Page 38 of 209

Tuan Juru Bayar

William E Barret berkisah tentang para teknisi muda di pabrik gas di Mexico. Pekerjaannya meliputi juga administrasi. Termasuk membayar gaji para buruh. Dan tak lama, mereka jadi dinamai Tuan Jurubayar.

Para buruh orang lokal Mexico. Mereka dibayar dua kali per bulan. Absurd: siapa yang bisa menjaga uang agar tak habis dalam 15 hari? Menyimpan uang lebih dari tiga hari, Anda sudah jadi si kikir. Dan, Senor, mana ada darah kikir dalam pembuluh darah orang Spanyol? Jadi, mereka mulai suka meminta uang muka gaji setiap tiga hari.

Tapi keuangan kantor tidak boleh ikutan berantakan. Maka orang kantor pusat membuat kebijakan baru: Buruh dilarang mengambil uang muka, kecuali ada keadaan darurat. Para buruh mulai tegang. Dan esoknya terjadilah bencana. Para istri jadi pada sekarat. Dan ada wabah berbahaya di kalangan anak2. Dan karena para teknisi tidak digaji untuk memeriksai kehidupan pribadi para buruh, maka uang muka pun dikeluarkan. Hanya sekarang dengan keterangan “situasi darurat.”

Situasi semacam itu tidak membuat kantor pusat semakin baik. Maka mereka membuat peraturan baru: Dalam keadaan apa pun, uang muka tak dapat diberikan. Maka para teknisi harus tega mengabaikan para istri, bibi, dan sepupu yang sekarat. Akibatnya, para buruh bertindak keras. Mereka minta keluar. Tentu dengan pesangon. Keadaan sempat kacau, karena sejumlah besar buruh keluar. Tapi kekacauan dapat dihindari, karena para buruh itu kembali mendaftar kerja lagi esok harinya. Sampai uangnya habis. Kemudian keluar lagi.

Administrasi kantor pusat makin kacau. Selain mengurusi uang yang tak kunjung beres, sekarang mereka direpoti administrasi penerimaan dan pengeluaran buruh yang luar biasa. Kalau ada yang terlambat melakukan pencatatan, maka Garcia bisa terdaftar bekerja 2-3 kali, sebelum surat keluarnya dicatatkan. Tak mau menyerah, para pemimpin membuat kebijakan baru: Karyawan yang keluar tidak dapat masuk kembali dalam waktu 30 hari.

Buruh2 panik. Tapi mereka perlu uang. Dan tetap berkeras untuk keluar demi uang pesangon. Di luar bayangan, mereka tetap antri melamar kerja esok harinya.

“Garcia, kau tahu sendiri: kau tidak boleh mendaftar kerja sampai bulan depan.”
“Tapi, Senor, ada kekeliruan. Namaku Manuel Hernandez.”

Begitulah, semua buruh hari itu jadi punya nama baru. Gonzales jadi Carrera. Hari2 berikutnya, mereka terus berubah nama. Dan karena makin hari makin sulit memilih nama, mereka asal comot nama dari mana saja. Semua tokoh sejarah sudah masuk ke dalam daftar buruh di pabrik gas itu: Lopez dan Obregon, Villa, Diaz, Batista, Gomez, hingga San Martin dan Simon Bolivar sendiri.

Maka akhirnya kantor pusat mengeluarkan peraturan paling akhir: Semua Peraturan Dicabut. Dan begitulah akhirnya Tuan2 Juru Bayar itu meneruskan pekerjaannya dengan tenang.

Peci

Secangkir (segelas besar –red) kopi Sumatra hangat (sangat panas –red) membuka pagiku. Badan kubasuh habis sambil kafeinnya mulai masuk ke darah (jiwa-jiwa pecandu –red). Batik coklat berlengan pendek kukenakan. Dan peci Aceh. Peci :). Aku biasanya nggak suka penutup kepala, tapi peci ini nyaman sekali. Kalau yang pakai tokoh macam Soekarno, benda ini bikin wajah jadi sangar. Kalau aku yang pakai, kenapa malah jadi tampak beradab?

Dulu, upacara bendera itu jadi semacam gangguan bulanan. Mengganggu produktivitas. Tapi setelah dilakukan setahun sekali, ini jadi hal yang ditunggu2. Mendengarkan Pembukaan UUD, yang syukurnya belum diamandemen. Pembukaan ini bikin kagum. Tata penyusunan bahasanya menunjukkan bahwa teks ini dibuat sebelum kaum2 half-educated menguasai media massa dan birokrasi seperti saat ini. Disusul mendengarkan pengarahan EGM. Beliau memiliki gaya ketegasan yang menarik. Sayang beliau sebentar lagi pensiun. Lalu ditutup dengan mendengarkan lagu-lagu mars (dasar Wagnerian –red).

One fine day, aku pikir. Aku berencana menghabiskan satu hari di kantor. Memberikan sentuhan manusiawi pada hal2 yang selama ini dikebut dikejar tenggat waktu. Bukan maniak kantor sebenernya, tapi memang kebagian piket hari ini :). Tapi gagal. Aku malah harus ke Jakarta. Peci Aceh yang masih aku kenakan harus disimpan kembali.

Well, setidaknya, aku sempat menikmati sebuah kebanggaan jadi Bangsa Indonesia pagi ini. Mudah2an di pagi2 yang lain. Aku bangga bangsa ini.

Bote

“Setia hingga akhir dalam keyakinan,” itu ada tertulis di kitab di tangannya. 24 tahun hanya ia hidup, sebelum ia biarkan kekejaman mencerabut hidupnya. Ia Bote, dan dunia mengenang nama panjangnya: Robert Wolter Monginsidi.

Lahir di Manado, dan mulai bekerja sebagai guru di Luwuk Banggai, serta tumbuh rasa kebangsaannya. Menyaksikan kembalinya pasukan Belanda ke tanah airnya, ia membentuk induk organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi) pada Juli 1946, dan terpilih sebagai sekjen.

Keberanian, kecerdasan, dan pembawaan diri Bote membuatnya makin disegani dan dipercaya memimpin aksi-aksi pertempuran melawan tentara Belanda di dalam dan di luar kota. Taktik dan strateginya mencengangkan dan meresahkan pihak Belanda. Bote sempat tertangkap, tapi mampu melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur. Maka Belanda menjalankan taktik khasnya: penyuapan dan pecah belah. Iming2 uang ditawarkan bagi rakyat yang bersedia mengkhianati Bote. Dengan cara itu, Bote akhirnya tertangkap, dimasukan ke tahanan di Kiskampement Makassar dengan tangan dan kaki dirantai dan dikaitkan di dinding tembok, dan kemudian dijatuhi hukuman mati.

Di dalam sel, Bote membuat catatan-catatan:

  1. Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.
  2. Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada, dan juga jangan tinggalkan kepercayaan teguh pada Tuhan.Kasih Tuhan mengatasi segala-galanya.
  3. Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih tahu berdiri sendiri. Belajarlah melipat kepahitan! Belajar mulai dari 6 tahun, dan jadilah contoh mulai kecil sedia berkorban untuk orang lain.
  4. Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja yaitu roh “setia hingga terakhir pada tanah air” dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.
  5. Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apapun tidak membelenggu jiwa.
  6. Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata, dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai: Indonesia.
  7. Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan dating. Saya penuh percaya bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.
  8. Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh kali. Jika tidak bisa bangun berusahalah untuk duduk dan berserah kepada Tuhan.

Di luar sel, dunia sedang berubah. Secara sepihak, Belanda mengkhianati perjanjian Renville dan menduduki Yogyakarta. Tapi dukungan dari dunia memaksa Belanda kembali ke meja perundingan, yang kemudian dipimpin oleh Dr Roem dan Van Roijen. Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Indonesia, yang dijadwalkan akan dilakukan pada akhir tahun 1949.

Namun di Makassar, perundingan yang sudah mencapai final itu tidak menyurutkan niat pembesar Belanda untuk membunuh Bote. Pada 5 September 1949, Bote dihadapkan pada regu tembak. Ia menolak ditutup matanya. “Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku. ” Lalu ia memekikkan “Merdeka!” dan delapan butir peluru dimuntahkan ke tubuhnya: dada kiri, dada kanan, ketiak, pelipis, pusar.

24 tahun ia waktu itu. Namun semangatnya tak pernah dapat dimatikan.

Nadine

Aku pernah nulis candaan tentang English. Tokohnya Wakidjan, Tukidjo, dan Nadine. Nama Nadine sendiri sering aku pakai sebenernya, bergantian dengan Valerie. Keduanya diculik dari satu buku pelajaran bahasa Prancis. Nggak lama, tulisan itu pindah dari weblog ke milis2. Tentu tanpa menyebutkan sumbernya. Dan pindah ke weblog2 lagi. Dan kemudian versi modifikasinya. Coba saja cari kata Wakidjan di Google. Versi asli sendiri sudah dihapus dari weblog ini :).

Dan cerita tentang Nadine memang jadi harus nyambung tentang berbahasa Inggris di kala gugup. Waktu baru semingguan di Coventry, aku pernah berpresentasi tentang sistem telekomunikasi di Indonesia. Karena kekuatan ekonominya juga masih perlu didukung, aku bilang: “we need to attack new investors.” Trus aku diam. Rasanya ada yang salah. Temen2 dan si dosen juga diam. Sekitar setengah menitan, baru aku bisa mengkoreksi: “I mean, we need to attract new investors.”

Berkomunikasi dengan gugup memang sering jadi ciri khasnya aku. Aku pikir, waktu diikutkan managerial assesment bulan lalu, soal ini akan dijadikan point “opportunity for improvement” — krama inggil untuk “weakness.” Tapi ternyata nggak. Dalam feedback pagi ini, aku dibilang sangat efektif. Excellent. Hey, thank you. Cuman ada dua point yang harus aku perhatikan. Pertama, aku cenderung menarik diri waktu berhadapan dengan profil dominan. Aku harus meluruskan, sebenernya. Temen2 diskusi di zaman Isnet pasti tahu bahwa aku justri lebih senang mendebat tokoh2 yang dianggap dominan. Yang jadi masalah sebenarnya bukan soal dominan, tapi aku harus menilai efektivitas komunikasi juga kan. Salah satu prinsipku adalah “Never argue with morons” — yang menjelaskan kenapa aku kadang malas mengomentari hal2 yang aku pikir terlalu bodoh untuk dikomentari.
Trus yang kedua …
Maaf, bersambung.

Alfred Wight

James Alfred Wight sering disebut orang sebagai dokter hewan asal Skotlandia yang berpraktek di Inggris. Sebenarnya, Alf adalah orang Inggris, lahir di Inggris, dan memiliki orang tua Inggris. Ia lahir di Sunderland, Inggris Utara, lalu tumbuh di Glasgow, Skotlandia, hingga lulus kuliah. Tidak terlalu brilian, kata dosennya, tetapi memiliki daya juang luar biasa.

alfwight.jpgAlf lulus menjelang PD II, saat ekonomi tak terlalu baik, dan dunia peternakan sedang kolaps. Banyak dokter hewan menganggur dan terpaksa menawarkan diri bekerja sekedar bertahan hidup. Tapi ia beruntung. Donald Sinclair, seorang dokter hewan yang eksentrik dari Thirsk, York, secara tergesa menerimanya sebagai asisten, karena beberapa hari kemudian ia ke RAF untuk menjadi penerbang sukarelawan. Donald tak lama di RAF, dipulangkan karena terlalu tua :). Berpraktek berdua, ia merasa memerlukan mobil tambahan, dan membeli mobil bekas di Glasgow. Alf diminta mengambil mobil itu, sekaligus menjemput adik Donald: Brian Sinclair. Brian juga eksentrik, tapi di sisi yang berlawanan dengan Donald. Ia nyaris tak pernah menseriusi apa pun dalam hidupnya. Bertiga, mereka mengarungi ketradisionalan dunia peternakan di Yorkshire, dalam hidup yang sangat berat namun sekaligus sangat indah.

Alf, barangkali adalah contoh Wagnerian yang membumi. Masa mudanya dihabiskan untuk hidup di lapangan, di lumpur, di salju, di ujung tanduk sapi, kaki kuda, lubang kotoran babi. Sekaligus ia mencoba menikmati hidup dengan musik yang indah, dengan perjalanan ke kota kecil bertoko buku serta ke lereng2 bukit, dan dengan bacaan yang menantang intelektualism. Sekian puluh tahun bekerja, ia baru sadar bahwa yang ia kumpulkan tak lebih dari £20. Pun di masa itu, nilai ini sungguh mengenaskan untuk orang yang bekerja keras hingga malam dan kadang menembus batas akhir pekan, selama puluhan tahun.

Maka ia memutuskan untuk menulis sebuah buku. Itu Inggris akhir tahun 1960an, bukan masa kini dimana setiap detik terbit sebuah teenlit. Perlu beberapa tahun dan beberapa revisi mayor untuk membuat buku semi biografi itu dapat diterbitkan. Juga, mengikuti kode etik RCVS dan BVA yang melarang setiap dokter hewan melakukan reklame, maka ia mengubah nama2 tokoh dan tempat di bukunya. Kota Thirsk menjadi Darrowby. 23 Kirkgate menjadi Skeldale House. Ia sendiri mengambil nama James Herriot. Dan dua orang unik yang menjadi sentral cerita, Donald dan Brian, diberinya nama dari dua tokoh opera Wagner yang tentu saja powerful tetapi memiliki karakteristik yang berbeda: Siegfried dan Tristan.

If Only They Could Talk. Buku itu segera menjadi bestseller, dan tak lama menembus pasar Amerika. Bestseller selama berbulan-bulan, buku ini menjadi fenomena tersendiri. Daerah Yorkshire — yang tadinya terasing dari orang asing — menjadi salah satu tujuan favorit wisata orang Amerika. Bidang kedokteran hewan kebanjiran peminat dari kalangan mahasiswa baru. Sekuel kisah James Herriot ditulis hingga tahun 1980an, hingga Alf mendapatkan penghargaan OBE dari Ratu Inggris (penghargaan yang juga diperoleh Stephen Hawking, Wagnerian yang lain). Alf juga menjadi anggota kehormatan RCVS dan BVA, atas jasanya meningkatkan apresiasi masyarakat atas dunia kedokteran hewan.

Gramedia sempat menerbitkan terjemahan buku ALf pada tahun 1976. Seandainya Mereka Bisa Bicara. Sayangnya, penerbit ini tidak berminat menerbitkan sekuelnya. Entah kenapa. Kalau kekurangan tenaga penerjemah, aku lebih dari bersedia kok.

OK, udahan deh sekuel tentang para Wagnerian. Masih banyak sih Wagnerian lain. Nietzsche misalnya. Tapi udah dulu deh. Kalau doyan Wagner, bergabung aja ke friendster.com/wagnerian.

Bernard Shaw

The Perfect Wagnerite: A Commentary on the Niblung’s Ring — adalah interpretasi oleh Bernard Shaw atas karya terbesar Wagner, Der Ring des Nibelungen. Shaw menyusun tulisan ini bagi para penggemar Wagner yang tidak dapat mengikuti ide2nya, dan bahkan tak dapat memahami dilema Wotan.

“The reason is that its dramatic moments lie quite outside the consciousness of people whose joys and sorrows are all domestic and personal, and whose religions and political ideas are purely conventional and superstitious. Only those of wider consciousness can follow it breathlessly, seeing in it the whole tragedy of human history and the whole horror of the dilemmas from which the world is shrinking today.”

Tulisan ini disusun waktu Shaw berada di Fabian Society, sebuah organisasi yang didirikannya bersama beberapa rekannya, dengan tujuan mengubah Inggris menjadi negara sosialis melalui legislasi sistematis dan pendidikan masyarakat. Fabian Society ini konon memiliki pengaruh dalam pembentukan baik London School of Economics (LSE) dan Partai Buruh.

Shaw sendiri, biarpun dikagumi karena kecerdasan sekaligus kesinisannya, sering dimaki sebagai tidak jelas. Beberapa opininya membuat orang berprasangka bahwa ia memiliki simpati pada Stalin dan sekaligus Hitler dan sekaligus IRA. Kalau ini kurang ribet, ia juga pengagum Muhammad (saw). Katanya tentang Muhammad (saw): “He must be called the Savior of Humanity. I believe that if a man like him were to assume the dictatorship of the modern world, he would succeed in solving its problems in a way that would bring it much needed peace and happiness.”

Bernard Shaw sendiri lahir di Dublin (Irlandia, wilayah katolik) dari keluarga Protestan Skotlandia. Kemudian ia pindah ke London, meniti karir jurnalistik sambil menulis novel dan kemudian drama. PD I disebut Shaw sebagai bangkrutnya kapitalisme, yang dianggap merupakan erang nafas terakhir dari imperialisme abad ke-19. Saat ini lah ia mulai disebut2 sebagai “pengkhianat” :).

Namun justru kemudian ia memperoleh Nobel Sastra 1925, untuk dramanya “Saint Joan.” Mungkin kita ingat bahwa tokoh cerita ini, yaitu Joan of Arc, adalah pahlawan Perancis yang akhirnya dihukum bakar oleh orang2 Inggris. Aku beberapa kali pingi nulis soal Joan, tapi belum mulai2 juga :). Shaw juga memperoleh Academy Award di tahun 1938 untuk Best Screenplay untuk “Pygmalion.” Hingga kini, ia satu2nya orang yang memperoleh kedua penghargaan itu sekaligus.

Shaw meninggal tahun 1950, karena jatuh dari tangga. Bukan, ini bukan kiasan.

Stephen Hawking

Stephen Hawking punya web: hawking.org.uk. Di situ Rosie Waterhouse menanyai sang profesor: “What sort of music do you like and why?” Hawking menjawab, “I mainly listen to classical music: Wagner, Brahms, Mahler etc., but I like pop as well. What I want is music with character.” Di salah satu bukunya, Hawking juga bercerita tentang Wagner. Khususnya Die Walkure. Ini, dia bilang, adalah musik yang paling gelap sekaligus paling megah.

Saat wawancara oleh Larry King, Hawking mengatakan: “It was in 1963 that I first developed an interest in Wagner. I had just been diagnosed as having ALS, and given a distinct impression I didn’t have long to live. I regarded Wagner as music that was dark enough for my mood. My mother bought me tickets to go to the Wagner festival at Bayreuth. It was magic. His personal use and conduct were pretty objectionable. But his music, though sometimes pompous and long-winded, reaches a level no one else does.”

Hawking adalah Lucasian Professor of Mathematicks di Cambridge. Ini barangkali jabatan paling bergengsi di dunia akademis :), yang pernah diduduki a.l. Paul Dirac, Charles Babbage, dan Isaac Newton. Pada salah satu episode Star Trek, Lt Commander Data menjadi android pertama yang menduduki posisi ini. Hawking mendalami fisika teoretis, khususnya kosmologi dan gravitasi kuantum. Dan tentang ini kita tidak bisa menulis di satu artikel singkat, tapi harus satu website tersendiri :). Ia jadi selebriti setelah bukunya, A Brief History of Time, yang ditujukan bagi pembaca awam itu, terus menerus menjadi best seller di seluruh dunia. Kemudian ia menulis lagi The Universe in a Nutshell.

“If we do discover a complete theory of the universe, it should in time be understandable in broad principle by everyone, not just a few scientists. Then we shall all — philosophers, scientists and just ordinary people — be able to take part in the discussion of why it is that we and the universe exist. If we find the answer to that, it would be the ultimate triumph of human reason. For then, we would know the mind of God.”

Hawking masih tinggal di Cambridge. Dan entah sengaja atau tidak, suka menunjukkan bahwa dirinya tidak powerless. Bercerai dengan istrinya, dan langsung menikah lagi (pada saat ia tak dapat lagi bergerak — bicara pun harus dengan pensintesa suara). Bertaruh dengan Kipp Thorne tentang singularitas, dengan taruhan majalah sekelas Penthouse. Menyatakan diri tidak memerlukan Tuhan — mungkin sekaligus menyindir bahwa orang suka dekat2 Tuhan kalau sedang dalam kekurangan dan kelemahan.

King: What is that inner thing that keeps you going?
Hawking: Curiosity

Edward Said

Putus asa aku mengamati jadwalku, malam itu, sekitar 5 tahun lalu. Nggak ada harapan untuk melihat presentasi Edward Said di Warwick University — hanya 15 menit jalan kaki dari kamarku. Sedih, hmm. Tapi aku kasih tahu ke beberapa teman, barangkali mereka berminat datang. Reaksi Adnan khas sekali: siapa itu Edward Said? Dan Khaldoun harus menjelaskan ke dia, sambil aku fade off.

Edward Said, selalu membuat aku berpikir tentang keterasingan. Seperti aku yang nggak pernah diterima dalam komunitas sukuistis di mana pun, terutama Jawa dan Sunda. Said tidak pernah merasa at home di negeri mana pun. Keluarga Palestina, tumbuh di Mesir, dan akhirnya tinggal dan menjadi profesor di Columbia, AS. Punya nama depan yang diambil dari nama pangeran Inggris, serta nama keluarga yang Arab nian, makin mengokohkan keterasingannya.

Di AS, Said tak pernah melupakan Palestina. Sebagai cendekiawan kelas dunia, ia terus menyuarakan keprihatinan atas Palestina. Bahkan ia sempat duduk di Dewan Nasional Palestina. Cita2nya bukanlah menghabisi orang Yahudi, tetapi melumpuhkan kekuatan militer Israel dan mendirikan negara demokratis non apartheid non rasialis di bumi Palestina, berisikan orang2 Yahudi, Kristen, Islam, dan agama mana pun. Sikap itu makin mengokohkan keasingan Said. Orang2 zionist menudingnya sebagai musuh berbahaya yang berhasil menyusup di tengah kaum cendekia Amerika, dan cenderung menggagalkan upaya misinformasi internasional mereka. Sementara orang2 Arab memakinya karena ia tak hendak mengusir orang Yahudi.

Said dipecat Arafat dari Dewan Nasional Palestina, karena sikapnya menolak perjanjian damai Oslo. Kenapa orang seperti Said menolak inisiatif damai? Said yakin, ini penipuan. Arafat tidak membaca seluruh naskah, selain beberapa pasal yang mengamankan posisi dirinya sendiri; dan ia dikelilingi veteran perang yang tak paham hukum serta tak mahir berbahasa Inggris. Setelah perjanjian, Arafat baru sadar bahwa tak satu pasal pun yang menyatakan adanya negara Palestina yang diakui.

Setelah kemenangan Hizbullah memaksa mundur pasukan Israel di Libanon Selatan, Israel membuat buffer berupa lahan kosong belasan kilo sebagai zona pengaman antara Israel dengan Libanon. Orang Arab suka melempar batu ke arah Israel. Tentu itu simbolis. Tak ada orang atau bangunan apa pun yang bisa kena. Tapi waktu Said berkunjung ke sana, ia becanda dengan beberapa pemuda, dan berlomba melempar batu sejauh mungkin. Foto Said sedang melempar itu dipasang sebagai headline di media-media AS, dengan seruan untuk memecat Said dari Columbia serta mengusirnya. Pimpinan Columbia University acuh.

Selama insiden itu, Said sedang mempersiapkan paparan di Lembaga Freud di Wina. Akibat ancaman orang2 zionist, pimpinan lembaga membatalkan paparan itu. Namun akhirnya Said diundang untuk memaparkan tulisannya itu di London, 2003. Temanya, sekali lagi, tentang keterasingan: Freud dan orang-orang bukan Eropa. Hal2 yang Said paparkan mungkin memang bikin marah orang Israel, yang akhir2 ini tengah mencari bukti2 arkeologis untuk memvalidasi keberadaan entitas itu di bumi Palestina. Said justu memaparkan bahwa konsep monotheisme orang Yahudi diambil Musa dari orang2 Mesir, bukan dari tradisi Ibrahim hingga Yusuf yang sementara itu sudah hilang. Nama tuhan sendiri, Yahweh, diambil para pengikut Musa itu dari suku Arab Midian di sekitar Sinai.

Said sendiri mempunyai beberapa sahabat Yahudi. Daniel Barenboim, salah satunya. Barenboim tak kalah asingnya :). Dia adalah minoritas conductor Yahudi yang gemar memainkan simfoni dan bahkan opera-opera Wagner, saat di Israel segala musik Wagner diharamkan oleh parlemen. Barenboim dan Said sempat membuat perbincangan panjang tentang Wagner, dan sempat membukukannya: Parallels and Paradoxes.

Said meninggal tahun 2003. Leukemia. Bukunya yang terakhir adalah On Late Style. Biografinya berjudul Out of Place. Asing.

Agustus

Di Bayreuth, Jerman, festival tahunan Wagner sudah dimulai. Tentunya Wagnerian berbahasa Indonesia itu makhluk langka; jadi aku nggak akan mulai membahas di weblog berbahasa Indonesia ini bagaimana cara memperoleh tiket, yang bisa memakan waktu tujuh tahun itu :). Alih2, aku mau iseng menulis tentang para pecinta musik Wagner.

Alf Wight tentu, a.k.a. James Herriot, yang memperkenalkan Wagner ke aku. Dan George Bernard Shaw, yang memperkenalkan Wagner ke Wight. Dan Stephen Hawking. Dan Nietzsche, tapi yang ini terlalu kuno. Dan tentu Edward Said. Pecinta musik Wagner, btw, tak selalu mencintai pribadi Wagner. Khususnya kelakuan Wagner yang anti yahudi, dan terang2an. Tapi itu cuman salah pengertian. Semasa hidupnya, Wagner cuma mengira bahwa Yahudi itu kaum rentenir dan bergaya exclusive. Dia waktu itu belum tahu bahwa orang-orang Yahudi itu, begitu berkuasa atas sebuah entitas polisi dunia, tega melakukan genocide juga.

Temen2 yang masih muda itu ribut soal serbuan atas Libanon. Tapi aku belajar nonton TV waktu PM Israel masih Menachem Begin dan Ariel Sharon masih Menhan dan nama-nama Shabra, Shatilla, Burj-al-Barajneh terdengar setiap hari. Dan kekejaman rezim Israel itu udah sama niscayanya dengan terbitnya matahari pagi. Tapi orang Islam, seperti biasa, cuman bisa menikmati jadi umat terjepit. Pimpinan Arab memarahi milisi Hizbullah yang lebih dulu memprovokasi Israel. Pusing mereka. Mau netral, tapi Israel jelas kejam. Mau bantuin secara militer, tapi mereka udah kehilangan kepercayaan pada kekuatan kaum Syiah (suka jadi musuh dalam selimut).

Dan ketidakjelasan kemauan orang-orang Islam itu masih sama niscayanya dengan terjadinya gempa di Indonesia. I mean, orang Indonesia tidak punya hak berdoa agar tidak terjadi gempa. Indonesia sendiri dibentuk oleh tekukan di batas lempeng. Kalau mereka tidak saling bersitekuk, kepulauan bernama Indonesia ini tidak pernah terbentuk. Dan begitu kepulauannya jadi, mendukung kehidupan, nenek moyang kita masuk, trus minta: ya udah, berhenti donk. Bumi bergerak mengikuti sebuah hukum yang ditetapkan Allah juga, bukan mengikuti kemauan kita. Dan ancaman buat kita bukan saja di lempeng benua yang masih asyik bergerak, tetapi juga di dalamnya lagi, di mana logam2 panas dan cair itu masih lincah bergerak.

Logam cair itu yang membuat bumi punya kemagnetan, yang turut mendukung kehidupan di atasnya. Tapi cairnya logam itu membuat kemagnetan juga bergeser — bisa lambat tapi juga bisa cepat. Dan kalau dia bergeser rada cepat, kehidupan kita semua juga terancam.

OK, kalau ada waktu luang, aku akan mulai menulis. Dan di Bayrouth, Libanon, rudal2 Israel masih membunuhi anak2 manis itu tanpa ampun.

Demikian, bulan Agustus.

Bapaknya Adnan

Trus nggak sengaja ingat nama Adnan lagi. Barangkali gara2 ingat berdiskusi tentang musik nasionalistik — istilah yang bikin dia ngambek. Padahal, sesuai sejarahnya, musik nasionalistik itu hanyalah cita rasa dari musisi2 tertentu di negara2 Eropa tertentu yang berkehendak berlepas diri dari jeratan globalisasi budaya masa kekaisaran Austria dan Prussia yang berkuasa di masa itu. Musik klasik di masa itu Austria dan Jerman sekali. Jadi tokoh semacam Smetana, dan kemudian disebut2 juga Verdi, Tchaikovsky, dll, mengkomposisi musik dengan cita bangsa masing2: Ceska, Russia, Italia.

Tapi kali ini aku mau cerita tentang Bapaknya Adnan aja ah. Tokoh ini bekerja sebagai administratur dan penerjemah. Selain bahasa Arab dan Prancis, ia juga bisa bahasa Spanyol. Ia menyeberangi lautan luas (seluas selat Jabal Tarik dan Kanal Inggris) untuk menjumpai anaknya di Coventry. Dan di sanalah ia ketemu Koen si pengacau.

Act 1.

Adnan: Koen, here’s my father.
Koen: Hi, Sir. Nice to see you.
Bapak: Are you from Pakistan?
Koen: Oh, noo
Bapak: Where are you from?
Koen: Indonesia
Bapak: Are you muslim?
Koen: Why, yes.
Bapak: Alhamdulillah.

Trus makan bareng. Trus naik bis bareng. Trus aku kuliah.

Act 2.

Si Bapaknya di kampus sendirian. Ntah si Adnan ke mana. Bis penjemput sudah datang. Aku bilang ke sopirnya, mau jemput Bapaknya Adnan dulu.

Koen: We have to go now, Sir.
Bapak: But I’m Adnan’s father
Koen: I know
Bapak: Are you his friend?
Koen: Sure.
Bapak: Muslim?
Walah, nanya lagi.
Koen: Sure.
Bapak: From Pakistan?
Waduh biyung.
Koen: Indonesia, Sir. Let’s go now.

Jadi dia ikut aku. Kan orang muslim tidak akan menyesatkan :). Hmmm, emang kalau aku atheist pengikut Dawkins, trus aku bakal menyesatkan yach? Ah, pasti belum belajar Game Theory :). OK, so Adnan akhirnya masuk bis, terlambat, sambil dicemberuti si sopir.

Act 3.

Bapak si Adnan sendirian di meja. Anaknya masih cari cemilan sana sini. Aku duduk di sebelahnya.

Koen: Assalaamualaikum
Bapak: Alaikum salam. Are you muslim?
Koen: Alhamdulillah, still a muslim.
Bapak: But you are from India
Hmmm, setidaknya mulai geser ke timur. Mungkin besok pagi ke Bangladesh, trus 3 hari lagi sampai ke daerah Patani.
Koen: Nnnnnn, no no no. I’m from Indonesia.
Bapak: Muslim?
Koen: Insya Allah, Sir.

Trus … dia ikut makan dari piringku. Duh lagi kangen Bapakku sendiri. Kayaknya bahagia bener dapat Bapak baru :). I mean it.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑