Category: Music (Page 2 of 5)

Петрушка

Berhari2 dalam dehuman, dan mendadak ada nada masuk dari angkasa. Stravinsky. Petrushka. Ya, nada yang itu, yang kita ingat kalau kita menyebut Petrushka. Disonansi, kombinasi dari C major dan F# mayor. Dibanding hingar bingar musik masa kini, disonansi ala Igor Fyodorovich Stravinsky tak lagi terasa heboh. Justru, lucunya, menenangkan. Mengheningkan. Mengingatkan akan keunikan klasik. Kesinisan yang tak peduli apa.

Petrushka. Bagi Rusia. Setara Pierro bagi Perancis, Punch untuk Inggris, dan tentu Pinokio bagi Italia yang kemudian mendunia. Makhluk tak terlalu nyata. Namun dengan tragedi nyata. Disonansi dari Stravinsky itu adalah ejekan ala Petrushka. Pertama terdengar membuka Bagian 2 dari komposisi Petrushka ini. Ejekan atas apa yang kita bilang lurus, apa yang kita yakini harus, apa yang kita pikir bagus, apa yang kita paksakan sebagai kebakuan dan kebiasaan dan keniscayaan. Namun sayup ia masih terus berulang sepanjang para penari dan bauran orang2 terus meriuhkan suasana pasar malam.

Ejekan dari Petrushka bahkan terdengar di saat akhir komposisi ini. Seolah meyakinkan kita bahwa hantu Petrushka masih terus ada untuk mengejek kita. Mengejek kekerasan kita memuja undak-undak kekosongan.

P?teris Vasks

Latvia memiliki sejarah panjang berisi pendudukan demi pendudukan. Polandia, Swedia, dan Russia. Mereka tak pernah memiliki musik seperti Sibelius, Grieg, Nielsen. Baru setelah negeri ini kembali berdaulat, nama musisi Latvia mulai terdengar. P?teris Vasks salah satunya, dengan musiknya yang bersuara senada kabut melayang, dengan tekstur samar, dan style yang agak mirip (tapi nggak terlalu dekat) dengan Lutos?awski. Vasks menyebutnya sebagai perbincangan Latvia yang dimusikkan: mewakili bangsa yang kecil, kelam, tapi memiliki keberanian untuk tegak di tengah deru.

Vasks, yang aku juga belum pernah kenal sebelumnya, menarikku untuk menyentuh dan mengambilnya, membawa ke ruang kerjaku, dan menemani kekelaman di dalam sini dengan sentuhan yang serasa demikian empatiknya. Dia tidak mencoba mewarnai kelam dengan warna ceria, tapi mengangkat dinamika yang bangkit dari kelam itu, dan membuatnya tetap sebagai hidup yang murni dan elegan. Untuk hari ini, warnaku adalah warna Vasks.

Sekarang dia memainkan Voices. Ini dikomposisi pada 1990-1991, saat rakyat Latvia pada puncak kegentingan, dan khalayak tumpah ke jalan2, untuk mengambil alih kedaulatan mereka sendiri. Darah ditumpahkan di sana, juga di Lithuania, kalau kita masih ingat. Dan simfoni ini dicipta dengan sepenuh keyakinan. Voices of Silence, saat menatap malam berbintang di kejauhan tak terhingga. Voices of Life, saat merasakan bangkitnya alam, dengan kicau burung, yang menyadarkan tentang kehidupan. Voices of Conscience, yang membuka mata akan realita. Lalu Voices of Life dimulai lagi (atau barangkali ini masih yang tadi juga?).

Huma di Atas Bukit

Seribu rambutmu yang hitam terurai
Seribu cemara, seolah menderai
Seribu duka nestapa di wajah nan ayu
Sejuta luka yang nyeri di dalam dadaku

Lagi melankolik? Bukan, wekk. Malah lagi riang: abis menemukan tiga CD God Bless dalam kunjungan singkat di DiscTarra Dago. Duh, kalau sengaja dicari, nggak pernah keliatan. Penerbitan sekaligus tiga CD ini mirip beberapa saat lalu, waktu tiga CD Karimata juga diterbitkan sekaligus. Dan menimbulkan perasaan yang sama: perasaan balik ke SMA :). Oh ya, Kantata Taqwa juga sempat terbit versi CD-nya, belum lama ini.

cd-godbless.jpg

Masih aku bertahan
Walau kupaksakan
Sampai batas waktu
Keadilan datang

Mau gagah tapi malah cengeng :). Tapi memang sense-nya agak2 gitu tahun2 itu. Dan dibanding kelompok musik cadas Indonesia masa kini, mmm, haha. Udah ah, ntar dibilang auld-lang-syne syndrome. Yang jelas sih, aku nggak punya minat beli CD para rocker Indonesia masa kini. Indie masih mending. Oh ya, CD yang baru terbit itu betul2 dari angkatan yang aku cari: akhir 1980-an, bukan yang 1970-an (masih mentah –hihi) maupun 1990-an (mulai decline –sorry). Mungkin BR bisa mulai berharap lagu2 klasik kesayangannya diterbitkan dalam CD juga. Mudah2an beliau seberuntung aku :).

Sepinya hidup dalam penjara
Tak juga hilangkan
Rasa sesal dan rasa bersalah

Parsifal

Betul, Parsifal. Akhirnya punya juga excerpt opera Wagner yang ini, sekian belas tahun abis CD Wagnerku yang pertama :). So, ini adalah opera Wagner yang terakhir. Kecuali kalau Wagner punya semacam unfinished opera ;).
Kalau kita membayangkan Wagner identik dengan Der Ring, atau Tristan, kita akan mendapatkan kejutan yang lain. Kesederhanaan. Keseluruhan opera ini terdiri dari beberapa variasi ide saja. Kalau misalnya dalam Der Ring, citra musikal Wotan begitu kontras misalnya dengan Fricka. Dalam Parsifal, citra-citra ini hambur. Kabur. Tak jelas misalnya mana tema Kundry dan mana tema Klingsor. Tokoh2 ini jadi berpadu secara musik, bukan dikontraskan.
Buat yang baru kenal Wagner, fyi: Wagner gemar mengambil sekumpulan nada tertentu dikaitkan dengan tokoh atau ide tertentu, dan dinamakan motif. Nah, dalam Parsifal, motif dimainkan dalam bentuk musik, dan baru kemudian nantinya dalam bentuk vokal. Ide2 yang baru berkembang pun ditampilkan dulu dalam interlude yang di opera ini dinamai transformation music. Bentuk lengkap, atau bentuk panjang, dari sebuah motif diberikan setelah kita disuruh mendengar fragmen-fragmennya dulu sebelumnya.

Versi yang baru dibeli ini dimainkan oleh The Metropolitan Opera Orchestra and Chorus, dipimpin James Levine. Dulu aku nggak mau ambil, soalnya Amrik. Dan Amrik biasanya encer, nggak Wagner banget. Cerita Parsifal, secara umum, adalah potongan dari kisah panjang tentang Holy Grail. Ah, itu lagi :).

Barenboim

Daniel Barenboim, musikus kelahiran Argentina yang memiliki dua paspor: Argentina dan Israel. Ia General Music Director dari Deutsche Staatsoper Berlin, dan juga menjadi conductor dari Bayreuth Festpielle sejak 1981. Walau secara umum ia merasa tak terusik hidup di negara yang diemohi kaum Yahudi, tapi kadang ada usikan juga. Tokoh politik Jerman seperti Klaus Landowsky dari CDU masih mencapnya sebagai Jew Barenboim: “On one hand, you have young Karajan, Christian Thielemann. On the other, you have the Jew Barenboim.” Barenboim secara enteng cuman menganggap politikus itu nggak ngerti soal keyahudian. Namanya juga politikus.

Sebagai conductor di Bayreuth, tentu Daniel kita lekat dengan Wagner. Kita boleh curiga bahwa cerita tentang Daniel ini kita tulis di sini karena berkaitan dengan Wagner, haha :). OK, jadi pada pertengahan 2001, Barenboim melakukan konser keliling yang antara lain dilakukan di Yerusalem. Barenboim berencana memainkan komposisi Die Walküre yang sungguh membangkitkan inspirasi itu. Tapi pimpinan Israel Festival memintanya mengurungkan rencananya. Jadi Barenboim mengganti bagian itu dengan komposisi dari Schumann dan kemudian Stravinsky. Namun setelah Stravinsky, Barenboim menyempatkan diri berbincang dengan pengunjung, menanyakan apakah tidak berkeberatan jika ia memainkan cuplikan dari Tristan & Isolde. Sebagian pengunjung setuju, tapi banyak juga yang menolak. Maka Barenboim menyatakan bahwa ia akan memainkannya, dan memberi waktu kepada yang tidak suka untuk meninggalkan hall. Sebagian penonton benar-benar keluar, dan barulah kemudian dari ruang itu mengalun melodi indah dari Tristan & Isolde. Tanpa keributan, malam itu.

Peristiwa itu kemudian menjadi isu besar, sampai didiskusikan serius di Knesset, parlemen Israel, seperti yang pernah aku tulis di site ini tahun 2001 dulu. Komite budaya Knesset meminta agar Barenboim diboikot.

Tahun 2002, filsuf Edward Said bercerita bahwa delapan tahun sebelumnya (so: 1994?) Barenboim pernah memainkan Tristan & Isolde dengan anggunnya, sehingga musiknya masih terus terdengar dan terngiang. “I can’t stop hearing that searingly romantic and audacious sound constantly; it’s almost driving me crazy,” ucapnya kepada Barenboim. Lalu mereka berdiskusi panjang soal Tristan. Dan mereka menerbitkan buku bersama, “Parallels and Paradoxes.”

Tristan, dan sebenarnya jua Die Walküre memang punya kemampuan mengesankan untuk bertahan di memori untuk kemudian bangkit dalam suara yang sungguh nyata dan presisi dari memori kita. Di suatu malam di Ibis Montmartre (1995), aku bisa mendengarkan Tristan dari sound system imajiner; dan sempat membuat hati tergetar. Sampai sekarang, bagian Liebestod dari Tristan suka terdengar di saat hati terasa sepi. Kayak sekarang juga, sebenernya.

Resta Qui

Perderti cosi
Come un attimo
Mentre tutto va
Oltre i limiti
Della mia fantasia
Tu che eri mia!
Voli e brividi
Grandi sogni che
Forse realizzai
A che servono
Se tu non sei qui
Qui con me
Anche se ho sbagliato io?
Resta qui con me
io sar? per te
un angelo vero che songa e che sa
prederti la mano
e darti l?anima
resta qui
resta qui
tu che sei mia
un attimo e noi
voleremo l?
dove tutto ? paradiso se
noi noi saremo l?
soli ma insieme.
Lo ritorner? credimi
L?uomo che hai amato in me
Resta qui con me
io sar? per te
un angelo vero che songa e che sa
rallentare il tempo
che non passer?
resta qui, resta qui,
tu che sei mia
Un attimo e noi
voleremo l?
ogni giorno che
noi saremo insieme

Metamorphosen

Yuk, berbincang tentang Metamorphosen, satu komposisi dari Richard Strauss yang jarang dibahas. Malah kayaknya belum pernah dibahas di weblog ini.

Dalam buku “Elaborasi Musik”, filsuf Palestina Edward Said memilih komposisi ini sebagai paradigma pengalaman musik yang etis dan tercerahkan, yang dirasakan baik oleh komposer dan pendengarnya:

“In the perspective afforded by such a work as Metamorphosen, music thus becomes an art not primarily or exclusively about authorial power and social authority, but a mode for thinking through or thinking with the integral variety of human cultural practices, generously, non-coercively, and, yes, in a utopian cast, if by utopian we mean worldly, possible, attainable, knowable.”

Tapi tidak selalu anggapan orang seperti ini. Tahun 1947, tuduhan bahwa komposisi ini merupakan kenangan atas Hitler, digembargemborkan di Belanda, negeri yang takluk pada tentara Nazi nyaris tanpa perlawanan. Memang bagian awal komposisi ini ditulis saat Munich Staatstheater dibom pada Oktober 1943, dan sempat dinamai “Duka bagi Munich”. Bagian akhirnya diselesaikan pada April 1945, saat Jerman sedang dalam masa kejatuhan. Barangkali memang ada kaitan antara komposisi ini dengan masa meredupnya Jerman, namun tidak harus lalu dikaitkan dengan Nazi atau Hitler.

Aku sendiri nggak terlalu lekat dengan Metamorphosen. Tod und Verklarung, dari Richard Strauss juga, terasa lebih akrab. CD Metamorphosen ini dulunya aku pinjam dari perpustakaan Lanchester di Coventry, dan aku konversi jadi MP3. Ilegal sih, tapi aku jarang berkelakuan kayak gini. Nanti aku beli CD-nya kalau ada yang jual di sekitar Bandung. Ada kemiripan antara Metamorphosen dan Tod und Verklarung, yang bikin aku pingin sesekali merasakan nuansanya kembali. Bukan cuman bahwa durasinya sama-sama sekitar 25-26 menit, tapi ada nuansa yang …. gimana sih caranya cerita tentang nuansa?

Pendengar diajak melakukan perjalanan dalam bentuk representasi suara atas mourning dan melankoli. Apa sih bedanya? Mengikuti Freud sih, mourning itu gejala psikis yang nantinya selesai jika subyek sudah bisa berlepas dari obyek kedukaan. Sebaliknya, melankoli adalah ketidakmampuan berlepas dari kedukaan itu. Yang ada pada mourning dan tidak ada pada melankoli adalah “reemergence of a viable and coherent subjectivity.” Nah, bentuk subyektivitas inilah yang justru hilang dalam Metamorphosen. Suara tidak mentransformasi diri menjadi subyek. Jadi memang tidak pas untuk mencari semacam kedamaian, resolusi, atau pemulihan spiritual dari musik yang terkesan tenang ini.

Haha. Yeah. Kayaknya aku memang sedang mencari dukungan emosional dari musik yang salah. Haha :). Ganti ah. Tod und Verklarung? Mungkin aja. Atau balik ke kawan lama kita: Wagner. Belum lama ini ada makhluk bernama Dian mengisi buku tamu site ini. Dia sedang di Bayreuth. Gimana ya rasanya tinggal di kota Wagner? Apa Wagner di sana sudah termetamorfosis jadi relik masa lalu, sementara gaungnya di Griya Caraka Bandung masih terasa hidup, aktual, dinamik.

E Lucevan Le Stelle

Bagian dari komposisi Tosca dari Giacomo Puccini ini beberapa hari (atau jangan-jangan malah beberapa minggu ini) sering terasa menggaung ringan dari balik kepala. Penasaran dengan teksnya, inilah dia, hasil cari di Google:

E lucevan le stelle, e olezzava la terra
stridea l’uscio dell’orto, e un passo sfiorava la rena.
Entrava ella, fragrante, mi cadea fra le braccia.
Oh! dolci baci, o languide carezze,
mentr’io fremente le belle forme discogliea dai veli!
Svani per sempre il sogno mio d’amore…
L’ora e fuggita e muoio disperato!
E non ho amato mai tanto la vita!

Terjemahan:

How the stars seemed to shimmer, the sweet scents of the garden,
how the creaking gate whispered, and a footstep skimmed over the sand,
how she then entered, so fragrant, and then fell into my two arms!
Ah sweetest of kiss, languorous caresses,
while I stood trembling, searching her features
concealed by her mantle. My dreams of pure love,
forgotten forever! All of it’s gone now!
I die hopeless, despairing, and never before
have I loved life like this!

Pernah nggak aku nulis di sini, bahwa opera Puccini tidak pernah seseru kisah hidup Puccini sendiri?

Virus: Musical Baton

Emang Musical Baton itu beneran soal musik? Soal personality? Soal persahabatan dan saling pengertian? Bukan! Ini “virus” yang sama dengan mail hoax, dan semacamnya. Cuman melanda weblog dan yang semacamnya (untuk tidak mengacaukan definisi yang tidak definit atas blog).

So, Andika melempar batonnya ke aku, setelah dapat lemparan dari Priyadi, yang dilontar oleh Eko, yang diterjang oleh Boy, yang dirajam oleh Echa, yang diruyak oleh AGentX, yang disawat oleh Lancerlord , yang dibalang oleh Cowboy , yang dihujam oleh Jim, dst.

Dan benarlah yang bilang bahwa para weblogger umumnya narsis. Doyan banget memamerkan diri, membanggakan personal weirdness, dengan berkedok keterpaksaan. Maka virus kayak gini jadi laku keras.

Sorry yach, aku mah nggak narsis. Megaloman sih, iya (warning: pengalihan istilah). Tapi daripada nggak enak hati sama Andika (warning: pura-pura terpaksa), OK deh, aku isi juga.

Total volume of music files on my computer: 1.29 GB on this notebook, excl all external devices

Last CDs I bought:

  • Symphony no 10 (unfinished) — Gustav Mahler
  • Oktett D803 — Frans Schubert
  • A tribute to Ian Antono

Song playing right now: No song, just music — Richard Strauss’ «Tod und Verklarung».

Five song (define song) I listen to a lot, or means a lot to me:

  • Liebestod — Richard Wagner (part of Tristan und Isolde Opera)
  • Elsa’s Dream — Richard Wagner (part of Lohengrin Opera)
  • Innuendo — Queen
  • Bohemian Rhapsody — Queen
  • If

Pass this baton to:
Whoever read this message.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑