Susan Fasis

Di Pusdikhub (tahun 1990-an), Ramadhan cuma berarti perubahan jadwal kegiatan. Nyaris tidak ada keringanan kegiatan. Senam pagi, bela diri, jalan keliling kampung sawah dan hutan tanpa baju, dan mendengarkan indoktrinasi terus menerus.
Hari pertama, kita cuma disuruh jalan-jalan yang nggak jauh-jauh amat. Ke Stasiun Cimahi. Cuma beberapa ratus meter dari kamp. Tapi masuk stasiun, kita nggak pernah ada di atas tanah. Semua perjalanan melalui kali-kali kecil dan gorong-gorong bawah tanah. Ini stasiun, mbah, dengan tumpukan sampah dan kotoran manusia dan air hitam yang ruarrrr biasa. Di atas got, para pelatih sibuk memaki-maki dan mengejek (buat pembinaan mental). “Ayo, siapa yang nggak kuat. Makan aja!” Seandainyapun bukan bulan puasa, kayaknya aku mendingan disuruh mati daripada disuruh makan di suasana kayak gitu.

Keluar gorong-gorong kita mulai buka suara. Aku nyanyi lagunya Susan (ha-ha).

Susan-Susan-Susan, kalau udah gede, mau jadi apa? Aku kepingin pinter biar jadi insinyur. Kalau-kalau-kalau, jadi insinyur kamu mau apa? Mau ikut bintal biar masuk got bau.

Militer nggak se-fasis keliatannya. Aku nggak pernah dihukum gara-gara nyanyi. Paling gara-gara nggak mau makan banyak.