Page 11 of 210

Evo Morales

Sekali lagi, kita akan berhenti blogging kalau kita hanya menggunakan blog untuk menulis hal2 yang memiliki arti besar :). Alih2, kita bisa mulai memanfaatkan blog seperti twitter: sekedar bercericau tak tuntas. Dan kali ini, kita akan bercerita tentang teori evolusi. Mungkin tentang moralitas. Dan mudah2an tak melantur ke agama.

Mula2, hukum yang sama mungkin akan menampilkan tampilan yang berbeda pada skala yang berbeda. Koin yang dilempar dua kali mungkin akan menghasilkan hasil berbeda dengan koin yang dilempar 2000x. Mekanika kuantum berjalan di mana pun; tetapi efeknya tak lagi nampak pada skala manusia atau skala galaksi (kecuali disalahgunakan marketer kacangan dengan nama quantum blablabla, quantum wekwekwek, dll). Hukum yang mengatur sebuah individu pun mungkin akan tampak berbeda dengan hukum yang mengatur masyarakat.

Dan satu lagi. Evolusi makhluk hidup terjadi pada skala gene, bukan terjadi pada individu2nya sendiri. Jadi saat kita bicara tentang survavibilitas, ini adalah tentang survavibilitas si gene. (Dan konon malah bukan DNA, tetapi RNA, hush).

Kata sembarang orang, teori evolusi mengimplikasikan bahwa kita akan jadi individu yang egois. Atau kelompok yang egois: rasis, chauvisist, primordial, dll; karena menurut teori ini, individu yang bertahan dan berkembang adalah individu yang bisa mempertahankan diri sendiri, mengalahkan yang lain dalam persaingan berebut sumberdaya, dan berebut pasangan.

[Oh, tentang pasangan, kita akan punya teori sendiri. Perlukah ditulis?]

Tapi … tentu saja. Tentu saja itu betul. Hanya individu yang dengan satu atau lain caralah yang mampu memperoleh sumberdaya untuk mempertahankan kehidupannya mencapai usia cukup dewasa untuk meneruskan keturunan. Dan yang dimaksud dengan cara di sini meliputi misalnya kekuatan, kecerdikan, kelicikan, kemampuan meraih simpati, dll. Dengan kata lain, egoisme tercetak dalam gene kita, sebagai penerus mereka yang survive.

Mungkin individu akan memiliki kans bertahan lebih tinggi jika ia bisa bukan sekedar kuat, tetapi juga cerdik. Cerdik mengelola sumber daya. Cerdik melakukan kerjasama, alih-alih selalu bersaing. Cerdik mensinergikan potensi untuk memperoleh sumberdaya lebih besar, dan untuk bertahan lebih kuat melalui kerjasama. Ia menyusun strategi membagi resource, membagi tugas, dan menyusun masyarakat. Strategi dan kebersamaan menjadi efek dari evolusi.

Masyarakat akan lestari jika memiliki individu di dalamnya tak memiliki potensi merusak masyarakat; sambil tetap memiliki kemampuan dasar untuk membela diri. Seperti juga individu, masyarakat terbentuk dari imbangan individu yang kuat untuk bisa bertahan tapi tak cukup mau/mampu memanfaatkan kekuatannya untuk menghancurkan masyarakat — sedikit demi sedikit atau sekaligus. Dan masyarakat akan lestari jika individu di dalamnya memiliki kemauan, kemampuan, minat, instink, dll … untuk kalau perlu mengorbankan diri sendiri demi masyarakat.

Masa?

Saat ada benturan antar masyarakat, atau benturan di dalam masyarakat; masyarakat akan survive jika ada yang mengorbankan diri (dari sisi resource atau dari mungkin mengorbankan nyawa) untuk mempertahankan struktur masyarakat, sehingga bukan seluruh masyarakat yang terkorbankan. Contoh yang mudah mungkin jika ada perang antara dua masyarakat untuk berebut resource. Masyarakat yang memiliki patriot yang mau berkorban akan memiliki kans lebih besar untuk bertahan (dengan asumsi potensi lain yang dimiliki sama) dibandingkan masyarakat yang individu di dalamnya tak mau mengorbankan diri untuk membela masyarakatnya.

Dalam skala lebih luas, masyakarat-masyarakat yang memiliki kearifan akan memiliki kans untuk lebih lestari. Mereka bisa mencegah perang dan menggantinya dengan empati, dengan kebersamaan, dengan kearifan mengatasi perbedaan, dengan kepintaran memecahkan masalah yang makin pelik antar masyarakat. Mereka yang memiliki konsepsi abstrak akan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk lestari.

Menyebalkan. Kini moralitas cuma menjadi efek sederhana dari evolusi. Hal2 besar seperti simpati, pengorbanan diri, dan kepahlawanan pun … gilanya … cuma dianggap bisa dijelaskan melalui teori evolusi semata. Juga kecerdasan, kearifan. Padahal, di tahap ini, kita belum bermain dengan game theory segala.

Yang tentu menarik adalah bahwa potensi untuk egois (mempertahankan diri) dan gene untuk moralis (kesediaan mengorbankan diri demi nilai-nilai) itu tersimpan dalam individu2 yang sama. Manusia dengan potensi yang amat egois tak akan survive menjaga masyarakatnya (bisa memunahkan seluruh masyarakat). Tapi manusia dengan sifat yang amat moralis mungkin tak akan survive menjaga diri dan keluarganya. Dan mungkin masyarakat yang keseluruhannya memiliki sifat amat moralis tak akan lestari juga. Masyarakat memerlukan penyimpang, untuk mulai belajar menghadapi konflik kecil. Masyarakat yang terbiasa menghadapi konflik kecil, akan memiliki kans lebih kuat untuk memecahkan konflik besar yang bisa menghancurkan (misalnya peperangan yang rumit); daripada masyarakat yang tak terbiasa menghadapi konflik sama sekali.

Wow, kita memerlukan konflik! Kita memerlukan pelangggar! Kita memerlukan penyimpang! Kita memerlukan keanekaragaman! Kita memerlukan pluralisme untuk menjadikan kita lebih cerdik, pandai, dan bijak mengatur hidup kita!

[Pak ustadz tersenyum. Ujarnya: “Allah menciptakan kalian beraneka suku beraneka wangsa agar manusia saling mengarifi.”]

Evolusi juga terjadi pada budaya, pada tatacara kita mengatur masyarakat. Kita mengubah perilaku untuk menyesuaikan diri pada lingkungan, pola hidup, konflik, interaksi. Kita membentuk budaya, menginteraksikan budaya, mengevolusikan budaya. Dan genetika yang lestari adalah yang dapat menyesuaikan diri dengan alam, i.e. dengan alam yang telah direkayasa dengan budaya. Maka evolusi bisa terbentuk dari rantai gene -> budaya -> gene -> budaya -> gene.  Gene kita, selain berisi sejarah nenek moyang kita, tempat hidup mereka, penyakit yang menghinggapi mereka, juga sudah tercetak dengan adaptasi pada budaya yang telah mengatur nenek moyang kita, dengan gaya hidup mereka, interaksi dan konflik mereka, hingga tata mengatur masyarakat. Terbentuk budaya yang lengkap, dengan berbagai tatacara, adat, agama, hingga negara.

Agama? Huh, tak terlalu menarik memperbincangkan agama dilihat dari sisi evolusi. Tapi misalnya kita asumsikan bahwa kita tadinya tak mengenal Tuhan, kita akan mulai dari masyarakat yang bodoh, tak memahami semesta, tapi melihat keteraturan yang menarik di mana-mana, lalu mengilusikan adanya Sang Pencipta. Ide Sang Pencipta ini tak unik — ia masuk ke berbagai budaya, akibat melihat fenomena alam yang sama. Maka ia jadi ide universal, merasuk ke budaya, merasuk ke tatacara dan adat. Dan apalah adat yang melibatkan narasi ketuhanan, jika bukan agama. Politik membentuk agama formal dan negara. Tapi juga membentuk budaya. Dan budaya menyeleksi masyakarat. Maka tertinggallah kita: makhluk-makhluk yang memiliki Tuhan dan agama, yang hanya merasa damai jika merasakan kedekatan dengan Tuhan, dan merasa hidup memiliki arti saat menjalankan ajaran agama. Ini sudah tertanam dalam gen manusia. Berbagai teori yang dikemukakan di abad 19 – 20 – 21 bahwa hanya seluruh semesta bisa direkonstruksi dengan sains, tanpa melibatkan Tuhan, tak akan terlalu efektif mengubah manusia yang gene-nya, pikirannya, jiwanya (ya, aku menulis jiwa) telah terpola untuk hidup damai di bawah rasa sayang Tuhan-nya.

OK, itu asumsi pertama. Asumsi kedua, buat kita yang memiliki keimanan pada Tuhan. Tuhan mencintai proses. Tuhan sudah memiliki mekanisme, cuma melalui hukum2 matematika dan fisika biasa, yang memungkinkan makhluk hidup berevolusi, jadi manusia, dan masyarakat berbudaya, dan jadi makhluk yang akhirnya mengenali keberadaan-Nya.

Terserah kaulah mau mengambil posisi yang mana. Yang jelas sains tak membuktikan adanya Tuhan. Dan jika sains bisa membuktikan adanya Tuhan, maka Tuhan yang terbuktikan justru tak berharga: Tuhan yang bisa dilihat. Aku sendiri, hatiku selalu merasakan Ia hadir, menemani, mencandai, mengajarkan nilai-nilai-Nya, dan membuat hidup jadi menarik dan berharga. Kalaupun kau menganggapnya tidak real, itu sama tidak realnya dengan pikiranku, dengan persepsiku, dan dengan ikatan2 (cuma) logika yang mengikat molekul2 ini jadi aku. See, aku tak bisa, dan tak ingin berlepas.

Dan tentang judul entry ini … hahaha :)

Connected

Sebagai seorang pemula, aku memang melakukan banyak kesalahan di Twitter. Salah satunya adalah sering lupa melakukan follow-back. Sambil mengikuti kuliah bersama Goenawan Mohamad dan Roby Muhamad di Komunitas Salihara, aku coba cari account Twitter Oom/Mas/Aa Roby. Tweetnya semenarik kuliahnya. Ternyata beliau sudah follow aku, entah dari tahun berapa, dan aku belum follow back. Secara professional, ini durhaka :). Jadi buru2 aku follow account @robymuhamad.

Roby seorang fisikawan yang memperdalam studi ke sosiologi. Aku tak menyebut ini “beralih” atau “tersesat” :). Semesta memiliki kompleksitas yang berkembang. Matematika mewujud (melalui string atau bukan) ke fisika, lalu dalam jumlah besar berinteraksi dan membentuk hukum turunan yang baru (kuantum, kalor, kosmologi), hingga evolusi yang memunculkan makhluk hidup, manusia, masyarakat, budaya, dst. Tentu kita ingat kekaguman Dawkins pada replikasi meme yang serupa seplikasi gene: apa pun obyeknya, itu sekedar matematika replikasi. Itu satu hukum yang berentet saja. Nah, yang diperdalam Roby, a.l. adalah jejaring sosial. Mungkin Roby adalah amat sedikit orang Indonesia yang melakukan research secara professional dan akademis untuk memahami jejaring sosial.

Di Salihara, Roby mulai bercerita tentang bagaimana influence mengalir di masyarakat. Ia tak mengawali dengan 2.0, Twitter, dll seperti presenter hobbyist seperti kita. Ia memulai dengan kasus semacam kesurupan massal: bagaimana di Afrika sejumlah besar murid sebuah sekolah bisa tertawa bersama, tanpa bisa dihentikan, selama beberapa minggu. Kacau, sekolah dibubarkan, murid dipulangkan. Pulangnya murid2 itu menimbulkan masalah baru. Di kota2 lain tempat murid2 itu dipulangkan, terjadi penularan kembali, sehingga wabah tawa justru menyebar ke banyak kota. Meme yang menakutkan :).

Roby sempat menyebut bahwa soal2 ini diulas dalam buku berjudul Connected. Judul yang tak asing. Aku sendiri punya satu buku berjudul Connected, tulisan Daniel Altman. Connected 24 Hours in the Global Economy. Tapi pasti ini buku yang berbeda. Di rumah, aku langsung menjelajah ke Amazon.co.uk, dan menemukan buku Connected tulisan Nicholas Christakis & James Fowler. Subjudulnya menggambarkan soal jejaring sosial. Bahkan buku ini punya account Twitter tersendiri: @connected_book.

Jejaring sosial, kata buku ini, adalah kumpulan manusia; tetapi yang lebih penting adalah bahwa ia memiliki koneksi, keterhubungan, yang membuat jejaring lebih berarti daripada sekedar kumpulan individu. Jejaring jadi mampu melakukan hal-hal yang tak mampu dilakukan orang-orang itu secara tersendiri.

Berikut disebutkan beberapa hal menarik dalam jejaring:

  1. Kita membentung jejaring kita
  2. Jejaring membentuk kita
  3. Teman-teman mempengaruhi kita
  4. Teman-teman dari teman-teman dari teman-teman kita mempengaruhi kita
  5. Jejaring memiliki kehidupan tersendiri
  6. Antar setiap manusia, terdapat hanya 6 derajat pemisahan
  7. Namun antar teman, hanya terdapat 3 level pertemanan yang menimbulkan pengaruh.

Khusus soal 6 derajat pemisahan, disebutkan bahwa hal ini telah diteliti di US beberapa dekade yang lalu. Namun, menghadapi kecurigaan bahwa angka sekecil 6 hanya dimungkinkan oleh kedekatan geografis, etnik, budaya, dll; maka sekelompok ilmuwan melakukan penelitian dengan jangkauan internasional. Salah satu peneliti ini adalah Roby sendiri.

Lalu sang buku meneruskan bagaimana jejaring mempengaruhi kita dalam menentukan kebahagiaan, mencari pasangan hidup, merawat kesehatan, hingga berjuang demi demokrasi. Beberapa hal yang juga diulas dalam buku ini:

  • Emosi menyebar dari satu manusia ke manusia lain melalui ekspresi wajah. (Emosi pada A -> Ekspresi pada A -> Ekspresi pada B -> Emosi pada B)
  • Kita akan cenderung berbahagia, tercukupi, dan merasa positif, jika dikelilingi orang yang berbahagia.
  • Kesepian adalah sebab dan akibat dari keterputusan hubungan
  • Jika kawan dari kawan dari kawan kita bertambah berat badannya, kita cenderung akan menambah berat badan, walaupun kita tak mengenal orang (atau orang-orang) itu.
  • Keterhubungan bisa berpengaruh positif (menularkan kebahagiaan) atau negatif (menularkan keinginan bunuh diri)

Aku belum menyelesaikan buku ini juga. Dibaca bersamaan dengan buku2 lain, sebagai bagian dari keinginan untuk terus mempelajari fitrah manusia: bagaimana mereka diciptakan, bagaimana mereka berproses, bagaimana mereka dapat mencapai yang terbaik untuk masa depannya. Twitter terlalu keren untuk digunakan becanda tanpa tujuan.

September

Twitter memang bikin cercah-cercah ide itu terpecah dalam bentuk cericau sebelum bisa tergumpal seukuran blog. Pemecahan dengan miniblog tak terlalu berhasil. Mungkin seharusnya kita mulai menyerah, dan menulis blog dengan bentuk cericau ala twitter :).

September.

Di agendaku, ini berarti IPTV sudah mulai ditulis dengan tinta merah. Semangat, dan sekaligus tanda bahaya. Jika ada yang memiliki ide keren mengenai content IPTV, sila kontak aku. Platform, perangkat, sistem, dll, sudah bukan waktunya lagi — semua sudah didefinisikan. Yang masih diperlukan adalah content.

IEEE. Comsoc. Kegiatan Q3 tak sebanyak Q2 dan Q1. Banyak diskusi kecil untuk mendefinisikan action plan ke depan. Juga ada beberapa peluang kerjasama yang menarik. Tapi Comsoc Indonesia sedang tumbuh menarik, jadi menarik minat para scammer juga. Ah, aku sudah hafal pola kerja para scammer. Lupakan, dan fokus ke kegiatan yang real.

Comsoc Indonesia juga bulan ini ditampilkan di Global Communications Newsletter (GCN). GCN adalah bulletin aktivitas kegiatan Comsoc, yang diterbitkan bulanan. Versi cetaknya dibundel di dalam Communications Magazine, yang merupakan majalah bendera dari Comsoc; dan versi onlinenya memiliki web tersendiri di http://dl.comsoc.org/gcn. GCN bulan ini, yang memuat laporan Comsoc Indonesia, dapat diambil secara bebas pada URL http://tlk.lv/gcn1009.  Isi laporan lebih pada aktivitas yang telah dilakukan selama tahun terakhir ini, dan hanya sedikit menyinggung rencana ke depan. Kegiatan2 ini tentu sempat disinggung juga di blog ini, sejauh yang aku ikuti :).

Untuk pengingat, di bulan September ini, IEEE juga sudah memulai proses perpanjangan keanggotaan. Buat para anggota, silakan melakukan perpanjangan di http://ieee.org/renewal. Konon ada hadiah menarik tahun ini. iPad?

Di IEEE, sedang dirayakan juga dua puluh tahun IEEE 802.11. Gugus Tugas IEEE 802.11 (Wireless Local Area Network, WLAN) didirikan pada 13 September 1990 untuk mewujudkan ide-ide mutakhir dalam pengembangan teknologi WLAN dengan kecepatan data 1 Mb/s. Hasil karyanya lebih akrab dengan nama WiFi, yang telah membaur dalam dunia Internet nirkawat beberapa tahun terakhir. Dalam usia dua puluh tahun, standar terakhir yang telah diterbitkan kelompok ini adalah IEEE 802.11n dengan kecepatan 600 Mb/s, dan saat ini tengah disusun standardisasi dengan target baru sebesar 5000 Mb/s. Standard 802.11 juga terus diperkaya dengan peningkatan efisiensi spektrum, keamanan informasi, QoS pada interface, dan feature-feature lain mengikuti kebutuhan user.

Lucunya, tanggal 13 September juga diperingati sebagai ultah kesepuluh Mac OS X. Mac OS X sedikit banyak mengubah hidup juga, membuatku berani beralih ke Mac, tanpa khawatir terputus dengan rekan2 kerja yang masih bergelimang lumpur Windows (hush). Aku mencobai Mac OS X di sebuah Mac Mini, trus ke Macbook, dan sekarang ke Macbook Pro. Si Mac Mini masih hidup, tapi lebih jadi music & DVD player, si MBP menemani kerja, dan si Macbook putih baru disiksa dengan dibootcamp Windows Vista. Masih ada beberapa aplikasi yang hanya hidup di Windows, dan aku pikir itu pas untuk Macbook putih, daripada pensiun. Vista-nya sendiri aku dapat dari Priyadi, di Pesta Blogger 2007 :). Tak terasa lambat dia berjalan di Macbook 2.1 GHz dengan memori 2.5 GB dan HD dialokasikan 80 GB. Kadang masih crash sih.

September juga peralihan Ramadhan ke Syawal. Moga masih sempat melakukan refleksi diri biarpun sudah meninggalkan Ramadhan.

Slideshare

Teman2 bilang, orang Indonesia unik. Setiap selesai presentasi, selalu ada sekelompok orang yang nekat meminta bahan presentasi kita. Aku sih menganggapnya positif: ada keinginan untuk mendalami materi presentasi, yang memang aku yakin memerlukan waktu pendalaman lebih dari waktu seminar yang cuma beberapa jam saja. Biasanya materi semacam itu aku bagikan, dalam bentuk PPTX (bukan PDF). Erh, bukan berarti aku lebih suka Powerpoint daripada Keynote. Tapi … you know … pemakai Mac di Telkom itu amatlah minoritas. Entah kalau iWorks nanti menyerang melalui iPad. Oh ya, ternyata Indonesia tidak unik. Berpresentasi di negara mana pun, ternyata selalu ada yang tak malu-malu meminta materi presentasi kita. Dan bukan hanya hadirin, tetapi juga sesama presenter.

Jadi aku kembali ke Slideshare. Aku sudah sempat mendaftar ke layanan ini di tahun 2008. Tapi kepindahan ke Jakarta dll bikin aku agak lupa urusan ranah maya. Bulan ini account di Slideshare itu aku buka lagi. Ini alamatku:

http://slideshare.net/kuncoro

Lalu materi yang cukup banyak diminta, yaitu pengenalan WiMAX II (IEEE 802.16m).

Materi tentang pengenalan 4G … tak mudah memilihnya. Materi dengan judul yang sama sudah termodifikasi dalam beberapa versi: untuk kampus elektro, kampus non elektro, profesional, hingga masyarakat awam (mis di Gathering Fresh awal bulan ini). Ada versi di mana 4G ditampilkan dalam materi tersendiri, ada yang hanya merupakan pembukaan sebelum diskusi mengenai LTE Advanced dan WiMAX II. Ada yang mendiskusikan soal aplikasi, dan ada yang sama sekali berhenti di network. Dll. Ini salah satu versi itu, yang akhirnya aku upload di Slideshare

Yang sedang cuup banyak didiskusikan juga adalah New Convergence: kisah bagaimana konvergensi lebih lanjut harus dilakukan untuk mengelola network, aplikasi, dan content layanan-layanan digital yang seluruhnya telah berprotokol Internet namun pengelolaannya saat ini masih terpisah.

Jadi, materi apa lagi yang harus dipasang di Slideshare? Ada request? Jangan tentang Wagner yach :).

Wagner dan Faust

Tuhan berdebat tentang manusia, melawan Mephisto:

Wenn er mir auch nur verworren dient,
So werd ich ihn bald in die Klarheit führen.
Weiß doch der Gärtner, wenn das Bäumchen grünt,
Das Blüt und Frucht die künft’gen Jahre zieren.

Nun gut, es sei dir überlassen!
Zieh diesen Geist von seinem Urquell ab,
Und führ ihn, kannst du ihn erfassen,
Auf deinem Wege mit herab,
Und steh beschämt, wenn du bekennen mußt:
Ein guter Mensch, in seinem dunklen Drange,
Ist sich des rechten Weges wohl bewußt.

Itu cuplikan bagian awal dari Faust, satu kisah yang direka ulang oleh Goethe dari kisah Eropa klasik. Tuhan berusaha meyakinkan Mephisto, bahwa manusia bebas akan cenderung mengarah ke kebaikan; bahwa segelap apa pun manusia membawa jiwanya, ia akan cenderung kembali ke cahaya kecemerlangan. Maka Mephisto sang setan berusaha membuktikannya melalui Faust. Bagian2 ini sudah aku tulis di site ini bahkan sebelum dia berubah jadi blog :). Kebetulan Sabtu malam kemarin aku mampir ke Salihara, dan melihat kuliah dari Dewi Candraningrum tentang Goethe dan Islam. Jadi mendadak Faust terhadirkan lagi.

Faust versi Goethe ini konon menjadi puncak dari karya-karya Goethe. Bukan saja karena keanggunan sastrawinya, tetapi ia memuncakkan pemikiran Eropa masa itu. Agama, kekuasaan, dan narasi lama menjadi pembelenggu yang tak lagi dapat ditolerir. Tokoh Faust benar-benar dalam puncak tekanan akibat kejumudan diri yang tak tertahankan. Maka, satu-satunya jalan yang ditawarkan untuk keluar dari kejumudan pun ia ambil: bekerja sama dengan setan. Kejahatan setan adalah satu hal, tapi membiarkan diri dalam kejumudan adalah kejahatan yang buat Faust lebih keji. Dan tokoh Tuhan hanya memantau acuh: manusia yang berusaha mencapai yang terbaik dengan kejujuran hatinya, akan kembali menemukan cahaya.

Sebagai anak muda Eropa, Richard Wagner terbawa semangat Goethe ini. Dan sebagai komposer muda, ia sempat menyusun sebuat overture yang dimaksudkan untuk menjadi pembuka pentas Faust. Sebuah karya yang sungguh gelap.

Mungkin ini memang bukan karya Wagner terbaik — saat itu dia masih agak jauh dari puncak karyanya. Yang menarik adalah bahwa jalan hidup Wagner pun amat bergaya Faustian. Idealis muda yang selalu gelisah itu akhirnya mengisi hidupnya dengan jalan-jalan yang dianggap gelap dan salah: bergabung dengan kaum anarkis, menjadi hedonis dan punya banyak hutang, memusuhi kaum Yahudi secara terbuka, merebut istri sahabatnya (ya, ini Faustian sekali), bahkan konon menginspirasi Nietzsche untuk membunuh Tuhan.

Kita bukan Tuhan yang berhak menentukan apakah Wagner juga khusnul khatimah seperti Faust versi Goethe. Tapi karyanya mengispirasi dunia dengan cara yang bahkan tak terpahami mereka yang terpengaruhi olehnya. Seperti, haha, ya, seperti sang tokoh Tuhan itu menumbuhkan tunas-tunas pepohonan secara diam-diam, dan tiba-tiba manusia menyadari adanya bunga-bunga indah dan buah yang manis lebat berserakan bertumpukan menghiasi rantingnya dari demi hari.

Wagner dan Anarkisme

Antara 1848-1849 terjadi revolusi, yang dimulai di Berlin dan menyebar di negara2 lain yang kini menjadi Jerman. Majelis Nasional yang baru dibentuk, Parlemen Frankfurt, bersidang dan menyerukan dibentuknya Jerman baru berbentuk monarki konstitusional. Pemilu dilakukan di negara2 itu. Maret 1849, konstitusi berhasil dirumuskan, lalu Friedrich Wilhelm IV dari Prussia ditawari mahkota. Namun Majelis Nasional masih bergantung pada kerjasama para kaisar dan pemimpin2 lama. Friedrich Wilhelm IV menolak. Majelis Nasional terpecah. Di Sachsen, raja Friedrich August II tak mengakui konstitusi dan membubarkan Parlemen Sachsen. Rakyat Sachsen memberontak di bulan Mei. Situasi kacau, dengan pengawal yang ragu untuk memihak raja atau rakyat, dan raja yang akhirnya meminta bantuan tentara Prussia untuk menyerbu.

Dresden, ibukota Sachsen, sebelumnya dikenal sebagai pusat budaya kaum liberal dan demokrat. Seorang music director, Karl August Röchel menerbitkan Harian Dresden, yang sering memuat tulisan tokoh anarkis Mikhail Bakunin. Komposer Richard Wagner, yang waktu itu menjadi konduktor di Royal Saxon, mendukung revolusi sejak 1848, dan berkarib dengan Röchel dan Bakunin, serta turut menulis artikel agitasi mendukung revolusi. Saat revolusi Mei, ia turut membuat granat tangan dan menghadang tentara Prussia. Tapi revolusi akhirnya dipatahkan. Bakunin ditangkap, sempat dijatuhi hukuman mati, tapi lalu dibuang ke Russia. Wagner jadi buron, dan melarikan diri ke Paris, lalu ke Zürich.

Di saat2 itu, Wagner memulai tetralogi opera terbesarnya: Der Ring Des Nibelungen. Dimulai di Dresden, tapi disusun ulang dan ditulis garis besar kisahnya di Zürich. Modifikasi kisah tua budaya Nordik itu sedikit banyak menampilkan gaya anarkisme Wagner :). Wotan dan dewa2 lain ditampilkan sebagai para penguasa angkasa yang bising, sok tahu, namun bodoh. Hah, terlalu sering aku meringkas tetralogi ini. Di akhir cerita, Götterdämmerung, dengan optimisnya Wagner meruntuhkan Valhalla dengan seluruh dewa. Tokoh pahlawan diciptakan dari manusia (tapi keturunan dewa): Siegfried, yang tak kenal takut, tak kenal aturan, memiliki keberanian yang naïf, dan akhirnya gugur dengan cara tak menarik.

Cuplikan dari Wagner dulu, saat Siegfried sibuk membentuk kembali pedang Notung peninggalan kedua orang tuanya, disaksikan bapak tirinya yang culas:

Kembali ke anarkisme. Aku sendiri tak menganggap benda ini sepenuhnya negatif. Kaum anarkis memang selalu dipojokkan sebagai kaum anti kemapanan, anti pemerintahan, pro kekacauan, vandal, dll. Tapi sebenarnya kaum anarkis hanya berjuang untuk meningkatkan kedaulatan manusia sebesar mungkin, dan mengurangi peran pemerintahan hingga seminim mungkin.

Anarkisme memang jadi paradox :). Mungkin kaum anarkis pun belum selesai mendefinisikan diri. Rentangnya dari Bakunin yang — dengan menepis asumsi Rousseau bahwa negara, atau pemerintahan, disusun atas dasar kontrak sosial — menganggap negara adalah pengabadian penindasan dan perbudakan; hingga kaum2 anarkis yang lebih lunak yang sekedar berminat menghapuskan hak negara melakukan kekerasan terhadap rakyat. Dengan mengusung kemerdekaan dan keanekaragaman individual, kaum anarkis tak menganggap perserikatan antar mereka punya kekuatan yang penuh :). Memperpanjang paradox ini, kaum anarkis tidak akan bisa berkuasa. Tak akan bisa mereka bertahan membangun partai, berkoalisi, dan menyusun pemerintahan yang mereka kehendaki dengan peran pemerintah sekecil mungkin. Kalaupun mereka bisa berserikat, dan mempercayai kekuatan serikat itu (entah dengan pendekatan yang mana), gerakan2 anarkis itu akan seketika dikucilkan baik oleh kaum kanan yang berkehendak mempertahankan kekuasaan feudal, menghujamkan kekuatan organisasi agama, mencampuradukkan kekuatan kapital dengan pemerintahan, hingga kaum kiri yang menganggap perlunya menyusun kediktatoran proletariat yang temporer (entah temporer berapa abad) untuk menyusun kondisi ideal mereka. Kaum anarkis seperti Bakunin memang justru jadi bebuyutan kaum komunis. “Berikan kekuasaan kepada kaum marxist, dan tak lama mereka akan jadi pemerintah yang lebih kejam daripada tsar,” begitu ramalannya. Bakunin juga mungkin jadi satu2nya tokoh dunia yang pernah membayangkan adanya konspirasi antara Karl Marx dan Rotschild :D. “Marx akan membuat semua dikendalikan negara. Lalu bank2 dibubarkan dan dibentuk satu bank yang terpusat saja. Rotschild kan?” gitu tuduh Bakunin.

Sayangnya, mungkin satu2nya contoh di mana kaum anarkis pernah membentuk pemerintahan adalah pada Republik Pertama, yang dibentuk di Perancis setelah Bastille diserbu. Pemerintahan ini dalam sejarah lebih disebut sebagai pemerintahan teror, dan runtuh dalam waktu yang tak terlalu lama.

Hah, tadinya tulisan ini akan jadi bagian pertama dari deretan para tokoh yang (pernah) mempengaruhi Wagner. Tahun 2006, aku pernah menulis tentang beberapa tokoh yang dipengaruhi Wagner: Stephen Hawking, Edward Said, Bernard Shaw, James Herriot. Cita2nya, aku coba menulis tentang mereka yang mempengaruhi Wagner. Misalnya: Goethe, Schopenhauer, Shakespeare, Beethoven, hingga Bakunin. Tapi mungkin aku tak akan sempat juga. So, stop dulu di sini :)

TV Sosial

Yang membuat IPTV jadi menarik — buat aku — bukan karena TV, tetapi justru karena IP. IP telah merevolusi komunikasi data, komunikasi manusia, hingga budaya manusia. Kini kita mengharapkan IP akan merekonstruksi dunia TV yang amat membosankan itu menjadi media yang interaktif. Memang cukup banyak yang cuma bisa sinis menganggap IPTV adalah cita-cita yang terlalu tinggi di atas infrastruktur Internet Indonesia yang masih buruk. Dan ini mengingatkanku pada gambar telur dan ayam yang aku presentasikan juga di Taipei minggu lalu.

Berbicara tentang network dan content, orang sering merasa terperangkap oleh jebakan ayam dan telur: mana yang harus lebih dahulu. Padahal ini bukan jebakan. Yang orang pesimis lihat sebagai lingkaran setan bukanlah lingkaran: itu sebuah spiral. Di dalamnya ada yang berputar seperti lingkaran, tapi membesar dan bertumbuh. Network, yang buruk dan asal ada, memungkinkan kita menyusun aplikasi kecil, seperti mail atau text messaging, lalu akan diisi content teks, lalu akan membentuk interaksi dan market, yang berikutnya akan membebani network, tapi juga menciptakan demand, dan menciptakan alasan investasi pengembangan dan perbaikan network, yang lalu akan menciptakan network yang sedikit lebih baik, untuk diisi aplikasi yang lebih rakus (misalnya diisi gambar), yang lalu diisi content, market, network, aplikasi, content (kini video), market, network, aplikasi, content (video dengan delay rendah untuk komunikasi dua arah?), dst, dst. Semuanya tumbuh bertahap. Yang diperlukan adalah dorongan untuk aplikasi baru, content baru, interaksi baru, dst. Ini adalah konteks yang juga saat ini membuat kita wajar memiliki IPTV, dan membangun network yang lebih baik.

Apa saja peluang interaktivitas TV? Cukup banyak. Dari yang bersifat nilai tambah pada TV: TV dengan kendali orang tua, TV dengan penyimpanan, TV dengan review, TV dengan setting favorit. Lalu TV dengan interaksi terkait media sosial (Twitter, Facebook, Yahoo Messenger, Koprol, Flickr, Youtube). TV dengan e-commerce (bayangkan jika ini dikaitkan dengan iklan, review dari media sosial, dan kemampuan untuk langsung bertransaksi).

Sedang utak-atik soal ini, aku terantuk ke satu artikel di Computer. Ini mengenai salah satu alternatif interaktivitas TV, yang dinamai Social TV (TV Sosial). Pelopornya Marie-José Montpetit dari MIT. Bersama mahasiswanya, ia menyusun prototip TV Sosial ini. Mereka mengeksplorasi konsep-konsep seperti remote kontrol cerdas, TV partisipatif, dan narasi yang disusun pemirsa. Tentu juga mereka mendalami pengkaitan TV dengan berbagai media sosial terkini. Yang buat mereka menarik adalah agregasi database video yang diambil dari YouTube. Yang tersimpan bukan saja video, tetapi metadata, review, dll; dan informasi antar user yang berisi content yang baru dilihat, yang dianggap menarik, dll. Interaksi antar user dapat terjadi. Dan pesan semacam ini dapat dimatikan kapan saja jika pemakai menganggapnya mengganggu.

Lebih jauh, Montpetit melakukan hack yang memungkinkan interaksi antara iPhone dengan set-top box (STB), sehingga pengguna dapat menyaksikan acara mereka pada perangkat mobile. Juga ini memungkinkan user berinteraksi lebih bebas dengan perangkat mobile-nya, kalau ini dianggap lebih nyaman daripada langsung bekerja pada perangkat TV dan remote control-nya. Saat ini ia sedang mendalami feature-feature penting untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan. Hah, keamanan. BTW, apa bedanya security dengan privacy? Haha.

4G Forum di Taiwan

Di kalender, kunjungan jarak jauh berikutnya masih bulan September: sebuah konferensi di Beijing. Tapi mendadak masuk permintaan untuk mengisi satu sesi dalam 4G International Forum yang diselenggarakan di Sheraton Taipei. Hahah, Obama aja cuman di G20, G7. Ini G4 coba :p.

Paper sudah dimasukkan di bulan Juni. Visa diurus dalam waktu 3 hari (tulisan tentang ini ada di blog satunya). Sayangnya Garuda Indonesia tak terbang langsung ke Taiwan. China Airlines menyelenggarakan shared-code flight bersama Garuda, tapi jadwalnya tak menarik (dan tidak aku paksakan juga — ini bukan Garuda beneran). Akhirnya Singapore Airlines. Berangkat Minggu pagi lalu, dengan penerbangan pukul 6:00 WIB, transit di Singapore (08:00 – 11:00 waktu Singapore), dan tiba di Taipei Taoyuan Airport pukul 17:00 waktu Taiwan. Sore itu, aku kontak Erly Bahsan, seorang blogger yang aku kenal di angkatan kedua (2001 ke atas, waktu blogger sudah mulai membentuk komunitas, blogger.com sudah membuat blogspot.com, dll). Erly meneruskan kuliah di Taiwan sejak tahun lalu, dan lebih aktif tweeting daripada blogging :).

Senin 12 Juli, 4G Forum dimulai. Speaker berasal dari kampus dan lembaga riset (termasuk dari RRC, di mana merupakan keluarbiasaan bahwa mereka bisa datang ke Taiwan), dari developer dan manufacturer (Nokia Siemens Network, Ericsson, Alcatel Lucent, Huawei), lembaga konsultansi, regulator, operator, dll. Hari ini aku banyak mempelajari berbagai aspek 4G Mobile yang ditinjau dari berbagai sisi. Cukup berimbang antara penyajian madzhab LTE dengan madzhab WiMAX, serta berbagai urusan interoperabilitas serta aplikasi bersama. Sangat memperkaya, haha :). Tidak ada waktu buat break. Coffee time, lunch time, dipakai untuk networking dan perbincangan2 lain. Kalau aku sempat duduk sekedar tweeting, Mr Enoch Tan akan memperkenalkanku ke salah satu tokoh penting (diempasis seperti itu) yang harus diajak berbincang. Seru, asik, menegangkan (nggak boleh ngantuk). Aku sempat tweeting justru sambil mendengarkan presentasi :).

Ada sebuah peragaan WiMAX yang menarik. WiMAX, dikoneksi via WiFi ke iPad, digunakan untuk menampilkan sebuah video dari iPad. Kecepatannya bisa melebihi video yang sama yang ditampilkan secara lokal dari sebuah notebook di sebelahnya. Menarik. Juga penggunakan telefon via WiMAX.

Anehnya, tidak ada acara yang disiapkan untuk malamnya. Tidak ada semacam gala dinner atau hal2 semacam itu. Dan karena malam tak sehat buat aku jalan2 keliling, aku mengunjungi tiga titik di Taipei: Sun Yat Sen memorial hall, Taipei 101 tower, dan terakhir Chiang Kai Shek memorial hall. Aku cuman mau lihat arsitektur dari hal2 yang dikerjakan dengan keseriusan tingkat tinggi (untuk menghormati orang2 yang dianggap penting). Di Taipei 101, aku menyesatkan diri ke toko buku (wajib ini mah). Dapat Le Petit Prince edisi huruf kanji, dalam versi halaman kanan (kayak Al-Quran) dan versi halaman kanan (kayak buku Sang Kancil). Tak sia2 memilih CKS Memorial paling malam. Tampilan malamnya pun masih menarik, dengan langit malam musim panas yang masih merona merah. Tapi aku memang dilarang jalan malam. Kondisi badan turun lagi. Balik lagi ke Sheraton. Oh ya, aku jalan2 sendiri, jadi nggak ada yang ambilin foto, haha :).

Selasa 13 Juli, forum dilanjutkan. Di hari kedua ini, bentuknya gabungan antara presentasi dan panel. Aku memperoleh giliran berpresentasi di sesi pertama, giliran kedua. Judul presentasinya klasik nian: “4G Mobile: opportunities & challenges in Indonesia” :). Dipresentasikan dalam 20 menit, aku memulai dengan bercerita tentang kondisi Indonesia: bagaimana publik cukup mengantusiasi gaya hidup mobile Internet, dilihat dari rank Twitter, Facebook, dan Opera Mini kita. Lalu persiapan2 Telkom Group masuk ke network 4G (LTE dan WiMAX). Lalu ke bagaimana ini dimatchkan dengan potensi dan demand dari komunitas developers, enthusiasts, dan lifestylists (nggak, aku nggak pakai istilah kayak gini) se-Indonesia. Sedikit juga tentang Indigo, IPTV, dan SDF/SDP. Lalu beberapa model implementasi LTE untuk daerah dan segmen yang beragam, dengan model migrasi yang berbeda. Lalu ke regulasi WiMAX. Selesai tepat 20 menit.

Setelah presentasi itu, aku harus menunggu 20 menit untuk mendengarkan presentasi implementasi 4G, khususnya WiMAX, di Filipina. Dan aku harus naik panggung lagi untuk mengikuti diskusi panel yang memakan waktu setengah jam. Tugasku selesai.

Selesai? Tentu tidak. Di bawah, networking masih berlanjut. Sekarang aku diperintahkan Mr Tan untuk menemui Profesor dari RRC itu (nggak ditulis namanya ah, takut digoogle beliau). Beliau memiliki posisi cukup penting, dan harus dikawal beberapa orang :). Seharusnya aku datang dari Indonesia nggak sendirian :). Diskusi serius tentang regulasi, tentang IEEE, tentang konferensi lainnya, dll. Lalu diskusi lagi dengan pihak dari kementrian Taiwan. Lalu aku pamit ke Mr Tan untuk pulang duluan.

Pesawatku berangkat tengah hari; jadi aku tak mengikuti konferensi sampai selesai. Rincian perjalanan aku tulis saja nanti di blog satunya :). Taipei ditempuh dalam 5 jam melalui turbulensi yang khas Asia Timur. Haha. Kalimat peringatan bahwa kondisi udara sedang buruk itu tidak pernah diseriusi lagi oleh siapa pun, karena jadi peringatan rutin di kawasan ini (termasuk Indonesia). Transit sebentar di Singapore, melaju lagi ke Jakarta, dan melandas menjelang tengah malam.

Aku bangun setiap sekian menit tadi malam. Efek turbulensi tak menggangguku di angkasa. Tapi sampai darat, ia masih berlanjut. Rasanya kasur terus berputar.

Jalan-Jalan ke Malang

Dalam break antara sesi diskusi Dave Bowler Februari lalu, sebuah telefon masuk. Nomor Malang. Dan di ujung sana — sebuah surprise — suara Pak Sholeh. Beliau mengajak sesekali menjenguk kampus Brawijaya, kalau sedang kebetulan ke Jawa Timur. Antara Februari sampai Mei itu, aku sudah melintasi garis khatulistiwa dan garis bujur 0 derajat. Aku juga sudah menghampiri — biarpun belum menembus — batas barat dan timurku (Cardiff kira2 sejajar Lannion dan masih kurang barat dibandingkan Glasgow; juga Mactan masih 1 derajat kurang timur dibanding Minahasa). Tapi ternyata belum sampai juga aku ke Jawa Timur.

Akhirnya, aku menyengaja datang ke Malang tanggal 19 Juni 2010 – berultah di kota yang sempat membesarkanku :). M Ary Mukti langsung bersedia bergabung – kebetulan ada kompetisi robotika antar kampus yang diselenggarakan di Malang. Dan yang menarik, Arief Hamdani juga berminat bergabung. Waktu diarrange bersama Pak Sholeh. Trus memilih transportasi. Tak banyak waktu luang di pertengahan tahun ini. Jadi aku harus berangkat pada Hari-H itu juga. Arief Hamdani sempat naik kereta pada H-1, sementara Ary Murti sudah dari H-2 ada di Malang buat bermain2 dengan robot2nya.

Dini hari, aku sudah meluncur ke Soekarno-Hatta Airport (CGK). Masih dengan nada kelelahan dari hari2 sebelumnya. Sarapan sebentar di Sunda Kelapa Lounge (dan ketemu Rakhmat Januardi, juga alumnus Unibraw), aku langsung boarding. Dan bukan pertama kali aku tertidur justru waktu pesawat selesai proses taxi dan sedang tinggal landas. OK, jadi aku tak merasai lompatan sang Garuda. Aku terbangun di atas Jakarta Timur. Notebook dibuka, dan presentasi dibereskan. Ini adalah gabungan dari presentasi2 IEEE sebelumnya, ditambah dengan ikhwal New Convergence. Aku review sebentar, saat pemandangan yang akrab di mataku tampil di luar jendela. Hey, itu Mt Semeru! Cuaca cerah, hingga Mt Semeru tampak di jendela. Nampaknya pesawat memasuki landasan ini dari arah Selatan :). Landasan Abdurrachman Saleh (MLG) ini pendek, tetapi Garuda mendarat dengan percaya diri, tanpa hentakan.

Ini perjalanan pendek. Tapi aku bawa 1 luggage. Dan beratnya mendekati batas berat luggage untuk kartu GFF Platinum, yaitu 30kg. Aku memang iseng membawai jurnal2 IEEE Communications dan IEEE Internet Computing beberapa tahun terakhir ini ke Malang buat oleh2. Plus 2 DVD berisi berbagai proceeding. Tentu berat :). Menyeret luggage antik ini, pandangan tertumbuk ke senyum Pak Sholeh. Dan di sebelahnya: Pak Chairuzzaini :). Wow, kejutan!

OK, orang2 ini special buat aku. Pak Sholeh adalah satu dari penguji skripsiku. Dan bukan penguji yang murah hati. Tapi beliau mengasah skripsiku jadi lebih tajam dan membuat aku suka membacanya lagi :). Beliau juga pernah memberi nilai B buatku di mata kuliah Komunikasi Optik (minoritas B, tidak ada A di kelas itu), dan membuat aku jadi harus menghabiskan liburan buat belajar komunikasi optik lebih serius — malu sama nilai.

Pak Zaini mewarnai masa kuliahku bahkan dari hari pertama – beliau adalah dosen waliku. Juga pengarah waktu aku jadi redaksi majalah Quad. Beliau suka becanda, tapi jarang tertawa. Jadi aku suka berbagi canda di ruang kerja beliau, sambil sama2 berkeras untuk tak tertawa. Pun sikap beliau di kelas tak jadi lunak. Ujian, jaket harus dilepas (itu agak jadi masalah buat aku). OK, aku cerita 2 episode dulu tentang Mr Zaini sekian tahun sebelumnya. Yang lain … lain hari.

Episode 1. Aku baru datang dari LPK Kopma — tempat aku cari uang jadi instruktur komputer. Tensi turun (kayak sekarang), pusing, dan kehujanan. Di pintu kelas, aku malah tanya ke Pak Zaini: “Hari ini kuis nggak Pak?” Beliau bertanya serius: “Kalau kuis kenapa?” Dan aku jawab: “Kalau kuis, saya mau masuk.” Beliau menyuruh masuk. Kelas penuh, jadi aku duduk paling depan. Pak Zaini mulai mengajar. Tapi … “Tapi nggak ada kuis. Kamu boleh istirahat saja,” kata beliau. Aku minta izin, “Boleh tidur di sini, Pak?” Dan tetap dengan muka sama2 serius, beliau membolehkan. Aku benar2 tidur di kelas, di kursi paling depan. Bangun, papan tulis sudah penuh skema dan berbagai huruf latin dan Yunani. Analisis transien dengan … aku langsung protes: “Yang di tengah kan short, Pak? Buat apa dihitung. Nantinya akan ke 0.” “Itu dia. Nantinya dia akan stabil di 0. Sebetulnya nggak usah dihitung. Yang bangun tidur saja tahu,” kata beliau. OK, aku belum ketinggalan. Jadi kuliah diteruskan.

Episode 2. Aku udah nggak punya kuliah yang dipegang Pak Zaini. Jadi aku mulai iseng main2 ke rumah beliau. (Aku nggak suka berakrab2 dengan dosen, kalau aku masih tergantung pada dosen itu. Ini efek dari zaman SMP, dimana guru2 doyan ngasih nilai bagus buat murid2 yang suka berakrab2 — I hate that). Kebetulan dosen pembimbing skripsiku rumahnya dekat beliau. Masuk rumah, aku lihat Pak Zaini sedang menggali2 taman. Memakamkan kertas2 ujian. “Mahasiswa kayak kamu, ingat Bismillah hanya waktu ujian. Ditulis lagi. Jadi nggak bisa dibakar, dan tentu nggak bisa dijual. Dikubur saja.” “Saya nggak bantu ya Pak. Pusing nih.” Beliau senyum. Trus aku berbaring di kursi malas, dan beliau mengambilkan air jeruk, dan meneruskan menggali2 tanah. Bener2 mahasiswa kurang ajar. Tapi aku lelah :). Selesai, kami nonton Jurassic Park :). Duh, masih ingat. Kacau.

Pak Zaini sudah sempat operasi jantung 9x. Jadi amat ajaib bahwa beliau sempat ikut menjemput aku ke airport. Benar2 kejutan luar biasa. Kami langsung ke kampus. Di tengah jalan, beliau sempat menyampaikan keheranannya bahwa beliau masih bisa hidup setelah melalui 9x operasi jantung itu. Aku riang saja menyampaikan bahwa tampaknya ada hal yang harus beliau lakukan sebelum suatu hari kita semua pergi. Itu diskusi sambil ketawa-ketawa. Sambil bahas urusan jabulani si bola ajaib. Dan Smith Chart, haha. Kampus cukup dekat dari airport, jadi tak lama kami sudah sampai Departemen Teknik Elektro Unibraw. Satu sesi kopi dulu buat menyegarkan pagi. Tak lama bergabunglah Ary Murti yang baru menjemput Arief Hamdani ke stasiun. Kami langsung masuk ke salah satu ruang kelas.

Kelas terisi sekitar 80 orang, termasuk beberapa dosen, dan dosen senior. Ada Mr Dhofir yang dulu menghadiahiku nilai A untuk Teori Medan (dan membuatku doyan menulisi Maxwell Equation di mana2). Ada Mr Wahyu, yang tugas2 seminarnya dulu bikin panik, tapi bikin aku mendadak pintar bahasa Inggris (reading, skimming, etc). Serius, Mr Wahyu ini salah satu yang paling berjasa bikin aku bisa bahasa Inggris :) — tak termasuk speaking :). Ada Mr Daru, teman seangkatanku, yang dulu doyan naik gunung dan tempat 2 liar seantero Nusantara. Lucu juga temen seangkatanku ni — wajahnya nggak berubah. Ada … eh, kuliah dimulai.

Kuliah ini bertema 4G Mobile Network. Materinya tak jauh dari yang sering disampaikan di forum2 IEEE. Tapi ada yang menarik. Teman2 di Unibraw ternyata sudah cukup mendalami technology behind 4G. Aku banyak melakukan skip2, sambil cukup memberikan simpulan2 di titik2 tertentu. Lalu Arief Hamdani menjelaskan soal LTE, including oleh2 info terbaru dari LTE Summit di Amsterdam bulan sebelumnya. Lebih menarik lagi, tanya jawab langsung terjadi, dan langsung menembak bagian2 kritis; baik pada teknologi, implementasi, hingga arah bisnis. Surprise juga :). Di kampus lain mahasiswa tak seaktif ini, terutama di depan dosen2 mereka. Aku serasa kembali sekian tahun lalu, waktu berdebat panjang dengan Widiyanto dan Sigit Shalako tentang perlunya membuat Workshop Mahasiswa yang melengkapi materi kuliah dosen. Kekurangajaran kami tak unik — itu tradisi yang berlanjut sampai sekarang. Ary Murti memancing dengan bercerita tentang IEEE Student Branches yang mulai didirikan di kampus2 tetangga. Mudah2an pancingannya berhasil :).

Sayang, waktu terlalu singkat. Arief Hamdani langsung meluncur ke Juanda Airport mengejar pesawat untuk kembali ke Jakarta. Aku meneruskan diskusi tentang Mobile Content (context-aware applications). Lalu mengakhiri kuliah. Trus lunch rawon dengkul di Jl Ijen. OK, mungkin kolesterolnya tinggi, masih dengan Mr Zaini dan Mr Sholeh. But it was my birthday. Boleh donk pesta :).

Sisa hari dihabiskan dengan menemani Ary Murti ke Kompetisi Robotika Antar Universitas yang diselenggarakan di Univ Muhammadiyah Malang. Kebetulan Ketua Dewan Juri-nya Dr Wahidin Wahab — juga salah satu past chair dari IEEE Indonesia Section. Kompetisi yang sungguh menarik. Aku baru sadar bahwa mahasiswa Indonesia sudah sedemikian advanced-nya merancang prototype robot2 dengan berbagai tugas (pemadam kebakaran, penari, dll). Dan tak terasa Malang memasuki tengah malam. Dinner di dekat Pulosari. Lalu … z z z z z.

Dan paginya Garuda menerbangkan aku lagi ke Jakarta. Siang dink. Delay 2 jam. Tak apa. Aku berterima kasih bahwa Garuda memberiku delay waktu pulang, bukan waktu berangkat ke Malang. Plus, delay sambil melihat lereng Gunung Semeru dan Gunung Arjuno, itu seperti bonus tambahan untuk trip hari ini. Luggage yang sempat kosong, kali ini diisi kripik tempe, kripik apel, kripik salak, dll.

LTE-Advanced vs WiMAX II

Pertengahan 2010 ini, IEEE Comsoc Indonesia Chapter akan mengubah tema kuliah 4G-nya, dari Opening The Gates to 4G menjadi 4G Engineering. Khalayak akademis dan industri telah makin mengenal teknologi mobile 4G, dan mulai menyusun rancangan network 4G mereka. Telkomsel, provider selular di Indonesia yang terdepan dalam teknologi, sejak tahun lalu menunjukkan komitmennya bergerak ke LTE; dan telah melakukan paparan publik minggu lalu. Mengikuti jadwal dari ITU-R, 4G memang baru akan dideploy secara luas pada tahun 2015. Tahun 2010 ini yang harus dilakukan adalah penyusunan detail teknis setiap kandidat, yang diikuti implementasi awal di tahun 2012. LTE yang ada sekarang adalah bakuan 3GPP Release 8 yang masih disebut Pra-4G, seperti juga WiMAX Mobile (IEEE 802.16e). Kandidat yang sesungguhnya untuk 4G adalah LTE-Advanced (3GPP Release 10) dan WiMAX II (WiMAX Mobile Profile 2, atau IEEE 802.16m).

Baik LTE dan WiMAX menggunakan OFDMA, kecuali sisi upstream dari LTE yang menggunakan single-carrier FDMA untuk mengurangi beban pada terminal. Kecepatan data maksimal (dalam kondisi ideal) diharapkan dapat mencapai 1 Gb/s pada LTE-Advanced, dan 350 Mb/s pada WiMAX II, pada sisi downstream; jika ketersediaan spektrum penuh 20 MHz. Efisiensi spektrum memang diharapkan meningkat sekitar 50% dari LTE ke LTE-Advanced dan dari WiMAX ke WiMAX II. Baik LTE-Advanced maupun WiMAX II diharapkan mampu mentransportasikan data pada user dengan kecepatan gerak maksimal 350 km/jam.

Detail teknis lebih rinci, untuk LTE-Advanced dapat diacu di tlk.lv/4g, dan untuk WiMAX II di tlk.lv/wimax. Sebelum melakukan perbandingan teknis, kita perlu ingat bahwa ada perbedaan tata istilah antara kedua madzhab itu, dengan nuansa interpretasi teknis yang mungkin membuat keduanya tak mudah secara tepat dibandingkan.

LTE telah digelar secara komersial oleh TeliaSonera di wilayah Skandinavia, yaitu di Stockholm (dengan vendor Ericsson) dan Oslo (dengan vendor Huawei). WiMAX mengaku telah digelar 500-an provider. Tapi belum ada satu provider pun yang menggelar LTE-Advanced maupun WiMAX II.

Kedua madzhab memiliki kekuatan cukup berimbang. LTE didukung provider selular incumbent yang merupakan mayoritas penyelenggara telekomunikasi, dengan pengalaman panjang, dan jumlah user yang besar. Namun 4G bukan melulu soal telekomunikasi: ia adalah komunikasi informasi. WiMAX telah banyak digelar (termasuk sebagian oleh provider yang sama), dan didukung lebih banyak developer baru, dengan content2 yang terproliferasi cepat dari kawasan dunia IT (dibandingkan dunia telekomunikasi yang pengembangan contentnya tak dapat terlalu cepat). Arsitektur network yang bersifat hibrida lebih mungkin dibangun untuk membentuk integrasi yang merupakan saingan keras bagi operator LTE.

Di kuliah2 IEEE, selalu kami ingatkan bahwa 4G bukan hanya soal network, dan bukan hanya soal kecepatan data :). Cognitive-radio, context-aware services & contents, dan user-defined environment merupakan nature bisnis pada dunia mobile 4G. Kekuatan beralih pada user yang memiliki kekuatan untuk memilih sendiri (tanpa dibelenggu keterikatan): admin, network, service, dan context. Tarif, price, dan keseluruhan gaya bisnis akan menjadi dinamis dan menjadi bentuk yang berbeda.

Sambil menunggu deployment, ada cukup waktu — tapi tidak panjang — untuk mulai merancang layanan2 inovatif untuk memperkaya gaya hidup mobile digital kita beberapa tahun ke depan. Komersialiasi lebih dimungkinkan bagi pemain lokal dan para startup. Tapi, memang perlu semangat juang yang tinggi dan ekstra keras, karena kompetisi pun tak bertambah ringan :).

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑