Dan kuda putih lagi. Yang ditunggangi pagi itu oleh sepasang kakak beradik di negeri Armenia itu. Tercekat si adik melihat seorang tetangganya memergoki mereka bersama kuda putih itu. Tapi si kakak menenangkan.
Tapi tentu, si tetangga lebih tercekat lagi. Dihampirinya kuda itu. Benar-benar mirip kudanya yang hilang bulan sebelumnya. “Kalau aku tak mengenal kalian, tentu aku berani bersumpah bahwa ini kudaku yang hilang bulan lalu. Duhai, betapa miripnya.” Ia membuka mulut si kuda, dan mengamati giginya. “Bahkan gigi-giginya pun serupa benar. Aku hampir berani bersumpah.“
“Tapi aku mengenal keluarga kalian. Aku lebih mempercayai hatiku daripada mataku. Barangkali saja kuda itu memiliki saudara kembar juga. Selamat jalan, sahabat-sahabat mudaku.” Lalu ia berlalu. Kuda yang dicuri itu akhirnya kembali di suatu pagi yang lain. Lebih sehat dan lebih jinak.
Cerita yang aku baca dari zaman SMA ini (zaman ketika seorang guru mengatakan bahwa pandangan mataku selalu tajam) terlalu lama membekas. Tentu aku tak bisa mengharapkan punya sahabat yang lebih mempercayai hatinya daripada matanya. Sahabatku manusia, bukan malaikat :). Tapi setidaknya, untuk sahabat-sahabatku, aku masih akan lebih mempercayai hatiku daripada mataku. Setajam apa pun mataku kata pak guru itu. Ke mana ya beliau?
Salah satu yang bikin negeri Indonesia kesohor adalah … kopi :). Duh, kirain kejutan. Setelah edisi khusus Kopi Kampung yang 100% asli Sulawesi, Starbucks kembali meluncurkan edisi khusus. Edisi Ulang Tahun. Di covernya tertulis bahwa edisi ini merupakan paduan antara kopi2 Asia Pasifik dan kopi2 Indonesia yang langka. Rada menarik, biarpun pasti nggak semenarik Kopi Kampung.
Kerjasama disusun dengan berbagai vendor, konsultan, dan operator lain yang lebih dahulu melangkah. Mudah2an sih, industri dan kalangan akademi bangsa ini mau mulai bangun. Agak susah bikin segalanya murah kalau kita masih segalanya impor. Nggak perlu kelas dunia dalam arti gemerlap. ZTE yang acak2an itu saja sudah berani, dan diterima dengan baik, dengan improvement yang sambil jalan. Masa kita yang lebih beradab ini nggak berani? Cumab perlu kemauan untuk mulai terjun, aku kira, daripada sibuk bikin forum sana sini.
Dia tersenyum lagi padaku, seperti yang selalu dia lakukan bertahun2, tanpa pernah jemu. Hati turut hangat saat merah semu wajahnya mencapaiku 1,3 detik kemudian. Seperti biasa juga, dia membuatku mengingat lagi segala khayalan kanak2ku. Dingin senja itu tak ada artinya dibanding cerianya hati saat berbincang dengannya.

Kalau versi aku (yang lebih banyak ketemu orang elektro), minggu2 awal bukannya diisi pembelajaran fungsi2 dari kepustakaan C, tetapi belajar memprogram kode-kode pengganti assembler dalam bahasa C. Wow, aku udah secanggih kakak2 angkatanku :). Baru fungsi2 C sendiri. Dan bikin editor sendiri (VIE dan kemudian TVE, hihi), sehingga nggak lama kemudian TC jarang dipakai lagi (selain untuk tracing). Kompilasi menggunakan TCC yang merupakan versi command line. File yang dihasilkan bukan cuma EXE, tetapi juga COM. Eh, COM yang ini beneran ekstensi loh, bukan seperti yang kata seorang pakar: ekstensi domain. Trus, tentu saja terimbas migrasi dari kompiler C ke kompiler C++. Biarpun, sebenernya, nulis programnya tetap dalam C. Dan baru kemudian pindah ke C++, tanpa heboh.