Kalau udah nggak nyambung, ntar ke teori holografi semesta dari David Bohm aja. Biar rada-rada berbau metafisik. Kan biasanya kita suka yang rada-rada spekulatif dan bombastis gini.
Page 157 of 210
Teori string mengasumsikan adanya kuantum dimensi. Tapi string bukan satu-satunya.
Teori gravitasi kuantum loop juga menggambarkan ruang dan waktu secara diskrit.
Ukuran setuap kuantum ruang-waktu adalah sebesar skala Planck, yaitu 10-35 m
dan 10-43 detik. Tapi, seperti juga relativitas Einstein mengubah matematika,
kali ini pun matematika harus diubah lagi. Geometri ruang dinyatakan dalam bentuk loop
kuantum gravitasi. Loop-loop berinteraksi membentuk spin network. Spin network ini tidak
berada di dalam ruang. Struktur network ini, yaitu hubungan antar loop, yang membentuk gejala
yang kemudian dikenal sebagai ruang dan waktu.
Partikel-partikel seperti gravitasi dan foton menggeser relasi network, mengubah susunan
ruang-waktu, dan membentuk gejala fisika dalam skala yang lebih besar.
Ada beberapa deskripsi tentang spin network. Salah satunya ada di
http://www.nbi.dk/~konstant/homepage/lqg2.
Masih harus kita kaji lagi, mana yang lebih bikin pusing: teori ini apa teori string. Duh, untung
aja nggak jadi fisikawan beneran yach.
Sebagai ilmuwan, Mikolaj Kopernik* banyak menyerap ilmu-ilmu secara obyektif dari para ilmuwan lain, di mana pun mereka berada. Di dunia bebas, ini memang soal wajar. Tapi tidak di Eropa masa itu, masa waktu kaum yang takut dan curiga memerintah Eropa. Kopernik juga bukan orang tanpa perhitungan. Maka catatan-catatan penelitiannya disimpan saja, dan hanya disampaikan secara terbatas ke beberapa ilmuwan lain.
Sayangnya salah satunya Galileo. Galileo tinggal di pusat pemerintahan Eropa. Gairah ilmu baru menggerakkan Galileo untuk menyampaikan nilai-nilai yang berbeda kepada masyarakat. Kita tahu akhir kisah Galileo. Tapi kita lupa kenapa dia dihukum. Bukan karena pemerintah masa itu anti ilmu pengetahuan, tapi karena paham yang disampaikan Galileo mirip dengan yang dibawa musuh-musuh negara.
Mirip dengan orang-orang Turki Utsmani yang menggambarkan bumi sebagai bulatan yang mengelilingi matahari.
*ilmuwan Polandia yang lebih kita kenal nama latinnya: Nicolaus Copernicus
Sepanjang abad 19, para kimiawan menunjukkan bahwa senyawa-senyawa memiliki komposisi unsur yang sama. Namun tidak ada yang berpikir serius soal adanya atom, atau partikel elementer dalam materi. Di akhir abad 19, baru konsep partikel elementer dikenal. Tidak lama, konsep energi elementer juga dikenal. Masuklah kita ke abad kuantum materi-energi. Tapi fisika bukan cuma terdiri atas materi-energi. Fisika juga mengenal dimensi ruang-waktu, yang terbentuk bersamaan dengan (dan sebagai konsekuensi dari ?) materi-energi. Dalam kosmologi qurani, ini dikenal dengan pembentukan samawat (dimensi ruang-waktu) dan ardh (materi-energi).
Baru di pertengahan akhir abad 20, mulai ada pemikiran bahwa fisika kita tidak berimbang. Kita lupa mengkuantisasi dimensi ruang-waktu. Dan akibatnya banyak yang tak terjelaskan dalam gap antara relativitas dan mekanika kuantum.
Teori string antara lain membahas kuantisasi dimensi juga. Tapi ada banyak mekanisme-mekanisme yang diusulkan dalam berbagai varian string. Juga ada teori-teori yang menyaingi teori string dalam usaha menjelaskan fisika yang asali. Jadi memang kuantisasi dimensi belum mencapai kesepakatan. Baru disepakati bahwa dimensi itu memang diskrit, sama seperti energi, sama seperti partikel.
Denger adzan di SkyNews, live dari New York, rasanya hati bergetar kencang. Apalagi trus liat ustadz Syamsi Ali. Rasanya kayak jadi sinar matahari yang menghangatkan udara yang mulai beku lagi. Eh, ternyata masih bisa terharu yah kita …
Pohon-pohon di luar perpustakaan Westwood itu lebih tepat waktu daripada manusia kayak aku. Di hari pertama musim gugur, mereka sudah mulai mengubah warna daunnya. Aku masih melalaikan banyak hal yang harus aku kerjakan. Terpaksa berpacu dengan waktu.
Padahal secara alami kita nggak disuruh berpacu dengan waktu. Aku seharusnya hidup seiring dengan aliran waktu. Hmmm.
Mana yang kedengerannya paling enak:
- Saya akan memperjuangkan hak setiap orang untuk mencari kebenaran, tapi saya akan tembak mati siapa yang mengaku menemukannya.
- Bawalah kami bersama orang yang mencari kebenaran, dan jauhkan kami dari orang yang menemukan kebenaran.
- Mencari kebenaran itu jauh lebih berharga daripada menemukannya.
- Mereka yang memegang kunci kebenaran dan pengetahuan adalah bahan tertawaan para malaikat.
Lagi cerita tentang siapa sih ? Bush ? Taleban ? Gusdur ?
Bukan tiga-tiganya sih. Lagi cerita tentang kita-kita aja. Kita juga suka merasa selalu benar kok.
Matahari bersinar malas, sekedar mengusir kabut tipis. Yeah, selamat datang musim terakhir. Lagi nggak bisa terlalu riang :p menyambut waktu yang bergeser. Argh, nafas aja masih syusyah. Kayaknya bukan aku aja yang kena flu perubahan musim. Minum ini banyak-banyak, kata si mbak penjaga dining room, sambil ngasih box satu liter orange juice. Kali keliatan muka aku lebih mendung dari cuaca di luar. Gimana caranya biar punya mood kerja. Wagner malah bikin ngantuk. Juga Debussy, Schoenberg, Beethoven. Coba Stravinsky. Petrushka kayaknya memang pas buat mood kayak gini. Cuman moodnya jadi pingin ngabur ke dunia-dunia paralel.
Pusing, flu ini masih menganggu aja. Dan stuck. Segalanya macet. Dan sebenernya gara-gara aku juga sih, tidak bisa memanfaatkan sumberdaya secara optimal.
Tau-tau si Koen zaman SMA (namanya Nukov, btw) masuk ke ruang perdebatan. Dengan gayanya yang sok acuh dan belagak tidak terlibat, dia memberi nasehat: Orang besar bukan orang yang tidak pernah jatuh dan tidak pernah salah. Tapi setiap kali mereka jatuh, mereka mampu bangkit lagi. Setiap mereka membuat kesalahan, mereka mau memperbaiki dan mengatasi.
Well, yeah, aku mau ambil wudlu aja, shalat dulu, terus melupakan semua kesalahan langkah, terus mengatasi semua persoalan tanpa harus terpaku sama kesalahan yang terjadi dan waktu yang terbuang. Thanks, Nukov.
Nggak mau kalah sama kucing Schrödinger, seorang ilmuwan cerita tentang tikus Schrödinger :).
Ceritanya sama sih, cuman jadi lucu aja bacanya. Menurut Newton, katanya, ada tikus yang enak dan ada yang nggak enak. Tapi menurut teori kuantum, setiap tikus berada dalam superposisi yang mengandung karakteristik enak dan nggak enak. Kalau seekor kucing menerkam dan memakannya, baru karakteristik tikus itu jatuh pada salah satu keadaan enak atau tidak. Tapi tidak betul juga. Sebenernya justru kucing itu berada dalam superposisi juga. Tergantung rasa tikus, si kucing akan menggeram senang atau marah. Tapi sebenarnya dia dalam superposisi antara menggeram senang dan marah. Untuk menjatuhkan posisi kucing pada satu state, kita harus mengamati kucing. Begitu kita pegang kucing itu, kondisi kucing jatuh pada satu state yang teramati. Kalau kucing itu mendengkur manja, pada saat yang sama si tikus jatuh pada state enak. Kalau si kucing mencakar, berarti dia jatuh pada state marah, berarti tikus jatuh pada state nggak enak. Tapi nggak betul juga. Kita juga sebenernya masuk dalam superposisi. Kalau orang lain mengamati kita cari perban, berarti state kita, kucing, dan tikus jatuh pada saat yang bersamaan. Sebelum diamati, tikus dan kucing tidak memiliki karakteristik. Mereka ada dalam superposisi. Cerita yang sama dengan kucing Schrödinger sebenernya. Cuman di sini yang mati tikusnya.

Kita ketawa, tapi eksperimen penembakan elektron pada celah ganda menunjukkan bahwa semesta memang bersifat seperti itu. Waktu tidak kita amati, sebuah elektron boleh berada di a, di b, di c, di mana saja, sehingga rentetan tembakan elektron tunggal bisa membentuk pola interaksi (elektron A pada probabilitas posisi 1 berinteraksi dengan elektron A pada probabilitas posisi 2, dan seterusnya). Nggak mungkin, kata kita.
Yeah, sama nggak mungkinnya sama kenyataan bahwa setiap materi terdiri dari atom yang terdiri dari elektron mengelilingi inti atom, sebenernya. Atau bahkan sama nggak mungkinnya dengan kenyataan bahwa dua massa diam bisa tarik-menarik, tanpa tali. Ajaib.