Month: November 2002 (Page 3 of 6)

Kopi dan Tekanan Darah

Berita baik (atau buruk) dari Journal of the American Heart Association via BBC dan WebMD: kafein bukanlah satu-satunya unsur dalam kopi yang bisa meningkatkan tekanan darah. Kopi decaf pun memiliki kemampuan yang sama untuk meningkatkan tekanan darah. Masih banyak bagian dari kopi yang masih misterius, kata jurnal itu.
Aku sih sebenernya malahan happy. Aku kan beralih ke decaf buat menghindari maag. Dan syukur kalau tekanan darah yang terlalu rendah ini masih bisa dibikin naik dengan kopi decaf yang rasanya sama sedapnya sama kopi regular (unfiltered) itu. Cuman kan nggak chic jadi orang egois. Kasihan orang yang cari kopi decaf buat menghindari tekanan darah tinggi.
What next? (1) kopi decaf nggak diproduksi lagi (2) kopi decaf harganya jatuh (3) kopi decaf difilter lagi sehingga unsur misterius yang meningkatkan tekanan darah itu terfilter juga (4) kopi decaf dibuat jadi dua macam: decaf regular dan decaf plus yang lebih mahal lagi.

84699654

Mendung tebal di luar, dan hujan deras di ujung-ujung langit. Kayaknya gagal buat nonton hujan meteor Leonid malam ini. Ini sama persis dengan tahun kemaren, waktu aku lagi mengincar Leonid juga. Padahal tahun ini konon pemandangannya bakal paling spektakuler, lebih dari tahun lalu.

Kenapa juga hujan meteor harus jatuh di pertengahan bulan, waktu bulan purnama, dan kans hujan lebih tinggi dari biasanya.

Tahun kemaren, di udara malam musim gugur Coventry, aku berdiri lama sekali di bawah mendung tebal. Nunggu kalau-kalau mendungnya berlubang, menyisakan ruang buat nonton meteor garden. Ups, I mean Leonid meteor shower.

Salah sih salah, tapi amit-amit amat sih.

84659642

Jatah makanan di kamp sangat terbatas (pasti lah). Udah gitu, siswa nggak boleh bawa simpanan makanan dari luar. Padahal aku harus punya stok cokelat banyak buat simpanan energi siangnya. Mana ada cokelat dijual di dalam kamp.
Aku akhirnya tertolong. Si tentara bikin bisnis jualan jaket gede hijau tebal. Hangat kalau malam. Panas ruarr biasa kalau siang. Nggak dipaksa beli sih. Tapi aku ikutan beli.
Waktu weekend (kita boleh keluar hanya Rabu sore dan weekend), aku keluar sambil bawa jaket itu di tas. Malamnya, aku pakai jaketnya, dan tasku jadi agak kosong. Aku isi kue sedikit aja. Di pos jaga, mereka langsung minta tasku. Tas diperiksa, dan aku cuman dikasih peringatan bahwa kue itu harus habis malam itu. Kalau nggak, aku bisa kena sanksi menyelundupkan makanan. OK.

Padahal di saku jaket itu, aku bawa kue dalam jumlah besar, plus berkotak-kotak cokelat. Kue yang di tas memang buat mengalihkan perhatian aja. Bukan salah saya, boss. Anda-Anda yang mengajarkan saya untuk survive, dan Anda-Anda yang jual jaket itu juga.

Susan Fasis

Di Pusdikhub (tahun 1990-an), Ramadhan cuma berarti perubahan jadwal kegiatan. Nyaris tidak ada keringanan kegiatan. Senam pagi, bela diri, jalan keliling kampung sawah dan hutan tanpa baju, dan mendengarkan indoktrinasi terus menerus.
Hari pertama, kita cuma disuruh jalan-jalan yang nggak jauh-jauh amat. Ke Stasiun Cimahi. Cuma beberapa ratus meter dari kamp. Tapi masuk stasiun, kita nggak pernah ada di atas tanah. Semua perjalanan melalui kali-kali kecil dan gorong-gorong bawah tanah. Ini stasiun, mbah, dengan tumpukan sampah dan kotoran manusia dan air hitam yang ruarrrr biasa. Di atas got, para pelatih sibuk memaki-maki dan mengejek (buat pembinaan mental). “Ayo, siapa yang nggak kuat. Makan aja!” Seandainyapun bukan bulan puasa, kayaknya aku mendingan disuruh mati daripada disuruh makan di suasana kayak gitu.

Keluar gorong-gorong kita mulai buka suara. Aku nyanyi lagunya Susan (ha-ha).

Susan-Susan-Susan, kalau udah gede, mau jadi apa? Aku kepingin pinter biar jadi insinyur. Kalau-kalau-kalau, jadi insinyur kamu mau apa? Mau ikut bintal biar masuk got bau.

Militer nggak se-fasis keliatannya. Aku nggak pernah dihukum gara-gara nyanyi. Paling gara-gara nggak mau makan banyak.

84606144

Ramadhan memang enak buat nostalgia-an. Pernah apa aja kita waktu puasa Ramadhan. Ujan-ujanan manjat bukit-bukit di Malang Dikejar-kejar skripsi. Jadi tentara di Pusdikhub. Operasi. Dikejar-kejar tesis.
Tahun ini dikejar-kejar apa yah?

84518675

Abis baca tulisanku yang barusan, aku tau-tau pingin nulis kayak gini: “Sejarah membuktikan dan akan terus membuktikan bahwa: semua orang hidup dalam posisi merusak; kecuali mereka yang punya visi dan memiliki dedikasi kerja, saling mengingatkan, saling meneguhkan.”

Ini, diculik dari Quran, Surat Al-Ashr.

84518411

“Konsepnya udah lama jadi. Soalnya tinggal masalah dana.” Trus kita ketawa renyah dan riang, dengan nada yang bakal bikin setiap orang mengira kita lagi nggak puasa. Terlalu klasik. Doku, ojir, fulus, l’argent, apa lagi lah. Heh. Bakal terlalu klasik, sampai jangan-jangan kita terbiasa berpikir bahwa itu bener: titik kemacetan kita beneran ada di soal uang. Emang sih, uang itu benda ekonomi yang paling likuid, dan mirip oli: dia jadi pelumas yang baik. Tapi di dunia yang udah kita bikin kompleks dengan manis ini, uang tidak lebih dari konsep aja: sesuatu yang virtual. Satu dari banyak hal.

Dalam praktek di sejarah kita: bener gitu kita pernah mensolusikan masalah dengan uang?

Atau dibalik: bener gitu datangnya uang pernah memecahkan masalah kita?

Ada miliaran penduduk di dunia, dan ada jauh lebih banyak kemungkinan jawaban untuk dua pertanyaan itu (bukan cuma empat). Tapi kebeneran buat aku jawaban empiriknya terlalu jelas, biarpun alasannya bikin aku bingung juga.

Jadi solusinya apa? Solusinya antara lain: tidak mencari solusi singkat. Belajar menerima hidup sebagai proses mencerdaskan dan mengarifkan diri (dan aku nggak lagi cerita tentang sekolah dan buku sama sekali). Kita baru memakai kurang dari 10% potensi yang ada di diri kita. Sisanya macet karena pola pandang kita terlalu mudah macet. Itu yang perlu dilicinkan, di-likuid-kan.

Dan yang jelas, kita perlu interdependensi — kata yang aku culik semena-mena dari Covey. Kerja bersama, saling membantu, saling memperbaiki.

84463123

“Why of course the people don’t want war. Why should some poor slob on a farm want to risk his life in a war when the best he can get out of it is to come back to his farm in one piece? Naturally the common people don’t want war neither in Russia, nor in England, nor for that matter in Germany. That is understood. But, after all, it is the leaders of the country who determine the policy and it is always a simple matter to drag the people along, whether it is a democracy, or a fascist dictatorship, or a parliament, or a communist dictatorship. Voice or no voice, the people can always be brought to the bidding of the leaders. That is easy. All you have to do is tell them they are being attacked, and denounce the peacemakers for lack of patriotism and exposing the country to danger. It works the same in any country.” – Hermann Goering

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑