Kapasitas memori manusia sendiri masih diperdebatkan, dan seringkali menggunakan argumen-argumen yang dasarnya tak cukup kuat. Maka kita suka mendengar (sambil menahan tawa dan kantuk) bahwa kita baru menggunakan 4% kapasitas otak kita saja, atau 20%, atau 2.5%. Nggak ada bedanya: ngasal :p
John von Neumann (orang pintar yang pernah jadi matematikawan, ilmuwan, engineer, dan birokrat) di Universitas Yale tahun 1956 pernah mengestimasikan kapasitas otak manusia sebesar tiga puluh lima exabyte (satu exa = seribu peta = sejuta tera = semiliar giga). Cukup besar — pun untuk ukuran komputer zaman sekarang.
Estimasi tahun-tahun berikutnya memberikan angka yang berbeda. Diperkirakan dapat terjadi 100 trilyun koneksi syaraf antara sel-sel otak; dan ini dianggap setara dengan kapasitas 40 terabyte. Masih cukup besar, biarpun tak seseram angka von Neumann.
Prof Ralph Merkle dari Georgia Tech menyinggung bahwa sebenarnya para peneliti belum selesai menyusun asumsi dasar tentang bagaimana otak menyumpan informasi. Lalu ia mengusulkan melakukan eksperimen langsung yang mencatat kapasitas otak secara langsung. Ia mengambil beberapa hasil studi sebelumnya, dan melakukan kalkulasi ulang. Hasilnya mengesankan sekali. Kapasitas memori kita diperkirakan hanya sekitar 200 megabyte. Wow, flash drive berukuran 256MB saja sudah mulai dibuang-buang karena dianggap terlalu kecil. Buang tuh otak :).
Tapi, biarpun ini mungkin (mudah-mudahan) akan menjatuhkan ego kita, kesimpulan yang diambil cukup menarik. Otak kita istimewa: dia tak melakukan processing dan penyimpanan seperti komputer. Otak mampu melakukan pengelolaan sumberdaya memori yang luar biasa; sehingga dengan kapasitas sekian, ia mampu menyimpan dan mengolah informasi jauh lebih handal daripada komputer.
Tantangan bagi para engineer adalah: mampukah kita membuat komputer-komputer yang mulai lebih pintar mengelola sumberdaya yang terbatas untuk menghasilkan performansi yang lebih tinggi lagi. Tapi jangan serahkan pada para engineer Microsoft. Excel dan Word sudah membuat Mac lucu ini mulai belajar ngadat :).
Fisikawan di Swiss dilaporkan berhasil membuat piranti solid-state yang dapat menyimpan posisi foton selama satu mikrodetik. Ini diyakini membuka jalan bagi terciptanya network kriptografi kuantum berbasis cahaya, yang diteorii kebal dari pembobolan. Tokoh2 di Swiss itu adalah Gisin dan rekan2nya: Afzelius, Riedmatten, Simon, dan Staudt. Yang dilakukan adalah menjebak foton dalam 100juta atom neodimium yang ditanam di kristal yttrium orthovanadat yang didinginkan pada suhu 3K. Saat sebuah foton yang telah terikat kaitan (entanglement) dipancarkan ke kristal, foton itu tersimpan 1 mikrodetik, dan foton yang dilepaskan masih memiliki kaitan.
Inovasi Gisin dkk ini diharapkan membuka jalan untuk membentuk repeater kuantum. Repeater kuantum adalah komponen yang yang penting dalam jaringan informasi berbasis kuantum. Kita tahu, keadaan (state) pada cahaya hanya bertahan pada waktu yang singkat, sebelum terjadi perubahan yang tak dapat diramalkan. Maka dalam sebuah jaringan, perlu ada perekam keadaan kuantum cahaya yang akan meregenerasikan keadaan itu pada cahaya secara berkala. Nah, repeater kuantum semacam ini belum ada. Yang baru ada adalah piranti yang bisa menyimpan keadaan sebuah foton tanpa merusak keterkaitan kuantum (entanglement).
Oh ya. Entanglement sendiri adalah sebuah kondisi berpasangan pada materi pada skala kuantum. Beberapa entry awal pada blog ini cukup sering membahas ini, serta spekulasi pemanfaatannya. Entangelement memungkinkan jika dua foton berpasangan dipisahkan, pada pengukuran pada satu foton akan juga mengetahu kondisi kuantum foton pasangannya. Namun saat ini, pada serat optik, keterkaitan ini patah pada jarak 300km. Oktober lalu, kota Wina telah memasang network informasi kuantum, dengan rentang 200km, memanfaatkan kaitan kuantum ini. Tanpa repeater, akan sulit membuat rentang yang lebih jauh. Inovasi di Swiss ini diharapkan bisa jadi pembuka jalan.
Sebelum Gisin, telah ada eksperimen lain yang telah dilakukan, dengan menyusun dasar penyimpanan memori dengan interaksi cahaya dengan materi. Namun ini mengharuskan pembekuan atom hingga mendekati nol kelvin. Tim Gisin sendiri akan meneruskan eksperimen untuk mencapai waktu 1 milidetik.
Di (luar kota) Sukabumi, salah satu santri menanyakan tentang penemu blog dan tokoh blog. Untuk tokoh blog, tentu aku menjawab dengan “YOU” :), karena inti Web 2.0 memang peran serta kita semua sebagai subyek informasi. Dan untuk penemu, aku harus mengakui bahwa itu akan tergantung pada definisi blog. Hey, santri harus diajak berfikir, bukan menghafal. Maka aku juga bercerita tentang sejarah komunikasi. Komunikasi wireless, misalnya. Sebelum seluler, ada radio, dan sebelumnya ada semafor, dan sebelumnya ada isyarat asap ala Indian. Inventor, kayak Newton bilang, memiliki visi lebih karena mereka juga berdiri di atas pundak inventor sebelumnya.
Begitulah, maka setelah radio, gelombang cahaya dipakai lagi: semafore melalui kabel optik; dan kemudian semafore cahaya melalui udara. Semafore model ini dinamai komunikasi cahaya tampak, visible light communications, VLC. Gugus tugas IEEE 802.15 (wireless personal area network) turut mengkaji kemungkinan memanfaatkan VLC sebagai salah satu metode komunikasi. Bayangkan: gelombang cahaya, dari warna merah sampai ungu, memiliki rentang hingga 300THz, sementara radio hanya sampai 300GHz. Juga radio sering harus dibatasi karena mengganggu sistem elektronika navigasi dan perangkat medik. Cahaya, di luar itu. Regulasi cahaya hanya perlu agar tidak mengganggu mata (dan estetika). Sementara ini memang pengkajian VLC baru untuk jarak pendek dan menengah, menemani bluetooth dan inframerah.
Dr Joachim Walewski, peneliti dari Siemens, menyatakan mampu melakukan transmisi data hingga 100Mb/s menggunakan cahaya tampak. Transmisi menggunakan LED putih berperforma tinggi, dan receiver menggunakan sensor foto. Tak buruk untuk sebuah awal. 300Mb/s itu mungkin sekali, kata Walewski. Komisi Eropa menindaklanjuti dengan menyusun proyek penelitian bernama OMEGA, bertujuan menyusun bakuan jaringan rumah ultra-broadband dengan kecepatan data 1Gb/s. Salah satu contohnya adalah kantor France Telecom di Paris. Di sana, lampu atap akan mengirimkan data berkecepatan 100Mb/s. Masalah yang mungkin timbul adalah interferensi. Dengan sinar matahari, misalnya. Tetapi ini hal biasa yang mudah tertangani secara teknis. Ingat: inframerah juga dipancarkan matahari, tetapi interferensinya dengan sinyal komunikasi inframerah bisa diminimalkan.
Aplikasi awal untuk VLC, dalam bayangan, misalnya: autentikasi identitas, e-payment, komunikasi data dalam rumah (menggantikan WiFi?), komunikasi informasi antar mobil (kalau mobil di depan mengerem mendadak, ia akan mengirim sinyal cahaya ke mobil di belakangnya, yang secara otomatis akan melakukan perlambatan atau hal lain yang diperlukan), dll. Aplikasi yang tidak menarik, contohnya adalah VLC untuk menggantikan remote control inframerah. Kalau anak2 kecil sedang berebut acara, mereka akan dapat memanfaatkan cahaya VLC untuk saling menyerang. Tak heran, salah satu yang akan sangat diperhatikan IEEE dalam standardisasi VLC adalah soal keselamatan mata. Walewski sendiri aktif mengirimkan draft bakuan keselamatan pemanfaatan radiasi cahaya tampak ini ke Gugus Tugas IEEE 802.18 (Penasehat Teknis Regulasi Radio). Yuk, kita tunggu, dan mulai berkreasi.
Prelude. Dua bulan lalu, aku diminta memberikan kuliah umum buat para mahasiswa baru ITT. Temanya tentang teknologi mobile masa depan (ketika mereka akan mulai menulis skripsi –red). Aku sempat iseng bertanya, “Siapa penemu telefon?” Dari semua yang berani menjawab, hanya keluar satu jawaban: Alexander Graham Bell. Wow, mereka bener2 perlu kuliah :). Di sesi akhir (pembagian door prize), Sdr Eko Ramanda membagikan hadiah secara unik: siapa yang menyimpan pas foto ibu di dompet, itu yang menang. Hal yang bikin takjub dan terharu mendadak. Telkom banget Mas Eko tuh :). Keren.
OK, kembali ke Bell. Jadi Bell bukan penemu telepon. Antonio Meucci, seorang Italia, konon telah mulai merancang piranti telefoni pada 1834 di Milano. Bermigrasi ke Amerika, ia teruskan perangkatnya menjadi sistem yang berjalan baik pada 1850. Saat istrinya lumpuh di tahun 1855, Meucci memasangkan sistem interkom dari rumahnya ke tempat kerjanya tak jauh dari situ. Namun saat giliran Meucci yang sakit, istrinya menjual prototip telefon itu ke agen barang bekas seharga US$6 (baca buku Laura Ingalls kalau ingin merasakan nilai US$6 saat itu). Meucci memang selalu hidup dalam kemiskinan. Ia mengajukan paten telefon pada 1871. Tetapi pemrosesan di negara kapitalis itu lama dan terus memerlukan uang. Meucci membayarnya per tahun. Tahun 1874, Meucci tak sanggup lagi membayar biaya pemrosesan patent. Dan pada tahun 1876, Alexander Graham Bell memperoleh paten untuk telefon. Tentu saja kemudian Meucci memprotesnya. Tetapi secara ajaib, berkas2 Meucci hilang, sehingga klaim Meucci tak dapat diperkuat. Pengadilan digelar. Di sana, Meucci memaparkan penemuannya secara meyakinkan, sehingga diyakini Meucci akan memenangkan sidang. Tapi ia tetap kalah. Lebih dari 100 tahun kemudian, di tahun 2002, barulah Meucci diakui sebagai penemu telefon.
Kasus Meucci ini jelas mencoreng nama Bell sebagai kapitalis. Tapi tidak sebagai penemu. Banyak pihak meyakini bahwa penemuan Bell sama sekali tidak mencontek Meucci (atau Elisha Gray, atau Thomas Alva Edison). Sejak muda, Aleck terbiasa menyelidik soal transmisi suara. Saat ibunya mulai tuli, Aleck sadar bahwa ia tetap bisa bicara dengan ibunya dengan menempelkan bibir ke kepala ibunya sambil bicara — dan dengan demikian menggetarkan tulang2 di dalamnya. Ia menggetarkan dawai piano di sebuah ruang dan mengamati dawai yang senada di piano di ruang lain ikut bergetar. Lalu ia memanfaatkan gelaja elektromagnetik untuk meneruskan model resonansi ini bersama asistennya, Thomas Watson (kebetulan bukan Watson yang sama dengan pakar behaviorisme atau asisten Sherlock Holmes). Dan jadilah telefon ciptaan Bell.
Tapi Bell tak berhenti di situ. Bahkan sebelum Nikola Tesla mencobai transmisi suara tanpa kabel (dengan gelombang radio), Bell sudah mencobai telefon nirkabelnya pada tahun 1880. Dengan nama photophone, telefon nirkabel Bell ini menggunakan transmisi cahaya.
Bagaimana caranya? Bell memproyeksikan suara melalui perangkatnya sehingga menggetarkan sebuah cermin. Sinar matahari yang dipantulkan oleh cermin itu turut membentuk pola getar suara. Sisi penerima menerima pantulan cahaya yang gemeletar itu, dan mentransformasikan kembali ke bentuk suara. Tentu belum praktis. Tapi bayangkan: wireless phone, dan komunikasi optik, pada tahun 1880.
Internet 2.0, 3.0, 4.0. Apa yang lalu sudah berubah pada kita? Google, Wikipedia, dan segalanya membuat kita mendadak jadi ingat informasi2 penting — kalau ingat didefinisikan sebagai berhasilnya menampilkan suatu fakta ke layar kesadaran. Info 2.0 (saling comment antar dan dalam blog serta social network) membuat kita mendadak bijak: melihat berbagai hal dari sisi yang berbeda, secara hidup, yang tak mudah diperoleh hanya dengan membaca media mainstream. Ide2 liar pengganggu stabilitas mewarnai wacana kita, membuat kita lebih kreatif dan bijak menyiapkan diri menghadapi masa depan. Dan Internet masih juga tumbuh, dan masih juga berubah.
Ukuran komunikasi Internet sudah mulai dapat dibandingkan dengan otak manusia, yang memiliki titik komunikasi (alih logika) berupa korteks. Komunikasi korteks sendiri tak intensif: hanya 1 dalam 100 dari neron dalam kolom vertikal berdiameter 1mm, dan hanya 1 per sejuta untuk neron yang mulai berjarak. Tingkat komputasi yang sungguh rendah, tetapi sudah cukup untuk membuat otak bekerja sejauh yang kita tahu. Dengan kejarangan semacam ini, analogi bandwidthnya diperkirakan 1 Tb/s; kira2 sama dengan bandwidth backbone Internet saat ini.
Memori korteks cukup besar. Kira2 ada 109 sinapsis antar neron2 setiap 1mm2 korteks, atau total 1011 sinapsis seluruhnya, atau kira2 (sangat kira2) 1015 bit data tersimpan. Masih sangat kira2 mirip juga dengan total data yang tersimpan di Internet (dan bisa disimpan serta diolah oleh Google misalnya). Sebentar lagi Internet bisa melampaui kapasitas sebuah otak. Bedanya, cara kerja otak masih misterius dan belum sepenuhnya diketahui — syukurlah :). Para ilmuwan tengah menyelidiki, termasuk melalui pengamatan terhadap kelainan2, misalnya kepada orang2 sinestesis (yang mengalami persilangan sensasi, seperti mendengar warna, melihat suara, dll). Juga turut diamati frekuensi kerja otak makhluk2 yang diperkirakan memiliki kesadaran, serta kecepatan koneksi korteks yang masih dianggap luar biasa (berjalan di atas sel hayati dengan kerapatan biasa2 itu), melintas banyak sel dengan sinkronisasi yang menarik.
Internet yang tumbuh melebihi prediksi para penciptanya pun meninggalkan perasaan luar biasa seperti itu. Dengan routing terdesentralisasi (menentukan rute terbaik masing2 seusai kondisi trafik masing2), secara keseluruhan ia malah lebih kokoh dibandingkan komunikasi data terkelola yang ada sebelumnya. Dan ini menimbulkan pertanyaan menarik: apakah akhirnya Internet akan memiliki kesadaran?
Jawaban untuk pertanyaan itu bisa teknis dan bisa filosofis. Dan mengingatkanku pada sesuatu yang mengganjal pikiranku waktu masih balita (dan beberapa kali disinggung di sini). Dari mana kesadaran (bahasa aku waktu itu: keakuan) yang ini tiba2 datang ke badan (atau kemudian: otak) yang ini. Darimana kita bisa yakin (selain dengan asumsi dan prasangka baik) bahwa manusia lain juga punya kesadaran semacam ini? Dan sampai mana ini bisa kita teruskan ke makhluk non manusia? Pertanyaan tentang kesadaran pada Internet bisa ditembak dengan asumsi yang sama. Internet nampaknya memang sudah memiliki kesadaran.
Situs Engineering Challenge memaparkan apa yang dianggap sebagai tantangan terbesar bagi dunia rekayasa masa kini. Krisis energi, krisis lingkungan, krisis pendidikan dan kemanusiaan, krisis kesehatan, hingga kebutuhan untuk membentuk dunia yang lebih aman (dari teroris, spammer, dan virus) dan manusiawi.
Menurut Anda sendiri, apa tantangan engineering terbesar yang harus kita hadapi? Dan apa pendekatan yang Anda bayangkan?
Beberapa blog fisikawan sempat ikut teragregasi di Amigos. Tak lagi: bosan dengan flame war dan politik di antara mereka. Kadang saja masih kukunjungi. War akhir tahun lalu menyangkut sebuah preprint yang tersimpan di arxiv, tulisan Garrett Lisi, berjudul An Exceptionally Simple Theory of Everything. Hah? ToE bisa ‘exceptionally simple’? Tentu saja pendukung teori string berang, sementara kelompok Perimeter memberikan dukungan. Terjadi perang yang tak terlalu ilmiah :(.
Tapi Science & Vie bulan ini justru menjadikan paper Lisi sebagai topik utama: “Théorie du tout, Enfin! Un physicien aurait trouvé la pièce manquante.” Pakai tanda seru gitu. Dan pakai ‘missing piece’ kayak makalah2 kuno tentang evolusi (sekarang sudah terpecahkan –red). Terpaksa prep Lisi yang belum selesai dibaca itu dibuka lagi. Tapi, sebelum salah sangka, judul prep ini memang disengaja agak memelesetkan. Arti harfiahnya memang percobaan menyusun ToE tanpa sesuatu yang rumit seperti supersimetri dan dimensi ekstra. Tapi yang juga (sebenarnya) dimaksudkan adalah bahwa struktur yang digunakan dalam prep ini, yaitu E8, merupakan exceptional simple group. Ini adalah struktur aljabar temuan matematikawan Norwegia Sophus Lie. Simple secara matematis berarti bahwa group ini tidak memiliki jenis struktur internal tertentu, dan exceptional hanya berarti bahwa group ini termasuk dalam sejumlah kecil simple Lie group yang tidak termasuk ke kelompok besar keluarga simple group, di mana tak terhingga anggota lainnya berada. Pelesetan ini, dan kehebohan itu, rupanya berhasil menarik media. Walaupun beberapa pendukung Lisi (yang tentu tidak harus 100% setuju paparan ini) menyatakan bahwa diskusi ke khalayak sebaiknya menunggu hingga prep ini benar2 telah diulas para pakar, setidaknya 1 tahun; media sudah mulai berlomba menyampaikan ulasan.
Kembali ke prep. Abstraknya singkat.
All fields of the standard model and gravity are unified as an E8 principal bundle connection. A non-compact real form of the E8 Lie algebra has G2 and F4 subalgebras which break down to strong su(3), electroweak su(2) x u(1), gravitational so(3,1), the frame-Higgs, and three generations of fermions related by triality. The interactions and dynamics of these 1-form and Grassmann valued parts of an E8 superconnection are described by the curvature and action over a four dimensional base manifold.
Yummie. Aku bacain paper ini sekitar jam 3 pagi. Mm, harus cerita dari mana ya? Haha. Tapi yang jelas, memang ini masih jauh dari teori lengkap, tak seperti yang dibilang Science & Vie. Huh, dasar media. Eh, nggak dink. Masih jauh lebih cerdas dari detikcom misalnya :). Apa ya misalnya. Di bagian mana sih di paper ini formula2 itu dikuantumkan? Atau memang nggak perlu? Jadi bagaimana mengunifikasikan relativitas dengan mekanika kuantum kalau formulanya belum dikuantumkan? Ah, andai aku jadi matematikawan mendadak untuk memahami hal sederhana ini.
Musim semi 2008 tengah dinantikan para fisikawan. Di antara Perancis dan Swiss, sebuah penumbuk hadron berukuran besar (large hadron collider, LHC) yang digerakkan magnet superkonduktor siap dinyalakan. Dan hasilnya diharapkan akan membuka satu lagi teka-teki semesta.
Kita kembali dulu ke 10 tahun sebelumnya. Di sebuah konferensi teori string di Santa Barbara, para fisikawan menyisihkan sejenak waktu untuk becanda menyanyikan lagu buat Juan Maldacena.
Yet start with the brane, and the brane is BPS. Then you go near the brane, and the space is ADS. Who know what it means? I don’t, I confess. Heyyy … Maldacena.
Nadanya – mungkin kita bisa menebak – diambil dari lagu Macarena. Maldacena yang sedang dirayakan itu baru saja menurunkan sebuah konjektur yang melibatkan sekaligus black hole dan kuark. Konjektur, yang disebut Konjektur Maldacena itu, cukup unik. Formula 5 dimensi direduksinya dulu menjadi 4 dimensi, ditransformasikan, lalu – uniknya – dikembalikan lagi menjadi 5 dimensi. Efek sampingan dari formulasi (yang menggabungkan mainan fisika kuantum bernama kuark dan mainan relativitas bernama black hole) ini, adalah ide-ide sampingan. Jadi 5 dimensi itu bisa direduksi jadi 4 dimensi, tanpa kehilangan arti? Jadi misalnya, ruang 3 dimensi kita ini bisa saja sebenarnya adalah 2 dimensi, dengan dimensi ketiga hanyalah kode tertanam di dua dimensi yang lain? Dari itu, lahirnya istilah semesta holografis, dan seterusnya.
Tapi, OK, itu sepuluh tahun yang lalu. Lalu sepuluh tahun ini teori string tidak lagi ke mana-mana. Bahkan Edward Witten, yang dua kali membangkitkan dan menyelamatkan teori string (sebagai superstring dan kemudian sebagai teori M, mirip Einstein yang dua kali membangun teori relativitas) hanya bisa berkata bahwa ada hari2 yang cerah, dan ada hari2 yang sulit. Witten sendiri berharap, dengan energi LHC sebesar itu, ia bisa menampilkan miniatur semesta saat berusia hanya sepersetrilyun detik setelah big bang, yakni saat simetri antara elektromagnetik dan interaksi nuklir lemah belum runtuh. Foton (pembawa elektromagnetik) dan boson W/Z (pembawa interaksi nuklir lemah) merupakan saudara dekat pada level atom, tetapi memiliki sifat yang jauh berbeda. Boson W/Z misalnya, punya massa. Konon dia bisa mengkonsentrasikan partikel Higgs, yang dispekulasikan sebagai pembawa massa. Tapi partikel Higgs sendiri belum ditemukan.
Di antara banyak (sekali) fisikawan string, Nima Arkani-Hamed memiliki riset yang agak menarik. Rekan Lisa Randall ini juga berharap banyak dari LHC. Kalau di tahun ini atau di tahun lalu aku menulis tentang kritik Lee Smolin atau Peter Woit tentang string, maka yang satu ini adalah salah satu sasaran tembaknya. Dia banyak bermain dengan yang disebut multiverse (banyakmesta, sebagai lawan dari semesta – universe). Semesta kita, katanya, hanyalah satu dari nyaris tak terhingga gelembung-gelembung semesta yang membulukutuk di sop dimensi string. Setiap semesta merupakan habitat tersendiri yang terpisah. Tidak ada satu pun partikel atau gaya yang bisa melintas antar semesta, nah, kecuali: gravitasi. Jadi, saat fisikawan lain mengherani bahwa gravitasi memiliki kekuatan amat sangat lemah dibanding gaya lainnya (dalam skala hingga kuadrilyun), maka Hamed mencadangkan satu jawaban: gravitasi jadi lemah karena sudah melintasi banyak semesta lain. Eksperimen dengan LHC ini diharapkan Hamed akan dapat mulai menampakkan permainan antar cangkang semesta. Jika hipotesis Hamed ini terbuktikan, bukan saja teka teki tentang gravitasi terjawab, tetapi juga teori string terbukti.
Mulai 2008, Hamed juga akan bergabung di IAS, bersama Witten dan Maldacena. IAS juga pernah menjadi tempat buat Einstein, saat ia berhijrah ke negeri Amrik.
Liburan ini berlalu nyaris tanpa penjelajahan. Asthma datang tak tepat waktu :). Jadi, selain bebenah, aku banyak ditemani buku. Bukunya dari banyak tema, dan aku bacanya melompat dari satu buku ke buku lain. Kalau buku tertinggal di sofa, aku nggak mau susah2 ambil lagi — aku baca saja buku yang lain lagi.
Aku sempat cerita tentang si Running Mac OS X Tiger di blog ini. Yang ini aku baca sambil santai, bukannya sambil dicobai di Mac. Aku mau menikmati benda ini sebagai buku. Kalau pernah pegang buku O’Reilly, tentu tahu bahwa buku O’Reilly dirancang untuk nyaman dipegang dan dibaca. Sambil membacai buku ini, komputernya aku biarkan melakukan software update ke Mac OS X 10.4.10. Ini update yang terlambat memang. Hasilnya, dia melejit secepat harimau. Ah, berlebihan. Sebelum diupdate pun, dia sudah melejit secepat harimau si Santa Claws :). Oh ya, O’Reilly sedang menyiapkan update buku ini, berjudul Running Mac OS X Leopard. Jadi, kalau berminat, lebih baik menunggu buku updatenya, sekaligus sambil update Mac OS X ke 10.5.
Buku tipis dari Albert Camus: La Chute terbaca ulang pasca lebaran. Ini buku yang amat bergaya eksistensialis, seperti banyak buku Camus lainnya (misalnya Sisyphus, l’Etranger, dan entah apa lagi). Gaya eksistensialisnya bikin kita terpaksa memaki, serasa menemukan bagian dari diri kita yang tersesat dan ikut terjatuh. Aku pernah menikmati diskursus eksistensialisme secara aktif, beberapa saat. Tentu masih ada sisanya sampai sekarang. Tapi Camus betul2 sialan, dan mencapai ekstrim yang menyebalkan. Bayangkan: tokoh dalam cerita ini malam itu meninggalkan pacarnya lewat tengah malam. Berjalan melintas tepi sungai. Bersitatap dengan seorang wanita. Tapi dia acuh, dan meneruskan perjalanan. Setelah agak jauh, terdengar suara air, dan teriakan. Tokoh kita mengkalkulasi: apa sih yang mungkin terjadi — aku tak pandai berenang — dan kalaupun bisa, jarak kami terlalu jauh sekarang untuk bisa menolong. Lalu, tanpa menoleh, tokoh kita meneruskan perjalanan. Dan karena kurang enak badan, ia tidak membaca berita besok dan beberapa hari kemudian. Eksistensialis kurang ajar yang betul2 merasa bahwa pada saat ia tidak dapat melakukan perubahan, maka hidup harus jalan terus dengan nilai yang melekat pada perjalanan kita. Syukur aku belum pernah kenal tokoh beneran yang macam gini. Hey, tapi ceritanya menarik. Ini adalah buku Camus terakhir sebelum ia meninggal akibat kecelakaan. Saat itu, ia sudah berpisah jalan secara keras dengan Sartre. De Beauvoir, pasangan Sartre, melihat nada muram dalam buku ini, dan dengan puas menyatakan bahwa ia bahagia bisa menghancurkan hati Camus. Orang tak menarik, de Beauvoir itu. Tapi buku ini recommended :).
Lalu dalam perjalanan ke Senayan, aku sempat melihat buku Norman Peale: The Amazing Result of Positive Thinking. Reminds me to my best friend who used to call me Mr Positive Thinking. Sayangnya dia menyebutku seperti itu justru di awal masa aku sedang luruh ke idealisme yang lain, termasuk bahwa dunia tidak diciptakan untuk mewujudkan nilai yang terus positif dan bertambah baik. Alih2 aku malah percaya bahwa dunia ini tempat ujian panjang untuk tumbuhnya kita secara cerdas dan jujur — tidak tertipu oleh nilai2 palsu yang meninabobokan. Mungkin bagian besar dari pikiranku masih ada di sana. Tapi memang terasa ada bagian dari diriku yang jadi hilang. Buku Peale ini aku ambil. Barangkali bisa jadi cermin untuk mengembalikan pikiranku yang lebih positif lagi :). Recommended juga :).
Sementara itu, aku sudah berjanji bahwa buku Roger Penrose: The Road to Reality, harus aku tamatkan sebelum lebaran. Cedera janji: bukunya belum tamat. Aku sempat ulas di blogku satunya, yang in English: ini buku sains populer yang tak terlalu populer. Berbeda dengan Stephen Hawking yang menghindarkan buku populernya dari formula2 (untuk tak menjatuhkan pemasaran), Penrose tak ambil pusing dengan soal marketing. Dibanjirinya buku ini dengan segala formulasi matematis, untuk memberikan penjelasan yang detail dan jujur, menghindarkan pembacanya dari bayangan bahwa sains itu manis dan meninabobokan (dan ujungnya pembaca mudah tertipu pada orang awam yang mengaku ilmuwan, misalnya Harun Yahya). Memegang buku ini, waktu serasa mengalir cepat, seiring dengan otak yang berolahraga dengan asyiknya. Baru sahur, tahu2 sudah waktunya buka puasa :p, dan sahur lagi :). Not recommended, kecuali buat yang beneran tergila2 pada sains. Sekali lagi: buku ini perlu waktu untuk dibaca :). Penrose saja perlu 8 tahun untuk menulisnya :). Teh Jennie (Jennie S Bev) konon beli buku ini juga. Udah tamat belum, Teh?
Tapi ada alasan lain kenapa buku Penrose belum tertamatkan. Baca tulisan Penrose, aku jadi pingin membandingkan dengan Lisa Randall: Warped Passages. Buku yang dibeli di Borders tahun lalu ini, dan udah tertamatkan beberapa kali, jadi enak dibaca lagi berseling dengan buku Penrose. Randall juga tak alergi formula. Tapi dia banyak mengurangi, agar bukunya praktis dan nyaman dibaca. Buku Randall bahkan dipasangi fragmen2 kecil di tiap awal bab. Sayangnya kadang Randall terlalu wordy untuk menceritakan sebuah konsep — tidak hemat kata. Kesannya memang jadi kayak ngobrol sama ilmuwan jenius, nggak kayak kuliah misalnya. Formula yang dipotong Randall bisa didetilkan di Penrose, sementara ekstrapolasi (duh, maaf, ini subyektif — jangan dipertentangkan ya) dari yang diulas Penrose bisa dicari di Randall. Penrose sangat berhati2. Misalnya, dia dikenal tidak (belum) menyetujui konsep superstring, sementara Randall termasuk yang cukup mendalami bidang ini. Penrose memasang lukisan Escher untuk contoh, dan Randall memasang Dali dan Picasso. Recommended. Recommended! Aku sudah baca buku Peter Woit. Tapi buku Randal masih akan aku labeli recommended 2x :).
Trus ada buku lagi. Mmm, buku kosong. Mungkin aku harus belajar menulis.
Bukan cuman orang awam kayak aku. Feynman pun kagum atas formula Euler eiπ=-1, yang disebutnya the most remarkable formula in mathematics. Kalau ditulis sebagai eiπ+1=0, formula ini lengkap berisi lima angka ajaib dalam matematika; dan tak lebih dari lima itu. Aku lebih sering menyebutnya sebagai formula Pak Epi (eπi), héhé. Bilangan e secara tak langsung telah dipaparkan dalam paper Napier di awal abad xvii. Bernoulli memaparkannya lagi di akhir abad xvii waktu sedang asyik menghitung bunga. Ya, e itu (1+1/n)n dengan n mendekati tak terhingga. Leibniz juga mendapatinya, waktu sedang menemukan kalkulus. Tapi Euler lah yang mengenalkan e sebagai sebuah bilangan, memberinya definisi, dan memaparkannya sampai 18 desimal. Sejauh yang aku hafal, hanya 2,718281828… selebihnya tak teratur. Di abad xix Hermite menyatakan bahwa bilangan e (dan kemudian juga π) bersifat transendental, yaitu tak dapat disederhanakan dalam bentuk bilangan bulat. Trus, apakah e+π juga transendental. Mestinya. Tapi bagaimana membuktikannya? Cantor terang2an menyebut bahwa sebagaian besar bilangan justru transendental. Sebagian kecil yang non-transendental lah yang lebih dulu kita kenali. Bilangan transendental jadi mirip dark matter, yang mengisi sebagian besar jagat bilangan, tapi belum tampak atau terpahami oleh kita.
Di tahun 1960, Stephen Schanuel merumuskan sebuah konjektur mengenai e dan transendensi. Kalau ini terbuktikan, banyak hal yang bisa dibuktikan, termasuk ketransendenan e+π, eπ, ee dan sekaligus memahami arti ketransendenan. Perlu banyak belajar matematika untuk paham konjektur Schanuel ini (aku juga nggak paham, héhé). Tapi Schanuel bilang bahwa kaitan antara e dan transendensi itu sederhana dan lempeng :). Contohnya, Gelfond di 1930 menemukan bahwa jika a tidak sama dengan 0 dan 1, serta b irrasional, maka ab transendental. Simpel, tapi tak terpecahkan hingga puluhan tahun.
Nah, di Oxford tahun 2005, seorang Boris Zilber membuat terobosan. Konon dia menemukan obyek angkawi yang memenuhi prediksi konjektur Schanuel. Bukan bilangan tapi, melainkan fungsi. Fungsi ini mirip eksponensiasi (pemangkatan) biasa, dan Zilber menamainya pseudo-exponentiation. Lebih dari itu, Zilber menunjukkan hal menarik: pseudo-exponentiation ini unik (hanya satu2nya). Para matematikawan masih menguji klaim Zilber, namun banyak yang sudah mulai mengakuinya.
Jika Zilber benar, dan pseudo-exponentiation memang bentuk dari e, maka semua yang terimplikasikan sebagai prediksi Schnauel juga benar. Lebih jauh, permainan ini memanjang ke beberapa hal menarik lain. Salah satunya adalah geometri kuantum: suatu kerangka teori yang mencoba memadukan mekanika kuantum dan relativitas umum (lagi, héhé).
Ceritanya, di sekitar 1980an dan 1990an, Alain Connes (pemenang Medali Field) memaklumkan onyek-obyek geometrik yang terancang untuk mengepaskan fisika kuantum dalam landasan matematika yang lebih tepat. Salah satu bentuk yang terpenting adalah torum kuantum. Torus biasa itu kan mirip donat. Nah, torus kuantum ini nggak mirip apa2, soalnya dia bermain di keribetan dimensi “ruang” matematis: kurvatur dll :). Ya, angggap saja mirip donat kuantum. Temuan Connes ini sangat penting, tapi terhambat oleh kesulitan pengaplikasiannya. Nah (lagi), temuan Zilbert diharapkan bisa memetakan level ekstrim abstraksi Connes menjadi bentuk yang lebih tercerna secara matematis. Jika konjektur Schnauel benar, maka torus kuatum terbuktikan sebagai struktur stabil, lalu geometri Connes bisa dialirkan ke bentuk yang lebih intuitif.