Mesin MONIAC di bawah ini aku foto di Science Museum, Kensington, pada kunjungan tahun 2010. Mesin ini dirancang ekonom Bill Phillips pada 1949 untuk memodelkan perekonomian Inggris. Perangkat ini menggunakan fluida melalui pipa, tangki, dan katup untuk menggambarkan arus ekonomi nasional: pendapatan, konsumsi, tabungan, pajak, investasi, hingga perdagangan luar negeri. Dengan mengatur keran atau katup, kita dapat melihat bagaimana perubahan kebijakan, misalnya menaikkan pajak atau memperluas belanja pemerintah, dapat mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara visual. Buat engineer yang baru belajar ekonomi, mesin MONIAC ini menunjukkan penyederhanaan konsep kompleks permintaan dan penawaran agregat, neraca pembayaran, serta kebijakan fiskal-moneter dalam bentuk simulasi fisik yang intuitif.

Aku tertarik membahas ini justru untuk menujukkan bahwa ekonomi itu bukan benda sederhana yang mudah diubah dengan beberapa kebijakan, walaupun nilainya 200T, melainkan akan tetap bergantung pada komitmen dan kapabilitas peningkatan produktivitas, ekonomi, kualitas, dan seterusnya. Tapi kita mulai dari MONIAC dulu, dan dari satu sisinya, misalnya soal permintaan
Permintaan Agregat (Aggregate Demand/AD) adalah total permintaan seluruh sektor ekonomi, yang dirumuskan sebagai AD = C + I + G + (X – M), yaitu mencakup konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), serta ekspor bersih (ekspor dikurangi impor). AD ini satu pilar utama analisis makroekonomi, karena menunjukkan bagaimana kebijakan moneter, fiskal, maupun guncangan eksternal memengaruhi keseluruhan aktivitas ekonomi.
Beberapa tahun terakhir Indonesia, menjalani kebijakan ekonomi ketat demi stabilitas ekonomi: penghematan belanja, pengetatan likuiditas (uang beredar), dan penggiatan pajak. Hasilnya adalah pelemahan permintaan domestik: konsumsi macet, kredit tertahan, investasi mundur, denyut ekonomi melemah sekali. Gagal melesat. Menkeu yang baru dilantik minggu ini mencoba meningkatkan likuiditas dengan memindahkan 200T uang pemerintah dari BI ke para bank BUMN. Bank jadi harus berpikir untuk mengucurkan dana secara lebih cerdas ke masyarakat lebih luas, bukan hanya ke enterprise besar yang hampir tanpa risiko pengembalian ke bank.
Saat pemerintah menambah uang ke pasar seperti ini, pelonggaran menambah likuiditas dan menurunkan suku bunga riil. Dengan bunga turun, orang lebih memilih belanja daripada menabung; juga orang lebih mudah meminjam untuk belanja konsumsi, tapi juga belanja produksi. Demand belanja naik, produksi naik, bisnis bergairah. Perusahaan menilai proyek dengan hurdle rate lebih rendah, sehingga investasi naik.
Di sisi lain, turunnya bunga membuat orang memindahkan uang ke luar negeri yang bunganya lebih baik. Nilai rupiah akan turun, kecuali kalau issue The Feds akan menurunkan suku bunga benar2 terjadi. Masalahnya, struktur ekonomi kita sangat bergantung pada impor: mesin, komponen, energi, pangan, serta pada modal asing. Depresiasi rupiah seharusnya membuat harga barang Indonesia dalam dollar turun, sehingga meningkatkan ekspor; tetapi naiknya harga impor alat dan bahan produksi membentuk inflasi impor sebelum daya saing ekspor meningkat. Rantai pasok domestik kita buruk dan dangkal, sehingga konsumsi dan investasi yang pulih justru menambah permintaan barang impor. Ketergantungan pada portofolio asing ini juga memperbesar volatilitas rupiah dan memperdalam pelemahan kurs. Hasilnya dapat berupa pemulihan yang tidak dapat dijaminkan, harga yang tidak stabil, dan neraca eksternal yang tidak membaik seperti harapan Menkeu. Melihat gejala semacam ini, para investor belum tentu akan sepenuhnya mempercayakan peningkatan investasi ke Indonesia.
Juga, hal-hal di atas tidak akan berjalan seketika seperti mesin MONIAC. Ada tundaan dari keputusan manajemen di bank dan di industri. Ada tundaan dari adaptasi sektor riil yang tentu perlu waktu. Juga ada experience panjang dari ekonomi Indonesia yang membuat ekspektasi tidak bisa sepenuhnya antusias. Dan ujungnya, keseimbangan baru bukan sepenuhnya bergantung pada antusiasme dari policy baru yang tampak berbeda. Badan yang sakit bukan tidak selalu mudah diatasi dengan mengganti satu vitamin dengan vitamin lain, tapi selalu harus melalui perbaikan struktur.
Kesehatan ekonomi pada akhirnya akan harus melalui jalan-jalan yang rasional semata: peningkatan produktivitas, kapasitas, kualitas, efisiensi, dan akhirnya pada peningkatan daya saing. Soalnya akan kembali ke pekerjaan yang kita coba lakukan dalam tahun-tahun terakhir ini: perbaikan rantai pasok dan logistik agar sangat efisien dari sisi waktu dan biaya, peningkatan kandungan lokal dan jejaring pemasok domestik sebagai substitusi impor, penguatan pasar keuangan domestik melalui termasuk pembiayaan jangka panjang dan pasar lindung nilai agar investasi tidak terlalu bergantung pada arus portofolio. Dan tentu hal yang sampai sekarang diabaikan seluruh manusia Indonesia, yaitu mengangkat kualitas manusia melalui pendidikan berkualitas dan pembelajaran seumur hidup. Serta hal yang selalu diabaikan pemerintah: regulasi dan praktek bisnis pro-persaingan dan pro-kepastian, agar investasi bisa produktif dan fair. Hanya dengan serius memperbaiki fondasi dengan ilmu lama semacam ini, pelonggaran ala Purbaya akan lebih efisien mendorong kapasitas dan nilai tambah domestik, sementara pengetatan ala Sri MUlyani tidak menyeret ekonomi ke kelesuan.
Kebijakan moneter hanya dapat mengarahkan, tetapi laju ekonomi tidak dapat melawan hukum fisika: perlu perbaikan struktur produktif, dan peningkatan kualitas manusia.
Leave a Reply