Emang blogku isinya jadi terlalu serius ya? Sukurin, haha :). Yawdah … kali ini aku cerita tentang Mactan dan Cebu dari sisi yang lain :). Nggak dijamin lucu juga sih. Dua tahun ini aku cukup banyak melakukan travelling, baik buat Telkom, IEEE, atau lainnya. Jadi jalan2 gitu kayak udah nggak pakai persiapan lagi. Beli tiket pun dilakukan dalam beberapa menit, sambil break di Gegerkalong, ditungguin Dave, yang heran lihat di Indonesia ada Mastercard dari Royal Bank of Scotland. Abis itu, ada beberapa perjalanan lagi, bikin aku bener2 nggak sempat mempersiapkan perjalanan ke negeri yang ajaib ini.
Perjalanan dimulai pukul 00.30, dari Soekarno Hatta, dengan Cebu Pacific Air. Aku pikir jarang orang berangkat semalam itu, jadi aku santai aja. Tapi Mas Ary agak nervous, dan minta berangkat dipercepat. Jadi pukul 22.30 kami sudah di Soekarno Hatta. Antrian pendek dan dibagi tiga. Tapi … lamaaaa sekali. Hampir 1 jam habis di antrian pendek itu. Untuk aku sendiri, dihabiskan sekitar 15 menit, untuk bisa memperoleh boarding pass transit di Manila. Tapi, katanya, dengan boarding pass itu, aku tetap harus ambil bagasi dan check in ulang di Manila. Hah? Jadi dari tadi buat apa lama2 :). Trus mengurus bebas fiskal, kurang dari 1 menit. Imigrasi, kurang dari 1 menit. Aku stay dulu di salah satu executive lounge yang menerima Citibank Garuda card — soalnya bisa buat 2 orang. Pak Wahidin memilih ke lounge lain. Tak lama, kami pindah ke ruang tunggu, bareng2, padahal tanpa janjian :). Dan langsung boarding.
Aku udah mempersiapkan diri menghadapi low fare airlines macam ini. Tapi ternyata Cebu Pacific belum sekelas Air Asia, misalnya. Waktu pesawat menggelinding dalam proses taxi ke runway, udah kerasa ada yang ajaib. Bannya kempes, atau ada jalan berlobang di CGK? Dengan getaran kuat, Cebu Pacific melenting kuat ke udara Jakarta. Ah, lega, pesawatnya masih utuh. Dan aku memutuskan bobo. Capek. Aku bangun 3 jam kemudian. Di bawah tampak pulau2 dan lampu2. Nggak ada info apa2. Nggak ada majalah atau bacaan lain. Lalu diumumkan bahwa pesawat siap didaratkan di Neenoy, eh, Ninoy Aquino International Airport, Manila. Eh, miring2 sebelum mendarat. Bum, dia mendarat, dan langsung berguncang keras. Beneran bannya kempes kali. Di Indonesia nggak ada pendaratan seaneh ini.
Antrian imigrasi di NAIA panjang. Dan lama. Rupanya di CGK aku memang dipersiapkan merasakan antri gaya Filipina. Beda dengan di CGK atau Changi (SIN), di mana kita cuman perlu kurang dari 1 menit. Beberapa orang di belakangku nervous berat. Aku sih cuek. Lolos dari imigrasi, ambil bagasi (tanpa menunggu lagi — mungkin tas kami sudah berputar2 beberapa kali di sana), dan langsung ke tempat check in untuk penerbangan ke Cebu. Koper dititipkan kembali, baru cari sarapan. Berbeda dengan CGK dan SIN, kurs di money changer di NAIA seram. Aku gak jadi tukar duit ke Peso. Pinjam Peso ke Pak Wahidin. Serem di sini: mau makan harus ke kasir bawa peso. Kehidupan keras. Terminal Cebu Pacific di NAIA ini baru. Jadi belum banyak diisi tempat2 menarik. GPRS juga hilang :(. Penantian yang membosankan. Tapi akhirnya kami terbang lagi. Kali ini tanpa ban kempes. Menikmati indahnya pulau2 di Kepulauan Filipina dari atas. Dalam waktu 1 jam, pesawat mendarat di Mactan Cebu Airport. Huh, miring2 lagi.
“Minggir,” terdengar seorang awak bicara ke anak kecil, disusul kata2 asing. Hah? Itu bahasa Tagalog atau Cebuanos? Menunggu bagasi kali ini lama sekali. Dan terdengar kata2 lokal yang sekilas mirip Melayu juga. Kenapa di Manila nggak seajaib itu tadi? Ini negara menarik. Di mana2, segalanya dicetak dalam Bahasa Inggris, bukan bahasa lokal. Iklan2 sebagian besar dalam Bahasa Inggris juga — dan justru iklan2 baru yang berkilau yang menggunakan bahasa lokal. Taxi dispatcher berbicara dalam Bahasa Inggris ke kami; tapi waktu mereka saling bicara, terdengar nuansa Melayu, seperti “Ada di atas.” Heh, jangan2 memang orang Melayu. Atau Indonesia. Ragu. Orang Filipina, seperti Indonesia, juga exporter TKI. Taxi Bandara lebih mahal dari taxi luar, tapi jauh lebih baik. Dan kalau kita bicara tentang mahal, dia tetap tak lebih mahal dari Jakarta. Selain taxi, juga banyak Jeepney berseliweran, dengan tarif murah.
Kalau kita menutup telinga, rasanya kita masih di Indonesia. Perawakan, gaya berkomunikasi, dll, mirip kota2 di Indonesia. Tapi tentu nyaris tak ada yang pakai kerudung di sini. Buka telinga, baru kita sadar bahwa bahasanya berbeda :). Sinyal GPRS cukup baik, baik di Mactan maupun Cebu. WiFi diberikan gratis di hotel2, dengan kecepatan OK. Credit Card tak selalu diterima. Jadi, memang kita harus selalu bawa peso. Seram. Eh, tadi sudah.
Taxi di Cebu-Mactan menyeramkan. Mirip taxi Kota Kembang di Bandung: putih, bobrok, bau. Kabel seliweran. Drivernya menyetir ngebut dan seenaknya. Bedanya dengan di Bandung: driver angkot (Jeepney) pun menyerah atas kegilaan driver taxi di sini. Resort dan tempat2 yang dikelola untuk wisata keren sekali. Pasir putih kasar (tidak halus, jadi tak mengotori baju), pohon, dan petugas yang ramah. Di Imperial misalnya, kami nggak boleh jalan masuk, tapi diberi tumpangan mobil elektrik untuk berkeliling dengan guide yang sabar dan ramah. Gak bayar apa2, padahal kami bukan tamu yang menginap, dan mereka tahu kami menginap di hotel lain.
Oh ya … penerbangan dari Jakarta ke Cebu-Mactan itu tidak setiap hari. Jadi kami datang terlalu cepat. Jadi serasa punya hari libur. Jadi kami ke Cebu. Lihat mall juga, haha. “Silakan,” kata satpam di depan mall, sambil mengoperasikan detektor logam (Indonesia sekali kan?). Lihat2 souvenir, benar2 tak beda dengan di Indonesia. Bedanya, mereka nggak punya batik. Ada juga songkit (dengan huruf i). Penjaganya ramah. Kami berbincang panjang sambil melihat souvenir. Tapi dia sambil menyanyi, haha. Ke ATM, wow, antri panjaaang. Aku ke ATM, soalnya udah ogah ke money changer lagi. Ambil Peso dengan ATM Mandiri, tidak ada kesulitan sama sekali (selain antrinya panjang di semua ATM di mall itu). Ke toko buku, huh, bukunya Bahasa Inggris. Padahal aku mau cari buku “Pangeran Kecil” dalam bahasa Tagalog. (Mirip waktu ke Johor — aku nggak dapat “Pangeran Kecil” dalam Bahasa Melayu). Cari makan. Gilse. Baboy euh. Baboy mulu. Sea food akhirnya :). Trus ke Department Store, soalnya aku nggak punya dasi. Di Telkom udah nggak ada budaya pakai dasi sih, jadi udah nggak punya. Harganya sekilas tampak normal. Tapi kalau kita sempat mengkurs, baru kita sadar: murahnya bersaing dengan Bandung. Haha :). Hati2 nih orang Bandung. So, aku beli dasi kelabu dan ikat pinggang (punyaku sudah lama rusak, tapi masih dipakai terus). Nggak tergoda belanja — nunggu ke Bandung aja :). Hmm, padahal ada jaket keren.
Di luar mall, suasanya nggak jauh juga dengan Bandung. Ada becak (pakai motor tapi, kayak di Medan). Ada tukang jual makanan di lampu merah. Ada angkot penuh dempul. Dan ada orang2 ramah tamah di mana2 :). Cerita tentang Starbucks aku tulis di blog satu lagi. Dari mall, kami kembali ke Mactan, dan langsung ke Shangri-La, tempat IEEE Region 10 Meeting akan diselenggarakan.
Shangri-La terletak hanya beberapa menit jalan kaki dari Shrine of Magellan, tempat Fernao de Magalhaes tewas dalam upayanya yang gagal untuk menjajah Pulau Mactan. Malam itu IEEE belum menyediakan dinner; sementara makanan di Shangri-La mahal. Jadi kami dari Indonesia Section dan Malaysia Section bergabung cari sea food di dekat Shrine of Magellan. Ternyata masih mahal juga, haha. Abisan, yang dimakan malah lobster dan makanan unik lainnya. Tapi langsung dibayari pihak Malaysia, soalnya salah satunya adalah pejabat Region, yang biaya dinner-nya malam itu bisa dipertanggungkan ;).
Malam itu, sekalian kami mengadakan IEEE Comsoc Indonesia Chapter Special Meeting. Mumpun ketemu aja. Dua hari berikutnya adalah IEEE Region 10 Meeting, yang udah aku tulis di dua entry sebelumnya. Apa yang menarik ya? Ya, kita sambil kampanye tentang Indonesia juga, soalnya tahun 2011 kita sudah disetujui untuk menjadi tuan rumah TENCON di Bali; sekaligus mengajukan diri jadi tuan rumah Region 10 Meeting 2011 di Yogyakarta. Diskusi2 dengan delegasi2 negara2 lain, dan dengan officer baik IEEE pusat maupun Region 10. Dievaluasi juga aktivitas Section dan Chapter. Penanggungjawab Chapter2 agak kecewa bahwa di Indonesia tidak banyak Chapter yang aktif, selain Communications Society (Comsoc) Chapter. Juga dari Computer Society, didesak untuk segera membuat Computer Society Chapter di Indonesia. Aku juga ketemu officer dari Philippine Section. Mereka kecewa gara2 aku dan tim nggak sempat memberikan lecture di Manila beberapa hari sebelumnya. Sedih juga sih. Tapi aku kan masih punya kantor :D. Dia ngasih tawaran buat ngasih lecture lagi bulan2 ini. Mudah2an bisa. Laku juga ternyata orang Indonesia ngasih lecture ;). Mas pinalakas, mas pinalawak, haha :).
Acara belum sepenuhnya selesai waktu aku melejit lagi ke Mactan Airport, meninggalkan acara2 menarik (kunjungan sosial dan budaya) di Cebu. Aku mengejar pesawat ke Manila, lalu terbang ke Singapore untuk aktivitas yang lain. Pesawatnya masih miring2 aja setiap kali mau landing. Oh ya, dari dekat runway, aku lihat pesawat Cebu Pacific Air lain juga miring2 waktu mau mendarat. Sudah Standard Operation Procedure barangkali. Mudah2an nggak sering2 naik Miring Airlines itu.
Tapi, btw, aku sama sekali nggak keberatan kalau harus berkunjung lagi ke Filipina. Negeri yang menarik :). Sayangnya, sampai Indonesia, level kesehatan agak jatuh. Rada lelah dan kacau. Temen2 yang ketemu aku di Ignite pasti melihat hal yang sama :). Dan masih terasa sampai sekarang. Kurasa aku harus beristirahat dulu.