Tag: Wagner

Boim dan Kupfer

“Tuhan, seperti apa pun, akan berada di luar pemahaman kita. Kita harus mengakui bahwa konsepsi akan Tuhan lahir dari pikiran kita,” John Tomlinson berkisah. “Tokoh seperti Wotan disembah sebagai dewa oleh jutaan orang selama ratusan tahun. Tapi akhirnya orang tak lagi memikirkan dia, dan dia jadi tidak ada. Kisah-kisah lama ini dikemas Wagner seorang diri menjadi sebuah mitos yang baru. Wotan, dewa adikuasa, memiliki kewenangan mengatur hukum yang mengendalikan semesta. Tapi ia pun tak boleh melanggar hukum-hukum itu. Saat akhirnya tak bisa lagi berkelit dari berbagai kekusutan itu, runtuhlah seluruh kekuasaan dewa-dewa.”

Wagner sendiri menulis tetralogi Der Ring ini dalam status buron saat pemberontakan anarkisnya bersama Bakunin ditumpas di abad ke-19 lalu. Tampak jelas baginya bahwa kekuasaan lama memang sudah seharusnya tumbang. Tapi kekuasaan silih berganti dengan pembenarannya masing-masing: kerajaan, demokrasi, republik, komunisme, kapitalisme, membentuk rasionalisasi atas tata masyarakat yang sesungguhnya selalu hanya transien. Maka setiap saat kisah keruntuhan dewa ini diinterpretasikan kembali, dan opera Wagner selalu memperoleh nyawa baru.

Nyawa baru dengan kata-kata yang sama? Mungkinkah?

Pun dalam kurun waktu yang seberapa jauh, itu dimungkinkan. Beberapa tahun, aku mendengarkan (dan menonton versi digital dari) Der Ring versi Boulez. Ini dimainkan di Bayreuth tahun 1970-an, dan videonya diterbitkan di awal 1980-an. Versi CD-nya, yang terbit di awal 1990-an seolah menjadi standar masa itu. Padahal di awal 1990-an itu, Bayreuth tentu saja tak lagi memainkan versi Boulez. Tokoh kontroversial Daniel Barenboim memimpin orkestrasi Der Ring masa itu.

Aku pernah menulis tentang Barenboim di tahun 2005 [URL]. Tokoh ini adalah sahabat dari filsuf Edward Said [URL]. Edward Said, dengan nama campuran Inggris-Arab, adalah warga Palestina, beragama Kristen Anglikan, dan menjadi profesor di Columbia Univ. Hal2 seperti ini menjadikannya bukan saja minoritas, tetapi selalu menjadi orang asing. Daniel tak jauh berbeda. Ia keturunan Yahudi, sekian lama memimpin orkestra di Jerman (bahkan di Bayreuth), memainkan karya Wagner (yang sering dicap sebagai rasis dan anti-yahudi); namun malah memilih memainkan Wagner di Tel Aviv, yang langsung menimbulkan ledakan protes dari parlemen dan kemudian presiden Israel (presiden Katsav Balav yang kini jadi narapidana itu). Daniel & Edward memiliki pemahaman amat berbeda mengenai asal konflik Palestina-Israel, namun memilih menjadi sahabat, dan sering memperbincangkan solusi terbaik bagi konflik bangsa mereka.

Der Ring versi Barenboim baru aku dapat dari kunjungan di Hongkong akhir tahun lalu. Agak ragu untuk menambah koleksi Wagner. Tapi aku belum punya versi lengkap dari Der Ring yang dimainkan dalam satu musim (i.e. satu sesi interpretasi). Jadi set yang tak terlalu mahal ini aku ambil. Dan, ternyata, aku serasa punya satu set rekaman opera yang benar-benar baru.

Musik dipimpin oleh Barenboim, dan teater disutradarai oleh Harry Kupfer. Seperti Tomlinson bilang, hampir semua pemain yang direkrut adalah pemain yang baru pertama kali memainkan peran ini. Tomlinson pertama kali memainkan Wotan; Siegfried Jerusalem pertama kali memainkan Siegfried, dll. Dan Kupfer mengatur mereka dengan gaya yang membuat cerita itu terasa berbeda dengan versi pendahulunya.

Siegmund, yang dalam cerita memang digambarkan sebagai pemberontak yang terdampar, yang dalam permainan misalnya Placido Domingo digambarkan benar2 lemah dan romantis, kini dimainkan sebagai pemberontak yang keras, dengan tekad dan perlawanan yang tetap keras (namun tetap tak dapat melawan karena tak memiliki senjata). Saat Wotan harus mengkhianati Siegmund, dia mematahkan pedangnya, tapi lalu memeluk Siegmund, dan membiarkan Hunding menusuk Siegmund. Siegmund mati dalam pelukan Wotan. Cara Boulez menggambarkan Siegfried membuat pedang Notung di tahun 1976 memang fantastis, dengan tungku besar berbunga api. Versi Kupfer tak menampilkan tungku seheboh itu. Namun pedangnya benar-benar dileburkan dan dibentuk kembali di atas pentas. Brünnhilde yang di versi Boulez membuat akhir kisah Götterdämmerung agak membosankan, oleh Kupfer disentuh menjadi sangat aktif dan emosional agar kita tak sempat bosan.

Dan kalau Boulez menggambarkan kutukan Brünnhilde membuat kahyangan (OK, Valhalla) turut menyala terbakar api merah, maka Kupfer merasa bahwa dewa-dewa perlu dihukum lebih kejam dari itu. Cincin dibawa peri Rhein kembali ke sungai; mereka menari riang sampai ke ufuk, lalu menghilang. Lalu manusia seperti kita mengisi panggung, dengan aneka rupa: dari yang bergaya pesta resmi, sampai bergaya rumahan; tapi mereka tak peduli dengan urusan dewa, peri, cincin, dan semacamnya. Mereka acuh menonton TV. Tetap dengan nada gemuruh runtuhnya Valhalla. Acuh. Hanya seorang anak perempuan menatap langit. Lalu seorang anak lelaki dengan jas menghampirinya, menggenggam tangannya, lalu membimbingnya menggunakan lampu senter kecil pergi menjauhi kerumunan massa yang hanya peduli TV itu. Dan Alberich, si licik pencari kuasa, hanya bisa kecewa, dengan muka jeleknya, di sudut pentas.

Tomlinson bilang, ini seperti nubuwat untuk awal abad ke-21. TV mungkin memang tak terlalu laku lagi. Orang abad ke-21 berkicau dengan Twitter. Tapi si licik pencari kuasa masih ada, dengan bodohnya mencoba menggaruk kekayaan dan kekuasaan seolah kita masih hidup di abad pertengahan. Moga nubuwat Kupfer benar: si licik Alberichal hanya akan kecewa di atas kepunahan keluarganya, dengan nafas tetap bau lumpur.

Wagner dan Faust

Tuhan berdebat tentang manusia, melawan Mephisto:

Wenn er mir auch nur verworren dient,
So werd ich ihn bald in die Klarheit führen.
Weiß doch der Gärtner, wenn das Bäumchen grünt,
Das Blüt und Frucht die künft’gen Jahre zieren.

Nun gut, es sei dir überlassen!
Zieh diesen Geist von seinem Urquell ab,
Und führ ihn, kannst du ihn erfassen,
Auf deinem Wege mit herab,
Und steh beschämt, wenn du bekennen mußt:
Ein guter Mensch, in seinem dunklen Drange,
Ist sich des rechten Weges wohl bewußt.

Itu cuplikan bagian awal dari Faust, satu kisah yang direka ulang oleh Goethe dari kisah Eropa klasik. Tuhan berusaha meyakinkan Mephisto, bahwa manusia bebas akan cenderung mengarah ke kebaikan; bahwa segelap apa pun manusia membawa jiwanya, ia akan cenderung kembali ke cahaya kecemerlangan. Maka Mephisto sang setan berusaha membuktikannya melalui Faust. Bagian2 ini sudah aku tulis di site ini bahkan sebelum dia berubah jadi blog :). Kebetulan Sabtu malam kemarin aku mampir ke Salihara, dan melihat kuliah dari Dewi Candraningrum tentang Goethe dan Islam. Jadi mendadak Faust terhadirkan lagi.

Faust versi Goethe ini konon menjadi puncak dari karya-karya Goethe. Bukan saja karena keanggunan sastrawinya, tetapi ia memuncakkan pemikiran Eropa masa itu. Agama, kekuasaan, dan narasi lama menjadi pembelenggu yang tak lagi dapat ditolerir. Tokoh Faust benar-benar dalam puncak tekanan akibat kejumudan diri yang tak tertahankan. Maka, satu-satunya jalan yang ditawarkan untuk keluar dari kejumudan pun ia ambil: bekerja sama dengan setan. Kejahatan setan adalah satu hal, tapi membiarkan diri dalam kejumudan adalah kejahatan yang buat Faust lebih keji. Dan tokoh Tuhan hanya memantau acuh: manusia yang berusaha mencapai yang terbaik dengan kejujuran hatinya, akan kembali menemukan cahaya.

Sebagai anak muda Eropa, Richard Wagner terbawa semangat Goethe ini. Dan sebagai komposer muda, ia sempat menyusun sebuat overture yang dimaksudkan untuk menjadi pembuka pentas Faust. Sebuah karya yang sungguh gelap.

Mungkin ini memang bukan karya Wagner terbaik — saat itu dia masih agak jauh dari puncak karyanya. Yang menarik adalah bahwa jalan hidup Wagner pun amat bergaya Faustian. Idealis muda yang selalu gelisah itu akhirnya mengisi hidupnya dengan jalan-jalan yang dianggap gelap dan salah: bergabung dengan kaum anarkis, menjadi hedonis dan punya banyak hutang, memusuhi kaum Yahudi secara terbuka, merebut istri sahabatnya (ya, ini Faustian sekali), bahkan konon menginspirasi Nietzsche untuk membunuh Tuhan.

Kita bukan Tuhan yang berhak menentukan apakah Wagner juga khusnul khatimah seperti Faust versi Goethe. Tapi karyanya mengispirasi dunia dengan cara yang bahkan tak terpahami mereka yang terpengaruhi olehnya. Seperti, haha, ya, seperti sang tokoh Tuhan itu menumbuhkan tunas-tunas pepohonan secara diam-diam, dan tiba-tiba manusia menyadari adanya bunga-bunga indah dan buah yang manis lebat berserakan bertumpukan menghiasi rantingnya dari demi hari.

Wagner dan Anarkisme

Antara 1848-1849 terjadi revolusi, yang dimulai di Berlin dan menyebar di negara2 lain yang kini menjadi Jerman. Majelis Nasional yang baru dibentuk, Parlemen Frankfurt, bersidang dan menyerukan dibentuknya Jerman baru berbentuk monarki konstitusional. Pemilu dilakukan di negara2 itu. Maret 1849, konstitusi berhasil dirumuskan, lalu Friedrich Wilhelm IV dari Prussia ditawari mahkota. Namun Majelis Nasional masih bergantung pada kerjasama para kaisar dan pemimpin2 lama. Friedrich Wilhelm IV menolak. Majelis Nasional terpecah. Di Sachsen, raja Friedrich August II tak mengakui konstitusi dan membubarkan Parlemen Sachsen. Rakyat Sachsen memberontak di bulan Mei. Situasi kacau, dengan pengawal yang ragu untuk memihak raja atau rakyat, dan raja yang akhirnya meminta bantuan tentara Prussia untuk menyerbu.

Dresden, ibukota Sachsen, sebelumnya dikenal sebagai pusat budaya kaum liberal dan demokrat. Seorang music director, Karl August Röchel menerbitkan Harian Dresden, yang sering memuat tulisan tokoh anarkis Mikhail Bakunin. Komposer Richard Wagner, yang waktu itu menjadi konduktor di Royal Saxon, mendukung revolusi sejak 1848, dan berkarib dengan Röchel dan Bakunin, serta turut menulis artikel agitasi mendukung revolusi. Saat revolusi Mei, ia turut membuat granat tangan dan menghadang tentara Prussia. Tapi revolusi akhirnya dipatahkan. Bakunin ditangkap, sempat dijatuhi hukuman mati, tapi lalu dibuang ke Russia. Wagner jadi buron, dan melarikan diri ke Paris, lalu ke Zürich.

Di saat2 itu, Wagner memulai tetralogi opera terbesarnya: Der Ring Des Nibelungen. Dimulai di Dresden, tapi disusun ulang dan ditulis garis besar kisahnya di Zürich. Modifikasi kisah tua budaya Nordik itu sedikit banyak menampilkan gaya anarkisme Wagner :). Wotan dan dewa2 lain ditampilkan sebagai para penguasa angkasa yang bising, sok tahu, namun bodoh. Hah, terlalu sering aku meringkas tetralogi ini. Di akhir cerita, Götterdämmerung, dengan optimisnya Wagner meruntuhkan Valhalla dengan seluruh dewa. Tokoh pahlawan diciptakan dari manusia (tapi keturunan dewa): Siegfried, yang tak kenal takut, tak kenal aturan, memiliki keberanian yang naïf, dan akhirnya gugur dengan cara tak menarik.

Cuplikan dari Wagner dulu, saat Siegfried sibuk membentuk kembali pedang Notung peninggalan kedua orang tuanya, disaksikan bapak tirinya yang culas:

Kembali ke anarkisme. Aku sendiri tak menganggap benda ini sepenuhnya negatif. Kaum anarkis memang selalu dipojokkan sebagai kaum anti kemapanan, anti pemerintahan, pro kekacauan, vandal, dll. Tapi sebenarnya kaum anarkis hanya berjuang untuk meningkatkan kedaulatan manusia sebesar mungkin, dan mengurangi peran pemerintahan hingga seminim mungkin.

Anarkisme memang jadi paradox :). Mungkin kaum anarkis pun belum selesai mendefinisikan diri. Rentangnya dari Bakunin yang — dengan menepis asumsi Rousseau bahwa negara, atau pemerintahan, disusun atas dasar kontrak sosial — menganggap negara adalah pengabadian penindasan dan perbudakan; hingga kaum2 anarkis yang lebih lunak yang sekedar berminat menghapuskan hak negara melakukan kekerasan terhadap rakyat. Dengan mengusung kemerdekaan dan keanekaragaman individual, kaum anarkis tak menganggap perserikatan antar mereka punya kekuatan yang penuh :). Memperpanjang paradox ini, kaum anarkis tidak akan bisa berkuasa. Tak akan bisa mereka bertahan membangun partai, berkoalisi, dan menyusun pemerintahan yang mereka kehendaki dengan peran pemerintah sekecil mungkin. Kalaupun mereka bisa berserikat, dan mempercayai kekuatan serikat itu (entah dengan pendekatan yang mana), gerakan2 anarkis itu akan seketika dikucilkan baik oleh kaum kanan yang berkehendak mempertahankan kekuasaan feudal, menghujamkan kekuatan organisasi agama, mencampuradukkan kekuatan kapital dengan pemerintahan, hingga kaum kiri yang menganggap perlunya menyusun kediktatoran proletariat yang temporer (entah temporer berapa abad) untuk menyusun kondisi ideal mereka. Kaum anarkis seperti Bakunin memang justru jadi bebuyutan kaum komunis. “Berikan kekuasaan kepada kaum marxist, dan tak lama mereka akan jadi pemerintah yang lebih kejam daripada tsar,” begitu ramalannya. Bakunin juga mungkin jadi satu2nya tokoh dunia yang pernah membayangkan adanya konspirasi antara Karl Marx dan Rotschild :D. “Marx akan membuat semua dikendalikan negara. Lalu bank2 dibubarkan dan dibentuk satu bank yang terpusat saja. Rotschild kan?” gitu tuduh Bakunin.

Sayangnya, mungkin satu2nya contoh di mana kaum anarkis pernah membentuk pemerintahan adalah pada Republik Pertama, yang dibentuk di Perancis setelah Bastille diserbu. Pemerintahan ini dalam sejarah lebih disebut sebagai pemerintahan teror, dan runtuh dalam waktu yang tak terlalu lama.

Hah, tadinya tulisan ini akan jadi bagian pertama dari deretan para tokoh yang (pernah) mempengaruhi Wagner. Tahun 2006, aku pernah menulis tentang beberapa tokoh yang dipengaruhi Wagner: Stephen Hawking, Edward Said, Bernard Shaw, James Herriot. Cita2nya, aku coba menulis tentang mereka yang mempengaruhi Wagner. Misalnya: Goethe, Schopenhauer, Shakespeare, Beethoven, hingga Bakunin. Tapi mungkin aku tak akan sempat juga. So, stop dulu di sini :)

Mild und Leise

Aku sering terpaksa berpikir bahwa jangan2 sebentar lagi blog hanya berisi curhat. Informasi lain jadi basbang, karena kita hidup di zaman Wiki. Lucu misalnya kalau kita menulis tentang keunikan suatu budaya atau tokoh sejarah atau celah kecil dalam sains, dalam format blog yang ringkas. Di Wiki lebih lengkap! Tak heran banyak blog2 lama yang dihapus. Sulit dibayangkan bahwa baru beberapa tahun yang lalu kita hidup tanpa Wikipedia dan Google.

Tempat pertama kali aku tidur di luar tanah Jawa adalah kota kecil Perros-Guirec (Perroz-Gireg), di tepi pantai Trestraou, dekat kota Lannion (Lannuon), di Côtes-d’Armor (Aodoù-an-Arvor). Perginya cuma bawa bagasi kecil: beberapa baju, tanpa notebook, tanpa buku, tanpa CD. Mau beli buku & CD di sana aja. Mau bobo, entah dari mana, bagian tengah dari opera Tristan & Isolde mengganggu pikiran, terulang2. Bukan Prelude dan bukan Liebestod (bagian penutup opera ini). Sampai sekarang masih bisa terdengar :).

Sebelum hari terakhir di Lannion, aku jadi guide buat teman2, bermobil berkeliling Côtes-d’Armor bagian utara, cari sebuah planetarium yang konon ada di daerah Pleumeur-Bodou (Pleuveur-Bodoù). Biarpun salah setir ke kiri melulu, akhirnya kami sampai. Tapi planetarium kosmopolis itu sudah tutup. Kami jalan2 di sekitarnya, dan menemukan kampung Asterix. Ini bukan tempat wisata, melainkan reservasi budaya Galia asli zaman Asterix. Jadi tak ada keramaian. Hanya sebuah kampung kecil, dengan bangunan rumbia, dipagari kayu tinggi2. Tak beda jauh dengan komik Asterix. Dan kalau kita lihat komik Asterix, selalu ada peta di Hal 1. Nah, tempatnya di situ. Hm, sejauh itu berkelana, aku baru tahu bahwa aku sedang menuju Kampung Asterix. Tapi, aku udah bilang, waktu itu belum ada Wikipedia. Bahkan Google.

Daerah Côtes-d’Armor terletak di provinsi Bretagne (Breizh). Ini adalah bagian dari wilayah Brittany yang asli, yang dulu beribukota di Nantes. Kini, Nantes sudah menjadi ibukota provinsi lain, dan Bretagne beribukota di Rennes (Roazhon). Penulisan nama ganda yang aku lakukan dari tadi mencerminkan bagaimana nama tempat di tulis di daerah itu: nama Perancis, diikuti nama Brittany. Brittany sendiri merupakan bagian dari sabuk Celtic. Satu2nya anggota sabuk Celtic di luar wilayah kepulauan Britania. Wilayah Celtic lain yang tersisa adalah Skotlandia, Irlandia, Wales, Isle of Man, dan Cornwall. Apa sih yang terbayang dari nama Celtic, selain musiknya yang syahdu, dan sejarahnya yang merupakan perpaduan perang dan romantisme? Enya? Haha. Tristan tentu.

Dan itulah lucunya. Lama setelah aku balik ke Isle of Java, baru aku tahu bahwa setelah terluka, sang Tristan dibawa kabur dengan perahunya ke wilayah Brittany ini; di mana kemudian Isolde menyusul, untuk hanya melihat jasad Tristan di persembunyiannya di tepi pantai Brittany itu, lalu — menurut Wagner — mulai melantunkan bait2 Liebestod: Mild und Leise …. Haha, mana ada orang Celtic berbahasa Jerman :p.

Jangan2, di pantai Côtes-d’Armor itulah dulu Tristan menunggui Isolde. Menimbulkan suara bising yang mengganggu tidurku.

El Tambo

Sbux lagi tersemangati Latinos. Kalau tahun lalu banyak suasana Afrika, dengan landmark BAE — black apron exclusive — Zambia Terranova dan Ethiopia Gemadro; maka setelah terjembatani BAE Sumatra Siborong-Borong, Sbux menggencar suasana Amerika Latin, dengan BAE Costa Rica Lomas Al Rio dan kini Colombia Narino El Tambo. Di antara dua BAE terakhir itu, sempat terbit juga edisi spesial Guatemala Casi Cielo (arti harfiah: menjangkau angkasa, arti pelesetan: gua teh malah kasih ‘ci elo).

Lomas Al Rio dan Casi Cielo punya kekhasan yang mirip: menyenangkan, menceriakan hari; sebagai kontras dari Sumatra Siborong-Borong yang serius dan berselera tinggi. Kalau Siborong-Borong dipadankan Wagner, Lomas Al Rio bisa disetarakan Vivaldi atau bahkan Puccini. Hmm, lucu memang kalau kopi bisa punya nada. Casi Cielo mengiring pagi beberapa minggu, diseling Sumatra dan Sulawesi, dan kopi2 lain oleh2 dari rekan2 yang beruntung bisa travelling ke mana2 (ssst, Sumatra dan Sulawesi juga), dan tau2: eh kok udah lama nggak nge-Java ya. Cari di Bandung, teu aya. Coba morotin Herr BR yang doyan ke Sbux Jakarta: sami mawon. Iseng beli di Coffee Bean, eh nggak dijual. Coba pesan saja di Sbux lokal sini, eh malah ditawarin El Tambo. Jadilah pesan Java Estate dan El Tambo sekaligus. Ini El Tambo Colombia ya. Bukan Padang. El, tambo!

picture-4.png

El Tambo, apakah seceria Casi Cielo? Agak ragu, kalau lihat covernya yang menampilkan wajah petani kopi berekspresi gagal panen gitu. Inget cerita “Surat Buat Tuhan” nggak sih? Aku bayangin sang petani wajahnya, ekspresinya, dan topinya mirip gitu :). Jangan2 bercita rasa serius lagi. Gue banget :). Tapi kalau si gue banget ketemu yang gue banget, nggak bervariasi juga sih. Mudah2an kali ini berwarna Stravinsky misalnya. Sedap yang rada2 amburadul gitu. Kalau amburadulnya nggak sedap, kan mug bisa dibanting. Mirip salah satu performansi Stravinsky juga. OK, kalau gitu jangan amburadul kayak Stravinsky. Gimana kalau Orff aja. Carmina Burana dengan keramaian yang tak nyaman tapi menyemangati. Hoohoo.

Tentu di site Sbux ada deskripsinya. Cuman aku berkeberatan membaca sebelum mencicipi dan membuat interpretasi pribadi yang nggak tergantung saran produsen/produser. Dan karena itu, nggak ada yang bisa diceritain lagi. Kita beralih saja ke Orff … :)

Update: Sebelum El Tambo tampak, aku malah ditelepon dan ditawari kopi Peru dan Costarica Buena Vista. Ah, memang maniak latinos.

Welch Licht Leuchtet Dort?

“Welch Licht leuchtet dort?”
“Dämmert der Tag schon auf?”
“Loges Heer lodert feurig um den Fels. Noch ist’s Nacht. Was spinnen und singen wir nicht?”
“Wollen wir spinnen und singen, woran spannst du das Seil?”

Tiga norn itu berbisik pada pembukaan Die Götterdämmerung (non Wagnerian lebih mengenalnya sebagai Ragnarök). Wajah mereka pucat dan kaku. Ilmu mereka, tentang masa lalu, masa kini, masa depan, lebih jadi beban daripada berkah. Para manusia itu, perlukah mereka tahu? Dan para dewa itu? Dan para peri itu? Saat manusia mengira hanya tanah mereka berputar, semesta baru menghampiri dan menyelubungi mereka. Perlukah menyanyi kita saat selubung itu menghantar cahaya pagi pembawa simpul waktu? Takkah berbagi ilmu akan menjadi berbagi luka?

Wajahkukah itu, yang selalu pucat dan kaku?

Maka hentikan nadamu. Kita punya tali yang harus kita urai. Awas, jangan putus tali itu.

Hukum Conway

Cukup beruntung untuk mendapati Götterdämmerung dalam format DVD, minggu lalu. Dan cukup mengacaukan jadwal hidup. Pulang kerja kadang nyaris tengah malam, dan tak langsung pindah ke alam mimpi. Malah mencicil act demi act dari bagian keempat tetralogi Der Ring Des Nibelungen ini. Musik yang masih menggetarkan itu bagian awal dari prelude, sebelum para Norn mendongeng (“Ulurkan lagi tali itu, Saudariku“); dan bagian awal Act 2, saat Hagen dihantui Alberich, bapaknya (“Tidurkah kau, Anakku?“). Biarpun Götterdämmerung adalah bagian keempat, tetapi sebenarnya Wagner merancang opera ini terlebih dahulu, lalu merancang tiga lainnya sebagai latar belakang. Pun dari Götterdämmerung saja, kita akan mendengar sari tiga opera pendahulunya diceritakan ulang. Cerita konyol, haha. Tapi telanjur adiktif sama Wagner sih. Mau jadi apa, coba?

Wotan, sang mahadewa, menghadapi suatu masalah. Dari soal delegasi kewenangan biasa, masalahnya lari ke soal ancaman atas sumberdaya kritis: sebuah cincin yang membuat pemiliknya memiliki power, namun dimuati sebuah kutukan: “Siapa yang memiliki cincin itu akan hancur. Tapi siapa yang tak memilikinya akan menginginkannya.” Wotan tak mengingini cincin itu, tetapi berkepentingan bahwa cincin itu tak dapat digunakan siapa pun. Plot dari Wotan dan para rekan dari sidang dewa terbukti hanya memindahkan ancaman dari satu titik ke titik lainnya. Buntu. Bukan, bukan Edubuntu, karena ini tak mendidik.

Lalu tak sengaja terbaca Wotan sebuah cuplikan dari buku software engineering. “Any organisation that designs a system will produce a design whose structure is a copy of the organisation’s communication structure.” Hukum Conway, namanya.

Sekilas mirip generalisasi sinis. Tetapi setidaknya kita bisa membayangkan bahwa pikiran yang memiliki kendali menyusun suatu organisasi, juga — dengan cara berpikir yang sama — memiliki kendali menyusun bentuk produk yang dihasilkan organisasi itu. Atau bisa juga kita bayangkan bahwa produk adalah anak dari organisasi, dan dengan satu atau beberapa cara akan mewarisi sifat orangtuanya. Jadi takkan salah kalau orang menilai organisasi Microsoft dari Windows dan Office-nya yang megah, berat, komplit, tapi malah bikin hang selalu. Atau menilai Telkom dari logo2 Speedy, Flexi, Homeline, 007, Ventus, dll yang tidak tidak saling memiliki hubungan batin :). Atau membayangkan birokrasi perguruan tinggi dari lulusan yang dihasilkannya. Cara kerja Google segera tampak misalnya saat kita melihat produk luar diadaptasi masuk sebagai bagian dari produk Google.

Pikiran Wotan melantur. Blog juga barangkali, pikirnya. Blog, sebagai produk personal, menunjukkan komunikasi internal sang penulis: cara berpikirnya; pun tanpa serius mengamati argumen apa yang tertulis di dalamnya. Apakah seseorang bekerja dengan komitmen atau tergantung mood. Apakah dalam menghadapi masalah, sebuah blog cenderung menyusun terobosan solusi, mencari kompromi, atau sekedar menuding tanpa solusi yang jelas, atau lebih parah lagi sekedar meramaikan? Begitulah pula barangkali platform pikiran sang blogger bekerja :).

Lepas dari lanturannya, Wotan berpikir lagi: tapi sebenarnya bisakah kita menghindar? Misalnya, tanpa kewenangan mengubah organisasi Valhalla (yang berbiaya besar dan bisa menyulut perang dewa yang lain lagi), ia ingin merancang sistem yang lebih efektif. Berkelit bisa jadi solusi, sebenarnya. Serahkan desain program ke pihak luar, untuk diadaptasi kembali. Dan hasilnya bisa unpredictable (bisa dalam arti positif maupun negatif). Memang perlu spekulasi.

Tapi lalu itu yang dilakukan Wotan. Ia turun ke bumi, menjadi Walse, dan dengan kerjasama makhluk bumi menurunkan para Walsung: Siegmund dan Sieglinde, yang berikutnya melalui metode incest menurunkan Siegfried. Sebagai derivatif Wotan, Siegfried mewarisi kekuatan kedewaan. Tetapi ia memiliki sifat baru: ketiadaan rasa takut. Hmm, jadi ingat salah satu buku Asterix. Tapi ini cerita lain. Singkat cerita, Siegfried berhasil menguasai sumberdaya yang kritis itu, tapi tanpa kehendak untuk menggunakannya (Untuk apa? Orang yang bebas rasa takut tak memerlukan apa pun.). Ia menjadi solusi yang ideal. Tetapi tetap tak sempurnya: mudah terkena konspirasi. Dan akhirnya ia harus hancur juga.

Wotan mungkin akan cuman bilang: Oops. “Software is doomed to reflect structure of the organisation that produces it.” Ya, keburukan Valhalla memang tak tampak pada personality Siegfried. Tetapi kelemahan itu cuma berubah menjadi bentuk yang lain. Tak bisa tidak, struktur memang harus diubah, untuk menghasilkan produk yang lebih baik. Tanpa berkelit.

Edward Said

Putus asa aku mengamati jadwalku, malam itu, sekitar 5 tahun lalu. Nggak ada harapan untuk melihat presentasi Edward Said di Warwick University — hanya 15 menit jalan kaki dari kamarku. Sedih, hmm. Tapi aku kasih tahu ke beberapa teman, barangkali mereka berminat datang. Reaksi Adnan khas sekali: siapa itu Edward Said? Dan Khaldoun harus menjelaskan ke dia, sambil aku fade off.

Edward Said, selalu membuat aku berpikir tentang keterasingan. Seperti aku yang nggak pernah diterima dalam komunitas sukuistis di mana pun, terutama Jawa dan Sunda. Said tidak pernah merasa at home di negeri mana pun. Keluarga Palestina, tumbuh di Mesir, dan akhirnya tinggal dan menjadi profesor di Columbia, AS. Punya nama depan yang diambil dari nama pangeran Inggris, serta nama keluarga yang Arab nian, makin mengokohkan keterasingannya.

Di AS, Said tak pernah melupakan Palestina. Sebagai cendekiawan kelas dunia, ia terus menyuarakan keprihatinan atas Palestina. Bahkan ia sempat duduk di Dewan Nasional Palestina. Cita2nya bukanlah menghabisi orang Yahudi, tetapi melumpuhkan kekuatan militer Israel dan mendirikan negara demokratis non apartheid non rasialis di bumi Palestina, berisikan orang2 Yahudi, Kristen, Islam, dan agama mana pun. Sikap itu makin mengokohkan keasingan Said. Orang2 zionist menudingnya sebagai musuh berbahaya yang berhasil menyusup di tengah kaum cendekia Amerika, dan cenderung menggagalkan upaya misinformasi internasional mereka. Sementara orang2 Arab memakinya karena ia tak hendak mengusir orang Yahudi.

Said dipecat Arafat dari Dewan Nasional Palestina, karena sikapnya menolak perjanjian damai Oslo. Kenapa orang seperti Said menolak inisiatif damai? Said yakin, ini penipuan. Arafat tidak membaca seluruh naskah, selain beberapa pasal yang mengamankan posisi dirinya sendiri; dan ia dikelilingi veteran perang yang tak paham hukum serta tak mahir berbahasa Inggris. Setelah perjanjian, Arafat baru sadar bahwa tak satu pasal pun yang menyatakan adanya negara Palestina yang diakui.

Setelah kemenangan Hizbullah memaksa mundur pasukan Israel di Libanon Selatan, Israel membuat buffer berupa lahan kosong belasan kilo sebagai zona pengaman antara Israel dengan Libanon. Orang Arab suka melempar batu ke arah Israel. Tentu itu simbolis. Tak ada orang atau bangunan apa pun yang bisa kena. Tapi waktu Said berkunjung ke sana, ia becanda dengan beberapa pemuda, dan berlomba melempar batu sejauh mungkin. Foto Said sedang melempar itu dipasang sebagai headline di media-media AS, dengan seruan untuk memecat Said dari Columbia serta mengusirnya. Pimpinan Columbia University acuh.

Selama insiden itu, Said sedang mempersiapkan paparan di Lembaga Freud di Wina. Akibat ancaman orang2 zionist, pimpinan lembaga membatalkan paparan itu. Namun akhirnya Said diundang untuk memaparkan tulisannya itu di London, 2003. Temanya, sekali lagi, tentang keterasingan: Freud dan orang-orang bukan Eropa. Hal2 yang Said paparkan mungkin memang bikin marah orang Israel, yang akhir2 ini tengah mencari bukti2 arkeologis untuk memvalidasi keberadaan entitas itu di bumi Palestina. Said justu memaparkan bahwa konsep monotheisme orang Yahudi diambil Musa dari orang2 Mesir, bukan dari tradisi Ibrahim hingga Yusuf yang sementara itu sudah hilang. Nama tuhan sendiri, Yahweh, diambil para pengikut Musa itu dari suku Arab Midian di sekitar Sinai.

Said sendiri mempunyai beberapa sahabat Yahudi. Daniel Barenboim, salah satunya. Barenboim tak kalah asingnya :). Dia adalah minoritas conductor Yahudi yang gemar memainkan simfoni dan bahkan opera-opera Wagner, saat di Israel segala musik Wagner diharamkan oleh parlemen. Barenboim dan Said sempat membuat perbincangan panjang tentang Wagner, dan sempat membukukannya: Parallels and Paradoxes.

Said meninggal tahun 2003. Leukemia. Bukunya yang terakhir adalah On Late Style. Biografinya berjudul Out of Place. Asing.

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑