Kemaren aku melupakan John Dalton. Itu salah satu ilmuwan dalam barisan penemu atom, kalau masih inget. Aku sendiri udah lupa — huh. Orang sering menyebut penyakit buta warna sebagai daltonian. Dan Mister Dalton ternyata penderia daltonian. Bukan kebetulan ;), memang nama daltonian diambil dari nama John Dalton. Dalton bukan saja menderita buta warna, tapi juga menyadari bahwa ia buta warna, dan bisa menganalisis bentuk kebutawarnaannya itu. Tentu melalui selang waktu yang panjang.

Dalton tadinya cuma terganggu sama sistem penamaan warna. Kenapa ada warna merah, ungu, biru, hijau, kelabu. Ada warna yang mirip tapi harus punya nama berbeda. Sementara warna lain yang kontras justru memiliki nama yang sama. Tapi dia tidak protes. Kenapa harus protes? Bahasa kan tergantung sejarah juga, bukan soal subyektivitas masa kini. Tapi dia mulai terganggu bahwa warna yang bernama merah itu berbeda di siang hari dan di malam hari. Waktu dia iseng membahas soal itu, dia kaget bahwa orang lain tidak mengamati hal yang sama. Tak seorang pun. Jadi dia terpaksa mengambil kesimpulan logis bahwa pengamatan matanya memang salah. Sebagai ilmuwan dia mengutak atik, di sisi mana dia salah melihat. Di sisi warna merah, tentu. Coba lihat kurva yang kemarin. Apa yang terjadi kalau receptor merah tidak berfungsi. Atau kalau receptor merah memiliki frekuensi kepekaan mendekati hijau atau malahan biru ;).

Dalton mengambil hipotesis bahwa barangkali ada bagian dari retinanya atau bagian apalah di dalam matanya yang tercemar warna biru. Jadi cahaya merah tersaring hilang. Dia lalu menulis wasiat, minta agar matanya diambil dan dibedah untuk diteliti saat ia sudah meninggal.

Wasiat itu dilaksanakan. Tapi tentu saja tidak ditemukan “filter” apa pun di mata ilmuwan itu. Baru beberapa tahun kemudian kita mengerti tentang receptor di retina, dan hal-hal lainnya itu :).