Tag: Herriot

Andai Mereka Bisa Bicara

Seandainya Mereka Bisa Bicara … dan begitulah aku mengawali blog ini, tepat 12 tahun lalu, 20 Juli 2000 [tlk.lv/1st]. Berpindah dari web-journal dengan script PHP buatan sendiri, aku menggunakan layanan Blogger.com yang waktu itu belum diakuisisi Google. Pasti bukan sekedar kebetulan bahwa saat web itu diubah jadi blog, aku menemukan kembali buku James Herriot yang sudah mulai lusuh itu. Buku Herriot — dan semangat yang dibawanya — adalah salah satu motivasiku mulai menulis, baik di kertas maupun di terminal digital. Herriot adalah profesional yang menghadapi keseharian hidup: keberhasilan yang manis, kegagalan yang memalukan, dan sering hidup yang datar. Namun Herriot dapat membuat tulisan yang menarik dari optimisme dan impressi yang diperoleh dari sekedar menatap awan dan padang rumput, menolong petani sederhana, menyendiri berkeliling Yorkshire di tengah malam, dll. Herriot mendorongku untuk mulai menulis hal-hal kecil, sambil belajar untuk selalu positif sekaligus realistis menatap dunia.

Kejutan! Hari ini aku baru tahu Gramedia menerbitkan kembali buku ini. Dijuduli Andai Mereka Bisa Bicara, buku ini masih menggunakan terjemahan yang sama dengan versi tahun 1970an dulu. Syukur beberapa kelucuan penerjemahan di buku 1970an itu telah diperbaiki di versi baru ini. “Tapi namanya Tristan.” di Bab 6 telah diubah jadi “O ya, namanya Tristan.” yang sebetulnya belum terlalu tepat tapi sudah lebih enak didengar.

Blog ini pasti sudah puluhan kali membahas Herriot dan buku2nya. Tapi buat pembaca baru, inilah kisahnya. James Herriot adalah anak muda yang pemalu tapi kreatif dan bersemangat tinggi. Lulus sebagai dokter hewan di Skotlandia, ia memperoleh tempat kerja di sebuah kota kecil bernama Darrowby di daerah Yorkshire di Inggris. Atasannya seorang dokter hewan Siegfried Farnon, yang cerdas namun eksentrik dan pelupa, dan hidupnya sering diwarnai dengan paradoks. Tak lama, bergabung pula Tristan Farnon, adik Siegfried yang memiliki sifat jauh berbeda — ia periang, ceroboh, namun selalu beruntung. Mereka membentuk persahabatan yang unik dan hangat, sambil bekerja keras (kadang siang malam) menyembuhkan bermacam hewan besar dan kecil, milik para petani dan peternak di Yorkshire, yang umumnya pekerja yang jujur, keras, namun tulus.

Ada kisah keberhasilan saat Herriot dan tim secara cerdas atau secara kebetulan dapat mendiagnosis penyakit dan menyembuhkannya. Ada kisah mengharukan saat Herriot harus memberikan penenang permanen kepada hewan yang terkena kanker untuk melepas penderitaannya. Ada banyak sekali kelucuan saat Siegfried yang sok efisien harus terperangkap prinsip-prinsipnya, atau sekedar oleh kepikunannya yang luar biasa. Dan banyak hiburan akibat keusilan Tristan yang tak pernah habis. Tapi yang tak pernah membosankan adalah komitmen Herriot untuk setiap saat membantu makhluk hidup yang menderita, biarpun kadang ia harus melampiaskan kekesalan dan kemarahan; dan selalu diakhiri oleh kembalinya kesadaran bahwa hidup itu ajaib, lucu, agung, dan tak pernah membosankan.

Herriot adalah nama samaran dari Dr James Alfred Wight [tlk.lv/alf]. Dan Darrowby adalah nama samaran dari kota Thirsk di Yorkshire, tak jauh dari York. Buku Herriot yang penuh keajaiban ini akhirnya membawa aku di tahun 2010 ke kota Darrowby [tlk.lv/darrowby] untuk mengikuti kembali jejak perjalanan James Herriot di kota kesayangannya itu. Thirsk masih jadi kota kecil yang tenang, dengan marketplace dan jam kota yang sama dengan yang digambarkan di buku ini, dikelilingi koperasi yang sudah modern, bar,  bank, toko permen.

Andai berminat, buku ini bisa juga dibeli secara online langsung di Gramedia. Pasti menarik buat menemani berpuasa.

Hey! Happy Ramadhan! Moga di Ramadhan ini, kita bisa lebih jernih mengevaluasi diri, dan lebih penuh semangat menjalani berbagai komitmen kita dalam hidup yang singkat namun ajaib ini.

Darrowby

Entah mengapa bis itu mendadak terguncang di jalan rata itu. Aku mendapati diriku terjaga di antara bukit-bukit Yorkshire Dales yang nyaris seluruhnya berwarna variasi hijau dari padang rumput yang luas dan pohon-pohon musim semi. Jalan berkelok-kelok di antara ladang dan peternakan dengan kuda, lembu, dan domba. Sinar matahari masih berusaha menembus awan kelabu saat bis memasuki sebuah kota kecil. Tak sampai semenit, bis sudah berhenti di samping menara lonceng kecil (townclock). Lahan luas marketplace berfungsi jadi lahan parkir. Di sampingnya toko-toko berjajar berwarna-warni. Toko koperasi menarik perhatianku dan membuatku tersenyum tak sengaja. Kami menapak turun, dan menjejakkan kaki di Darrowby.

Blog ini amat sering menyebut kota ini: Thirsk, di Yorkshire. Seorang dokter hewan yang juga penulis handal, bernama samaran James Herriot, memperkenalkan kota dalam buku-bukunya ini ke seluruh dunia sebagai Darrowby. Adalah buku perdananya, Seandainya Mereka Bisa Bicara, yang membawaku ke kota ini. Seorang fotografer dari The Northern Echo, Richard, menungguku di bawah lonceng, dan mengambil fotoku bersama buku kenangan itu. Lalu kami menapaktilasi langkah Herriot mendatangi rumah Skeldale House. Richard meninggalkan kami di sana.

Tak seperti Herriot, aku tak perlu menekan bel dan mendengarkan lima ekor anjing menyalak keras. Margaret sudah di depan rumah dan menyambut ramah. Kami becanda dengan renyah dan asyiknya, sebelum akhirnya ia menyuruh kami membeli tiket di rumah sebelah. “Follow me, Luv,” ajaknya. Lalu dengan aksen Yorkshirenya ia menceritakan apa yang terjadi setelah buku2 itu. Anak-anak James masih di Thirsk: Jim jadi dokter hewan dan Rosie jadi dokter. Rumah itu dijadikan museum sejak 1995. Juga Margaret menanyai bagaimana orang dari ujung dunia yang lain ini bisa menemukan Skeldale House. Haha, keajaiban Internet.

Akhirnya aku diperkenankan menekan bel. Rrrrrring. Tetap tak ada anjing menyalak. Kami harus membuka pintu sendiri. Di dalam rumah, ruang-ruang dipelihara seperti aslinya: ruang makan resmi, ruang keluarga, ruang obat2an, ruang operasi, ruang sarapan, dan gang ke ruang-ruang di belakang. Terbayang Tristan mengendarai sepeda di gang kecil itu.

Semuanya tampak seperti mimpi yang mewujud keluar dari buku yang kubaca dan kubaca lagi bertahun-tahun. Tak ada montir tua menunggu di belakang. Tapi aku boleh mengendarai Austin tua milik James, asal tak melebihi kecepatan 0 mph.

Di bagian belakang, sebuah ruangan disiapkan untuk mengenal James lebih pribadi. Ini sering aku blog juga. Nama asli James Herriot adalah James Alfred Wight, dipanggil Alf, lahir di Sunderland tapi tumbuh di Glasgow. Ortunya memilih Glasgow untuk membangun keluarga dan mendidik anak dengan budaya yang baik. Alf menyukai musik klasik dan gemar menulis buku harian. Kagum dan terpukau aku membaca buku harian Alf muda yang diisi setiap hari. Namun seorang profesor datang ke sekolahnya dan membuatnya mendadak ingin mendalami sains dan menjadi dokter hewan. Ia berkuliah di Glasgow, tempat para mahasiswa tak serius berkuliah. Tapi akhirnya ia lulus, sempat bekerja di Inggris Utara, lalu pindah ke Yorkshire, pada seorang dokter hewan bernama Donald Sinclair di kota Thirsk. Yorkshire, lingkungannya, penduduknya, tantangannya, membuat Alf betah di kota ini, hingga menikah dan membesarkan anak2nya. Serial buku Herriot dijamin membuat kita memahami mengapa ia tak ingin pergi dari sini.

Ia menikmati hidupnya. Masih menikmati musik klasik, menulis buku harian, mendidik anak-anaknya. Tapi kerja keras tak selalu menghasilkan uang. Tabungannya hanya £20 saja. Ia jadi punya ide mengemas buku hariannya jadi buku. Joan, istrinya, berkomentar: tak ada orang yang mulai menulis pada umur segini. Tapi ia menulis, dan setelah beberapa tahun ditolak, akhirnya bukunya terbit dan sukses di kedua sisi Atlantik, lalu diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.

Menembus ke ruang sebelah, yang sebenarnya sudah bagian dari rumah tetangga, sebuah pesawat telefon hitam berdering. Serasa mendengar hardikan Donald a.k.a. Siegfried, “Pick up the phone!” aku mengangkat telefon itu. Langsung terdengar suara petani di ujung sana, menyerocos dengan dialek entah apa, mengeluhkan kondisi ternaknya, dan langsung membanting telefonnya. Kuletakkan telefon perlahan. Membeli topi biru, kami berjalan ke sekitar Thirsk. Marketplace dikelilingi toko yang ramai: toko-toko buku, kafe, toko manisan (hey, mungkin ini tempat si kucing Alfred yang harus dioperasi mengeluarkan bulu lebatnya dari dalam lambung itu), bank-bank.

Terus ke luar, sebuah jembatan membentang di atas sungai. Sungai Darrow, kata James di bukunya. Di baliknya: rumah-rumah dari batu bata merah; dan diseberangnya: kembali lembah-lembah dan bukit-bukit dengan hewan-hewan ternak yang dilepas di atas padang rumput luas.

Hidup tak tampak rumit di sini. Sekilas aku jadi membayangkan spiral besar yang sedang kita bangun di Indonesia, menumbuhkan kreasi digital, meningkatkan kebutuhan akan akses digital, menjadikan itu alasan untuk berinvestasi membesarkan dan menganekaragamkan pipa-pipa digital, lalu mengisinya dengan menumbuhkan kreasi digital lagi. Sungguh hidup yang jauh berbeda. Tapi seperti juga James, aku memilih untuk menjalani setiap bentuk dan variasi kehidupan, menikmatinya setiap keunikannya dengan rasa sayang, menjelajahi setiap rasa penasaran kita, dan terus rajin menulis ;). “Jump in,” teriak sopir bus ke arah Liverpool itu. Kami lompat masuk. Kembali ke York.

Cuci Piring

Cukup lama tak menyentuh James Herriot, kali ini aku mencuplik satu cerita yang rada berbeda. Tak melibatkan kedokteran hewan. Dan ini diambil dari buku All Creatures Great and Small. Buku ini adalah versi Amerika, yaitu versi bundling, dari dua buku pertama Herriot: If Only They Could Talk dan It Shouldn’t Happen to a Vet. Seperti buku Seandainya Mereka Bisa Bicara (If Only They Could Talk) yang jadi bersejarah buat aku — dan buat banyak anak2 Indonesia masa itu; buku All Creatures Great and Small ini juga bersejarah. Ini adalah buku yang pertama kali aku beli dari Amazon. Waktu aku sedang menunggu buku ini datang dari gudang Amazon (zaman itu memakan waktu berminggu2), aku dipanggil British Council karena dinyatakan mendapatkan Chevening Award. Tapi, seperti siswa Chevening lainnya, aku harus ikut training Bahasa Inggris dulu, untuk memperbaiki dan terutama mempercepat respons kami memahami bahasa Inggris. Buku ini tiba tepat waktu. Aku baca setiap malam. Bahasa Inggrisnya yang dirusak pengejaan gaya York dan gaya lain (termasuk konon Scottish dan Irish English) membuat aku makin tertantang untuk cepat memahami kalimat2 unik di dalamnya.

Balik ke buku. Halaman 277. Herriot sedang kasmaran, haha. Seorang putri petani, Helen Alderson, terus menghantui pikirannya. Sayangnya ia tak punya cukup alasan untuk menemuinya. Pak Alderson peternak yang cerdas, dan ternaknya jarang sakit. Memang salah satu sapinya pernah harus dijahit kakinya. Tapi perlu menunggu sampai akhir bulan sebelum plester penutup jahitan bisa dilepas. Dan penantian itu kandas saat Pak Alderson menelepon dan menyebut sudah melepas plester itu sendiri — hasil operasinya bagus. Untuk pertama kali James memaki kecerdasan seseorang.

Lalu James bergabung ke Music Society di Darrowby. Helen tampak beberapa kali ikut pertemuan di sana. Namun beberapa minggu, James hanya berani melihat Helen dari kejauhan, dikerumuni sahabat2nya. Termasuk malam itu. Di tengah string kuartet (haruskah kuterjermahkan sebagai dawai berempat?), James hanya melihat punggung Helen. Tapi ketua kelompok dengan riang mengajak semuanya minum teh dulu (dan membayar 3 pence). James langsung menyambar teh, lalu bergerak ke arah Helen.

Helen menatapnya. “Selamat sore, Pak Herriot. Bisa menikmati malam ini?”
“Duh, kenapa panggilnya pakai Pak sih. Panggil saja Jim,” kata James. Tapi cuma dalam hati.
Dan yang dia ucapkan adalah, “Selamat sore, Nona Alderson. Malam yang menyenangkan kan?”
Lalu diam.

Para sahabat Helen berbincang tentang Mozart. Tak ada hal lain yang bisa diperbincangkan lagi. Selesai.

Tapi Pak Ketua datang lagi. “Kayaknya harus ada yang berkorban cuci piring malam ini. Siapa yang mau ambil giliran? Atau dua anak muda ini saja?” — sambil menatap Helen dan James. Tentu saja James punya banyak gagasan yang lebih menarik daripada cuci piring. Tapi tiba2 dia melihat itu sebagai peluang emas. “Oh. Tentu. Kalau Nona Alderson tak keberatan, tentu.”

Lalu mereka berbagi tugas. James mencuci. Helen mengeringkan. Lima menit berlalu. Mereka mulai berbincang. Tapi lagi2 tentang musik. Duh, gak kemana2, pikir James. Dan dengan panik dia melihat cangkirnya tinggal satu. Ia menyerahkan ke Helen. Tapi tak dilepas. Panik menunggu inspirasi yang tak kunjung datang. Sementara perang berebut cangkir terakhir terjadi, James mendengar suara, “Boleh kita ketemu lagi?” — yang ternyata suaranya sendiri.

Helen diam. Wajahnya tak dapat dibaca. Akhirnya ia menjawab pendek. “Boleh.” Lalu James lagi. “Sabtu malam?” Disusul anggukan ringan Helen yang meletakkan cangkir kering, dan pergi. Sementara Haydn dimainkan. Apakah Helen memang berminat untuk ditemui? Atau hanya terpaksa demi kesopanan?

Selesai.

Tapi, btw, untuk kita semua yang mengejar kesempatan apa pun: bisnis, karir, network, travelling, dll — jangan meremehkan hal2 kecil semacam kesempatan untuk mencuci piring. Ingat bahwa Feynman pun memperoleh Hadiah Nobel gara2 dia memanfaatkan waktunya menghitung rotasi piring, saat dia merasa mandeg dengan cita2 yang dirasa terlalu tinggi. Mungkin … cuci piring adalah peluang emas kita :).

Oh ya. Penasarankah dengan akhir cerita? Bisa ke Wikipedia atau lainnya sih :). Tapi aku cuplikkan halaman terakhir buku itu. Halaman 437.

Aku berteriak ke Helen: “Nomor tiga delapan. Tujuh. C!”
“Tiga delapan. Tujuh. C,” istriku mengulang sambil membentangkan bukunya dan mulai menulis.

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑