Tag: social media

Internet dan Masa Depan

“Tak seorang pun ragu bahwa Internet telah membentuk lifestyle baru, serta mentransformasi budaya. Tinggal tunggu waktu untuk menyaksikan bahwa pemerintahan dan pengaturan masyarakat pun akan diredefinisi.” Itu cuplikan dari seorang analis di bidang content & application di sebuah perusahaan informasi dan media ternama. Entah sambil becanda, ia meneruskan, “Tentu pemerintahan, khususnya yang tak demokratis, akan melawan dengan memulai mengupayakan kontrol atas Internet, atau perangkat ruang maya secara umum. Adalah tugas kita untuk mempertahankan Internet dalam perannya membentuk masyarakat yang lebih baik.”

Sayangnya dia tak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan “kita” di situ. Aku sendiri melihat bahwa Internet merupakan bagian dari evolusi teknologi dan budaya manusia yang membuat manusia bisa secara dinamis bertahan hidup di bumi ini dan mencapai harkat yang terus meningkat. Tapi budaya tak hanya dibentuk oleh gaya hidup berinternet. Secara lebih ekstrim, rekayasa budaya bisa dilakukan dan dan dipaksakan menggunakan Internet.

Sebagai contoh pertama, perusahaan dan entitas bisnis lain dapat mulai ditekan untuk menghemat lingkungan dengan mengurangi transport manusia dan menggantikan dengan komunikasi ruang maya yang lebih baik. Pemerintahan ditekan untuk mengurangi surat-surat, pengurusan kertas (termasuk SIM, STNK, KTP, SPT), serta menggantikan dengan sistem kredensial yang berbasis ruang maya. Uang kertas, uang logam, adn surat-surat berharga bisa secara bertahap dipunahkan, karena ekonomi mengharuskan efisiensi, friksi yang lebih rendah, dan penghematan lingkungan. Pernahkah terpikir bahwa distribusi uang memerlukan biaya amat besar juga? Kemudian proses pendidikan dapat dicerdaskan dengan menggantikan sekolah formal dengan … aku bahkan belum tahu seperti apa :). Tapi ilmu akan dihikmahkan lebih manusiawi, seumur hidup, dan natural melekat pada hidup keseharian. Hal-hal semacam ini bukanlah transformasi yang alami karena lifestyle Internet, tetapi sesuatu yang direkayasa melalui policy yang ditetapkan oleh kearifan atau keterpaksaan untuk melihat bahwa lingkungan, iklim, dan planet ini hanya bisa dijaga tetap lestari dan layak huni bagi manusia dengan mengubah budaya, menggunakan apa yang saat ini dinamai Internet.

Namun sebelum masyarakat ditransformasikan, infrastruktur Internet sendiri masih jadi PR besar. Bahkan mungkin di semua layernya. Di layer paling bawah, bagaimana memanfaatkan spektrum elektromagnetik yang terbatas itu  seefisien dan secerdas mungkin untuk mengangkut informasi yang terus bertambah tanpa ampun (itu salah satu pendorong 2G harus dimigrasikan ke 3G lalu 4G); yang harus dibantu layer di atasnya untuk mengemas informasi secerdas mungkin agar terangkut secara efisien. Bagaimana informasi harus diabstraksikan, tetap berguna secara efisien, namun tetap manusiawi untuk digunakan tanpa mengubah manusia jadi komputer. Bagaimana informasi tetap terbaca sebagai teks halus, suara, video, namun di pihak lain ditransfer secara efisien dan dapat diabstraksikan untuk membentuk informasi yang berarti (dapat dicari, diolah, dihimpun, dicerna). Bagaimana gaya hidup manusia ditransfer secara baik menggunakan Internet sehingga tetap layak digunakan tanpa mengurangi harkat kemanusiaan kita. PR panjang.

Mungkin kita harus mulai membuat tulisan yang lebih panjang dan komprehensif. Itu menarik. Aku tidak becanda — engineering yang tampak kompleks itu amat menarik untuk dipaparkan. Mungkin juga kita harus mulai menyusun action plan. Atau menyusun kelompok diskusi dan kelompok kampanye. Tapi aku pikir aku akan lebih suka memulai dengan berjalan2 ke sekolah2, berbincang tentang Internet dan masa depan bumi ini dengan para siswa yang jadi pemilik asli bumi dan budaya digital kita ini.

“Bertemu Generasi Z. Ide yang menarik,” lanjut si analis. “Siapa lagi yang bisa kita percayai selain mereka?”

Tweeting

Blogger angkatan lama pasti kenal Ev William, salah satu pendiri Blogger.com. Saat Google membeli Blogger.com, Ev menjadi karyawan Google. Namun tak lama, ia mendirikan Odeo. Odeo berisi developer muda bergaya Silicon Valley: mereka bekerja di sembarang tempat, di sembarang waktu. Pemuda berkaus lusuh yang duduk di pojok warung menjelang tengah malam sambil memelototi gadgetnya itu mungkin juga karyawan Odeo yang sedang bekerja keras. Ini memang mendorong kreativitas, tetapi mulai menyulitkan komunikasi. Maka Odeo menciptakan aplikasi web sederhana yang memungkinkan para karyawannya menulis status mereka, progress mereka, secara singkat saja, agar mudah saling melacak. Konversasi personal dimungkinkan, tetapi tetap dapat dilacak dan ditimbrungi lainnya. Menariknya, aplikasi ini kemudian tak hanya digunakan pekerja Odeo, tetapi juga rekan-rekan mereka, dan akhirnya menjadi aplikasi publik. Lahirlah Twitter.

Twitter lahir dari prakarsa2 karyawan. Tapi ia membesar karena prakarsa2 user. Sebuah prosumerity. Dari tujuan semula untuk menulis status pribadi (“What are you doing?”), Twitter berkembang menjadi media konversasi publik. Kemudian media kompilasi ide. Tanda pagar (#) itu bukan berasal dari pencipta Twitter, tetapi dari user. Meme menular cepat melalui retweet (RT). Lalu terjadi penggalangan ide, dan gerakan. Banyak yang percaya bahwa rezim Indonesia pun beberapa kali harus mengubah langkah2 tak populer mereka atas desakan massa yang diperkuat melalui media Twitter. Twitter sendiri pun mengubah pertanyaannya menjadi “What’s happening?”

Twitter-SmallAku pernah diwawancarai oleh BBC khusus mengenai Twitter beberapa bulan lalu. Pun ternyata masih banyak yang bertanya: “Apa sebenarnya Twitter?” Dan ini bukan pertanyaan para pemula. Ini pertanyaan dari blogger senior dan developer sistem. Mereka masuk Twitter, mereka mencoba menulis satu dua hal menarik. Lalu merasa tak ada yang tertarik. Lalu tenggelam. Atau menjadi komunikasi yang gamang.

Tapi pertama bayangkan Twitter bukan sebagai microblog, dan bukan sebagai google. Ia adalah sistem komunikasi antar manusia yang bersifat unicast, multicast, atau broadcast (pada level ini, bukan level IP, haha). Apa yang pertama kali kita lakukan saat memasuki sebuah komunitas baru? Kita tidak akan membuat pernyataan yang tidak seorangpun yang mendengar. Tak juga kita akan menanyakan sesuatu yang tak seorangpun membaca. Pun takkan kita meneriakkan pendapat yang tidak dapat kita jelaskan dalam 140 karakter. (Wolfgang Pauli akan penasaran, kenapa angka ini begitu dekat dengan 137).

Tahap awal kita di Twitter sebaiknya digunakan mengikuti (follow) orang2 yang pas buat kita ajak bicara. Kita tidak mencari orang yang terkenal, atau orang yang paling ahli. Dan jangan mengikuti artis, selebriti, dll, yang kira2 tidak akan berguna dalam hidup kita. Lalu kita lakukan perbincangan. Sebagian dari mereka akan balik mengikuti kita, tanpa diminta (Oh ya: kalau kamu merasa kata2 kamu memang layak didengar, kamu takkan sekalipun minta difollow). Kita mulai memiliki ruang: kata2 kita mulai terdengar. Perbincangan kita dengan orang2 ini akan menarik orang2 lain bergabung, dan memperluas rentang pengaruh kita, menambah follower kita. Kita bebas memfollow balik mereka yang memfollow kita, tapi tak harus. Komunikasi harus efektif, dengan noise yang rendah, dan sampah seminimal mungkin (itu sebabnya mengikuti selebriti dll tak dianjurkan, jika itu tak berkait dengan dunia kita, kecuali jika mereka memang inspiring secara teks).

Komunikasi manusiawi bersifat kontekstual. Memang ada yang menyebut bahwa itu lemah. Tapi kita manusia, bukan komputer yang mudah disearch, dll. Komunikasi kontekstual itu manusiawi, sesuai cara otak kita mengelola simbol. Kita mulai mengenali rekan2 di Twitter: keahlian mereka, gaya komunikasi mereka, rasa humor mereka, komitmen dan konsistensi mereka. Pesan2 jadi efektif dalam 140 karakter, karena mereka bersifat amat kontekstual. Menanyakan sesuatu ke seseorang tak harus detail, karena kita saling tahu apa yang dikomunikasikan. Komunikasi serius dan becanda tak perlu ditandai, karena kita paham konteks komunikasi. Informasi tak harus memetakan fakta, karena kita paham level sindiran, pelesetan, ejekan, dalam komunikasi – dan dengan demikian justru dapat menangkap apa yang sedang disampaikan. Dengan demikian, pujian tekstual bukan berarti pujian kontekstual, dan makian tekstual justru mungkin merupakan simpati kontekstual.

Tentu banyak kritik mengenai cara berkomunikasi macam ini yang dibilang tidak logis. Tapi – percayalah, aku pakar komunikasi dan informatika loh – yang kita sebut logika pun tidak sesederhana IF THEN ELSE seperti yang dipahami kearifan selevel SMP. Object-oriented programmer pun paham bahwa message antar object mengikuti karakteristik class, dan ini 100% logis. Lalu aspect-oriented programming (logic), haha. Masalahnya, kita lupa bahwa knowledge merupakan object, kita juga object, dan diskursus kita juga object yang flexible. Message mengikuti interaksi kita.

[Di catatan sebelum blog, aku pernah bercerita tentang sebuah konsistensi. Suatu malam, sebelum mengerjakan tugas berat, aku bilang ke diri sendiri: (1) “Istirahatlah. Performansimu besok ditentukan oleh kondisi badan.” Besoknya, yang harus aku kerjakan memang berat. Hampir menembus batas. Tapi aku mendorong diri sendiri, (2) “Terus maju. Kondisi badan tak mempengaruhi performansi!” Dalam contoh ini, aku rasa kita bisa melihat bahwa kedua pernyataan tidak inkonsisten. Kita tahu bahwa (3) performansi didukung oleh banyak hal, dan kondisi badan menyumbang sekian persen. Message 1 lebih pas untuk memetakan message 3 ke dalam kondisi malam itu, dan message 2 adalah message 3 yang dipetakan ke kondisi siang itu. Message 3 yang sama. Tujuan yang sama (performansi maksimal). Tidak ada inkonsistensi. Yang ada hanya konteks waktu, konteks aksi, dan mapping. Begitulah juga kita memahami lalu lintas perbincangan di Twitter.]

OK. Jadi di Twitter kita membentuk lingkungan kita sendiri, tempat kita mulai saling bertanya, saling berbagi info (info internal maupun info dari jaringan2 lain di Twitter), dan saling berkolaborasi. Pada titik inilah Twitter jadi blok yang kuat untuk mendiskusikan, memfilter, mempertajam ide. Twitter jadi tools berupa mesin pencari cerdas dan kontekstual yang paham info yang kita butuhkan pada situasi terkini. Twitter jadi media penggalangan gagasan dan aksi. Twitter mampu mengecutkan nyali kepala polisi hingga presiden. Jaringan antar jaringan di Twitter bersifat kuat kokoh merekat, sekuat jaringan IP di bawahnya.

Catatan:

  • Entry blog ini ditulis tanpa support setetes kopi pun dari kemarin pagi
  • Twitter bukan Plurk. Jadi tidak ada kompetisi memperbanyak jumlah follower untuk mengejar karma dll. Tak ada yang peduli jumlah follower kita, atau berapa orang yang memasukkan kita ke dalam list.
  • Memang ada semacam panduan bahwa perbandingan jumlah following : follower sebaiknya 2 : 1. Atau bahkan 3 : 1. Tapi Twitter bukan soal angka. Yang lebih penting adalah kualitas komunikasi, kualitas follower dan followee (huh, ada ya kata semacam ini?).
  • Sejauh ini, satu2nya buku tentang Twitter yang layak dibaca adalah Twitterville dari Shel Israel (@shelisrael).
  • Account Twitterku adalah @kuncoro.

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑