah tanda menyambut ramah: Croeso i Gymru. Selamat datang di Cymru.

Cymru adalah negeri di bagian barat Britania. Ia satu dari 4 negara yang bergabung dalam United Kingdom, menemani England, Scotland, dan North Ireland. Nama Cymru kira2 berarti negeri kami, dihuni oleh Cymraeg, bangsa kami. Orang England menyebutnya Wales, yang berarti negeri asing. Aku pernah menulis tentang ini di salah satu blog tahun 2001 dulu. Tentu saja penduduk di sini berbahasa Inggris. Mereka hanya sedang mengobarkan kembali budaya Wales.

Perlu hampir 1 jam untuk akhirnya menjangkau pusat dari ibukota Cymru: Caerdydd (Cardiff). Kota ini berawal dari fort Romawi tahun 55, lalu memperoleh pengaruh Viking dan Norman juga. Tahun 1091, puri Cardiff dibangun. Akhir abad ke-19, kanal Glamorganshire dibangun untuk memudahkan ekspor batubara. Cardiff jadi pusat ekspor batubara dunia. Lalu akhirnya dijadikan ibukota wilayah Wales. Sempat menurun tahun 1970an, Cardiff bangkit dengan gaya barunya sebagai kota Eropa abad 21. Hampir setengah pekerjaan di Cardiff bersifat sarat ilmu (knowledge intensive employment).

Selesai menyesap suasana dan budaya Cardiff di kawasan pejalan kaki, kami meneruskan langkah ke Cardiff Castle (Castell Caerdydd). Eh, kenapa ingat Faber Castell ya? Dengan £10, tiba2 kita melihat keajaiban. Sekilas, puri ini tak tampak berbeda dengan puri Britania lainnya. Tapi masuk ke dalam, kita akan melihat ornamen luar biasa, dari ruang keemasan dan kemerahan, motif2 geometris bernuansa Arab, narasi biblical. Sungguh tak terbayangkan. Unik. Di dalam kompleks puri ini, ada juga benteng perlindungan. Yang ini standard bentuknya.

Dari puncaknya kita bisa melihat keindahan seluruh Cardiff: daun musim semi yang menampilkan seluruh spektrum hijau coklat kuning kelabu, bangunan dari berabad sejarah Cardiff (termasuk millenium stadium yang masih baru), dan deretan pengunungan di kawasan South Wales ini. Rasanya enggan turun.

Kembali ke kota, aku baru ingat membeli nomor telefon lokal. Aku ambil satu dari O2 dan satu dari Orange. Keduanya menawarkan unlimited access untuk pembelian topup £10. Simcard gratis. Ah, aku bisa kembali jadi netizen. So, selama perjalanan ini, ini nomorku: +44-7716-373-334.

Buku Yang Mempengaruhi Hidupmu

Pun pada saat semua perangkat elektronik dimatikan, dorongan untuk menulis blog sering tak terhentikan. Maka buku kecil, amplop bekas, dan sering juga kantong penampung (maaf) muntah aku jadikan sasaran menulis. Tulisan di bawah ditulis bukan dalam rangka hari buku, tapi dalam rangka mengisi waktu di angkasa antara Kualalumpur dan Jakarta.

Blog: Offline Mode

Eyjafjallajökull menunda kunjunganku ke Thirsk. Aku khawatir Dan Howlett dengan lugunya masih menungguiku di bawah lonceng di tengah pasar Thirsk, berharap aku datang dengan coach pukul 10.00 dari York. Dia mewantiwantiku membawa buku James Herriot “Seandainya Mereka Bisa Bicara” terjemahan Indonesia yang sudah lusuh sejak aku kecil itu. Aku beruntung bahwa buku itu termasuk yang terselamatkan waktu Papap memindahkan buku2 dari Malang ke Jakarta tahun 2000 lalu (dan jadi kalimat pertama di entry pertama blog ini). Nanti aku cerita lebih jauh tentang Darrowby lagi setelah aku menjejakkan kaki di sana. Sementara itu, pikiranku melayang ke buku2 lain, dari Papap, yang aku bacai juga waktu kecil.

Ada buku terjemahan berjudul “Buku Buku yang Mengubah Dunia” dengan cover coklat. Di dalamnya ada buku-buku nonfiksi yang ditulis setelah abad pertengahan. Ada Principia Mathematica, Relativity, Das Kapital, Mein Kampf, dll; tetapi tiap judulnya diterjemahkan ke bahasa Indonesia: Sang Pangeran, Modal, Perjuanganku, dll. Sekian belas tahun kemudian, aku tak lagi ingat buku apa yang disebutkan di sana, dan apa yang tidak. Salah satu alasan adalah bahwa buku ini memilih dan menerjemahkan hanya sebagian bab (sebagian buku) dari buku aslinya. Jadi ada buku yang tak masuk di bagian terjemahan. Tapi tercakup dalam kata pengantar. Jadi aku tak ingat apakah beberapa buku ada dibahas di sana, atau cuma disebut di kata pengantar. Dari buku ajaib itu, aku mulai mengenal cara2 tokoh2 dunia hidup, berpikir, dan mengembangkan gagasan: Newton, Einstein, Marx, Macchiaveli, Darwin, Freud, Hitler. Dari buku itu aku belajar bahwa komunisme bukanlah ajaran anti tuhan semata, bahwa Macchiaveli lebih bergaya satiris daripada macchiavelist seperti Marx menolak digolongkan sebagai marxist, bahwa Einstein sibuk dengan “teori medan jang dipersatukan” sampai akhir hayatnya. Baru sekian tahun kemudian aku mulai membacai teks2 asli dari penulis2 itu. Bukan saja buku yang mengubah dunia, tapi juga buku yang membuatku mulai berpikir tentang dunia selalu dari berbagai sudut pandang yang secara lincah berubah.

Di luar buku2 itu, aku jadi membayangkan buku2 apa yang mempengaruhi, menginspirasi, dan memberi ide2 kepada kita, sampai mungkin juga menentukan nilai2 yang kita anut dan kita jalani dalam hidup kita. Ini beberapa contoh buku2 yang saat ini aku pikir telah banyak mempengaruhi aku (aku pilih dari buku fiksi dan non fiksi yang diterbitkan di abad-20 ke atas):

  • If Only They Could Talk, James Herriot
  • Catatan Harian Seorang Demonstran, Soe Hok Gie
  • Le Petit Prince, Antoine de Saint-Exupéry
  • A Brief History of Time, Stephen Hawking
  • The Third Force: The Psychology of Abraham Maslow, Frank Goble
  • Menjelajah Cakrawala, Soedjatmoko
  • The C Programming Language, Brian Kernighan & Dennis Ritchie
  • The Myth of Sisyphus, Albert Camus
  • I am a Strange Loop, Douglas Hofstadter
  • Unbearable Lightness of Being, Milan Kundera

Pasti masih banyak. Dan masih banyak yang mungkin lebih berpengaruh daripada buku2 di atas. Tapi baru ini yang terpikirkan, di angkasa biru, dengan pikiran masih beralih antara Darrowby dan deretan trolley di KL LCCT tempat para turis telantar dan harus menahan malu menukar2 voucher makan dengan uang entah untuk apa.

Hey, buat kamu sendiri, buku-buku apa yang kamu anggap paling berpengaruh dalam hidupmu? Tuliskan buku-buku fiksi atau nonfiksi, yang ditulis manusia di abad XX ke atas, dan mengapa kamu anggap itu berpengaruh dalam hidupmu.

Tulisan di kertas kusut itu berakhir, dan aku tak sempat mendigitalkannya. Tapi karena hari ini adalah Hari Buku, maka aku sempatkan mengetik cepat, dan mempublishnya di blogku. Selamat Hari Buku!

Internet dan Masa Depan

“Tak seorang pun ragu bahwa Internet telah membentuk lifestyle baru, serta mentransformasi budaya. Tinggal tunggu waktu untuk menyaksikan bahwa pemerintahan dan pengaturan masyarakat pun akan diredefinisi.” Itu cuplikan dari seorang analis di bidang content & application di sebuah perusahaan informasi dan media ternama. Entah sambil becanda, ia meneruskan, “Tentu pemerintahan, khususnya yang tak demokratis, akan melawan dengan memulai mengupayakan kontrol atas Internet, atau perangkat ruang maya secara umum. Adalah tugas kita untuk mempertahankan Internet dalam perannya membentuk masyarakat yang lebih baik.”

Sayangnya dia tak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan “kita” di situ. Aku sendiri melihat bahwa Internet merupakan bagian dari evolusi teknologi dan budaya manusia yang membuat manusia bisa secara dinamis bertahan hidup di bumi ini dan mencapai harkat yang terus meningkat. Tapi budaya tak hanya dibentuk oleh gaya hidup berinternet. Secara lebih ekstrim, rekayasa budaya bisa dilakukan dan dan dipaksakan menggunakan Internet.

Sebagai contoh pertama, perusahaan dan entitas bisnis lain dapat mulai ditekan untuk menghemat lingkungan dengan mengurangi transport manusia dan menggantikan dengan komunikasi ruang maya yang lebih baik. Pemerintahan ditekan untuk mengurangi surat-surat, pengurusan kertas (termasuk SIM, STNK, KTP, SPT), serta menggantikan dengan sistem kredensial yang berbasis ruang maya. Uang kertas, uang logam, adn surat-surat berharga bisa secara bertahap dipunahkan, karena ekonomi mengharuskan efisiensi, friksi yang lebih rendah, dan penghematan lingkungan. Pernahkah terpikir bahwa distribusi uang memerlukan biaya amat besar juga? Kemudian proses pendidikan dapat dicerdaskan dengan menggantikan sekolah formal dengan … aku bahkan belum tahu seperti apa :). Tapi ilmu akan dihikmahkan lebih manusiawi, seumur hidup, dan natural melekat pada hidup keseharian. Hal-hal semacam ini bukanlah transformasi yang alami karena lifestyle Internet, tetapi sesuatu yang direkayasa melalui policy yang ditetapkan oleh kearifan atau keterpaksaan untuk melihat bahwa lingkungan, iklim, dan planet ini hanya bisa dijaga tetap lestari dan layak huni bagi manusia dengan mengubah budaya, menggunakan apa yang saat ini dinamai Internet.

Namun sebelum masyarakat ditransformasikan, infrastruktur Internet sendiri masih jadi PR besar. Bahkan mungkin di semua layernya. Di layer paling bawah, bagaimana memanfaatkan spektrum elektromagnetik yang terbatas itu  seefisien dan secerdas mungkin untuk mengangkut informasi yang terus bertambah tanpa ampun (itu salah satu pendorong 2G harus dimigrasikan ke 3G lalu 4G); yang harus dibantu layer di atasnya untuk mengemas informasi secerdas mungkin agar terangkut secara efisien. Bagaimana informasi harus diabstraksikan, tetap berguna secara efisien, namun tetap manusiawi untuk digunakan tanpa mengubah manusia jadi komputer. Bagaimana informasi tetap terbaca sebagai teks halus, suara, video, namun di pihak lain ditransfer secara efisien dan dapat diabstraksikan untuk membentuk informasi yang berarti (dapat dicari, diolah, dihimpun, dicerna). Bagaimana gaya hidup manusia ditransfer secara baik menggunakan Internet sehingga tetap layak digunakan tanpa mengurangi harkat kemanusiaan kita. PR panjang.

Mungkin kita harus mulai membuat tulisan yang lebih panjang dan komprehensif. Itu menarik. Aku tidak becanda — engineering yang tampak kompleks itu amat menarik untuk dipaparkan. Mungkin juga kita harus mulai menyusun action plan. Atau menyusun kelompok diskusi dan kelompok kampanye. Tapi aku pikir aku akan lebih suka memulai dengan berjalan2 ke sekolah2, berbincang tentang Internet dan masa depan bumi ini dengan para siswa yang jadi pemilik asli bumi dan budaya digital kita ini.

“Bertemu Generasi Z. Ide yang menarik,” lanjut si analis. “Siapa lagi yang bisa kita percayai selain mereka?”

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑