Sekian tahun abis insiden Yogya, dan beberapa bulan abis tragedi sosial di Jakarta, sekali lagi aku punya harapan yang terkabul mendadak. Travelling sore-sore dari Bandung ke Jakarta, bulan Ramadhan. Parahyangan kayaknya, soalnya jam segitu Argogede pasti lagi dalam perjalanan berlawanan arah. Aku beli Chicken Katsu untuk buka puasa, duduk di seat, terus mulai bikin skenario lagi: kayaknya enak kalau orang di sebelahku itu orang Cina. Orang Indonesia keturunan Cina maksudnya. Biar bisa saling curhat tentang tragedi Jakarta yang sampai saat itu masih kerasaaa sekali. Biar bisa curhat bebas, enaknya orang itu bener-bener punya kesan mendalam (dalam arti negatif, tentu) tentang tragedi itu. Dendam kalau perlu. Garang juga oke. Harus cowok, soalnya cewek nggak terlalu bisa aku ajak talk bebas.
Trus nggak lama duduk lelaki tua. Keturunan Cina sih, tapi terlalu tua untuk bisa garang. Aku senyum aja: he-he, meleset dikit.
Nunggu … terus aku mulai basa-basi: “Duduk di sini, Pak?”
Dia senyum juga, “Di belakang. Tapi lagi diduduki tentara.”
Waktu itu setiap pintu gerbong dijaga dua tentara, dan mereka lagi istirahat. Aku berdiri, ngobrol sama si tentara, ngasih tau kalau yang punya seat udah ada. Mereka berdiri, dan nerusin ngobrol sebentar, sementara si bapak itu pindah.
Balik ke seat, bareng sama cowok keturunan Cina lagi, seumuran aku lah. Dan dia cuek duduk di sebelahku. Aku senyum lagi: yang ini rada pas kali. Ngobrolnya dari mana ya? Tau nggak dari mana? Aku komentarin HP-nya dia (Ericsson G688). Terus kita ngebahas HP. Terus tempat beli HP. Terus pertokoan yang dibakarin. Cepet kan?
Aku nggak akan nulis namanya di sini :). Dia tipikal temen bicara yang waktu itu aku harapin: cerdas, masih menyimpan luka dan dendam sama tragedi Jakarta, dan menyalahkan warga pribumi khususnya orang Islam dalam peristiwa itu. Aku cerita juga bahwa Islam tidak mentolerir kekerasan, apalagi ke warga sipil dan rumah-rumah ibadah. Dalam Quran, perang diperbolehkan justru untuk melindungi masjid, gereja, dan sinagog. Kalaupun terjadi perang, level kekerasan di dalamnya juga dibatasi: dilarang merusak rumah warga, dilarang merusak fasilitas umum, dilarang mengganggu orang yang tidak melawan, dll.
Diskusinya lama. Dan kayaknya nggak bakal muat masuk ke weblog. Kali aku bakal nulis cerita khusus soal diskusi ini. Nggak janji tapi.
Ujungnya, kita bisa saling ngerti. Trus jeda. Dia minum. Nyuruh aku berhenti puasa. “Nggak ada yang tahu kok” — katanya. Bales-balesan cela-celaan lah. Aku baca koran (punya dia kayaknya). Terus pramugari mengumumkan waktu maghrib dan membagikan makanan buat yang pesen. Makan bareng. Aku yang pakai chopstick tapi — Hoka-Hoka sih.
Ngobrol lagi. Dia cerita lagi belajar Bahasa Mandarin. Tuh kan. Tadinya aku pikir semua orang Cina yang masih berbudaya Cina bisa bahasa Mandarin. Ternyata dia di rumah berbahasa Taiwan. Dia ngasih tahu beberapa contoh. Aku tanya: tapi kan huruf kanjinya sama. Ada perbedaan, katanya. Soalnya ada modernisasi huruf kanji di RRC. Dia ngasih contoh. Tapi dia rada kaget waktu tahu bahwa aku bisa beberapa huruf kanji. Hobby di SMA, haha :).
Ngobrol lagi soal pekerjaan. Dia ngabur ke AS abis tragedi Jakarta. Jadi kasir, tapi gajinya lebih gede daripada waktu jadi manajer di Jakarta. Terus nanya kenapa tarif SLI dari AS ke RRC lebih murah daripada dari AS ke Indonesia. Aku cerita dikit tentang struktur network dan pembundelannya. Trus dia pamerin kartu telepon calling card berhuruf kanji, khusus untuk koneksi dari AS ke RRC. Sebagai kolektor yang baik, aku minta kartunya :). Abis tarik-tarikan, dia kasih salah satu kartunya.
Sampai Jatinegara, aku pusing berat — belum istirahat. Tapi puas bisa saling curhat dengan orang yang tepat. “Sampai ketemu ya”, gitu basa-basi kami. Nggak pernah ketemu lagi sih sampai sekarang. Tapi kartu telepon-nya masih ada.