Category: Network (Page 3 of 7)

Bandung Gerbang 4G

Lama tak menjejak Bandung. Dan kota ini menyambutku beku tanpa ampun. Gigil dikepung kabut tipis. Ah, di mana ceriamu yang dulu itu, kota inspirasiku? Beku kau tak peduli semangatku. Tapi negeri menanti.

Seperti yang telah lama direncanakan, Bandung merupakan kota pertama untuk serial seminar “Opening the Gates to 4G” :). Ini seminar yang diluncurkan IEEE Comsoc Indonesia Chapter, dan didukung IEEE Indonesia Section dan Mastel. Seminar ini bertujuan untuk membuka perbincangan yang lebih luas mengenai pengembangan network, service, dan aplikasi di Indonesia memanfaatkan platform 4G.

IEEE-Horison

Seperti kata judulnya, ada lebih dari satu gerbang ke 4G. Di sisi network, setelah tumbangnya UMB, kita memiliki LTE dan WiMAX II. Tapi banyak parameter lain yang menandai 4G. Cognitive radio memungkinkan perangkat2 kita secara cerdas memilih spektrum dan platform telekomunikasinya mengikuti kebutuhan, lokasi, dan parameter lain — a.k.a. konteks. Pun aplikasi tengah mengarah ke aplikasi peduli konteks (context-aware applications). Tentu ini sering diulas di blog ini, maupun beberapa blog tetangga. Tetapi baru sekali ini semuanya berhasil dikemas dalam satu buah seminar.

Aku membuka seminar yang diselenggarakan di Hotel Horison ini dengan menceritakan kebutuhan dan requirement atas 4G. Selain cognitive radio, dibahas skema all-IP network (yang artinya juga dukungan atas IPv6), antena cerdas (MIMO, spatial multiplex), dan OFDMA. Lalu Arief Hamdani melakukan diskusi panjang dan mendalam tentang LTE, lengkap dengan SAE. Untuk pembanding, aku mengulas mengenai WiMAX II yang masih berstatus pre-standard (IEEE 806.16m).

WiMAX-II-Reference-Model

Sebagai penutup, diskusi diakhiri tentang context-aware application dan pervasive computing. Dan langit Bandung sudah mulai gelap lagi. Seminar berikutnya di Yogyakarta, kemudian Denpasar. Medan? :)

Terbit: Internetworking Indonesia

Hari ini diterbitkan Edisi Perdana dari Internetworking Indonesia Journal. Jurnal ini berfokus pada pengembangan ICT di Indonesia. Paper di dalamnya lebih banyak bertemakan pengembangan infrastruktur internetworking. Jadi memang banyak berisi muatan teknis. Namun jurnal ini juga mewadahi sisi-sisi sains, sosial, regulasi, pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pengembangan ICT. Hal-hal yang bersifat interdisiplin lebih disukai :)

Dengan editor sebagian besar dari Indonesia, IIJ (begitu menyingkatnya, jangan dibalik) diterbitkan di Cambridge, Massachusetts. Mengusung semangat Open Access, jurnal ini hanya diterbitkan online, dan dapat diunduh gratis dari sitenya.

URL Edisi Perdana: internetworkingindonesia.org/iij-vol1-no1-spring2009.html.

Daftar isi edisi perdana:

  • Editors’ Introduction (PDF)
  • The Overhead and Efficiency Analysis on WiMAX’s MAC Management Message
    by Ardian Ulvan, Vit Andrlik & Robert Bestak (PDF)
  • Loop-back Action Latency Performance of an Industrial Data Communication Protocol on a PLC Ethernet Network
    by Endra Joelianto & Hosana (PDF)
  • “Wayang Authoring”: A Web-based Authoring Tool to Support Media Literacy for Children
    by Wahju Agung Widjajanto, Michael Lund, & Heidi Schelhowe (PDF)
  • Studi atas Prilaku Pengguna Layanan Wide Area Network (WAN) BPKP
    by Desi Nelvia & Rudy M. Harahap (PDF)
  • Issues in Elliptic Curve Cryptography Implementation
    by Marisa W. Paryasto, Kuspriyanto, Sarwono Sutikno & Arif Sasongko (PDF)

PDF lengkap edisi perdana: (PDF). ISSN = 1942-9703.

IIJ: Draft Version

Mas Thomas Hardjono pagi ini mengirimkan draft Edisi 1 dari Internetworking Indonesia Journal (IIJ). CFP-nya pernah dipampangkan di blog ini tahun lalu. Bulan-bulan terakhir ini, Mas Thomas nyaris sendirian mengepalai proses editing jurnal ini.

Tentang IIJ sendiri, demikian ditulis pada jurnal itu:

The Internetworking Indonesia Journal (IIJ) was borne out of the need to address the lack of an Indonesia-wide independent academic and professional journal covering the broad area of Information and Communication Technology (ICT) and Internet development in Indonesia. The broad aims of the Internetworking Indonesia Journal (IIJ) are thus as follows:

  • Provide an Indonesia-wide independent journal on ICT: The IIJ seeks to be an Indonesia-wide journal that is independent from any specific institution in Indonesia (such as universities and government bodies). Currently in Indonesia there are a number of university-issued journals that publish only papers from those respective universities. Often these university journals experience difficulty in maintaining sustainability due to the limited number of internally sourced papers. Additionally, most of these university-issued journals do not have an independent review and advisory board, and most do not have referees and reviewers from the international community.
  • Provide a publishing venue for graduate students: The IIJ seeks also to be a venue for publication for graduate students (i.e. Masters/S2 and PhD/S3 students) as well as working academics in the broad field of ICT. This includes graduate students from Indonesian universities and those studying abroad. The IIJ provides an avenue for these students to publish their papers to a journal that is international in its reviewer scope and in its advisory board.
  • Improve the quality of research & publications on ICT in Indonesia: One of the long term goals of the IIJ is to promote research on ICT and Internet development in Indonesia, and over time to improve the quality of academic and technical publications from the Indonesian ICT community. Additionally, the IIJ journal seeks also to be the main publication venue for various authors worldwide whose interest include Indonesia and its growing area of information and communication technology.
  • Provide access to academics and professionals overseas: The Editorial Advisory Board (EAB) of the IIJ is intentionally composed of international academics and professionals, as well as those from Indonesia. The aim here is to provide Indonesian authors with access to international academics and professionals within the context of a publication that is aware of the issues facing a developing nation. Similarly, the IIJ seeks to provide readers worldwide with easy access to information regarding ICT and Internet development in Indonesia.
  • Promote the culture of writing and authorship: The IIJ seeks to promote the culture of writing and of excellent authorship in Indonesia within the broad area of ICT. The availability of an Indonesia-wide journal with an international advisory board may provide an incentive and impetus for young academics, students and professionals in Indonesia to develop writing skills appropriate for a journal. This in-turn may encourage and train them to subsequently publish in other international journals.

Tunggu versi finalnya ya. Free of charge.

LTE: Long Term Evolution

Awal tahun ini, Telkomsel menjadi operator seluler pertama di Indonesia yang menyatakan mulai mengimplementasikan LTE (long-term evolution). Blog ini pernah membahas LTE, bersama dengan UMB dan WiMAX II, sebagai kandidat 4G. Namun LTE dianggap paling siap melangkah untuk mengarah ke 4G. 20 operator di dunia, merepresentasikan 1,8 miliar subscriber, telah menyatakan komitmen ke LTE; termasuk NTT Docomo, China Mobile, Vodafone, Verizon, T-Mobile, dan AT&T. NGMN Alliance mengakui LTE sebagai teknologi pertama yang memenuhi kualifikasi NGMN. Dan akhirnya Qualcomm – yang menjadi pendukung utama UMB – memutuskan ikut mendukung LTE alih-alih meneruskan UMB.

LTE, bersama dengan SAE (service architecture evolution), adalah inti kerja dari 3GPP Release 8. Inti atau core LTE disebut dengan EPC (evolved packet core). EPC bersifat all-IP (semua IP, dan hanya IP), dan mudah berinterkoneksi dengan network IP lainnya, termasuk WiFi, WiMAX, dan XDSL. LTE juga diharapkan mendukung network broadband personal, dengan memadukan layanan mobile dan fix. User tak harus menunggu network yang lebih stabil, misalnya untuk upload file video. LTE harus siap secara teknis (dan ekonomis) untuk menampung trafik yang dinamis dari Web 2.0, cloud computing, hingga beraneka macam gadget. ABI Research memproyeksikan bahwa perangkat seperti kamera, MP3 player, video, dll yang dilengkapi kapabilitas network akan mendekati jumlah setengah miliar unit pada tahun 2012.

Trafik yang tinggi dan dinamis itu mengharuskan penggantian kembali sistem transmisi. Dari TDMA di 2G dan CDMA di 3G, teknologi 4G akan menggunakan OFDMA, yang sekali lagi akan meningkatkan efisiensi spektrum. Kecepatan rerata berkisar pada 15 Mb/s dengan delay 15ms, walaupun nilai maksimal diharapkan dapat mencapai di atas 200Mb/s pada bandwidth 20MHz. Ya, LTE bisa bekerja pada bandwidth 1.4 hingga 20 MHz.

Akses radio akan berdasarkan penggunaan kana bersama sebesar 300Mb/s pada arah turun dan 75Mb/s pada arah naik. Jika pada 2G/3G, akses radio akan terkoneksi pada circuit-switched domain, maka E-UTRAN pada LTE hanya akan terkoneksi pada EPC. Akses radio teroptimasikan untuk trafik IP.
SAE, berbeda dengan sistem sebelumnya, hanya memberikan dua node pada user plane: base station (disebut eNodeB) dan gateway. Jumlah dan jenis persinyalan diminimalkan. RNC (radio network controller) dimasukkan sebagai satu fungsi dalam eNodeB, yang menjadikan proses handover dikelola sepenuhnya oleh eNodeB – mirip UTRAN pada 3G.

LTE akan digelar pada beraneka band spektrum. Diharapkan band baru 2,6GHz dapat digunakan, karena kapasitasnya memungkinkan untuk penyediaan band hingga 20MHz. Namun LTE juga bisa digelar pada band bekas GSM di 900MHz dan 1800MHz.

Barangkali pas kalau LTE kita jadikan tema IEEE Lecture Roadshow tahun ini. Tapi tebak: Flexi nantinya ke mana? Ikut ke LTE menemani Telkomsel, atau ke WiMAX II?

SDP 2.0

SDP (service delivery platform) sendiri masih intens kita diskusikan menjelang masa implementasi. Tapi bulan Desember lalu, IEC melontarkan istilah SDP 2.0 dalam Annual Review of Communications Volume 61. Tergoncang? Tentu tidak :). Pertama, SDP sendiri bukan standard yang perubahan versinya harus langsung diikuti migrasi sistem. Kedua, penomoran 2.0 sendiri menunjukkan sebuah ciri khas: sesuatu yang secara semi informal digerakkan dalam bentuk perbincangan (yang boleh meliputi industri dan komunitas). Tapi ihwal penomoran 2.0 ini juga yang bikin aku pingin memperbincangkan, soalnya pas dengan gagasan2 kita untuk menyusun hub atas content & aplikasi dari komunitas.

Jadi yang dinamakan SDP 2.0 adalah gagasan dari Accenture. Ia mengambil ide dari Google, Apple, dll, yang berbisnis dalam ekosistem digital. Menurut Accenture, 60% service provider memiliki lebih dari 10 partner co-design per proyek pengembangan produk. Kolaborasi ini memicu inovasi, tetapi meningkatkan resiko; kecuali jika strukturnya dibuat lebih efektif. Sebagai tambahan juga, Internet 2.0 (web 2.0, mobile 2.0, dst) telah menciptakan lingkungan yang kaya content, service, dan inovasi. Interface content terkayakan dalam dunia tiga layar: perangkat mobile, komputer, dan TV. SDP dirancang untuk mengefektifkan dan mengefisienkan segala sumber daya dan inovasi untuk kekayaan aplikasi ini. Namun divergensi yang cepat seperti ini mendorong dianggap perlunya merumuskan SDP 2.0. Framework SDP 2.0 menekankan penyusunan lingkungan pengembangan service lintas aktivitas dan teknologi di dalam ekosistem IP.

Konvergensi tiga layar mendorong setiap aplikasi untuk secara mudah tertampilkan dengan interface yang tepat di perangkat mobile, komputer, dan TV. Penekanan adalah pada layar pertama, yang lebih banyak melekat pada user setiap saat. Ini dimungkinkan oleh penyusunan platform piranti (device platform), berisi sistem operasi dan middleware, yang memungkinkan operasi multiplatform. Diantarmukai oleh itu, tersusunlah portal multikanal, tempat tertumpah kekayaan inovasi. Produksi, sharing, dan distribusi content dilakukan terpersonalisasi, dengan akses yang bersifat swalayan. Di sini juga dapat dilakukan segmentasi, agregasi, delivery media, komunikasi, dan lain2, yang dapat dioptimalkan untuk penurunan biaya. Sekarang, profit jadi dapat ditumbuhkan dari aplikasi2 yang telah saling diperkaya/memperkaya ini.

SDP 2.0 menambahkan hal2 berikut: pengelolaan user yang terpadu, pengelolaan policy yang fleksibel, dan lingkungan penciptaan service yang bersifat terbuka. Juga telah dimasukkan hal-hal seperti location-based service (LBS), mash-up, mobile widget, application presence, network presence, dll.

Accenture kemudian memberi contoh implementasi di Turkcell. Turkcell baru mengupgrade SDP-nya untuk memfasilitasi layanan seperti download musik, layanan data, dan transfer foto. Mereka mencobai pendekatan di atas, yang memungkinkan mereka bekerja lebih baik dengan penyedia aplikasi dan content. Dalam setahun, telah diluncurkan 180 layanan penghasil revenue, dari 50 penyedia aplikasi dan 53 penyedia content. Jumlah pelanggan pemakai layanan online meningkat 3000% dalam sebulan setelah peluncuran. Semua aplikasi dan content menggunakan standard IP biasa.

Konvergensi telah menjadi sahabat mereka, bukan ancaman. Yuk, kita ke sana juga :).

[Thanks, Pak Komang, atas materinya :)]

DLP Network Management

Baru seminggu masuk tahun 2009, IEEE Comsoc Indonesia Chapter telah melakukan salah satu kegiatan rutin: menyelenggarakan distinguished lecture. Lecture kali ini mengambil tema Network & Service Management, dengan lecture Prof Mehmet Ulema dari Manhattan College. Ini salah satu seleb IEEE yang tulisannya sering terbaca jauh sebelum zaman bikin tesis. Lecture dilakukan kemarin di ITT Bandung, dan hari ini di Binus Jakarta. Aku ikut yang di Binus hari ini.

Aku sendiri belum berhasil menulis paper tentang network management (di zaman aku masih doyan bikin whitepaper — paper yang materinya dan standar2nya tak tergantung dari vendor itu), karena jangkauannya terlalu luas, dan standarnya terlalu banyak :). Tapi Profesor Ulema mengoverviewkan masalah network management (NM) dengan hutan standardnya itu ringan. Pun sambil mengingatkan bahwa NM lebih merupakan suatu art daripada science. Art yang paling menarik adalah saat kita melakukan integrasi berbagai sistem. NM juga bersifat multidisiplin: dari elektro, komputer, matematika, operational research, ekonomi, dan tentu management. {Dan game theory juga :)}.

Mula2, dipaparkan berbagai dimensi NM, baik dari jenis network, fungsi, stage, dan … uh banyak. Barulah dikaji berbagai standar NM, dari ITU (TMN), IETF (berbagai versi SNMP), ISO OSI (CMIP), dan lain-lain (TMF, OMG, OSF, DMTF, dan yang included dalam standard2 IEEE, 3GPP, hingga (G)MPLS/ASON). Kemudian, tanpa ampun, diperdalamlah berbagai model standard itu; dari TMN dan arsitektur lengkapnya (logika, informasi — SMI dan MIB, fungsi, fisik), pendalaman MIB sendiri, dan MIB II, ke SNMP hingga SNMP v3 dan rencana versi SNMP berikutnya, RMON … hihi, panjang …trus ke arsitektur yang praktis, ke produk yang ada saat ini (komersial dan open source), MPLS (ini singkatan dari mephistopheles), IPv6, 3-play, NGN, dan ditutup dengan trend2 ke depan (autonomic computing etc).

Kuliah ditutup, dan kita masuk ke coffee break. Mahasiswa Bina Nusantara yang tadinya hanya diam malu2 dan ogah tanya2, mendadak melakukan serbuan, dan bertanya langsung. Hihi, kelihatannya mereka lebih suka bertanya informal, bukan tanya di forum sambil dipelototi dosen2 mereka. OK, ini foto Professor Ulema yang sedang asyik menjawab pertanyaan mahasiswa demonstran.

Next, sambil menikmati kopi hitam, gantian Prof Ulema yang mewawancarai aku tentang network development. Aku cerita sambil sesekali (sering kali) minta pendapat beliau tentang cara2 operator2 di Indonesia memanage network. Dualism IMS vs SDP misalnya (banyak SDP yang tidak dirancang untuk jadi IMS-aware). Tapi yang mengejutkan, Prof Ulema mengingatkan bahwa banyak operator internasional yang justru kecewa pada implementasi IMS. Woah, hal baru. Akhirnya kita memperdalam soal itu. Sayangnya, sebelum benar2 selesai, pihak Binus menculik Prof Ulema untuk dipulangkan dengan aman ke negaranya. Via Macau.

Kembali ke Comsoc. Rencana tahun ini adalah meneruskan kuliah2 umum tentang trend teknologi infokom ke kampus2. Tapi kita punya rencana tambahan. Di IET ada kuliah Faraday, dimana para engineer mengajar tentang engineering dengan kemasan menarik ke sekolah2. Ya, Faraday, fisikawan dan engineer yang nggak doyan kalkulus dan tak paham teori Maxwell itu (padahal teori Maxwell adalah formulasi atas garis2 gaya Faraday). Jadi semangatnya mencerahkan tanpa mengkalkulusi. Nah, Comsoc chapter Indonesia berencana melakukan upaya serupa. Nanti kita bahas lagi soal ini deh. Bantu ya.

Selangkah ke Repeater Kuantum

Fisikawan di Swiss dilaporkan berhasil membuat piranti solid-state yang dapat menyimpan posisi foton selama satu mikrodetik. Ini diyakini membuka jalan bagi terciptanya network kriptografi kuantum berbasis cahaya, yang diteorii kebal dari pembobolan. Tokoh2 di Swiss itu adalah Gisin dan rekan2nya: Afzelius, Riedmatten, Simon, dan Staudt. Yang dilakukan adalah menjebak foton dalam 100juta atom neodimium yang ditanam di kristal yttrium orthovanadat yang didinginkan pada suhu 3K. Saat sebuah foton yang telah terikat kaitan (entanglement) dipancarkan ke kristal, foton itu tersimpan 1 mikrodetik, dan foton yang dilepaskan masih memiliki kaitan.

Inovasi Gisin dkk ini diharapkan membuka jalan untuk membentuk repeater kuantum. Repeater kuantum adalah komponen yang yang penting dalam jaringan informasi berbasis kuantum. Kita tahu, keadaan (state) pada cahaya hanya bertahan pada waktu yang singkat, sebelum terjadi perubahan yang tak dapat diramalkan. Maka dalam sebuah jaringan, perlu ada perekam keadaan kuantum cahaya yang akan meregenerasikan keadaan itu pada cahaya secara berkala. Nah, repeater kuantum semacam ini belum ada. Yang baru ada adalah piranti yang bisa menyimpan keadaan sebuah foton tanpa merusak keterkaitan kuantum (entanglement).

Oh ya. Entanglement sendiri adalah sebuah kondisi berpasangan pada materi pada skala kuantum. Beberapa entry awal pada blog ini cukup sering membahas ini, serta spekulasi pemanfaatannya. Entangelement memungkinkan jika dua foton berpasangan dipisahkan, pada pengukuran pada satu foton akan juga mengetahu kondisi kuantum foton pasangannya. Namun saat ini, pada serat optik, keterkaitan ini patah pada jarak 300km. Oktober lalu, kota Wina telah memasang network informasi kuantum, dengan rentang 200km, memanfaatkan kaitan kuantum ini. Tanpa repeater, akan sulit membuat rentang yang lebih jauh. Inovasi di Swiss ini diharapkan bisa jadi pembuka jalan.

Sebelum Gisin, telah ada eksperimen lain yang telah dilakukan, dengan menyusun dasar penyimpanan memori dengan interaksi cahaya dengan materi. Namun ini mengharuskan pembekuan atom hingga mendekati nol kelvin. Tim Gisin sendiri akan meneruskan eksperimen untuk mencapai waktu 1 milidetik.

Vielsi

Di (luar kota) Sukabumi, salah satu santri menanyakan tentang penemu blog dan tokoh blog. Untuk tokoh blog, tentu aku menjawab dengan “YOU” :), karena inti Web 2.0 memang peran serta kita semua sebagai subyek informasi. Dan untuk penemu, aku harus mengakui bahwa itu akan tergantung pada definisi blog. Hey, santri harus diajak berfikir, bukan menghafal. Maka aku juga bercerita tentang sejarah komunikasi. Komunikasi wireless, misalnya. Sebelum seluler, ada radio, dan sebelumnya ada semafor, dan sebelumnya ada isyarat asap ala Indian. Inventor, kayak Newton bilang, memiliki visi lebih karena mereka juga berdiri di atas pundak inventor sebelumnya.

Begitulah, maka setelah radio, gelombang cahaya dipakai lagi: semafore melalui kabel optik; dan kemudian semafore cahaya melalui udara. Semafore model ini dinamai komunikasi cahaya tampak, visible light communications, VLC. Gugus tugas IEEE 802.15 (wireless personal area network) turut mengkaji kemungkinan memanfaatkan VLC sebagai salah satu metode komunikasi. Bayangkan: gelombang cahaya, dari warna merah sampai ungu, memiliki rentang hingga 300THz, sementara radio hanya sampai 300GHz. Juga radio sering harus dibatasi karena mengganggu sistem elektronika navigasi dan perangkat medik. Cahaya, di luar itu. Regulasi cahaya hanya perlu agar tidak mengganggu mata (dan estetika). Sementara ini memang pengkajian VLC baru untuk jarak pendek dan menengah, menemani bluetooth dan inframerah.

Dr Joachim Walewski, peneliti dari Siemens, menyatakan mampu melakukan transmisi data hingga 100Mb/s menggunakan cahaya tampak. Transmisi menggunakan LED putih berperforma tinggi, dan receiver menggunakan sensor foto. Tak buruk untuk sebuah awal. 300Mb/s itu mungkin sekali, kata Walewski. Komisi Eropa menindaklanjuti dengan menyusun proyek penelitian bernama OMEGA, bertujuan menyusun bakuan jaringan rumah ultra-broadband dengan kecepatan data 1Gb/s. Salah satu contohnya adalah kantor France Telecom di Paris. Di sana, lampu atap akan mengirimkan data berkecepatan 100Mb/s. Masalah yang mungkin timbul adalah interferensi. Dengan sinar matahari, misalnya. Tetapi ini hal biasa yang mudah tertangani secara teknis. Ingat: inframerah juga dipancarkan matahari, tetapi interferensinya dengan sinyal komunikasi inframerah bisa diminimalkan.

Aplikasi awal untuk VLC, dalam bayangan, misalnya: autentikasi identitas, e-payment, komunikasi data dalam rumah (menggantikan WiFi?), komunikasi informasi antar mobil (kalau mobil di depan mengerem mendadak, ia akan mengirim sinyal cahaya ke mobil di belakangnya, yang secara otomatis akan melakukan perlambatan atau hal lain yang diperlukan), dll. Aplikasi yang tidak menarik, contohnya adalah VLC untuk menggantikan remote control inframerah. Kalau anak2 kecil sedang berebut acara, mereka akan dapat memanfaatkan cahaya VLC untuk saling menyerang. Tak heran, salah satu yang akan sangat diperhatikan IEEE dalam standardisasi VLC adalah soal keselamatan mata. Walewski sendiri aktif mengirimkan draft bakuan keselamatan pemanfaatan radiasi cahaya tampak ini ke Gugus Tugas IEEE 802.18 (Penasehat Teknis Regulasi Radio). Yuk, kita tunggu, dan mulai berkreasi.

Alexander Graham Bell

Prelude. Dua bulan lalu, aku diminta memberikan kuliah umum buat para mahasiswa baru ITT. Temanya tentang teknologi mobile masa depan (ketika mereka akan mulai menulis skripsi –red). Aku sempat iseng bertanya, “Siapa penemu telefon?” Dari semua yang berani menjawab, hanya keluar satu jawaban: Alexander Graham Bell. Wow, mereka bener2 perlu kuliah :). Di sesi akhir (pembagian door prize), Sdr Eko Ramanda membagikan hadiah secara unik: siapa yang menyimpan pas foto ibu di dompet, itu yang menang. Hal yang bikin takjub dan terharu mendadak. Telkom banget Mas Eko tuh :). Keren.

OK, kembali ke Bell. Jadi Bell bukan penemu telepon. Antonio Meucci, seorang Italia, konon telah mulai merancang piranti telefoni pada 1834 di Milano. Bermigrasi ke Amerika, ia teruskan perangkatnya menjadi sistem yang berjalan baik pada 1850. Saat istrinya lumpuh di tahun 1855, Meucci memasangkan sistem interkom dari rumahnya ke tempat kerjanya tak jauh dari situ. Namun saat giliran Meucci yang sakit, istrinya menjual prototip telefon itu ke agen barang bekas seharga US$6 (baca buku Laura Ingalls kalau ingin merasakan nilai US$6 saat itu). Meucci memang selalu hidup dalam kemiskinan. Ia mengajukan paten telefon pada 1871. Tetapi pemrosesan di negara kapitalis itu lama dan terus memerlukan uang. Meucci membayarnya per tahun. Tahun 1874, Meucci tak sanggup lagi membayar biaya pemrosesan patent. Dan pada tahun 1876, Alexander Graham Bell memperoleh paten untuk telefon. Tentu saja kemudian Meucci memprotesnya. Tetapi secara ajaib, berkas2 Meucci hilang, sehingga klaim Meucci tak dapat diperkuat. Pengadilan digelar. Di sana, Meucci memaparkan penemuannya secara meyakinkan, sehingga diyakini Meucci akan memenangkan sidang. Tapi ia tetap kalah. Lebih dari 100 tahun kemudian, di tahun 2002, barulah Meucci diakui sebagai penemu telefon.

Kasus Meucci ini jelas mencoreng nama Bell sebagai kapitalis. Tapi tidak sebagai penemu. Banyak pihak meyakini bahwa penemuan Bell sama sekali tidak mencontek Meucci (atau Elisha Gray, atau Thomas Alva Edison). Sejak muda, Aleck terbiasa menyelidik soal transmisi suara. Saat ibunya mulai tuli, Aleck sadar bahwa ia tetap bisa bicara dengan ibunya dengan menempelkan bibir ke kepala ibunya sambil bicara — dan dengan demikian menggetarkan tulang2 di dalamnya. Ia menggetarkan dawai piano di sebuah ruang dan mengamati dawai yang senada di piano di ruang lain ikut bergetar. Lalu ia memanfaatkan gelaja elektromagnetik untuk meneruskan model resonansi ini bersama asistennya, Thomas Watson (kebetulan bukan Watson yang sama dengan pakar behaviorisme atau asisten Sherlock Holmes). Dan jadilah telefon ciptaan Bell.

Tapi Bell tak berhenti di situ. Bahkan sebelum Nikola Tesla mencobai transmisi suara tanpa kabel (dengan gelombang radio), Bell sudah mencobai telefon nirkabelnya pada tahun 1880. Dengan nama photophone, telefon nirkabel Bell ini menggunakan transmisi cahaya.

Bagaimana caranya? Bell memproyeksikan suara melalui perangkatnya sehingga menggetarkan sebuah cermin. Sinar matahari yang dipantulkan oleh cermin itu turut membentuk pola getar suara. Sisi penerima menerima pantulan cahaya yang gemeletar itu, dan mentransformasikan kembali ke bentuk suara. Tentu belum praktis. Tapi bayangkan: wireless phone, dan komunikasi optik, pada tahun 1880.

Service Delivery Platform

Konvergensi bahkan telah menjadi kata kunci sejak akhir abad lalu. Namun hingga kini, belum seluruh aspek komunikasi (network, service, content) terkonvergensi. Diharapkan sih, saat kita memasuki deployment 4G pada 2012-2015, seluruh aspek telah terpadukan, termasuk personalisasi layanan dan pervasiveness. Bertahap, dalam sesi2. Tantangan pada sesi ini adalah SDP: service delivery platform (tapi memang, ada banyak kepanjangan SDP di network engineering — huh).

IMS memberikan arsitektur yang lengkap, dari level transport data, kontrol, persinyalan, hingga service dan aplikasi. Ini adalah platform untuk next generation (mobile) network, sebagai penerus jaringan telekomunikasi masa kini. Namun di sisi lain, bersama dengan mulai diimplementasikannya IMS ini, telah tumbuh juga layanan2 Internet dengan dinamikanya sendiri: Web 2.0, multimedia streaming, IPTV. Yang terasa misalnya bahwa pembicaraan tentang 3G-mobile jadi lebih sering berfokus pada bandwidth dan resource terkait, yang bisa jalan dengan atau tanpa IMS. Terbentuk arsitektur terpadu tersendiri dalam penyampaian layanan Internet ke user. Ini kadang disebut sebagai IT-based SDP. Seolah ada dua kutub: IMS dan IT-based SDP.

Beberapa risalah di IEEE mengkaji praktek2 terbaik dari kedua macam network, termasuk percobaan untuk meramu IMS-based SDP. Hey, jangan lupa, next-generation IMS juga mendukung RTSP dan HTTP loh :). Di bawah ini salah satu arsitektur yang disarankan, untuk menyediakan SDP yang efektif untuk IT services masa kini, sekaligus comply terhadap IMS.

Layer-layer pada arsitektur SDP ini dapat dipetakan pada plane-plane IMS. Bukan hanya untuk menjamin keterpaduan layanan-layanan Internet dan NG(M)N; tetapi juga untuk memastikan bahwa deployment IMS nantinya akan langsung menapak tepat pada aplikasi yang aktif dan dinamis digunakan user saat ini, tanpa mengharuskan migrasi skala besar.

Tapi tentu, network engineering itu ilmu dan sekaligus seni. Penataan arsitektur network tak dapat diringkas dengan sebuah buku resep, setebal apa pun bukunya. Komunikasi adalah tools bagi user, dan mencerminkan dinamika user yang beraneka ragam. OK, saatnya merancang SDP untuk network & lifestyle kita sendiri :)

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑