Page 58 of 210

Born to be Hanged

Tahun 1927, fisikawan Max Born menghadiri kongres fisika internasional di Como. Pada salah satu sesi, ia merasa bosan. Jadi, pada saat ruang digelapkan untuk memasang proyektor, ia memanfaatkan peluang untuk kabur melalui sebuah pintu. Di koridor, ia menengok kiri-kanan, khawatir ketahuan, dan menatap Rutherford di pintu yang lain, sedang menengok kiri-kanan juga. Rutherford tertawa, lalu berkata, “Kabur juga ya? Ke danau aja yuk!” Dan ke sana lah akhirnya mereka menghabiskan waktu berbincang tentang berbagai hal, dan mengawali persahabatan mereka.

Tahun 1933, di tengah gemuruh kebangkitan Nazi, Born didepak dari kursi keprofesorannya di Göttingen. Rutherford menyelamatkannya dengan mengirim undangan ke Cambridge. Born sendiri tidak pernah lupa bahwa keberuntungannya diawali sebuah kebetulan akibat kebadungan di Como. Maka berangkatlah Born ke Cambridge. Namun begitu mendarat, kaget ia bukan kepalang. Di stasiun terpampang poster “Born to be Hanged”. Ia baru tenang waktu ia baca lebih lanjut bahwa poster itu hanya iklan sandiwara di teater lokal.

Di Cambridge, ia menyempatkan diri bertemu JJ Thomson yang sudah tua. Jauh sebelumnya, di tahun 1906, Born pernah ke Cambridge bekerja untuk Thomson. Putra Thomson, juga fisikawan, membawanya ke ayahnya, dan berkata “Pak, ini mahasiswa yang duluuuu pernah belajar di sini.” Thomson tua menyambut dengan: “Apakabar? Lihat nih. Ini adalah spektrum dari …” dan perbincangan langsung ke arah riset, melupakan tahun-tahun yang berlalu dengan perang-demi-perang.

Namun akhirnya Born pindah lagi ke Edinburgh, dan menjadi profesor fisika di sana.

The Laughing Stars

Mais toutes ces étoiles-là se taisent. Toi, tu auras des étoiles comme personne n’en a… Quand tu regarderas le ciel, la nuit, puisque j’habiterai dans l’une d’elles, puisque je rirai dans l’une d’elles, alors ce sera pour toi comme si riaient toutes les étoiles. Tu auras, toi, des étoiles qui savent rire!

No dla vsekh etikh lyudei zvyozdy nemiye. A u tebya budut sovsem osobenniye zvyozdy. Ty posmotrishy nochyu na nyebo — a vedy tam budyet takaya zvezda, gde ya zhivu, gde ya smeyusy — i ty uslyshishy, chto vsye zvyozdy smeyutsya. I tebya budut zvyozdy, kotorye umeyut smeyatysya.

Hae autem omnes silent. Tu contra stellas babebis quales nemo habet…
Cum caelum nocte intueberis, quoniam in aliqua habitabo, quiniam in aliqua ridebo, propterea tibi omnes stellae ridere videbuntur. Tu stellas habebis risu praeditas!

Për shumicën gjithë yjet atje lart janë të heshtur. Kurse ti, vetëm ti, do të kesh yje që nuk i ka asnjë tjetër…
Në një prej atyre yjeve do të jetoj unë. Në një prej tyre unë do të qesh. Dhe kështu kur të soditësh qiellin natën, ty do të duket sikur gjithë yjet qeshin. Ti do të kesh yje që qeshin.

Aber alle diese Sterne schweiden. Du, du wirst Sterne haben, wie sie niemand hat… Wenn du bei Nacht den Himmel anschaust, wird es dir sein, als lachten alle Sterne, weil ich auf einem von ihnen wohne, weil ich auf einem von ihnen lache. Du allein wirst Sterne haben, die lachen können!

But for everyone the stars are silent. Except from now on just for you.
When you look up at the sky at night, since I shall be living on one of them and laughing on one of them, for you it will be as if all the stars were laughing. You and only you will have stars that can laugh.

Pero todas esas estrellas no hablan. Tú tendrás estrellas como nadie las ha tenido. Cuando mires al cielo, por la noche, como yo habitaré en una de ellas, como yo reiré en una de ellas, será para ti como si rieran todas las estrellas. ¡Tú tendrás estrellas que saben réir!

Exupéry: Pangeran Ketjil

The Stars Would All Go Out

If a picture paints a thousand words, Then why can’t I paint you?
The words will never show, The you I’ve come to know.
If a face could launch a thousand ships, Then where am I to go?
There’s no one home but you, You’re all that’s left me to.
And when my love for life is running dry,
You’ll come and pour yourself on me.
If a man could be two places at one time I’d be with you,
Tomorrow and today, Beside you all the way.
If the world should stop revolving, Spinning slowly down to die,
I’d spend the end with you, And when the world was through,
Then one by one, The stars would all go out,
Then you and I, Would simply fly away

Bahagia Pangkal Sehat

Beberapa link dari Google News menyampaikan paparan Dr Andrew Steptoe, seorang periset dari University College di London, yang menyimpulkan bahwa rasa bahagia membuat orang lebih sehat. Paparan itu menyampaikan bukti berupa hubungan hayati yang positif antara “positive sense of well-being” dengan peningkatan tingkat kesehatan wanita dan pria setengah baya. Paparan aslinya dimuat dalam “Proceedings of the National Academy of Sciences.”

“There’s a direct link between how we’re feeling and the biological processes which relate to illness and illness risk,” kata Dr. Steptoe. “Biology is going to be on the side of those people who are going to be in a more positive state of mind, and it may well stand these people in good stead for their future health.”

Tes telah dilakukan pada ratusan orang di Inggris selama beberapa waktu. Tiap peserta tes diberi beberapa percobaan, dan hidup dengan dimonitor, serta mengisi catatan harian. Hormon semacam kortisol juga diukur setiap dua jam oleh para peserta tes sendiri. Umumnya peserta tes mengakui bahwa kebahagiaan mereka tidak terpengaruh oleh jenis kelamin, status perkawinan, dan pendapatan.

Ini tentu sebenernya bukan berita besar. Sudah lama diketahui adanya link antara stress, kortisol, kekebalan, dan sebagainya. Tapi berita kayak gini memang perlu dimuat di semua koran dan weblog di seluruh dunia, kan? OK, kita teruskan.

“I can’t really prescribe how people should make themselves happier, because philosophers have failed at that for centuries,” kata Dr Steptoe. “But most of our sense of happiness seems to relate to having good relationships with family and friends, and that’s not something that can be maintained without some investment of effort, and keeping an appropriate balance. That balance, of course, is going to be different for different people.”

Dr. Albert Ray, koordinator peningkatan kesehatan di Kaiser Permanente Southern California di San Diego, menyampaikan: “I try to give people concrete things to do to help de-stress. Get a dog, get a cat, go out, play sports, go to their religious institution, do yoga, get married, have a relationship, go on a vacation, do things that can relax a person.”

Dia melanjutkan: “There’s no question that people with a positive attitude have lower blood pressure, suffer less illness, usually have lower cholesterol and better resistance to most infections. And when they do get sick, usually a positive attitude can result in shorter illness. And I think every doctor tries to tell their patient to get out and smell the flowers, go for a walk, read a book, and try and look on the bright side rather than have a negative outlook. It just seems sensible to reason. Even without being a doctor.”

Jadi? Berbahagialah. Jadi bahagia atau tidak itu keputusan Anda, bukan hasil karya lingkungan Anda. Dan kalau sudah bahagia, bersyukurlah; karena itu meningkatkan kebahagiaan Anda. Yeehaa!

Jenaka, Taqwa, Baik Hati

«Jadilah West yang jenaka, taqwa, dan baik hati.»

Gitu ditulis Papap sekian tahun lalu, waktu aku lagi dalam tahap pembentukan personality (sekarang tahap apa yach?). Papap suka nulis kalimat2 ajaib di dalam surat2nya, dan beberapa di antaranya sampai terbayang literatim verbatim di luar kepala. Mirip titah, yang memang nggak pernah dituntut, tapi menarik untuk dikejar. Dan cukup menarik, bahwa waktu orang tua lain pingin anaknya jadi pintar (biar dapat nilai tinggi, gampang cari kerja, dan cepat kaya), Papap pingin punya anak yang jenaka, taqwa, dan baik hati. Masih penasaran aku dengan urutan yang nggak lazim ini. Nggak kayak orang yang demen kategori dan kaku dalam birokras kan?

Beberapa tahun kemudian, waktu tekanan demi tekanan menempa diri, aku suka berbisik: «Pap, jenakanya udah. Taqwa sama baik hati mudah2n bisa menyusul.»

Papap sebenernya doyan berfilsafat, dan pernah jadi musuh yang menarik dalam diskusi filsafat (mind you, waktu2 itu aku nggak kenal nama Derrida atau semacamnya — Nietzsche udah yang paling modern). Kalau difilsafatin, sifat jenaka sebenernya mengacu ke kesukaan meletakkan pikiran dan perilaku secara out of frame. Dan yang menarik adalah bahwa diskursus kita, baik secara personal maupun kolektif, memang patut dipelesetkan. Dan dari situ kita melakukan penilaian kembali atas nilai-nilai. Barulah kita boleh berani memilih nilai yang jadi nilai kita dan kemudian tegak mengayuh hidup di atasnya. Dan pada sesi ini, baru kita jadi umat yang bertaqwa (bukan sekedar mengikut).

Dan baik hati? Ntar ah. Taqwa juga belum :).

Keracunan Obat

It was midnight. You tried to sleep. Badan mulai menggigil, tapi di sekitar tulang belakang terasa hangat. Ada yang terasa terus menerus ditarik dan dikontaksikan secara mikro. Dan kewaspadaan meningkat. Pikiran berputar ke segala penjuru dengan kelincahan luar biasa. If you think it is better to get up and do some creative things, think it again. Badan nggak bisa diangkat. Tekanan darah langsung drop. Dan nyaris nggak ada energi untuk benar-benar menegakkan badan. Ini semua efek sekumpulan obat yang dimaksudkan untuk melawan radang ringan. Mirip bom napalm yang dijatuhkan pemerintah AS untuk melawan para petani Vietnam.

Trus matahari terbit. Aku bangun masih tanpa energi. Dan betul-betul baru bisa berdiri lebih dari 5 menit jam 15.00. Dan aku kehilangan emosiku. Datar. Tanpa kekhawatiran, keceriaan, keinginan. Aku jadi Cyborg. Hidup hanya dengan pikiran.

Tapi apa sih jadinya kalau manusia hidup hanya dengan pikiran? Apa terus jadi mesin ekonomi? Nggak juga sebenernya. Yang sering bisa dipikirkan adalah life improvement dengan breakthrough yang realistik, dengan motivasi pribadi yang lebih bisa ditekan. Dan yang paling menarik adalah, kita menikmati jadi jujur tanpa khawatir. Jeleknya, kita kadang tampak temperamental tanpa bener-bener temperamental.

OK, dan suatu hari si emosi terbit lagi. Dengan otak yang masih mendendam sama mesin ekonomi raksasa, berupa realitas sosial yang dipaksakan, yang kadang bernama negara, hukum, atau agama.

Kenapa, misalnya, kita harus mengalirkan uang. Apa yang terjadi kalau Wagner harus bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam mencacahi pemasaran minyak bakar? Maksudku apa yang terjadi dengan dunia? Bukankah kita semua akan kehilangan salah satu mahakarya musikal terindah, dan terpaksa hidup dengan musik kampungan kayak Peter Pan? Dan apa Wagner harus disalahkan bahwa untuk menyusun mahakarya semacam itu dia harus terus menumpuk hutang untuk membiayai hidup?

Jadi biarlah semua uang di dunia diambil para pengagum uang (sekutu Anne Ahira masih terus membanjiri web ini dengan spam — persetan dengan mereka). Dan biarlah kita sisanya menertawai ketamakan mereka, lalu mengambil hal2 indah yang tersebar di dunia dan di antara hati-hati kita. Anda, para sahabatku, adalah sahabat, bukan prospek, bukan konsumen. Good businessman menjadikan konsumen menjadi sahabat. Evil businessman menjadikan sahabat jadi prospek dan konsumen. Hell to them. Hell juga untuk para rentenir yang mengejari Wagner dan Cosima, dan membuat kemanusiaan agung mereka jadi tercemari sifat antisemit. (Aku nggak punya keantian pada bangsa Yahudi, tapi entah kalau aku jadi Wagner yang tiap hari keluarganya dimaki-maki, dikejar-kejar, dan diteror rentenir yang di masa itu 90%-nya adalah orang Yahudi).

Hey, lucu kan apa yang dipikirkan dari sebuah melankoli yang masih merupakan efek obat yang masih tersisa. Nggak, obatnya nggak aku minum lagi. Mudah2an tulisan macam gini nggak akan kelihatan lagi di web ini.

L’Essentiel

The fox to the prince: «Voici mon secret. Il est très simple: on ne voit bien qu’avec le coeur. L’essentiel est invisible pour les yeux.»

The Prince to himself: «Aussi, le plus beau n’a pas pu être capturé par des appareils-photo. Le plus impressionnant n’a pas pu être écrit sur le weblog.»

φ, si Bilangan Emas

Bilangan Fibonacci diambil dari deret 1, 1, 2, 3, 5, 8, 11, dst, di mana suku ke n merupakan jumlah dari n-1 dan n-2. Konon zaman dahulu orang mau mencoba menyusun formula deretnya, yaitu untuk menentukan suku ke n, tanpa harus menghitung ulang dari 1 sampai n. Sampai sekarang konon formulanya belum ditemukan.

Yang menarik dari bilangan Fibonacci adalah bahwa rasio antara bilangan n dan n-1 dapat dihitung. Biarpun bentuknya tidak asimtotik (alih-alih lebih mirip gelombang teredam), dia memiliki nilai akhir yang terus didekati. Dan nilai finalnya tentu adalah sebuah bilangan x, di mana selisihnya dengan 1/x adalah tepat 1. Dengan kata lain, x-1=1/x. Atau x²-x-1=0. Dan dengan x=-b±√ (b²-4ac)/2a, kita peroleh x=½(√ 5+1). Atau 1,6180339887. Ini disebut sebagai bilangan emas, dinotasikan sebagai φ

Tapi kalau aku yang jadi penemunya, aku lebih suka menamai φ sebagai 1/x itu, yaitu 0,6180339887. Jadi angka 61803399 bisa dijual jadi nomor cantik.

φ sering nampak sebagai fenomena yang seolah-olah luar biasa (sebenarnya memang semesta itu luar biasa, tetapi jadi relatif biasa saja kalau dibandingkan dengan apa pun yang ada di dalam semesta sendiri). Banyak bagian dari semesta yang bertumbuh (ataupun meluruh) dengan deret Fibonacci: berkembang dari yang telah ada. Maka dalam jumlah sel yang besar (baik sel hidup maupun ‘sel’ tidak hidup), banyak rasio-rasio di dalamnya yang merupakan rasio dua bilangan Fibonacci serial tinggi, yaitu φ itu. Cangkang kerang bisa dijadikan permulaan. Kemudian telur. Dan bagian-bagian tubuh manusia sendiri.

Di salah satu serial ilmiah BBC, berjudul Face (lagi didiscount gede-gedean di swalayan terdekat), Leonardo Da Vinci palsu memanggil Lisa. “Hai Lisa, kemarilah, biar kulihat wajahmu.” Lalu dia sibuk mengukur lebar mata, hidung, mulut, pipi, dan lain-lain, dan melakukan perhitungan rasio-rasio di selembar papan tulis kecil; dan akhirnya dengan penuh kekaguman ia berseru, “Lisa, ternyata kamu cantik sekali!” sambil terus melihat hasil hitungnya di papan: φ. Lalu jadilah lukisan Mona Lisa.

Dokter bedah wajah (bukan palsu) yang jadi narasumber di situ yakin bahwa kecantikan kuantitatif memang bisa diukur dengan rasio-rasio Da Vinci itu. Dan sifatnya universal. Jadi kalau mau menguji apakah wajah Anda cantik, sila beli CD itu. Tapi perhatikan bahwa yang diukur adalah kecantikan kuantitatif.

Kawan Sofyan

«Tapi siapa yang memberi hak untuk memilih? Sistem kapitalis sekarang tidak adil tuan. Tidak akan pernah adil. Tuan pernah baca buku Naomi Klein yang sampulnya hitam dan judulnya tertulis no logo? Tidak.. tidak.. saya tidak menyalahkan tuan. Saya hanya ikut nyeri saat si rambut kusut menggigit kue sisa bersama laler dan tikus yang ngintip diantara tumpukan sampah. Jadi beruntunglah tuan jika masih bisa memilih. Sebab pilihan, di jaman ini, sangat tergantung berapa kapital yang kita miliki, dalam dompet, bank ataupun bentuk kapital lainnya. Jadi, siapa yang memberi hak untuk memilih.. Oh.. jangan menuduh saya sosialis. Apalagi dengan sufiks kiri.»

Abis menonaktifkan fade2bl.ac, Ahmad Sofyan memilih menggunakan tool weblog rakyat jelata (non-geek), yaitu blogger (yang juga aku pakai untuk weblog ini), dan memilih nama salah satu makanan favoritku untuk nama weblognya. So, kawan-kawan, inilah dia: somay.blogspot.com.

Kalau ada cukup leisure time (lagi langka nih), mungkin kita bisa menelaah (gubrak), kenapa beberapa kawan aku suka bener pakai nama makanan untuk jurnal mereka. Sebelum somay, kita kenal pangsit punya Harry Sufehmi, yang konon dipakai gara2 nama bakso diambil orang duluan. Kelaparan bener sih kalian?

Sekilas sejarah. Kawan Ahmad Sofyan diperkenalkan kawan Harry Sufehmi pada penulis tatkala musim semi mulai mengasuk udara Coventry di tahun 2001. Waaa, bahasanya, kacawww. Itu via mail doank. Trus kita ketemu bareng2 di pengajian Birmingham (sama Harry sekalian, yang ternyata sebelumnya pun belum pernah ketemu di daratan). Malam2, kita menyempatkan diri ngabur dari masjid, cari kebab di … di mana sih Har? Sekitaran Aston gitu bukan?

Last physical meeting dengan Sofyan, kalaw ingatanku tak berkhianat, adalah di Edinburgh. Aku woro2 ke banyak temen, mau jalan ke Skotlandia; tapi yang berminat bergabung cuman Sofyan dari London dan Fajar dari Birmingham. Dan kita ketemu di Edinburgh, sarapan telor sambil cuci muka setengah mandi di McD, dan berkeliling sampai ke sebagian kawasan highland. Lucu ya, selalu triumvirat, dan orang ketiganya harus orang Birmingham :).

So, mumpung Harry di Jakarta, Fajar di Jakarta, dan entah mau impor orang Birmingham yang mana lagi … gimana kalau kita bikin acara, Kawan Sofyan.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑