Wittgenstein, nama yang pertama kali tercerna waktu seorang sohib yang unik mengirimi satu set Tractatus Logico Philosophicus dalam format HTML, waktu masih zaman Netscape 3.0. Dibaca berhari2, sambil terus mengasyiki traffic analysis programming, aku putuskan bahwa Wittgenstein masuk kategori “interesting but not essential” — keputusan yang pasti bertolak belakang dengan banyak filsuf asli yang lebih suka menempatkan Wittgenstein sebagai “one of the most essential philosopher”. Tak urung, Tractatus aku beli lagi sebagai buku — lupa di mana, buat nemenin masa2 bikin tesis. Kayaknya ini juga keputusan yang salah. Di waktu yang salah, maksudnya, waktu otak lagi penuh NHFLE, RSVPTE, BPG-VPN, dan lain2. Bukan berarti network engineering nggak kompatibel sama filsafat, tapi barangkali jadi lucu kalau MPLS jadi disamain dengan MephistoPeLeS. Tuh kan, gini deh kalau orang udah jarang nulis weblog. Tersesat kesana kemari kalimatnya.
OK, di akhir masa tesis, di Waterstones Piccadilly, ketemu aku sama nama itu lagi. David Edmonds & John Eidinow baru menerbitkan buku berjudul Wittgenstein’s Poker. Mengingat reputasi Wittgenstein sebagai fisikawan-matematikawan, aku langsung menduga buku ini mengkali soal filsafat matematika. Tapi ternyata bukan. Poker nggak ada hubungannya dengan permainan kartu yang suka dijadikan teori matematika itu. Itu poker yang berarti alat yang dipakai untuk mengatur kayu bakar menyala di perapian. Yow, aku nggak mau terlalu banyak shipping buku, jadi aku kembalikan buku itu ke raknya. Dan baru dibeli beneran tahun 2004 ini.
Di Cambridge, ada klub filsuf serius, yang dinamai Moral Science Club (MSC). Tiap Kamis malam, mereka melakukan diskusi di ruang H3 di King’s College. Tahun 1946 itu, ketua klub tak lain adalah Ludwig Wittgenstein, dengan sekretaris orang Palestina bernama Wasfi Hijab. Di bulan Oktober, Hijab mengundang salah satu filsuf tenar, yang saat itu berposisi di London (LSE): Karl Popper. Popper dan Wittgenstein sama2 berasal dari Austria, dan berkeliaran akibat perang. Cuman selama PD II, Popper berada di tempat aman di Selandia Baru. Popper (KP) dan Wittgenstein (LW) juga sama2 sedang menanjak sebagai filsuf paling populer dan kontroversial masa itu. Dan dengan cara yang berbeda, memiliki hubungan yang pernah dekat dengan Bertrand Russel (BR), filsuf kenamaan Cambridge itu. KP nggak bisa datang Kamis malam, jadi Hijab mereschedule pertemuan jadi Jumat malam, 25 Oktober 1946. OK, jadi hadir malam itu: LW si ketua, KP si dosen tamu, dan BR si tokoh besar, dan sekian belas peserta, dari profesor hingga mahasiswa.
Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Tapi saksi2 hidup memiliki kisah yang berbeda atas apa yang terjadi di sana. Yang mereka sepakati adalah bahwa Wittgenstein, eh LW, berbicara sambil mengacungkan poker, dan bahwa LW kemudian keluar ruangan tanpa menutup pertemuan.
KP menyampaikan paper berjudul “Are There Philosophical Problems?” serta menunjukkan bahwa memang ada soalan2 sekitar filsafat yang membuat filsafat tetap exist. Di lain pihak, LW mengabaikan adanya hal2 yang disebut soalan filsafat. Yang tertinggal, demikian konon LW, adalah soalan matematika dan sosiologi belaka. Kemudian di satu titik, LW mengambil poker dan mengangkatnya. Beberapa saksi menyatakan bahwa LW mengangkat poker sebagai contoh objek filosofis. Yang lain bilang bahwa LW menggunakan poker untuk melakukan penekanan kata2, kayak konduktor gitu lah. Nah, yang lain bilang bahwa LW mengacungkan poker dengan marah ke muka KP.
Kapan poker itu diletakkan kembali? Menurut KP, LW mengajukan pertanyaan semacam “Coba Anda sebutkan sebuah masalah dalam etika?” Dan KP menjawab: “Misalnya, jangan mengancam dosen tamu dengan poker.” LW marah, melempar pokernya, lalu keluar ruangan sambil membanting pintu. Tapi menurut versi lain, BR-lah yang meminta LW meletakkan kembali poker itu, dan terjadi adu mulut antara LW yang menuduh BR tak pernah memahaminya, serta BR yang menuduh LW selalu mencampuradukkan segalanya, dan diakhiri dengan LW yang marah dan melempar poker lalu membanting pintu. Versi lain menyebutkan bahwa BR tak terlibat pertengkaran itu. Versi lain menyebutkan bahwa LW keluar tanpa membanting pintu. Dan versi lain menyatakan bahwa Popper melucu soal “mengancam dosen tamu” justru setelah LW keluar. Nampaknya soal itu sedemikian menguras pikiran, sampai urutan peristiwa itu tak terekam dengan baik oleh para filsuf itu.
Apakah LW melarikan diri karena merasa tak mampu lagi menghadapi argumen KP? Atau justru ia menganggap KP sedemikian kacaunya sehingga tak perlu dilayani lagi? Atau sebal karena soal serius itu dijadikan bahan candaan? Atau ada soal lain dengan BR? Yang pasti menarik dibahas buku ini adalah latar belakang pendapat LW maupun KP, yang masih2 memiliki pengaruh kuat, dan diakui sebagai filsuf2 yang original.