Page 10 of 180

Connected

Sebagai seorang pemula, aku memang melakukan banyak kesalahan di Twitter. Salah satunya adalah sering lupa melakukan follow-back. Sambil mengikuti kuliah bersama Goenawan Mohamad dan Roby Muhamad di Komunitas Salihara, aku coba cari account Twitter Oom/Mas/Aa Roby. Tweetnya semenarik kuliahnya. Ternyata beliau sudah follow aku, entah dari tahun berapa, dan aku belum follow back. Secara professional, ini durhaka :). Jadi buru2 aku follow account @robymuhamad.

Roby seorang fisikawan yang memperdalam studi ke sosiologi. Aku tak menyebut ini “beralih” atau “tersesat” :). Semesta memiliki kompleksitas yang berkembang. Matematika mewujud (melalui string atau bukan) ke fisika, lalu dalam jumlah besar berinteraksi dan membentuk hukum turunan yang baru (kuantum, kalor, kosmologi), hingga evolusi yang memunculkan makhluk hidup, manusia, masyarakat, budaya, dst. Tentu kita ingat kekaguman Dawkins pada replikasi meme yang serupa seplikasi gene: apa pun obyeknya, itu sekedar matematika replikasi. Itu satu hukum yang berentet saja. Nah, yang diperdalam Roby, a.l. adalah jejaring sosial. Mungkin Roby adalah amat sedikit orang Indonesia yang melakukan research secara professional dan akademis untuk memahami jejaring sosial.

Di Salihara, Roby mulai bercerita tentang bagaimana influence mengalir di masyarakat. Ia tak mengawali dengan 2.0, Twitter, dll seperti presenter hobbyist seperti kita. Ia memulai dengan kasus semacam kesurupan massal: bagaimana di Afrika sejumlah besar murid sebuah sekolah bisa tertawa bersama, tanpa bisa dihentikan, selama beberapa minggu. Kacau, sekolah dibubarkan, murid dipulangkan. Pulangnya murid2 itu menimbulkan masalah baru. Di kota2 lain tempat murid2 itu dipulangkan, terjadi penularan kembali, sehingga wabah tawa justru menyebar ke banyak kota. Meme yang menakutkan :).

Roby sempat menyebut bahwa soal2 ini diulas dalam buku berjudul Connected. Judul yang tak asing. Aku sendiri punya satu buku berjudul Connected, tulisan Daniel Altman. Connected 24 Hours in the Global Economy. Tapi pasti ini buku yang berbeda. Di rumah, aku langsung menjelajah ke Amazon.co.uk, dan menemukan buku Connected tulisan Nicholas Christakis & James Fowler. Subjudulnya menggambarkan soal jejaring sosial. Bahkan buku ini punya account Twitter tersendiri: @connected_book.

Jejaring sosial, kata buku ini, adalah kumpulan manusia; tetapi yang lebih penting adalah bahwa ia memiliki koneksi, keterhubungan, yang membuat jejaring lebih berarti daripada sekedar kumpulan individu. Jejaring jadi mampu melakukan hal-hal yang tak mampu dilakukan orang-orang itu secara tersendiri.

Berikut disebutkan beberapa hal menarik dalam jejaring:

  1. Kita membentung jejaring kita
  2. Jejaring membentuk kita
  3. Teman-teman mempengaruhi kita
  4. Teman-teman dari teman-teman dari teman-teman kita mempengaruhi kita
  5. Jejaring memiliki kehidupan tersendiri
  6. Antar setiap manusia, terdapat hanya 6 derajat pemisahan
  7. Namun antar teman, hanya terdapat 3 level pertemanan yang menimbulkan pengaruh.

Khusus soal 6 derajat pemisahan, disebutkan bahwa hal ini telah diteliti di US beberapa dekade yang lalu. Namun, menghadapi kecurigaan bahwa angka sekecil 6 hanya dimungkinkan oleh kedekatan geografis, etnik, budaya, dll; maka sekelompok ilmuwan melakukan penelitian dengan jangkauan internasional. Salah satu peneliti ini adalah Roby sendiri.

Lalu sang buku meneruskan bagaimana jejaring mempengaruhi kita dalam menentukan kebahagiaan, mencari pasangan hidup, merawat kesehatan, hingga berjuang demi demokrasi. Beberapa hal yang juga diulas dalam buku ini:

  • Emosi menyebar dari satu manusia ke manusia lain melalui ekspresi wajah. (Emosi pada A -> Ekspresi pada A -> Ekspresi pada B -> Emosi pada B)
  • Kita akan cenderung berbahagia, tercukupi, dan merasa positif, jika dikelilingi orang yang berbahagia.
  • Kesepian adalah sebab dan akibat dari keterputusan hubungan
  • Jika kawan dari kawan dari kawan kita bertambah berat badannya, kita cenderung akan menambah berat badan, walaupun kita tak mengenal orang (atau orang-orang) itu.
  • Keterhubungan bisa berpengaruh positif (menularkan kebahagiaan) atau negatif (menularkan keinginan bunuh diri)

Aku belum menyelesaikan buku ini juga. Dibaca bersamaan dengan buku2 lain, sebagai bagian dari keinginan untuk terus mempelajari fitrah manusia: bagaimana mereka diciptakan, bagaimana mereka berproses, bagaimana mereka dapat mencapai yang terbaik untuk masa depannya. Twitter terlalu keren untuk digunakan becanda tanpa tujuan.

Slideshare

Teman2 bilang, orang Indonesia unik. Setiap selesai presentasi, selalu ada sekelompok orang yang nekat meminta bahan presentasi kita. Aku sih menganggapnya positif: ada keinginan untuk mendalami materi presentasi, yang memang aku yakin memerlukan waktu pendalaman lebih dari waktu seminar yang cuma beberapa jam saja. Biasanya materi semacam itu aku bagikan, dalam bentuk PPTX (bukan PDF). Erh, bukan berarti aku lebih suka Powerpoint daripada Keynote. Tapi … you know … pemakai Mac di Telkom itu amatlah minoritas. Entah kalau iWorks nanti menyerang melalui iPad. Oh ya, ternyata Indonesia tidak unik. Berpresentasi di negara mana pun, ternyata selalu ada yang tak malu-malu meminta materi presentasi kita. Dan bukan hanya hadirin, tetapi juga sesama presenter.

Jadi aku kembali ke Slideshare. Aku sudah sempat mendaftar ke layanan ini di tahun 2008. Tapi kepindahan ke Jakarta dll bikin aku agak lupa urusan ranah maya. Bulan ini account di Slideshare itu aku buka lagi. Ini alamatku:

http://slideshare.net/kuncoro

Lalu materi yang cukup banyak diminta, yaitu pengenalan WiMAX II (IEEE 802.16m).

Materi tentang pengenalan 4G … tak mudah memilihnya. Materi dengan judul yang sama sudah termodifikasi dalam beberapa versi: untuk kampus elektro, kampus non elektro, profesional, hingga masyarakat awam (mis di Gathering Fresh awal bulan ini). Ada versi di mana 4G ditampilkan dalam materi tersendiri, ada yang hanya merupakan pembukaan sebelum diskusi mengenai LTE Advanced dan WiMAX II. Ada yang mendiskusikan soal aplikasi, dan ada yang sama sekali berhenti di network. Dll. Ini salah satu versi itu, yang akhirnya aku upload di Slideshare

Yang sedang cuup banyak didiskusikan juga adalah New Convergence: kisah bagaimana konvergensi lebih lanjut harus dilakukan untuk mengelola network, aplikasi, dan content layanan-layanan digital yang seluruhnya telah berprotokol Internet namun pengelolaannya saat ini masih terpisah.

Jadi, materi apa lagi yang harus dipasang di Slideshare? Ada request? Jangan tentang Wagner yach :).

Wagner dan Faust

Tuhan berdebat tentang manusia, melawan Mephisto:

Wenn er mir auch nur verworren dient,
So werd ich ihn bald in die Klarheit führen.
Weiß doch der Gärtner, wenn das Bäumchen grünt,
Das Blüt und Frucht die künft’gen Jahre zieren.

Nun gut, es sei dir überlassen!
Zieh diesen Geist von seinem Urquell ab,
Und führ ihn, kannst du ihn erfassen,
Auf deinem Wege mit herab,
Und steh beschämt, wenn du bekennen mußt:
Ein guter Mensch, in seinem dunklen Drange,
Ist sich des rechten Weges wohl bewußt.

Itu cuplikan bagian awal dari Faust, satu kisah yang direka ulang oleh Goethe dari kisah Eropa klasik. Tuhan berusaha meyakinkan Mephisto, bahwa manusia bebas akan cenderung mengarah ke kebaikan; bahwa segelap apa pun manusia membawa jiwanya, ia akan cenderung kembali ke cahaya kecemerlangan. Maka Mephisto sang setan berusaha membuktikannya melalui Faust. Bagian2 ini sudah aku tulis di site ini bahkan sebelum dia berubah jadi blog :). Kebetulan Sabtu malam kemarin aku mampir ke Salihara, dan melihat kuliah dari Dewi Candraningrum tentang Goethe dan Islam. Jadi mendadak Faust terhadirkan lagi.

Faust versi Goethe ini konon menjadi puncak dari karya-karya Goethe. Bukan saja karena keanggunan sastrawinya, tetapi ia memuncakkan pemikiran Eropa masa itu. Agama, kekuasaan, dan narasi lama menjadi pembelenggu yang tak lagi dapat ditolerir. Tokoh Faust benar-benar dalam puncak tekanan akibat kejumudan diri yang tak tertahankan. Maka, satu-satunya jalan yang ditawarkan untuk keluar dari kejumudan pun ia ambil: bekerja sama dengan setan. Kejahatan setan adalah satu hal, tapi membiarkan diri dalam kejumudan adalah kejahatan yang buat Faust lebih keji. Dan tokoh Tuhan hanya memantau acuh: manusia yang berusaha mencapai yang terbaik dengan kejujuran hatinya, akan kembali menemukan cahaya.

Sebagai anak muda Eropa, Richard Wagner terbawa semangat Goethe ini. Dan sebagai komposer muda, ia sempat menyusun sebuat overture yang dimaksudkan untuk menjadi pembuka pentas Faust. Sebuah karya yang sungguh gelap.

Mungkin ini memang bukan karya Wagner terbaik — saat itu dia masih agak jauh dari puncak karyanya. Yang menarik adalah bahwa jalan hidup Wagner pun amat bergaya Faustian. Idealis muda yang selalu gelisah itu akhirnya mengisi hidupnya dengan jalan-jalan yang dianggap gelap dan salah: bergabung dengan kaum anarkis, menjadi hedonis dan punya banyak hutang, memusuhi kaum Yahudi secara terbuka, merebut istri sahabatnya (ya, ini Faustian sekali), bahkan konon menginspirasi Nietzsche untuk membunuh Tuhan.

Kita bukan Tuhan yang berhak menentukan apakah Wagner juga khusnul khatimah seperti Faust versi Goethe. Tapi karyanya mengispirasi dunia dengan cara yang bahkan tak terpahami mereka yang terpengaruhi olehnya. Seperti, haha, ya, seperti sang tokoh Tuhan itu menumbuhkan tunas-tunas pepohonan secara diam-diam, dan tiba-tiba manusia menyadari adanya bunga-bunga indah dan buah yang manis lebat berserakan bertumpukan menghiasi rantingnya dari demi hari.

Wagner dan Anarkisme

Antara 1848-1849 terjadi revolusi, yang dimulai di Berlin dan menyebar di negara2 lain yang kini menjadi Jerman. Majelis Nasional yang baru dibentuk, Parlemen Frankfurt, bersidang dan menyerukan dibentuknya Jerman baru berbentuk monarki konstitusional. Pemilu dilakukan di negara2 itu. Maret 1849, konstitusi berhasil dirumuskan, lalu Friedrich Wilhelm IV dari Prussia ditawari mahkota. Namun Majelis Nasional masih bergantung pada kerjasama para kaisar dan pemimpin2 lama. Friedrich Wilhelm IV menolak. Majelis Nasional terpecah. Di Sachsen, raja Friedrich August II tak mengakui konstitusi dan membubarkan Parlemen Sachsen. Rakyat Sachsen memberontak di bulan Mei. Situasi kacau, dengan pengawal yang ragu untuk memihak raja atau rakyat, dan raja yang akhirnya meminta bantuan tentara Prussia untuk menyerbu.

Dresden, ibukota Sachsen, sebelumnya dikenal sebagai pusat budaya kaum liberal dan demokrat. Seorang music director, Karl August Röchel menerbitkan Harian Dresden, yang sering memuat tulisan tokoh anarkis Mikhail Bakunin. Komposer Richard Wagner, yang waktu itu menjadi konduktor di Royal Saxon, mendukung revolusi sejak 1848, dan berkarib dengan Röchel dan Bakunin, serta turut menulis artikel agitasi mendukung revolusi. Saat revolusi Mei, ia turut membuat granat tangan dan menghadang tentara Prussia. Tapi revolusi akhirnya dipatahkan. Bakunin ditangkap, sempat dijatuhi hukuman mati, tapi lalu dibuang ke Russia. Wagner jadi buron, dan melarikan diri ke Paris, lalu ke Zürich.

Di saat2 itu, Wagner memulai tetralogi opera terbesarnya: Der Ring Des Nibelungen. Dimulai di Dresden, tapi disusun ulang dan ditulis garis besar kisahnya di Zürich. Modifikasi kisah tua budaya Nordik itu sedikit banyak menampilkan gaya anarkisme Wagner :). Wotan dan dewa2 lain ditampilkan sebagai para penguasa angkasa yang bising, sok tahu, namun bodoh. Hah, terlalu sering aku meringkas tetralogi ini. Di akhir cerita, Götterdämmerung, dengan optimisnya Wagner meruntuhkan Valhalla dengan seluruh dewa. Tokoh pahlawan diciptakan dari manusia (tapi keturunan dewa): Siegfried, yang tak kenal takut, tak kenal aturan, memiliki keberanian yang naïf, dan akhirnya gugur dengan cara tak menarik.

Cuplikan dari Wagner dulu, saat Siegfried sibuk membentuk kembali pedang Notung peninggalan kedua orang tuanya, disaksikan bapak tirinya yang culas:

Kembali ke anarkisme. Aku sendiri tak menganggap benda ini sepenuhnya negatif. Kaum anarkis memang selalu dipojokkan sebagai kaum anti kemapanan, anti pemerintahan, pro kekacauan, vandal, dll. Tapi sebenarnya kaum anarkis hanya berjuang untuk meningkatkan kedaulatan manusia sebesar mungkin, dan mengurangi peran pemerintahan hingga seminim mungkin.

Anarkisme memang jadi paradox :). Mungkin kaum anarkis pun belum selesai mendefinisikan diri. Rentangnya dari Bakunin yang — dengan menepis asumsi Rousseau bahwa negara, atau pemerintahan, disusun atas dasar kontrak sosial — menganggap negara adalah pengabadian penindasan dan perbudakan; hingga kaum2 anarkis yang lebih lunak yang sekedar berminat menghapuskan hak negara melakukan kekerasan terhadap rakyat. Dengan mengusung kemerdekaan dan keanekaragaman individual, kaum anarkis tak menganggap perserikatan antar mereka punya kekuatan yang penuh :). Memperpanjang paradox ini, kaum anarkis tidak akan bisa berkuasa. Tak akan bisa mereka bertahan membangun partai, berkoalisi, dan menyusun pemerintahan yang mereka kehendaki dengan peran pemerintah sekecil mungkin. Kalaupun mereka bisa berserikat, dan mempercayai kekuatan serikat itu (entah dengan pendekatan yang mana), gerakan2 anarkis itu akan seketika dikucilkan baik oleh kaum kanan yang berkehendak mempertahankan kekuasaan feudal, menghujamkan kekuatan organisasi agama, mencampuradukkan kekuatan kapital dengan pemerintahan, hingga kaum kiri yang menganggap perlunya menyusun kediktatoran proletariat yang temporer (entah temporer berapa abad) untuk menyusun kondisi ideal mereka. Kaum anarkis seperti Bakunin memang justru jadi bebuyutan kaum komunis. “Berikan kekuasaan kepada kaum marxist, dan tak lama mereka akan jadi pemerintah yang lebih kejam daripada tsar,” begitu ramalannya. Bakunin juga mungkin jadi satu2nya tokoh dunia yang pernah membayangkan adanya konspirasi antara Karl Marx dan Rotschild :D. “Marx akan membuat semua dikendalikan negara. Lalu bank2 dibubarkan dan dibentuk satu bank yang terpusat saja. Rotschild kan?” gitu tuduh Bakunin.

Sayangnya, mungkin satu2nya contoh di mana kaum anarkis pernah membentuk pemerintahan adalah pada Republik Pertama, yang dibentuk di Perancis setelah Bastille diserbu. Pemerintahan ini dalam sejarah lebih disebut sebagai pemerintahan teror, dan runtuh dalam waktu yang tak terlalu lama.

Hah, tadinya tulisan ini akan jadi bagian pertama dari deretan para tokoh yang (pernah) mempengaruhi Wagner. Tahun 2006, aku pernah menulis tentang beberapa tokoh yang dipengaruhi Wagner: Stephen Hawking, Edward Said, Bernard Shaw, James Herriot. Cita2nya, aku coba menulis tentang mereka yang mempengaruhi Wagner. Misalnya: Goethe, Schopenhauer, Shakespeare, Beethoven, hingga Bakunin. Tapi mungkin aku tak akan sempat juga. So, stop dulu di sini :)

TV Sosial

Yang membuat IPTV jadi menarik — buat aku — bukan karena TV, tetapi justru karena IP. IP telah merevolusi komunikasi data, komunikasi manusia, hingga budaya manusia. Kini kita mengharapkan IP akan merekonstruksi dunia TV yang amat membosankan itu menjadi media yang interaktif. Memang cukup banyak yang cuma bisa sinis menganggap IPTV adalah cita-cita yang terlalu tinggi di atas infrastruktur Internet Indonesia yang masih buruk. Dan ini mengingatkanku pada gambar telur dan ayam yang aku presentasikan juga di Taipei minggu lalu.

Berbicara tentang network dan content, orang sering merasa terperangkap oleh jebakan ayam dan telur: mana yang harus lebih dahulu. Padahal ini bukan jebakan. Yang orang pesimis lihat sebagai lingkaran setan bukanlah lingkaran: itu sebuah spiral. Di dalamnya ada yang berputar seperti lingkaran, tapi membesar dan bertumbuh. Network, yang buruk dan asal ada, memungkinkan kita menyusun aplikasi kecil, seperti mail atau text messaging, lalu akan diisi content teks, lalu akan membentuk interaksi dan market, yang berikutnya akan membebani network, tapi juga menciptakan demand, dan menciptakan alasan investasi pengembangan dan perbaikan network, yang lalu akan menciptakan network yang sedikit lebih baik, untuk diisi aplikasi yang lebih rakus (misalnya diisi gambar), yang lalu diisi content, market, network, aplikasi, content (kini video), market, network, aplikasi, content (video dengan delay rendah untuk komunikasi dua arah?), dst, dst. Semuanya tumbuh bertahap. Yang diperlukan adalah dorongan untuk aplikasi baru, content baru, interaksi baru, dst. Ini adalah konteks yang juga saat ini membuat kita wajar memiliki IPTV, dan membangun network yang lebih baik.

Apa saja peluang interaktivitas TV? Cukup banyak. Dari yang bersifat nilai tambah pada TV: TV dengan kendali orang tua, TV dengan penyimpanan, TV dengan review, TV dengan setting favorit. Lalu TV dengan interaksi terkait media sosial (Twitter, Facebook, Yahoo Messenger, Koprol, Flickr, Youtube). TV dengan e-commerce (bayangkan jika ini dikaitkan dengan iklan, review dari media sosial, dan kemampuan untuk langsung bertransaksi).

Sedang utak-atik soal ini, aku terantuk ke satu artikel di Computer. Ini mengenai salah satu alternatif interaktivitas TV, yang dinamai Social TV (TV Sosial). Pelopornya Marie-José Montpetit dari MIT. Bersama mahasiswanya, ia menyusun prototip TV Sosial ini. Mereka mengeksplorasi konsep-konsep seperti remote kontrol cerdas, TV partisipatif, dan narasi yang disusun pemirsa. Tentu juga mereka mendalami pengkaitan TV dengan berbagai media sosial terkini. Yang buat mereka menarik adalah agregasi database video yang diambil dari YouTube. Yang tersimpan bukan saja video, tetapi metadata, review, dll; dan informasi antar user yang berisi content yang baru dilihat, yang dianggap menarik, dll. Interaksi antar user dapat terjadi. Dan pesan semacam ini dapat dimatikan kapan saja jika pemakai menganggapnya mengganggu.

Lebih jauh, Montpetit melakukan hack yang memungkinkan interaksi antara iPhone dengan set-top box (STB), sehingga pengguna dapat menyaksikan acara mereka pada perangkat mobile. Juga ini memungkinkan user berinteraksi lebih bebas dengan perangkat mobile-nya, kalau ini dianggap lebih nyaman daripada langsung bekerja pada perangkat TV dan remote control-nya. Saat ini ia sedang mendalami feature-feature penting untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan. Hah, keamanan. BTW, apa bedanya security dengan privacy? Haha.

4G Forum di Taiwan

Di kalender, kunjungan jarak jauh berikutnya masih bulan September: sebuah konferensi di Beijing. Tapi mendadak masuk permintaan untuk mengisi satu sesi dalam 4G International Forum yang diselenggarakan di Sheraton Taipei. Hahah, Obama aja cuman di G20, G7. Ini G4 coba :p.

Paper sudah dimasukkan di bulan Juni. Visa diurus dalam waktu 3 hari (tulisan tentang ini ada di blog satunya). Sayangnya Garuda Indonesia tak terbang langsung ke Taiwan. China Airlines menyelenggarakan shared-code flight bersama Garuda, tapi jadwalnya tak menarik (dan tidak aku paksakan juga — ini bukan Garuda beneran). Akhirnya Singapore Airlines. Berangkat Minggu pagi lalu, dengan penerbangan pukul 6:00 WIB, transit di Singapore (08:00 – 11:00 waktu Singapore), dan tiba di Taipei Taoyuan Airport pukul 17:00 waktu Taiwan. Sore itu, aku kontak Erly Bahsan, seorang blogger yang aku kenal di angkatan kedua (2001 ke atas, waktu blogger sudah mulai membentuk komunitas, blogger.com sudah membuat blogspot.com, dll). Erly meneruskan kuliah di Taiwan sejak tahun lalu, dan lebih aktif tweeting daripada blogging :).

Senin 12 Juli, 4G Forum dimulai. Speaker berasal dari kampus dan lembaga riset (termasuk dari RRC, di mana merupakan keluarbiasaan bahwa mereka bisa datang ke Taiwan), dari developer dan manufacturer (Nokia Siemens Network, Ericsson, Alcatel Lucent, Huawei), lembaga konsultansi, regulator, operator, dll. Hari ini aku banyak mempelajari berbagai aspek 4G Mobile yang ditinjau dari berbagai sisi. Cukup berimbang antara penyajian madzhab LTE dengan madzhab WiMAX, serta berbagai urusan interoperabilitas serta aplikasi bersama. Sangat memperkaya, haha :). Tidak ada waktu buat break. Coffee time, lunch time, dipakai untuk networking dan perbincangan2 lain. Kalau aku sempat duduk sekedar tweeting, Mr Enoch Tan akan memperkenalkanku ke salah satu tokoh penting (diempasis seperti itu) yang harus diajak berbincang. Seru, asik, menegangkan (nggak boleh ngantuk). Aku sempat tweeting justru sambil mendengarkan presentasi :).

Ada sebuah peragaan WiMAX yang menarik. WiMAX, dikoneksi via WiFi ke iPad, digunakan untuk menampilkan sebuah video dari iPad. Kecepatannya bisa melebihi video yang sama yang ditampilkan secara lokal dari sebuah notebook di sebelahnya. Menarik. Juga penggunakan telefon via WiMAX.

Anehnya, tidak ada acara yang disiapkan untuk malamnya. Tidak ada semacam gala dinner atau hal2 semacam itu. Dan karena malam tak sehat buat aku jalan2 keliling, aku mengunjungi tiga titik di Taipei: Sun Yat Sen memorial hall, Taipei 101 tower, dan terakhir Chiang Kai Shek memorial hall. Aku cuman mau lihat arsitektur dari hal2 yang dikerjakan dengan keseriusan tingkat tinggi (untuk menghormati orang2 yang dianggap penting). Di Taipei 101, aku menyesatkan diri ke toko buku (wajib ini mah). Dapat Le Petit Prince edisi huruf kanji, dalam versi halaman kanan (kayak Al-Quran) dan versi halaman kanan (kayak buku Sang Kancil). Tak sia2 memilih CKS Memorial paling malam. Tampilan malamnya pun masih menarik, dengan langit malam musim panas yang masih merona merah. Tapi aku memang dilarang jalan malam. Kondisi badan turun lagi. Balik lagi ke Sheraton. Oh ya, aku jalan2 sendiri, jadi nggak ada yang ambilin foto, haha :).

Selasa 13 Juli, forum dilanjutkan. Di hari kedua ini, bentuknya gabungan antara presentasi dan panel. Aku memperoleh giliran berpresentasi di sesi pertama, giliran kedua. Judul presentasinya klasik nian: “4G Mobile: opportunities & challenges in Indonesia” :). Dipresentasikan dalam 20 menit, aku memulai dengan bercerita tentang kondisi Indonesia: bagaimana publik cukup mengantusiasi gaya hidup mobile Internet, dilihat dari rank Twitter, Facebook, dan Opera Mini kita. Lalu persiapan2 Telkom Group masuk ke network 4G (LTE dan WiMAX). Lalu ke bagaimana ini dimatchkan dengan potensi dan demand dari komunitas developers, enthusiasts, dan lifestylists (nggak, aku nggak pakai istilah kayak gini) se-Indonesia. Sedikit juga tentang Indigo, IPTV, dan SDF/SDP. Lalu beberapa model implementasi LTE untuk daerah dan segmen yang beragam, dengan model migrasi yang berbeda. Lalu ke regulasi WiMAX. Selesai tepat 20 menit.

Setelah presentasi itu, aku harus menunggu 20 menit untuk mendengarkan presentasi implementasi 4G, khususnya WiMAX, di Filipina. Dan aku harus naik panggung lagi untuk mengikuti diskusi panel yang memakan waktu setengah jam. Tugasku selesai.

Selesai? Tentu tidak. Di bawah, networking masih berlanjut. Sekarang aku diperintahkan Mr Tan untuk menemui Profesor dari RRC itu (nggak ditulis namanya ah, takut digoogle beliau). Beliau memiliki posisi cukup penting, dan harus dikawal beberapa orang :). Seharusnya aku datang dari Indonesia nggak sendirian :). Diskusi serius tentang regulasi, tentang IEEE, tentang konferensi lainnya, dll. Lalu diskusi lagi dengan pihak dari kementrian Taiwan. Lalu aku pamit ke Mr Tan untuk pulang duluan.

Pesawatku berangkat tengah hari; jadi aku tak mengikuti konferensi sampai selesai. Rincian perjalanan aku tulis saja nanti di blog satunya :). Taipei ditempuh dalam 5 jam melalui turbulensi yang khas Asia Timur. Haha. Kalimat peringatan bahwa kondisi udara sedang buruk itu tidak pernah diseriusi lagi oleh siapa pun, karena jadi peringatan rutin di kawasan ini (termasuk Indonesia). Transit sebentar di Singapore, melaju lagi ke Jakarta, dan melandas menjelang tengah malam.

Aku bangun setiap sekian menit tadi malam. Efek turbulensi tak menggangguku di angkasa. Tapi sampai darat, ia masih berlanjut. Rasanya kasur terus berputar.

LTE-Advanced vs WiMAX II

Pertengahan 2010 ini, IEEE Comsoc Indonesia Chapter akan mengubah tema kuliah 4G-nya, dari Opening The Gates to 4G menjadi 4G Engineering. Khalayak akademis dan industri telah makin mengenal teknologi mobile 4G, dan mulai menyusun rancangan network 4G mereka. Telkomsel, provider selular di Indonesia yang terdepan dalam teknologi, sejak tahun lalu menunjukkan komitmennya bergerak ke LTE; dan telah melakukan paparan publik minggu lalu. Mengikuti jadwal dari ITU-R, 4G memang baru akan dideploy secara luas pada tahun 2015. Tahun 2010 ini yang harus dilakukan adalah penyusunan detail teknis setiap kandidat, yang diikuti implementasi awal di tahun 2012. LTE yang ada sekarang adalah bakuan 3GPP Release 8 yang masih disebut Pra-4G, seperti juga WiMAX Mobile (IEEE 802.16e). Kandidat yang sesungguhnya untuk 4G adalah LTE-Advanced (3GPP Release 10) dan WiMAX II (WiMAX Mobile Profile 2, atau IEEE 802.16m).

Baik LTE dan WiMAX menggunakan OFDMA, kecuali sisi upstream dari LTE yang menggunakan single-carrier FDMA untuk mengurangi beban pada terminal. Kecepatan data maksimal (dalam kondisi ideal) diharapkan dapat mencapai 1 Gb/s pada LTE-Advanced, dan 350 Mb/s pada WiMAX II, pada sisi downstream; jika ketersediaan spektrum penuh 20 MHz. Efisiensi spektrum memang diharapkan meningkat sekitar 50% dari LTE ke LTE-Advanced dan dari WiMAX ke WiMAX II. Baik LTE-Advanced maupun WiMAX II diharapkan mampu mentransportasikan data pada user dengan kecepatan gerak maksimal 350 km/jam.

Detail teknis lebih rinci, untuk LTE-Advanced dapat diacu di tlk.lv/4g, dan untuk WiMAX II di tlk.lv/wimax. Sebelum melakukan perbandingan teknis, kita perlu ingat bahwa ada perbedaan tata istilah antara kedua madzhab itu, dengan nuansa interpretasi teknis yang mungkin membuat keduanya tak mudah secara tepat dibandingkan.

LTE telah digelar secara komersial oleh TeliaSonera di wilayah Skandinavia, yaitu di Stockholm (dengan vendor Ericsson) dan Oslo (dengan vendor Huawei). WiMAX mengaku telah digelar 500-an provider. Tapi belum ada satu provider pun yang menggelar LTE-Advanced maupun WiMAX II.

Kedua madzhab memiliki kekuatan cukup berimbang. LTE didukung provider selular incumbent yang merupakan mayoritas penyelenggara telekomunikasi, dengan pengalaman panjang, dan jumlah user yang besar. Namun 4G bukan melulu soal telekomunikasi: ia adalah komunikasi informasi. WiMAX telah banyak digelar (termasuk sebagian oleh provider yang sama), dan didukung lebih banyak developer baru, dengan content2 yang terproliferasi cepat dari kawasan dunia IT (dibandingkan dunia telekomunikasi yang pengembangan contentnya tak dapat terlalu cepat). Arsitektur network yang bersifat hibrida lebih mungkin dibangun untuk membentuk integrasi yang merupakan saingan keras bagi operator LTE.

Di kuliah2 IEEE, selalu kami ingatkan bahwa 4G bukan hanya soal network, dan bukan hanya soal kecepatan data :). Cognitive-radio, context-aware services & contents, dan user-defined environment merupakan nature bisnis pada dunia mobile 4G. Kekuatan beralih pada user yang memiliki kekuatan untuk memilih sendiri (tanpa dibelenggu keterikatan): admin, network, service, dan context. Tarif, price, dan keseluruhan gaya bisnis akan menjadi dinamis dan menjadi bentuk yang berbeda.

Sambil menunggu deployment, ada cukup waktu — tapi tidak panjang — untuk mulai merancang layanan2 inovatif untuk memperkaya gaya hidup mobile digital kita beberapa tahun ke depan. Komersialiasi lebih dimungkinkan bagi pemain lokal dan para startup. Tapi, memang perlu semangat juang yang tinggi dan ekstra keras, karena kompetisi pun tak bertambah ringan :).

Digital Service Delivery Framework

Istilah konvergensi bahkan telah mengemuka waktu aku masih kuliah. ISDN waktu itu telah dikembangkan bertahun-tahun (pertama kali aku baca di majalah Time waktu aku masih SMA), dengan keinginan menyatukan komunikasi suara dan data dalam satu jaringan. Waktu akhirnya para operator mengimplementasikan ISDN, ATM (asynchronous transport module) mulai distandarkan, dan dunia komputasi memperluas jaringannya dengan Internet. Konvergensi diarahkan ke jaringan broadband, antara jaringan telefoni digital, Internet, dan media broadcasting yang waktu itu masih menggunakan CaTV. Lebih dari 10 tahun kemudian, kita telah memiliki jaringan2 yang memiliki layer network yang sama: IP. Internet. Jaringan telekomukasi di-NGN-kan dengan IMS dan TISPAN. Internet menjelma menjadi Broadband Internet dengan gebyar Web 2.o. Media telah memiliki IPTV dengan interaktivitas yang menarik. Namun konvergensi belum terjadi :)

Sifat dari network-network itu mungkin memang berbeda. Bukan dari karakteristik trafiknya. Itu sudah teratasi sekian tahun yang lalu dengan IntServ/DiffServ, MPLS, dll. Sifat pengembangan produk di atas network2 itu berbeda. Di telefoni, layanan voice, SMS, akses Internet, telah menghasilkan revenue yang besar, dengan pengelolaan customer yang relatif baik, dengan produk yang pemakaiannya bisa ditagihkan ke customer yang real.  Masalahnya adalah produk di benua ini tak cepat berkembang. Prosesnya lama, melibatkan segala aspek di dalam infrastuktur network dan bisnis yang panjang. Pun, revenue di sini sudah waktunya menurun. Decline. Dan ini bersifat global, di mana pun. Di benua yang lain, ranah web dan Internet, produk2 baru bermunculan setiap hari. Waktu pengembangan, implementasi, deployment, amat cepat. Namun tak banyak revenue yang bisa diambil dari produk digital di ranah ini, selain dari advertising. Dan advertising pun jumlahnya terbatas. Andai ada cara untuk menggabungkan kekuatan untuk menciptakan layanan yang inovatif, tepat kebutuhan, namun tersampaikan secara tepat ke customer yang terdata dan terkelola, dan dapat menghasilkan revenue yang kemudian dapat digunakan untuk inovasi lebih lanjut, tentu dunia kreasi digital jadi lebih menarik dan berwarna. Dan itu misi konvergensi di tahap ini.

Di forum Fresh tahun lalu, aku sempat menyinggung tentang SDP (service delivery platform). Jejaknya masih bisa dicari di blog ini :). SDP diharapkan mampu menjembatani berbagai aplikasi dan layanan digital, diabstraksikan dan diorkestrasikan dengan database user dan konteks2 penting lainnya (lokasi misalnya, dan informasi perangkat, preferensi user, peta, layanan publik, dll, dll), lalu disampaikan melalui virtualisasi network dan terminal, untuk diterjemahkan sebagai layanan real ke atas berbagai jenis jaringan (telefon, televisi, mobile) ke berbagai jenis perangkat (HP, smartphone aneka platform, TV, dll).

Tampaknya ideal. Tapi ternyata belum terjadi konvergensi juga. Layanan tradisional, seperti voice (mobile dan fix), message, dll, dengan tingkat kehandalan yang dipersyaratkan, belum dapat dimasukkan. Dunia telefoni memiliki jawaban yang menarik: IMS. IMS memang terpusat di layanan dengan sesi-sesi yang jelas, seperti telefoni, dan menggunakan protokol yang distandarkan, yaitu SIP. Namun mulai ada prakarsa untuk memperluas IMS untuk juga menangani sesi-sesi web, video streaming, dan televisi. Apa pun itu, abstraksi di sisi layanan masih akan harus dijajagi dari awal jika hendak dimasukkan ke dunia IMS.

Yang akan menarik adalah mencoba mencoba menggabungkan IMS dengan SDP. Entah kenapa ini mengingatkan aku pada penggabungan MPLS dengan ATM, dalam arti banyak skema2 menarik yang diajukan untuk penggabungan IMS dan SDP ini, sesuai dengan optimasi masing2. Membacai berbagai skema2 ini pun sudah cukup mengurangi waktu bobo, dan membuat kopi jadi menu utama :). Gambar di bawah ini adalah salah satu yang aku pikir cukup pas untuk dunia kita

Pertama, aplikasi dibagi tiga dulu. Aplikasi2 yang selama ini sudah ada di dalam network (komunikasi telefon, message, dll), yang secara tradisional telah menghasilkan revenue tinggi dan harus dipertahankan, dan dioperasikan langsung oleh network operator, dapat memiliki link langsung ke seluruh resource network. Pragmatis. Agak2 bersifat hardwired. Aplikasi semacam ini dapat langsung dihubungkan ke dalam IMS, atau network-centric part. Aplikasi lain, yang bersifat inovatif, mudah diciptakan dan dimodifikasi oleh tim pengembang atau oleh komunitas di luar; ditempatkan mengikuti arsitektur SOA (dalam IT-centric part), dan dapat memiliki akses ke network, enabler (pengelolaan konteks), maupun sumberdaya lain. Aplikasi jenis ketiga, dari dunia Web 2.0 dengan berbagai mashup-nya, yang bersifat long tail (kecil namun potensial), dapat memiliki akses melalui widget2 dan melalui aplikasi built-in yang menghubungkannya dengan sumberdaya di dalam SDP.

Ini tentu adalah diskusi awal yang memerlukan eksplorasi yang panjang. Deksripsi semacam ini pun agak tak masuk akal disajikan dalam sebuah entry blog dengan panjang kurang dari 10 paragraf semacam ini. Mestinya melalui Twitter, haha.

Weekend ini aku mau ke Malang untuk mendiskusikan soal ini. Ada yang berminat bergabung? Sila hubungi Departemen Teknik Elektro Universitas Brawijaya.

Greenwich

Dulu, kata buku-buku kuno, tidak ada standar waktu seperti sekarang. Setiap tempat, setiap kota, menentukan waktunya sendiri dengan sinkronisasi terhadap matahari. Pukul 12.00, matahari harus berada di titik tertinggi. Atau mungkin direratakan. Misalnya, saat di Malang sudah pukul 12.00, di Jayakarta barangkali masih pukul 11.35. Namun di tahun 1879, Sir Sandford Fleming (seorang ilmuwan Kanada) mengusulkan perlunya penstandaran. Ini terjadi gara-gara ia ketinggalan kereta di Irlandia akibat selisih waktu yang tercatat pada form keberangkatan kereta denga. Ia mengusulkan bumi agar dibagi menjadi 24 zone waktu, dengan setiap zone berselisih satu jam. Daerah dalam setiap zone harus memiliki waktu yang sama. Usulnya diperhatikan dan diakomodasi dalam bentuk berbeda dalam International Meridian Conference tahun 1884. Untuk menentukan zone waktu, orang harus mengukur posisi bujur di kotanya. Nah, waktu itu, sekitar 2/3 lokasi di dunia diukur jarak bujurnya dari Greenwich, yang merupakan pangkalan maritim Kekaisaran Inggris. Maka konferensi merekomendasikan penggunaan waktu dengan standard GMT — Greenwich Mean Time. Titik ukur standardnya adalah pada Observatorium Kerajaan Inggris di Greenwich. Perancis, yang memiliki standarnya sendiri (baca Da Vinci Code deh), baru menggunakan standar ini tahun 1911. Di tahun 1929, seluruh negara menggunakan standar GMT. GMT dihitung dari rerata waktu di titik ukur di Greenwich (tak menghitung pergeseran waktu musim panas yang ditetapkan tersendiri). Tetapi tentu pengukuran fisik seperti ini menimbulkan selisih-selisih. Banyak iregularitas pada putaran bumi, dan lain-lain. Maka di tahun 1972, ditetapkan standar baru, yaitu UCT (coordinated universal time), yang menggunakan arloji atomik untuk menghitung waktu standar. Namun jika kita tidak menghitung presisi waktu hingga satuan detik, umumnya UCT dianggap selaras dengan GMT.

Setelah Cardiff, Coventry, York, dan Thirsk, kami masih agak gamang harus menjelajahi kota besar seperti London. Apa menariknya kota besar? Haha :). Maka kami memutuskan pergi ke Greenwich. Greenwich sendiri merupakan kawasan di tenggara kota London, di selatan Sungai Thames. Tempat ini dijadikan cagar budaya oleh UNESCO karena banyak peninggalan masa lalu yang memiliki nilai budaya tinggi, dan masih difungsikan dengan baik. Dari kota London, kita bisa menumpang Underground hingga stasiun Bank atau Canary Wharf, lalu berpindah ke kereta ringan DLR ke Cutty Sark atau Greenwich. Dilanjutkan cukup dengan jalan kaki melewati kawasan perkotaan nan tetap asri ini. Di kawasan ini terdapat Greenwich Palace, Maritime Museum, dan lain-lain. Lalu Greenwich Park yang sangat luas, dengan rumput yang asri dan nyaman, dan pohon-pohon yang indah tertata. Di tengah park terdapat bukit. Di taman di sekitar bukit, banyak (banyak!) tupai-tupai jinak yang mau menghampiri kalau kita memanggil mereka dengan cara yang benar (haha). Dan di atas bukit ada Observatorium Kerajaan (Royal Observatory).

[nggallery id=4]

Observatorium ini didirikan tahun 1675 oleh Raja Charles II, mengambil tempat di Greenwich Castle. Arsiteknya adalah arsitek tenar Sir Christopher Wren. Raja juga mengangkat Astronom Kerajaan, yaitu saat itu John Flamsteed. Tugasnya adalah menjadi direktur observatorium dan mengerjakan secara rajin dan cermat segala pergerakan benda angkasa, serta pemosisian benda-benda yang mampu menjadi alat bantu bagi navigasi seluruh dunia. Maka bagian dari observatorium ini disebut juga Flamsteed House. Observatorium ini, sebagai tempat, fungsi, dan organisasi, kemudian mengalami banyak perubahan. Organisasinya sendiri sempat berpindah-pindah ke beberapa tempat, karena soal polusi, keamanan (bom dll), dan keakuratan pengukuran. Sempat di Sussex, dan terakhir di Cambridge, sebelum akhirnya ditutup. Observatorium Greenwich kemudian dijadikan museum dan tempat studi.

Pengunjung di observatorium ini cukup banyak. Kita tak diharuskan membeli tiket, tetapi dianjurkan mengisi kencleng donasi dengan misalnya £5. Di dalamnya ada museum yang berisi peralatan pengamatan perbintangan dan sistem navigasi, juga pusat sains tempat kita bisa mensimulasikan berbagai gejala astronomis. Di layar lebar ditampilkan sejarah bintang, dan bagaimana kita sebenarnya tersusun dari debu-debu bintang — bintang adalah bagian dari diri kita! Dan terdapat juga sebuah planetarium. Sayangnya, di dalam ruangan-ruangan itu, kita tak diperkenankan memotret. Yang juga tentu menarik buat dikunjungi adalah sebuah garis metal panjang di lantai, yang merupakan standard bujur 0º dunia. Kita bisa melompat ringan dari barat ke timur, atau membagi badan kita di barat dan di timur ;).

Selesai menjelajahi bagian barat dan timur bumi, kami menuruni bukit, becanda lagi dengan beberapa tupai, lalu meneruskan perjalanan menjelajahi kawasan unik ini. Tapi tak bisa lama. Kami jadi berminat ke Musium Sains di South Kensington juga :). Dan tentu saja The British Museum.

The Inextinguishable

London Symphony Orchestra, menurut Wikipedia, adalah salah satu orkestra terbaik di dunia. Patron orkestra ini adalah Ratu Inggris sendiri; presidennya Sir Colin Davis; dan konduktor utama adalah Valery Gergiev. Sir Colin Davis pernah menjadi konduktor utama juga pada tahun 1995-2006. Orkestra ini merupakan resident di Barbican Centre. Malam ini di Barbican Centre LSO memperformansikan The Inextinguishable.

The Inextinguishable adalah simfoni keempat dari Carl Nielsen. Walau aku bisa menikmati simfoni Nielsen kelima berulang dan berulang kali, tetapi aku belum cukup akrab dengan simfoni keempatnya. Saat akan menuliskan simfoni ini, Nielsen menulis kepada istrinya: “I have an idea for a new composition, which has no programme but will express what we understand by the spirit of life or manifestations of life, that is: everything that moves, that wants to live … just life and motion, though varied – very varied – yet connected, and as if constantly on the move, in one big movement or stream. I must have a word or a short title to express this; that will be enough. I cannot quite explain what I want, but what I want is good.” Maka The Inextinguishable menceritakan anasir daya kehidupan itu sendiri, yang bergerak lincah membentuk jiwa-jiwa dinamis dan beraneka rupa dan warna.

Performance Simfoni Keempat ini dikonduktori oleh Sir Colin Davis sendiri. Bukan performance biasa, aku pikir. Jadi, hanya beberapa menit setelah menjejakkan kaki di London dari perjalanan dari York, aku memutuskan mereservasi tempat di Barbican Centre. Barbican Centre sendiri terletak di City of London, bagian dari kota London yang kaya dengan pusat-pusat budaya.

Performance LSO dimulai pukul 19.30. Pada sesi pertama, LSO memainkan Simfoni 97 dari Haydn. Seperti simfony Haydn lainnya, musik ini menenangkan dan membersihkan pikiran. Lalu panggung ditata ulang. Piano besar di sudut ditengahkan. Tampillah Mitsuko Uchida; dan Sir Colin Davis kembali memimpin orkestra memainkan konserto piano yang lembut dari Mozart. Sempurna :).

Setelah sesi break, piano telah ditepikan kembali. Namun jumlah pemain ditambah lebih dari dua kali. Kelompok alat tiup mengisi setiap sisi panggung. Dan sepasang timpani mengisi ujung ruang.

Simfoni Keempat ini terdiri atas 4 movement, dan dimainkan tanpa break. Seperti simfoni Nielsen lainnya, movement pertama langsung diisi hentakan yang bergaya atonal. Tapi tak sedrastis Simfoni Kelima. Klarinet terasa mendominasi. Movement kedua, yang biasanya bersifat lebih tenang, masih dipenuhi paduan menarik dari alat-alat tiup. Violin dan dawai-dawai mendominasi movement ketiga, seperti menyiapkan diri ke klimaks movement terakhir. Di movement keempat, kedua timpani disandingkan mengiringi orkestra yang ditutup masih dengan rasa kepenasaranan yang tinggi.

Memang banyak alternatif untuk menggambarkan sang hidup. Bisa dalam bentuk perulangan yang menarik dan dinamik, atau dalam bentuk tanda tanya yang menggelitik, atau pengelanaan misteri panjang dengan keengganan untuk memasuki kedalaman. Atau ribuan variasi lain. Simfoni Keempat menggambarkan sang hidup dari sisi-sisi dinamika dan variasinya yang menarik. Menghentak, mengejar, dan berpadu dengan lincahnya menyeberangi batas dimensi realita dan kemayaan. Mengajukan kesetaraan antara yang mayor dan minor, antara yang mainstream dan yang terpinggirkan. Sungguh simfoni yang menarik untuk jadi bahan perenungan awal untuk memulai penjelajahan di kota London.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑