Einstein bilang, kalau mekanika kuantum itu benar, berarti dunia ini gila.
Lalu Daniel Greenberger menyimpulkan: Einstein memang benar. Dunia ini gila.
Einstein bilang, kalau mekanika kuantum itu benar, berarti dunia ini gila.
Lalu Daniel Greenberger menyimpulkan: Einstein memang benar. Dunia ini gila.
Mekanika kuantum dimulai waktu rentetan eksperimen membingungkan para fisikawan.
Ilmuwan: Apa cahaya itu gelombang ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Jadi cahaya bukan partikel !
Alam: Tidak.
Ilmuwan: Jadi cahaya itu partikel ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Jadi partikel itu gelombang ?
Alam diam.
Ilmuwan: Misalnya elektron. Apa elektron itu partikel ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Apa elektron itu gelombang ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Partikel hanya bisa ada di satu tempat kan ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Gelombang bisa menyebar mengisi ruang kan ?
Alam: Ya.
Ilmuwan: Jadi elektron ada di satu tempat dan di banyak tempat ?
Alam diam.
Ilmuwan: Saya bikin mekanika kuantum aja deh.
Para ilmuwan pun memiliki keterbatasan diskursus. Semesta tidak dapat diamati, selain hanya dengan perbandingan dengan domain-domain
dan relasi-relasi yang ‘dirasa’ telah dipahami ;). Fisikawan John Wheeler mengumpamakan pembentukan logika para ilmuwan, yang didukung
berbagai ujikaji itu, seperti tanya jawab dengan alam semesta, yang hanya dijawab dengan ya dan tidak. Alam tidak pernah memberikan
wacana. Wacana disusun dari filosofi yang dibentuk manusia berdasar pengalamannya, yang berdasar dari pengamatan sebelumnya saja.
Ilmuwan hidup dengan analogi ;).
Trus inget cerita dari William Saroyan tentang masyarakat Armenia.
Tokoh cerita ini, seorang adik, ingin bisa naik kuda. Dan suatu malam si kakak memamerkan kuda putih ke adiknya. “Kamu curi dari mana ?” tanya si adik. “Apa kau tahu aku pernah mencuri?” tanya balik si kakak. Lalu tiap malam mereka berlatih dan bermain dengan kuda putih itu.
Tapi suatu pagi seorang tetangganya melihat mereka bermain kuda putih itu. “Mirip kudaku yang hilang,” katanya. Ia minta izin memeriksa giginya. “Sungguh mirip sekali sampai gigi-giginya.” Tatapannya sedih. Lalu ia mengubah suaranya jadi riang dan melanjutkan, “Tapi aku lebih percaya hatiku daripada mataku. Selamat jalan sahabat muda.” Dan kakak beradik itu melanjutkan permainan dengan kuda putih.
Tapi suatu malam si kakak berkata pada si adik, bahwa tidak ada sesuatupun yang abadi. Termasuk kuda putih itu. Si adik mencoba mengerti. Bagaimanapun banyak yang telah ia dapatkan bersama kuda putih itu. Orang tidak boleh serakah. Maka malam itu si kakak pergi bersama kuda putih dan kembali seorang diri.
Di tengah hingar bingar pagi, si tetangga dengan takjub menceritakan bahwa kudanya yang telah lama hilang, telah kembali ke kandangnya. Finish.
Kita memang bukan kumpulan orang suci, dan nggak bercita-cita jadi orang suci. Tapi kejahatan juga jauuh sekali di luar pikiran kita.
Ada dua hal yang sering disebarluaskan dalam upaya melawan gerakan open source. Yang pertama adalah bahwa software open source tergantung pada sumbangan dan kemurahan hati programmer, yang bekerja demi kepentingan masyarakat, atau demi nama baik, atau demi permusuhan dengan Microsoft :). Barangkali pada awalnya memang demikian: ada faktor murah hati. Tapi yang terjadi adalah accountability yang ketat juga. Dengan GPL (general public license), kita bisa memanfaatkan dan mengubah dan mendistribusikan software open source dengan bebas, tetapi harus dengan tetap menjaga sifat open source
dari software yang kita kembangkan. Perusahaan-perusahaan sudah memperhitungkan dengan cermat, bukan asal-asalan, bahwa mereka lebih untung untuk memakai dan mengembangkan software di bawah lisensi GPL, daripada memakai paket tertutup. Juga biaya maintenance bisa diturunkan karena berbagi kode juga berarti berbagi beban kerja untuk maintenance :).
Jadi software bebas itu dibuat dengan alasan komersial juga! Dan tidak ada alasan untuk bergantung pada kemurahan hati.
Soal berikutnya adalah bahwa instalasi dan troubleshooting pada software open source lebih sulit, sehingga hanya cocok untuk orang IT. Barangkali, memang source code hanya bisa dinikmati oleh orang yang bisa baca source code :). Tapi kita tidak harus selalu lekat dengan source code untuk memakai software. Penggunaan software sebenarnya tidak jauh
berbeda. Yang bikin pusing (sampai sekarang) adalah mencari driver untuk piranti-piranti kita. Monitor yang warnanya indah dengan Windows terpaksa jadi VGA dengan Redhat. Tapi, kalau drivernya berhasil ketemu, biasanya driver ini lebih andal daripada yang dibuat untuk closed-source, soalnya udah di-debug banyak pihak.
Soal keandalan itu bukan soal sepele. Notebook ini (pakai Windows) juga perlu usaha keras untuk cari drivernya. Sekian jam harus di-reboot, kalau nggak data bisa hilang. Driver sama sekali nggak bisa dipercaya, saling crash dengan Windows. Online sekian menit, semuanya macet, tanpa pesan. Reboot juga gagal. Dan nggak bisa minta benerin drivernya atau Windowsnya ke siapa-siapa :).
Beberapa hari y.l., nggak sengaja nemu tulisan dari Lutz Prechelt, tentang perbandingan 7 bahasa. Karena tulisan ini artikel majalah, perbandingan lebih banyak digambarkan secara grafis. Kesimpulan umumnya:
Jika kau hidup, menciptalah
Seperti aku yang naik dengan tanganku
Berapa lama kau akan mengemis cahaya
Menunggu menjadi Musa di bukit Sinai
Biarlah api marak bagaikan belukar terbakar
Dirinya sendirilah sumber api berkobar
Satu lagi dari Iqbal
Aku akan segera membimbingnya ke jalan yang benar, kamu tahu. Namun ia tidak akan menyadarinya. Seperti juga selalu kutumbuhkan tunas-tunas pepohonan secara diam-diam, tanpa sepengetahuan pemilik kebun. Tiba-tiba ia sadari adanya bunga-bunga indah dan buah yang manis lebat berserakan bertumpukan menghiasi rantingnya pada suatu hari kelak. (Goethe — Dr Faust)
Sejarah York adalah sejarah Inggris, gitu katanya. Kota ini bahkan sudah dikenal sejak tentara Romawi menjajah bangsa Celtic di sekitar sini, dengan nama Erbocum. Maskot kota adalah serdadu Viking dengan jenggot putih dan muka lucu. Orang Viking menamai kota ini Jorvik, yang kemudian jadi York. Benteng-benteng menandakan pergantian kekuasaan yang terus menerus. Sebuah benteng yang tampak ditata megah, sekarang hanya tersisa sebelah tembok saja. Di sebelah luarnya, taman yang luas, dengan burung merpati dan tupai-tupai jinak.
Kayaknya tupai-tupai itu lebih menarik daripada benteng :) :). Sayangnya aku nggak bawa makanan. Jadi si tupai pada bingung ngejar-ngejar tanganku, mencium-cium cari kacang, terus kabur lagi. Lompat ke atas pagar, lompat ke atas pohon. Terus melompat.
York. Imut amat ini kota.
Pusat kota dikelilingi tembok dan gerbang-gerbang tua yang sudah tidak utuh lagi. Di dalam kota, hanya ada beberapa jalan mobil. Selebihnya adalah gang-gang kecil tempat pejalan kaki. Jalan kecil itu acak, tapi tertata rapi, dikelilingi rumah-rumah dan toko-toko dengan arsitektur beraneka ragam dari berbagai jaman, membentuk kehangatan masyarakat di tengah alam Yorkshire yang mulai dingin. Kota macam York ini bikin betah, penuh variasi dan kejutan-kejutan.
Kalau New York berpuncak pada pencakar langit, puncak kota York hanyalah sebuah benteng pengintai mungil di atas sebuah bukit buatan yang kecil. Dari benteng itu, tampak sebagian lekukan bukit-bukit Yorkshire, dengan pohon-pohon dan daun-daunan musim gugur yang berwarna warni.
York, juga punya twin tower, yang lebih manis daripada bekas twin tower di kota adiknya. Gedung yang ada twin towernya ini dipakai berdoa bersama waktu Alf Wight a.k.a. James Herriot meninggal.
© 2025 Kuncoro++
Theme by Anders Noren — Up ↑